Share

Syarat dari Arin

"Naima, apa tidak ada syarat yang lain?" tanya Arga. Rasanya syarat yang Naima ajukan cukup berat.

Naima menggeleng. "Tidak ada, mas. Kalau Arin tidak setuju ya sudah, aku tidak memaksa kok."

Arga mengusap wajahnya dengan gusar, syarat yang begitu sulit. Dan tidak mungkin Arin akan menyetujuinya, Arga paham betul sikap calon istrinya itu. Lelaki yang masih memakai kemeja berwarna putih itu menatap istrinya, berharap Naima mau mengerti, tapi rasanya tidak mungkin.

"Ya sudah, besok mas bicarakan sama Arin." Arga pasrah, lalu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi, lalu membersihkan diri.

Ketika hendak menyalakan shower, tiba-tiba Arga kembali menemukan gumpalan rambut. Jumlahnya memang tidak sebanyak seperti sebelumnya, tetapi hal tersebut tetap saja membuat Arga merasa penasaran dan curiga. Setelah itu Arga memutuskan untuk segera membersihkan diri, ia harus menanyakan langsung kepada Naima.

Usai mandi Arga bergegas keluar, terlihat jika pakaian ganti sudah berada di atas ranjang. Namun Naima tidak ada, mungkinkan ada di lantai bawah. Gegas Arga memakai pakaiannya, setelah itu ia beranjak turun ke bawah untuk mencari istrinya. Setibanya di bawah Arga tidak menemukan Naima, entah ke mana istrinya itu.

"Naima, kamu di mana." Arga memanggil nama istrinya, tetapi tidak ada sahutan. Ia melangkah menuju meja makan, di sana sudah tersedia makan malam. Karena tidak juga ditemukan, Arga mencarinya ke dapur, namun hasilnya sama.

"Naima ke mana sih, kok enggak ada." Arga kembali ke ruang makan. Setelah itu ia memutuskan untuk naik ke lantai atas lagi. Tiba-tiba Arga teringat untuk mengeceknya di kamar putrinya.

Ceklek, pintu terbuka, pandangan mata Arga langsung tertuju pada ranjang. Di mana Naima sudah berbaring di sebelah putrinya, melihat itu Arga melangkah mendekati ranjang. Tidak biasanya Naima tidur di kamar Alifah, apa mungkin marah gara-gara permintaan Arin yang ingin pernikahannya dipercepat.

"Tumben kamu tidur di sini, enggak bilang lagi. Apa kamu marah sama, mas." Arga menjatuhkan bobotnya di sebelah istrinya, ia tahu jika Naima belum tidur.

"Enggak kok, mas. Cuma lagi pengen aja tidur sama Alifah," jawab Naima yang masih membelakangi suaminya.

"Kalau kamu tidur sama Alifah, mas sendirian dong. Padahal malam ini dingin," ucap Arga. Berharap istrinya mau berubah pikiran dan kembali ke kamar mereka.

Tidak ada jawaban, Arga melirik istrinya yang sudah memejamkan matanya. Entah itu sudah tidur beneran atau enggak, setelah itu Arga mencium kening istri dan putrinya. Ia memilih mengalah, tak lupa Arga membenarkan selimut yang menutupi tubuh kedua bidadarinya.

"Selamat malam ya, sayang. Semoga mimpi indah." Setelah itu Arga keluar dari kamar Alifah. Entah kenapa rasanya tak bersemangat ketika Naima tiba-tiba mendiamkan dirinya. Terlebih istrinya memilih untuk tidur dengan putrinya ketimbang dirinya.

***

Pagi menyapa, ketika Arga keluar dari kamar mandi, pakaian kerja sudah tersedia di atas tempat tidur. Lelaki itu tersenyum, padahal semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak lantaran Naima memilih tidur bersama dengan Alifah. Arga pikir istrinya benar-benar marah, tapi dugaannya salah.

"Naima, kamu memang istri yang paling pengertian." Arga bergegas memakai pakaiannya, setelah itu ia turun ke bawah untuk sarapan. Dari kamar sudah tercium aroma masakan Naima, hal tersebut membuat perutnya terasa sangat lapar.

Setibanya di bawah terlihat jika Naima dan Alifah sudah menunggu di meja makan. Gegas ia menghampiri mereka, rasanya tidak sabar ingin menyantap sarapan bersama dengan orang yang sangat Arga cintai. Melihat suaminya datang, dengan cekatan Naima meladeni Arga dan juga Alifah.

"Aroma masakan kamu bikin perut mas lapar," ucap Arga seraya menarik kursi untuk duduk.

"Jangan terlalu memuji, mas. Pasti masakan Arin jauh lebih enak," ucap Naima, mendengar itu Arga hanya tersenyum. Jika dibandingkan sudah pasti kalah, karena Arin hanya pandai berdandan.

Baru saja mereka hendak menyantap sarapan tersebut, tiba-tiba terdengar suara yang tak asing di telinga. Seketika Arga menoleh, terlihat Arin datang bersama dengan Rianty, ibu mertua Naima. Melihat kedatangan mereka yang secara mendadak itu, membuat Naima merasa heran.

"Mama, Arin. Tumben datang ke sini, ada apa." Arga bangkit mencium punggung tangan ibunya, lalu disusul oleh Naima dan juga Alifah.

"Tidak apa-apa, cuma kebetulan saja. Tadi mama niat ke sini, nggak tahunya Arin juga," ujar Rianty.

"Ya sudah kalau begitu kita sarapan bersama saja. Biar aku ambilkan piringnya dulu." Naima hendak melangkah untuk mengambil piring, tetapi niatnya terhenti ketika Arin bersuara.

"Tidak usah repot-repot, aku udah sarapan kok. Kedatangan aku ke sini untuk menanyakan tentang pernikahanku dengan mas Arga. Em, mas Arga udah ngomong kan sama kamu." Ucapan yang Arin lontarkan mampu membuat Naima terdiam. Rupanya calon istri suaminya datang hanya karena masalah itu, pernikahan yang dipercepat.

"Rin, kita bisa bahas masalah itu nanti. Kamu jangan .... "

"Arga sudahlah, biarkan masalah ini Arin yang tangani. Kalau nunggu kamu kelamaan, lagian mama setuju kok kamu dan Arin cepat menikah." Rianty memotong ucapan putranya, seketika Arga diam, lalu pandangannya beralih pada sang istri.

"Kamu tidak perlu khawatir, mas Arga udah ngomong kok. Aku setuju jika pernikahan kalian dipercepat, tapi dengan syarat. Setelah menikah nanti, kalian dilarang untuk tinggal satu atap dan menunda malam pertama, sampai aku dan mas Arga resmi bercerai," ungkap Naima. Seketika mata Arin melotot, begitu juga dengan Rianty.

"Kamu jangan curang ya," geram Arin seraya menatap tajam ke arah Naima.

"Bukankah kamu yang curang, lupa dengan perjanjian yang sudah disepakati. Tapi terserah kamu sih, setuju atau enggak dengan syarat itu," ucap Naima. Seketika Arin terdiam, wanita itu berusaha untuk berpikir.

"Ok aku setuju, tapi aku juga punya syarat. Saat nanti aku dan mas Arga menikah, kamu harus menjadi pelayan. Kamu tidak boleh mendampingi mas Arga seperti wanita lainnya ketika suaminya menikah lagi. Bagaimana? Apa kamu bersedia untuk menjadi pelayan di pernikahan kami," ungkap Arin. Mendengar itu justru Arga yang merasa geram, Arin benar-benar sudah keterlaluan.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
makanya Saya bilang keluarga DAJJAL
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
jangan mau Naima enak saja perempuan GATEL ngatur ngatur hidup orang
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Iya naima emank istri yg pengertian sementara arga suami brengsek ndak bs bersyukur
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status