"Mak, ada angkat baju gamisku yang dipake waktu kondangan Surti kemaren, Mak?"tanya Ria pada maknya yang terlihat sibuk menyapu dapur.
"Tak ada, kenapa?" Mak balas bertanya lagi.
"Enggak ada ni Mak, mana ya?" ujar Ria sambil membongkar tumpukkan kain yang baru saja diletakkan di keranjang setrikaan.
Kening Ria berkerut mengingat beberapa harian ini, berpikir di mana meletakkannya ataukah terlupa.
Ria berdiri, menuju kamar membuka lemari dan memeriksanya. Tiada menemukan pakaian yang dicarinya.
"Jangan-jangan hilang ndak ya, Mak, apa ada yang mencurinya ya?”
"Ingat-ingat dulu, iya dicuci ndak tadi? atau tergantung di lemari tak?"
"Cuci kok, Mak," pungkas Ria cepat.
Baju gamis itu adalah baju kesayangan gadis berambut panjang. Nyaman dipakai karena bahannya yang adem walaupun harganya tidak terlalu mahal. Warnanya polos serta lembut, sehingga sangat mudah memadukan dengan jilbab warna lain.
Hati gadis itu tak tenang, maknya pun ikut-ikutan mencari sampai membongkar susunan bajunya juga. Mungkin terselip pikirnya.
Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan, baju Ria telah hilang dicuri saat dijemur. Mereka menduga hal itu bisa jadi pemulung yang lewat atau preman remaja kampung yang iseng. Mak menyarankan agar Ria ikhlas akan barang yang telah hilang. Mungkin sudah tidak rezeki kata beliau memberikan nasihat bijaknya pada Ria.
Kondisi rumah yang padat, mereka tinggal di daerah kontrakan berleret enam petak. Jemuran semuanya berada di posisi belakang rumah. Semuanya penuh dengan penyewa. Dari sekian rumah tersebut yang sepantaran dengan Ria tidak ada. Kebanyakan penghuninya adalah pasangan yang baru menikah serta memiliki anak kecil-kecil. Ria dan Mak hanya tinggal berdua karena Ria adalah anak yatim sejak usia dua belas tahun silam.
Beberapa hari kemudian, di saat Ria sudah melupakan kejadian tersebut. Pagi sekali, saat Ria membuka pintu depan, ditemukan bungkusan plastik bening yang di dalamnya terlihat baju gamis Ria berlipat dengan rapi. Wangi parfum semerbak, ketika bungkusan itu dibuka. Di antara lipatan baju tersebut ditemukan kertas selembar dengan tulisan tangan menggunakan huruf kapital "MAAF, BAJUNYA KUPINJAM, TERIMA KASIH."
Ria dan maknya menjadi heran setengah mati. Menduga-duga siapa yang melakukan perbuatan tersebut. Apa maksudnya? Mengapa meminjam dengan cara begini? Lalu mengembalikannya?
***
"Assalamualaikum, Ria" terdengar suara yang tak asing di pintu.
"Waalaikumsalam, Bi. Masuk, Bi, dari pasar ya, Bi?"
"Iya, mana makmu?" tanyanya sembari menyerahkan sebungkus jeruk. Menghempaskan bokongnya ke kursi usang ruang tamu.
"Masih ngosok di rumah Bu Asih, Bi. Kayaknya bentar lagi pulang kok, dah lama soalnya," jawab Ria sambil berlalu ke dapur menyalin jeruk ke dalam mangkok membawanya kembali ke ruang tamu. Setelah menyediakan minuman dingin untuk Bibi. Ria duduk di sampingnya mengupas jeruk.
Bibi Tinah adalah adik satu-satunya mamak Ria. Mereka hanya dua bersaudara. Diusianya yang kepala tiga ke atas masih sendiri. Ia tinggal di rumah peninggalan nenek berkisar lima ratus meter dari rumah kontrakan Ria. Jika Ia ke pasar akan melalui rumah kakaknya, sehingga sering singgah. Kerjaannya hanya dirumah menunggu para tamu yang berobat. Ia memiliki kemampuan supra natural yang tinggi. Sehingga bisa mengatasi masalah tanpa masalah, eh itu slogan pegadaian ya. Hehehe.
Tak berselang beberapa saat Mak pulang.
"Udah lama, Nah?" sapa Mak.
"Barusan, beli keperluan untuk satu mingguan tadi. Ni uang tuk nambah belanja," Bibi Tinah menyerahkan beberapa lembar uang merah kepada Mak.
"Alhamdulillah, murah rezekimu, Nah. Makan siang sinilah. Tadi pagi dah banyak masak ni," tawar Mak.
"Mau cepat ini, nanti ada orang datang. Lanjutan ngambil obat," tolak Bi Tinah.
Mak Ria menceritakan perihal baju yang hilang dijemuran dan dikembalikan lagi dalam keadaan utuh.
"Mana bajunya, bawak sini!" pinta Bi Tinah dengan tampang wajah serius.
Bergegas Ria melangkah ke kamar, mengambil baju gamis tersebut dari lemari. Menyerahkannya pada Bi Tinah.
Bi Tinah yang menerima baju tersebut dengan hati-hati mengeluarkan dari plastik bening. Wajahnya berubah tegang. Matanya terpejam serta mulutnya komat-kamit. Ria beserta maknya yang melihat hal itu hanya diam. Menunggu Bi Tinah melakukan terawangan.
"Astagfirullah!" seru Bi Tinah keras seiring matanya terbuka. Ria dan Maknya pun menjadi terkejut.
"Jangan dipakai lagi baju ini, Ria. Bakar pada malam Jum'at Kliwon dengan bacakan ayat ruqyah, ambil pena biar biBi catatkan ayat-ayatnya," titahnya cepat.
Mak dan Ria tambah jadi penasaran dengan instruksi yang diberikan oleh Bi Tinah. Namun, tak urung langkah Ria cepat mengambil pena dan kertas.
"Memangnya kenapa sama baju ini, Nah?" tanya Mak mewakili penasaran Ria juga.
"Baju ini, dikembalikan balik dengan ada ajian 'serep jiwanya' jika di pakai oleh Ria. Makanya Ria akan berada pada kendalinya. Ini orang sepertinya ingin balas dendam padaku dengan meminjam jiwa Ria," terang Bi Tinah dengan rahang mengeras, matanya menyipit memandang lurus ke depan.
"Kemungkinan ini adalah dia marah karena aku berhasil membuat hancur teluhnya pada pasienku. Cuma aku tak tahu dari arah mana ini. Ada lapis gelap menutupi. Untungnya kakak cerita ini padaku. Kalau tidak Ria dalam bahaya," jelas Bi Tinah panjang lebar.
Ria dan Mak bergidik ngeri. Mak menyimpan kertas yang berisi catatan. Ria hanya terdiam dan sangat merasa bersyukur. Untung baju tersebut belum ada Ria pakai setelah menerimanya kemarin.
Malam Jumat Kliwon itu akhirnya datang juga. Seperti perintah Bi Tinah. Malam ini mereka akan membakar baju gamis.Dua wanita tersebut memutuskan untuk menginap di rumah Bi Tinah saja. Walaupun paham dengan perintah yang disuruhnya, tetapi muncul keraguan dan ketakutan. Ria dan Mak memang terkenal penakut dalam keluarganya.Rumah lama peninggalan nenek Ria banyak memiliki kenangan. Bentuknya berupa rumah panggung. Terbuat dari kayu yang kokoh tanpa cat. Undakkan berjumlah lima anak tangga untuk naik ke rumah. Jendela besar serta lubang angin di atas pintu. Di bawah rumah terdapat beberapa kayu bakar untuk Bi Tinah memasak. Walau kompor gas sudah ada tapi ia lebih sering menggunakan tungku api. Di kiri kanan dan depan masih terdapat beberapa pohon rambutan serta mangga sehingga membuat permukaan tanah menuju rumah agak bergelombang karena akar yang bermunculan di tanah.Malam bergulir, langit indah berhiaskan bulan yang sedang bercumbu pada bintang. Suasana yang
Tiba-tiba angin berembus kencang. Keheranan tentu itu yang dirasakan, dari mana arah angin menerpa tersebut hadir, sementara rumah tertutup, hanya lubang angin kecil di atas pintu saja. Angin tersebut memadamkankan korek api yang dipegang oleh Bi Tinah.Ketakutan menyergapi, bulu kuduk meremang. Suasana sunyi senyap. Segera Ria berinisiatif mendekati Mak, merapatkan tubuhnya. Ria merasa ada yang tak beres. Maknya menyambut dengan merangkulkan tangannya ke bahu Ria."Takut aku, Mak," lirih Ria."Sama Mak pun takut, tapi kita minta tolong pada Allah, semoga Bibimu dibantu Allah, Nak. Mudahan malam ini terlewati dengan lancar." ucapan Mak Ria mencoba menghibur dengan suara bergetar. Dapat dirasakan dia pun merasakan kekhawatiran."Bersiap, orang ini melakukan perlawanan," ucap Bi Tinah dengan wajah serius.Lampu mendadak padam. Gelap gulita dengan angin semilir terasa dingin menembus tulang. Dengan gemetar Ria mencoba merogoh ponsel di saku. Mencoba m
Tiba-tiba suasana berubah menjadi hitam pekat. Keberadaan Ria dan Bibinya tersebut bukan lagi di rumah. Hanya terlihat Bi Tinah pada pandangan mata Ria, begitu pun sebaliknya. Serasa aliran panas mengalir pada setiap pembuluh darah Ria. Gadis yatim itu tak tau siapa dirinya lagi. Artinya Ia telah dikendalikan alias kesurupan. Tubuhnya memiliki energi kuat yang menguasai. Bak banteng yang siap menyerang dan mengerang.Bi Tinah bersila mengambil posisi tenang, mulutnya bergerak-gerak cepat. Tubuhnya bersinar terang dengan cahaya yang menyilaukan. Melihat hal itu, ada gejolak perlawanan dan kekuatan besar menarik Ria untuk segera bertindak. Dengan berteriak Ria maju menyerang dengan cepat. Tubuh gadis itu yang sudah dikuasai itu berlompatan gesit menyerang dengan tenaga penuh.Bi Tinah dengan lincah hanya mencoba menghindar saja. Tanpa bisa membuat serangan balik. Dengan pertimbangan takut akan melukai fisik keponakannya. Dia terlihat kewalahan menghadapi serangan Ria. Ka
Berlahan Ria membuka mata. Pertama yang terlihat adalah langit- langit kamar berupa papan triplek berwarna coklat, sebuah bola lampu kecil mengantung di sana. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh sambil berpikir. "Ria!Ria! Syukurlah kamu sudah sadar, Nak!" Terdengar suara maknya, membuat Ria mengalihkan pandangan cepat. Mak tersenyum mengapai tangan Ria. Raut wajah bahagia semringah terpancar dari wanita yang melahirkannya tersebut. "Aduh!" keluh Ria sembari meringis. "Kenapa, Nak. Apa ada yang sakit?" tanya Mak khawatir. "Badanku sakit-sakit semua, tenggorokan kering," Ria mencoba mengangkat tangan menuju lehernya. "Memang seperti itu jika setelah kesurupan, itu untung pingsanmu tak kelamaan." Tiba-tiba Bi Tinah muncul di ambang pintu kamar menyahut. Melangkah ke arah mereka, menyerahkan segelas air putih. Secara cepat disambut Mak dan ikut menolong Ria untuk duduk bersandar. Mak menopang dan tangan sebelahnya menuntun cangkir k
Cahaya mentari pagi masuk melalui kisi-kisi jendela, Ria menggerjab sesaat. Mengeliatkan badan, lalu duduk di atas ranjang yang hanya muat untuk sendiri. Alhamdulillah tubuhnya sudah tidak begitu merasakan linu lagi. Hanya kepala terasa sedikit berat. Memperhatikan sekeliling, Bi Laila masih lelap tertidur dengan baju tidurnya berlengan panjang dan celana panjang terbuat dari kain lembut serta berenda. Mak dan Bi Tinah tidak terlihat, mungkin sudah bangun. Hanya meninggalkan jejak selimut yang sudah berlipat di samping Bi Laila.Ria beranjak berdiri menuju dua jendela kayu besar yang berada beberapa langkah darinya. Udara segar begitu terasa ketika jendela itu terdorong oleh Ria.“Hmm … sudah bangun, jam berapa ini?”“Pukul 08.00, Bi. Bi Laila dari kota mana ? Apa sudah berkeluarga atau belum seperti Bi Tinah?” serbu Ria dengan pertanyaan.“Ini anak, pagi-pagi kita di recoki ama pertanyaan bukan
Terdenggar suara deru mobil berhenti di halaman rumah. Mereka berdua pun bergegas ke depan. Sebelumnya memakai jilbab sarung mereka. Sebuah mobil hitam L300 datang, bak di belakangnya telah tersusun barang-barang. Ada lemari, kasur, kursi tamu lapuk, alat-alat dapur. Supir dan keneknya membantu menurunkan barang berat. Mereka akan menatanya nanti, kamar belakang yang biasanya kosong telah dibersihkan sehingga tinggal meletakkan serta menyusunnya.Ria yang tak melihat Mak dan Bi Tinah yang tadinya memakai sepeda motor tak kunjung menyusul tiba. Ria mencoba menelepon Mak.“Assalamualaikum, Mak. Mak di mana?” tanya Ria cepat ketika ponselnya diangkat.“Waalaikumsalam, Mak sama Bibimu mau berpamitan dengan tetangga, serta nanti sekalian ke pasar, ada yang mau dibeli. Di susun itu barang-barang. Uang mobil udah di bayar itu. Cobalah mandiri lagi udah mau kuliah lagi pun, sedikit-sedikit Mak,” sahut Mak panjang lebar.“Iya, y
Sesampainya mereka di rumah sakit, disambutlah dengan kesibukan tim dokter dan juru rawat yang luar biasa. Hasil CT-Scan menyatakan Mak mengalami memar otak, karena benturan keras di kepalanya. Ruang ICU lah akhirnya Mak di tempatkan.Ria mengamati wajah Mak yang kian pucat. Mengingatkan percakapan telepon yang mereka lakukan tadi. Apakah bertanda? Ah, segera Ria tepis. Menggelengkan kepala, menjauhkan pikiran andai itu adalah pesan terakhir. Ya Allah, Ria takut hal itu terjadi. Air matanya kembali tumpah.Bi Laila datang dengan tergesa-gesa, setelah menggunakan lapisan baju khusus masuk ruangan ini. Sebelum jam besuk habis. Karena ruangan ICU menetapkan jadwal untuk membesuk. Pelukkan hangat langsung diberikan Bi Laila pada Ria. Berusaha mentransfer kekuatan agar Ria tabah.Ria melonggarkan pelukkan, menarik hidung yang meler, seraya bertanya,"Bi, gimana adm-nya nanti ni, Bi?" Membayangkan Ia tak punya sesenpun tabungan."Sudah, jangan kau pikirk
Langit tampak berselimutkan mendung, ketika pemakaman Mak yang dilangsungkan esok harinya.Tetes demi tetes air hujan mulai turun seakan bersaing dengan mata Ria yang juga semakin lebat menjatuhkan air mata. Ah, rasanya ini seperti mimpi baginya, terhempas seakan tidak menerima kenyataan. Akhirnya Ria resmi yatim piatu. Bibinya--dari pihak Mak pun tak tahu rimbanya. Seperti tertelan bumi.Bi Laila, setia berada disisi Ria. Tetangga dan keluarga dari pihak bapak yang datang dari provinsi berangsur bubar sejak gerimis tadi.Tanah gundukan baru itu basah, menguarkan aroma tanah kuning. Ria ingin rasanya terus memeluk nisan kayu baru itu. Walau sebenarnya satu pelukan nyata lebih berarti dibanding seribu pelukan ke batu nisan yang hanya bisa dilakukannya saat ini. Bi Laila seakan dengan tenaga penuh mendirikan tubuh Ria yang bersimpuh. Berusaha untuk memapahnya untuk beranjak pulang ke rumah. Dingin merasuk, kuyup tak mereka pedulikan. Langkah Ria lemah, karena tak