Sesampainya mereka di rumah sakit, disambutlah dengan kesibukan tim dokter dan juru rawat yang luar biasa. Hasil CT-Scan menyatakan Mak mengalami memar otak, karena benturan keras di kepalanya. Ruang ICU lah akhirnya Mak di tempatkan.
Ria mengamati wajah Mak yang kian pucat. Mengingatkan percakapan telepon yang mereka lakukan tadi. Apakah bertanda? Ah, segera Ria tepis. Menggelengkan kepala, menjauhkan pikiran andai itu adalah pesan terakhir. Ya Allah, Ria takut hal itu terjadi. Air matanya kembali tumpah.
Bi Laila datang dengan tergesa-gesa, setelah menggunakan lapisan baju khusus masuk ruangan ini. Sebelum jam besuk habis. Karena ruangan ICU menetapkan jadwal untuk membesuk. Pelukkan hangat langsung diberikan Bi Laila pada Ria. Berusaha mentransfer kekuatan agar Ria tabah.
Ria melonggarkan pelukkan, menarik hidung yang meler, seraya bertanya,
"Bi, gimana adm-nya nanti ni, Bi?" Membayangkan Ia tak punya sesenpun tabungan.
"Sudah, jangan kau pikirkan! Itu udah Bibi urus." Bi Laila mengengam tangannya.
"Makasih, Bi," lirih Ria. "O, ya, gimana Bi Tinah, Bi?” Antusias Ria bertanya, karena baru teringat dengan beliau, setelah tadi larut dengan kesedihannya.
"Belum ada petunjuk, cuma tadi supir truk sampah itu juga bilang, ada dua perempuan yang tertabrak. Kata supir dia pun bingung seperti ada yang mengarahkan tangannya, tak sadar berbelok sengaja mencelakai," jelas Bi Laila sambil menghela napas panjang.
Seketika hening, mereka diam, hanyut dengan pikiran masing-masing. Kenapa ini menjadi sebuah misteri yang menurut Ria aneh? Ria bahkan seperti tersentak dengan rentetan kejadian setelah gamis dicuri dijemuran. Hidup Ria seperti meloncat dari rutinitas biasa menjadi hal-hal yang diluar nalar.
Tiba-tiba jantung Ria terasa berhenti. Dilihatnya di layar monitor, detak jantung Mak sekarang hanya tinggal garis lurus datar, sama sekali tidak terlihat adanya getaran.
"Bi!" pekik Ria tertahan.
Ruangan segera dipenuhi dokter dan perawat, yang mencoba memberikan bantuan pernapasan. Ria merasakan genggaman Bi Laila pada tangannya semakin keras. Isak tangis tak bisa ditahan lebih lama.
Suara hati Ria terus berucap meminta maaf pada Mak. Maafkan, selama ini belum bisa memberikan kebahagiaan pada Mak. Terkadang justru sering membuat Mak kesal dengan sifat manja.
Ya Allah, ampuni aku! Ampuni Hambamu yang belum menjadi anak yang berbakti. Sesal, hati Ria membatin terasa ada yang menyesakkan dadanya.
Tiba-tiba saja, hampir tak dapat dipercaya, dilihatnya kedua kelopak mata Mak bergerak-gerak perlahan.
Kesibukkan yang ada spontan terhenti. Grafik di monitor berangsur normal. Semua menarik napas lega.
"Mak ...." Isak Ria bercampur haru.
Kembali Ria dan Bi Laila menghampiri tempat tidur Mak.
"Maafkan Ria, Mak ... Mak sayang, sehat kembali ya, Mak," bisik Ria di telinganya, di sela isak yang belum berhenti.
Ria menyaksikan bola mata Mak memandangnya sayu. Bibirnya tampak bergerak-gerak, sulit sekali kelihatannya. Pandangannya beralih ke Bi Laila.
"La ... Laila ... ti ... tip ... R ... Ria ...."
Bi Laila yang juga berurai tangis mendekatkan wajahnya ke Mak, mengucapkan tahlil seperti menuntun Mak. Mak dengan tersendat-sendat pun berusaha menyelesaikan ucapannya.
Ria yang melihatnya tak mengerti. Baru kemudian menyadari kedua kelopak mata itu sudah kembali terkatup rapat. Tidak terlihat lagi dada Mak bernapas naik turun. Gambar garis di monitor kembali datar.
"Bi Laila, Mak ....?"
Suara Ria parau. Bi Laila tidak menjawab. Hanya anggukannya yang lakukannya. Ria memeluk tubuh kaku Mak dengan tangisan histeris. Bi Laila mencoba menarik gadis itu merengkuh ke peluk kannya.
"Sabar, Ria! Kamu seperti ini malah tidak baik bagi si mayit, Ria! Tahan dirimu. Istigfar, Nak. Ingat! Bawa ngucap, Nak." Bi Laila menepuk-nepuk pundak Ria berlahan.
Tubuh Ria terasa luruh merosot, andai tak ditahan Bi Laila mungkin ia sudah tumbang. Ia tak tahu lagi kelanjutannya. Pingsan menerima kenyataan yang mengejutkan.
Setelah bertanya pada bagian informasi. Ria menuju lantai atas rumah sakit ruangan VVIP menggunakan lift. Melangkah dengan keraguan serta bagaimana ia nantinya harus bersikap terhadap pamannya.Setelah menemukan ruangan Paman Tiok. Pamannya tersebut hanya minta berbicara berdua saja. Bi Tinah dan Bi Laila beriringan ke luar ruangan. Sedangkan Bi Wulan dan Clara seperti tak rela jika tidak ikut mendengar apa yang akan mereka bicarakan. Mereka sangat penasaran. Sayangnya Paman Tiok tetap menyuruh mereka keluar.“Ria,” lemah suara paman Tiok. “Sebenarnya kamu berpihak pada siapa? Paman ini adalah adik satu-satunya dari Bapakmu dan kau tega bekerja pada musuh pamanmu.”“Hm, itu-“ Ria mencoba berpikir mencari kata-kata yang pas untuk berbicara.“Apa?”“Itu, paman. Aku tak tahu jika kalian bermusuhan. Setahuku di pesta hotel itu bukankah kalian merger ya?” tanya Ria dengan memasang wajah polosny
Om Tiok segera dilarikan ke rumah sakit. Bi Tinah dan Bi Laila yang saat kejadian masih menginap di rumah mereka ikut serta mengantar ke rumah sakit. Sedangkan Ria sore itu belum berada di rumah. Gadis itu masih berada di kampus, masuk kuliah dijadwal siang. Diagnosis dokter Om Tiok mengalami gangguan pada jantungnya dan oleh dokter harus diopname beberapa hari sampai pulih. Serta tetap melakukan rawat jalan nantinya. Clara dan Bi Wulan begitu panik dan cemas. Mereka berharap kejadian ini tak pernah terjadi. Kondisi perusahaan yang hampir terpuruk dan ditambah lagi kondisi kesehatan yang buruk. Bi Tinah dan Bi Laila bersikap memberi dukungan serta mendoakan agar Om Tiok segera sehat seperti sedia kala. Mata Om Tiok yang semula terpejam mulai terbuka secara perlahan. “Papa!” Clara mendekati brankar. Mata kedua gadis itu berkaca-kaca. Bi Wulan pun melakukan hal yang sama. Mama Clara tersebut mengengam tangan suaminya. “Ria
Afran mengangkat wajah dan kesempatan itu digunakan oleh asisten Om Tiok melepaskan tembakan ke arah Afran. Beruntung saja, tangan Ria lebih cepat menyerang dengan menyentak pergelangan tangan itu, sepersekian detik sebelum menarik pelatuk dengan telunjuknya. Amunisi yang keluar dari ujung laras pistolnya meleset, dan hanya memecahkan vas bunga di sudut ruangan.Tanpa menyia-nyiakan waktu Ria kembali menyerang. Kali ini gadis itu mencengkram lengan asisten Om Tiok. Bagas juga sibuk membawa Om Tiok menepi ke sudut ruangan dan mengunci pergerakan lelaki itu.“Bersihkan semuanya,” perintah Bagas kepada pasukan timnya yang di luar.Secepat kilat pria berambut belah tengah itu berlari ke arah asisten om Tiok yang berusaha meraih pistolnya yang tergeletak di lantai. Bagas menarik pelatuk pistol G2nya. Suara letusan senjata api menggaung di udara bersamaan dengan suara erangan dari pria yang terkapar di lantai. Pria itu mengerang kesakitan. Tangan kir
“Melihat rincian hari rapat hari ini yang tidak begitu bagus, sebaiknya Bapak bersiap akan kemungkinan terburuk.” Asisten Om Tiok mengingatkan bosnya itu dengan hati-hati. Om Tiok yang berwajah kelam melakukan tarikan napas dalam. “Atur pertemuan tertutup dengan Afrandio, pria itu harus menerima pelajaran akan ulahnya ini.” Om Tiok memerintahkan pada bawahannya tersebut. Ria menerima perintah untuk ikut serta. Sebenarnya Bi Tinah tidak setuju karena niatnya akan mengajukan pembatalan kontrak. Namun, urung karena kemarin belum berhasil menemui Afran secara langsung. Bertolak belakang dengan Bi Laila yang masih memberi kesempatan untuk Ria menambah pengalaman bertualang memicu adrenalin katanya. Afran bersama Ria serta Bagas memenuhi undangan Om Tiok untuk datang pada sebuah tempat pertemuan berupa resort di pinggiran kota. Penjagaan begitu terlihat jelas, beberapa pria pasukan keamanan Om Tiok siaga. Terletak di sebuah lahan yang luas. Bangunan i
Afran melemparkan Koran yang diserahkan oleh Bagas itu dengan kesal. Pemberitaan yang membuat emosinya naik. Berita heboh terbaca pada deadline surat kabar maupun pemberitaan media elektronik. Terlihat sebuah foto yang terlihat vulgar. Foto Afran dan Clara bersisian sedang berjalan dan satu lagi foto ketika Afran membuat napas buatan. Judul besar : Akankah Pewaris MT Company Grup dan Afrandio Company Grup akan bersatu. “Segera hapus cepat pemberitaan-pemberitaan itu dengan cepat. Tim bekerja harus cepat, cek ip asal berita, lakukan tekanan. Naikkan berita tentang skandal Pak Tiok. Agar sahamnya segera turun,” perintah Afran dengan cepat. “Siap!” Bagas segera menepi serta terlihat sibuk memberi intruksi melalui earphone ht berkomunikasi dengan markas. Sedang Afran menyandarkan punggung serta mengoyang kursi singgasananya dengan pelan. Ia tak menduga juga akan rencana Clara. Untungnya dia telah dulu mempersiapkan hal lain dengan matang. P
Mata beriris hazel itu mengerjap. Afran mendesah panjang. Liburan terpaksa ini begitu menyiksa baginya. Clara yang berada di kamar sebelah begitu merepotkan. Malam tadi ia baru saja membawa gadis itu ke club. Ternyata ia baru tahu untuk urusan minum, gadis itu jago mabuk. Berbeda dengannya yang masih bisa terkontrol. Ia sadar tal boleh lepas kendali akibat minuman keras. Ia melirik jam digital di atas nakas, angka telah menunjukan ke 11 : 45, mendekati tengah hari. Pantas saja perutnya mulai bernyanyi minta diisi. Malam tadi ia kembali ke kamar hampir dini hari, setelah mengantar Clara ke kamarnya. Anehnya lagi Afran mimpi yang tak pernah diduga untuk pelepasan hormon testosterone bersama Ria. Mimpi itu begitu terasa menjiwai. Membuat ia merasa jengah sendiri. Mengapa celana mesti basah karena mimpi dewasa dengan gadis kampung pikirnya. Ia pun beranjak ke kamar mandi. Menguyur tubuhnya agar terasa segar. Bahkan ia berlama-lama meletakkan kepala pada guyuran shower un