Aku tidak percaya. Rambut itu ... mirip sekali dengan milik Melisa. Tidak mungkin. Bagaimana bisa? Mas Farus tidak pernah bertemu dengannya sejak kita menikah. Lalu, atasan itu ... mirip sekali dengan kemeja yang dipakai wanita di dalam foto ponsel Mas Farus. Yah, ada sosok wanita memandang kami dengan wajah sendu, seperti menangis. Memang terlihat cukup jauh. Ketika aku membesarkan gambar itu, terlihat tidak begitu jelas. Tapi, aku masih bisa melihat kemeja itu.“Maya!” teriak Melisa. “Bagaimana rambutku? Aku baru saja memanggil penata rambut ke apartemen. Katanya sih, warna ini lagi hits sekarang. Alias, banyak yang suka.”Melisa membuatku menarik napas lega. Ah, dia baru saja mengecat rambutnya. Dan itu pasti kebetulan saja. Aku tidak bisa percaya dengan diriku yang sangat bodoh ini. Bagaimana mungkin sahabat baikku bersama suamiku? Sangat mustahil.“Maya, ayolah. Dari tadi kau diam saja. Padahal aku sudah berbicara panjang lebar. Hei, kau!” ucapnya semakin berteriak.Melisa masih
Aku menatap mereka berdua yang masih saling menatap. Entah kenapa perasaanku sangat tidak enak. Pasti ada kekeliruan di sini. Ah, aku harus membuang pikiranku. Kami tidak pernah bertemu dengan wanita asing ini. Melisa selalu bersamaku sejak dia datang ke Indonesia. Dengan cepat aku memusatkan pikiranku lagi. Aku tidak boleh terhanyut dengan pikiran kacau ini. "Melisa, kita akan bawa dia ke rumah sakit. Aku akan menghubungi Mas Farus agar membantu bertemu Febri untuk memeriksanya. Sapa tau ada yang terluka di dalam tubuhnya. Kita harus tanggung jawab, Mel," ucapku masih tidak ditanggapi oleh Melisa. Aku segera memegang tubuh wanita itu yang sedikit bergetar. Walaupun pandangannya masih terarah ke Melisa. Mungkin dia kesal Melisa tidak segera menolongnya. Lebih baik aku yang menangani ini. "Maafkan. Tadi teman aku tidak sengaja,” ucapku dengan tersenyum. Wanita itu segera berdiri, lalu membenarkan busana dan rambutnya. Sementara, Melisa masih saja diam dengan pandangan setajam pisau. E
Perlahan aku mulai menyalakan mesin mobil. Mengendarai dengan perasaan sangat kacau. Jantungku berdebar lebih hebat dari biasanya. Bahkan, air mata mendadak ingin sekali menetes. Entah kenapa, aku sudah merasakan hal buruk akan terjadi. Pernikahan ini akan hancur dengan kehadiran orang ketiga. Apalagi Ema mengatakan suamiku sudah tidak berada di rumah sakit. Ini semua tidak bisa aku biarkan.Masih dengan pandangan lurus ke depan, aku berusaha mengendarai mobil ini dengan perasaan tenang. Berkali-kali aku menarik napas panjang. Sejak tugas mendadak yang Mas Farus lakukan, hal aneh selalu menghampiriku.Mbok Sri menyambutku di depan rumah. Dia segera mendekati mobil setelah aku mematikan mesin mobil. Dengan cepat aku keluar dan menyerahkan tasku kepada Mbok.“Aku mau di ruangan kerja Mas Farus. Mbok bikinkan aku minuman jahe, ya,” ucapku sambil berjalan terburu-buru. Mbok hanya diam dan melakukan perintahku.Perasaan ini masih berdebar. Aku menarik napas panjang sebelum menekan gagang p
Pandanganku teralihkan. Mas Farus tiba-tiba datang? Padahal, ini masih mau sore. Tidak biasanya dia datang secepat ini. Spontan aku mengambil ponsel itu dan memasukkan ke kantong kemejaku. Lalu, menggembok kotak itu lagi sambil berpura-pura membersihkan debu.“Maya?” ucapnya semakin mendekatiku.Aku bergegas berdiri, lalu membalikkan tubuhku dengan tersenyum. Jantungku berdebar. Aku harus mencari cara agar Mas Farus tidak mencurigaiku. Senyuman masih saja terpampang jelas di wajahku. Dia melirik samping kanan tepat di kotak itu, dengan kedua alis mengkerut dalam. Aku harus mengalihkan perhatiannya.“Ah, Mas. Kamu kok sudah pulang? Ini, aku mencari tasku. Aduh, aku lupa meletakkan di mana.” Masih saja tersenyum, aku mendekati suamiku dan memeluknya. Dia masih saja diam. Wajahnya masih saja terlihat mencurigaiku. Aku harus menutup masalah ini sampai aku benar-benar menemukan bukti itu.“Kamu itu mencari tas kok di ruanganku. Di kolong meja juga. Maumu itu apa, sih? Biasanya tas itu kan
Nama itu, adalah ...“Sialan! Sial!” Aku tidak tahan lagi. Nama itu memang namanya. Aku sangat hafal dengan nama itu.Berkali-kali aku berteriak keras sambil memukul kemudi mobil. Kepalaku terus menggeleng keras. Tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Ini adalah sebuah tragedi buruk yang aku alami. Bagaimana bisa? Kapan mereka bertemu? Lalu, suamiku terlihat bahagia di dalam foto itu. Parahnya, semua teman dekatku termasuk Ema mengetahuinya? Drama apa ini? Tidak aku sangka mereka sangat kejam seperti itu!“Aku harus melihatnya sendiri. Ini salah!” ucapku dengan keras. Air mata mulai menetes deras. Sakit ... sangat sakit sekali. Kenapa dia tega melakukan ini? Kenapa?“Mereka sangat mesra sekali. Rambut itu sama. Warna yang aku temukan. Dan aku sangat bodoh. Walaupun aku sudah merasakan hal itu. Dia sudah mendekatiku untuk mencegah aku mengetahui semuanya. Kenapa kalian tega ...,” ucapku lemas. Air mata masih saja keluar deras. Napasku mulai sesak.“Mas, bagaimana dengan pernikahan ki
Aku menatap Ema dengan tajam. Dia memergoki aku. Dengan menarik napas panjang, Ema masih saja terdiam. Wajahnya pucat. "Kau ...," ucapnya sekali lagi dengan menarik napas. "Maya--""Katakan semuanya," balasku membuat dia menghentikan ucapan. "Kau mencari suamiku saat itu," lanjutku sambil menariknya keluar restaurant. Melepaskan cengkeramanku dengan sangat kasar di parkiran."Maya, aku tidak mau mencampuri urusan kalian. Aku tidak bisa mengatakan apa pun, dan merusak hubungan kalian. Itu sebabnya aku memilih diam.""Merusak?" tanyaku sambil mengangkat kedua tangan. Tidak aku percaya dia memberikan alasan sangat bodoh."Kau menghubungiku dan mengatakan Mas Farus tidak bekerja di sana. Kau sudah tahu semuanya, dan ini sangat membuatku terkejut. Sekarang katakan kepadaku. Kenapa kau menghubungiku?" lanjutku masih pelan. Namun, Ema masih tidak menjawab. Wajahnya semakin pucat. Berkali-kali dia mengusap wajahnya yang berkeringat."Katakan!" bentakku membuatnya terperanjat."Ok! Aku sengaja
Pedih rasanya. Hatiku seperti tertusuk. Pikiranku sangat kacau. Apa yang sudah dilakukan suamiku? Dia memiliki dua wanita lain?“Mas, apakah kau kurang puas denganku? Hingga kau melakukan ini?” batinku bertanya sambil menatap alamat yang tertera di layar ponselku. Sebuah alamat yang sangat aku hafal.“Ini alamat Ibu Mariyati. Apakah wanita tadi anaknya? Ah, kepalaku sangat pening,” gumamku sambil menjambak rambutku sendiri. Rasanya mau pecah.“Aku akan menuju alamat ini. Tapi, hari sudah memasuki tengah malam. Lebih baik aku pulang.”Aku menarik napas panjang sebelum menyalakan mesin mobil. Kali ini aku akan mengendarai mobil dengan sangat hati-hati. Aku tidak mau hal buruk menghampiriku. Diri ini harus kuat menghadapi semuanya. Seperti sebuah pohon beringin yang kokoh. Tahan dengan angin kencang yang akan membuat semua batang terlepas dari tubuh pohon itu. Aku harus bisa mempertahankan semuanya.Dengan perasaan tak menentu, aku mencoba mengendarai mobil ini dengan baik. Hingga setela
“Apa-apa’an ini? Melisa hamil?” batinku. Jemariku rasanya kaku. Hatiku bergetar saat membaca pesan itu.“Maya! Kenapa kau--!” Suara mas Farus dengan keras mengejutkanku. Spontan aku semakin terkejut saat dia merebut ponselnya. “Jangan suka memeriksa barang pribadiku. Itu tidak sopan, Maya!” bentaknya keras. Dia mematikan ponselnya, memasukkan kembali ke dalam tasnya.“Mas, aku istrimu. Biasanya kau membiarkan aku membuka ponselmu. Kenapa kau sekarang marah?” tanyaku sambil mengikutinya di balkon kamar. Dia memegang kepalanya. Terlihat sangat panik. “Mas! Apa ada yang kau sembunyikan?” Aku menarik lengannya dan membuat dia menghentikan tubuh yang sebelumnya bergerak tidak jelas.“Aku hanya banyak pikiran, Maya. Banyak sekali masalah di kantor yang tidak bisa aku jelaskan. Dan kau--,” ucapnya sambil menunjukku tegas dengan jemarinya. “Datang dengan tidak jelas. Berani kepadaku. Sebagai istri, kau seharusnya bisa bersikap baik. Atau ... kau memang memiliki laki-laki lain,” lanjutnya memb