Share

3. Umpan!

“Soal itu Mas tidak tahu, Dek.  Mungkin gebetannya, atau sepupunya atau saudaranya bisa jadi,” timpal Nendra yang mencoba untuk terlihat santai.  Adhisty mengangguk mendengarkan perkataan Nendra. Kini, suasana hati Adhisy terasa lebih tenang dari sebelumnya. Adhisty bahkan mengungkit perkataan siang tadi yang belum selesai.

“Mas, Adek mau lanjutin bahas obrolan tadi siang.” Tuturnya. Nendra hanya terlihat pasrah ketika Adhisty membahas masalah yang sama. Tetapi kali ini Nendra mau mendengarkan istrinya.

“Setelah Adek pikir, mungkin kita harus bercerai, Mas.” Suasana seketika hening, lalu beberapa saat kemudian Nendra bersuara, “Kenapa harus bercerai? Mas tidak mau bercerai dengan kamu, Dek. Mas sungguh menyayangi kamu, Mas tidak peduli kita memiliki anak atau tidak.” Tegasnya.

“Tapi kan Kak Mega dan keluarga Mas yang lainnya selalu merundungku, Mas. Aku tidak tahan dengan perlakuan mereka. Ditambah lagi tadi Kak Mega datang malah menyuruh Mas menceraikan aku,” Adhisty perlahan terisak. Tangisnya membasahi pipinya yang halus.

“Jadi kamu tidak nyaman sama mereka? kamu membenci mereka?” tanya nendra.

“Tidak, Mas. Bukan begitu maksudku,” Adhisty merasa ucapannya telah salah kali ini dan menimbulkan kesalahan pahaman antara dirinya dan Nendra. Nendra tidak mau lagi mendengar omongan Adhisty dan berdiri hendak menuju kamar.

Tiba-tiba tangan kanan Nendra diraih oleh Adhisty dan menghentikan langkahnya. “Kalau Mas tidak mau menceraikan Adek, mungkin lebih baik Mas menikah lagi dengan wanita yang bisa memberikan Mas keturunan. Aku rela dimadu, asalkan wanita itu harus bersedia tinggal di sini.” Titah Adhisty kepada suaminya. Nendra tidak merespon dan berlalu menuju kamarnya.

            Usai membicarakan masalah rumah tangga mereka malam tadi, Adhisty dan Nendra pagi ini tidak terlalu bertutur sapa meskipun duduk bersama di satu meja. Mereka menghabiskan sarapannya tanpa bertegur sapa satu sama lain, hingga akhirnya Adhisty mengalah dan mengajak Nendra bicara terlebih dahulu. “Mas, hari ini Adek mau pergi ke Dandelion cafe ya. Adek mau ketemu sama teman, mau bicarain antologi cerpen buat diterbitin di penerbitannya dia,” izin Adhisty kepada Nendra yang hanya dianggukinya saja.

            Usai sarapan, Nendra berdiri dari kursinya dan segera berangkat ke kantor. Hari ini tampak berbeda dari hari sebelumnya. Semenjak Adhisty membicarakan soal pernikahan ke-duanya, Nendra menjadi lebih cuek dan dingin kepada Adhisty. Adhisty berpikir bahwa Nendra sedang marah kepadanya. Tetapi, Adhisty sudah tidak ada pilihan lain lagi selain membiarkan suaminya menikah lagi.

            Setelah membereskan dapur, Adhisty pergi ke kamarnya untuk membersihkan badan dan segera pergi menuju cafe, dia memilah baju seadanya di lemarinya dan bergegas menuju Dandelion cafe karena sudah ditunggu oleh temannya.

Tidak membutuhkan waktu lama, sepuluh menit setelah meninggalkan rumah, Adhisty sudah sampai di cafe itu dan segera turun dari mobilnya, ketika turun dari mobilnya, seorang perempuan manis tidak sengaja menabrak Adhisty dan membuat barang yang dipegangnya menjadi jatuh berceceran. Dengan sangat sopan, gadis itu membantu Adhisty merapikan barang-barangnya. Pertama kali menatap gadis itu, Adhisty langsung terpana oleh kecantikan dan keluguannya, Adhisty hampir tidak berkedip dalam waktu yang cukup lama.

            “Halo, Mbak. Apa ada yang sakit? Maafkan saya, saya tidak sengaja menabrak Mbak karena tidak memperhatikan sekitar,”  ucap gadis manis berambut hitam lurus itu.

“Oh iya tidak apa-apa, Dik. Kalau boleh tahu nama Adik siapa?” tanya Adhisty dengan rasa penasarannya. “Saya Dhafina, Mbak.” jawabnya singkat.

Terlanjur terpesona oleh kecantikan dan kepolosan gadis itu, Adhisty memberanikan diri untuk meminta nomor telponnya. “Boleh saya minta nomor teleponmu, Dik?” Adhisty bertanya dengan sangat gugup dan hati-hati karena takut ditolak oleh Dhafina.

“Maaf untuk apa ya, Mbak? Kita kan baru kenal. Saya tidak memberikan nomor ke orang yang baru saya kenal.” Jawabnya.

“Em, anu, teman saya punya perusahaan kosmetik, dia sedang mencari model untuk memasarkan prodaknya. Saya lihat Adik cocok untuk pekerjaan ini, jika Adik keberatan saya tidak akan memaksa,” seru Adhisty.

Tetapi, ajakan Adhisty rupanya mendapat respon baik dari Dhafina, ia dengan sukarela memberikan nomor telponnya kepada Adhisty. “Terima kasih, Dik. Oh ya, nama saya Adhisty. Salam kenal, ya. Saya sudah kirim pesan, tolong disimpan nomor saya di aplikasi hijau milikmu ya, Dik Dhafina.” Mereka berdua pun berpisah dari tempat itu, dan Adhisty melanjutkan langkahnya menuju Dandelion Cafe karena sudah ditunggu oleh Iren, temannya yang merupakan CEO dari Iren Publishing.

            Setelah pertemuan dan urusannya dengan Iren selesai, Adhisty lalu kembali ke rumahnya. Di sepanjang jalan, dia memikirkan Dhafina yang baru saja ditemuinya, ia bergumam dalam hati, “Apakah ini jawaban dari do’aku selama ini, Tuhan?”.

            Setelah berkendara selama sepuluh menit dari kedai kopi itu, Adhisty kini sudah tiba di rumahnya. Pikirannya terus saja memikirkan Dhafina yang ditemuinya tempo lalu. Adhisty lalu merebahkan tubuhnya di sofa dan mulai membuka aplikasi hijau untuk membuka profil Dhafina. Seperti mendapatkan restu dari semesta, Dhafina terlihat sedang memasang sebuah status kata-kata bijak dan kutipan-kutipan tentang kehidupan. Adhisty semakin terpesona kepada Dhafina, Adhisty lalu mengunjungi laman media sosial Dhafina yang lainnya karena di aplikasi hijau itu tercantum alamat media sosial Dhafina. Adhisty mengunjungi laman media sosial Dhafina hingga lupa waktu sampai-sampai dia tidak sadar bahwa Nendra sudah berada di sampingnya.

            “Lagi apa sih, Dek? Mas datang kok sampai gak kedengeran?” protes Nendra.

Adhisty terkejut dan segera bangkit dari tidurnya. “Maaf, Mas. Adek keasikan lihat media sosial Dhafina,” tutur Adhisty.

“Dhafina? siapa? Mas kok baru dengar nama itu?” tanya Nendra.

“Adek juga baru kenalan sama dia, Mas. Tadi pas Adek mau ke cafe, dia ga sengaja nyenggol Adek, eh malah kita kenalan deh. Orangnya baik loh, Mas. Manis lagi. Adek lihat di media sosialnya juga sepertinya orang baik, Mas.” Adhisty berbicara panjang lebar membuat Nendra mengantuk.

“Ihh Mas kok nggak dengerin Adek,  sih?” rengek Adhisty kepada suaminya.

“Mas nggak tertarik Dek denger cerita kamu. Bagi Mas, kamulah yang tercantik di alam semesta ini, Dek,” gombalnya.  

“Kayanya Adek bakal setuju sih kalau Mas menikahi Dhafina.”

Bak disambar petir, Nendra terkejut mendengar perkataan istrinya. “Mas capek, Dek. Mas tidak mau membahas ini lagi, ya. Cukup kamu saja di hidup Mas, oke? Lagian kamu harus hati-hati Dek, siapa tahu dia cuma baik di media sosial saja. Jangan sampai tertipu ya.” Nendra bergegas menuju kamarnya, tak lupa memberikan ciuman manis di dahi istrinya sebelum kakinya melangkah.

            Di dalam kamarnya, Nendra merebahkan tubuhnya akibat lelah bekerja, Nendra masih memikirkan perkataan istrinya yang membuatnya terkejut. Ia kemudian mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat melalui aplikasi hijau kepada seseorang. [Bagus, Sayang. Rencana kita hari ini berhasil. Kamu sudah berhasil membuat Adhisty jatuh hati kepadamu. Aku sampai terkejut ketika dia menyinggungku untuk menikahimu.]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status