“Soal itu Mas tidak tahu, Dek. Mungkin gebetannya, atau sepupunya atau saudaranya bisa jadi,” timpal Nendra yang mencoba untuk terlihat santai. Adhisty mengangguk mendengarkan perkataan Nendra. Kini, suasana hati Adhisy terasa lebih tenang dari sebelumnya. Adhisty bahkan mengungkit perkataan siang tadi yang belum selesai.
“Mas, Adek mau lanjutin bahas obrolan tadi siang.” Tuturnya. Nendra hanya terlihat pasrah ketika Adhisty membahas masalah yang sama. Tetapi kali ini Nendra mau mendengarkan istrinya.
“Setelah Adek pikir, mungkin kita harus bercerai, Mas.” Suasana seketika hening, lalu beberapa saat kemudian Nendra bersuara, “Kenapa harus bercerai? Mas tidak mau bercerai dengan kamu, Dek. Mas sungguh menyayangi kamu, Mas tidak peduli kita memiliki anak atau tidak.” Tegasnya.
“Tapi kan Kak Mega dan keluarga Mas yang lainnya selalu merundungku, Mas. Aku tidak tahan dengan perlakuan mereka. Ditambah lagi tadi Kak Mega datang malah menyuruh Mas menceraikan aku,” Adhisty perlahan terisak. Tangisnya membasahi pipinya yang halus.
“Jadi kamu tidak nyaman sama mereka? kamu membenci mereka?” tanya nendra.
“Tidak, Mas. Bukan begitu maksudku,” Adhisty merasa ucapannya telah salah kali ini dan menimbulkan kesalahan pahaman antara dirinya dan Nendra. Nendra tidak mau lagi mendengar omongan Adhisty dan berdiri hendak menuju kamar.
Tiba-tiba tangan kanan Nendra diraih oleh Adhisty dan menghentikan langkahnya. “Kalau Mas tidak mau menceraikan Adek, mungkin lebih baik Mas menikah lagi dengan wanita yang bisa memberikan Mas keturunan. Aku rela dimadu, asalkan wanita itu harus bersedia tinggal di sini.” Titah Adhisty kepada suaminya. Nendra tidak merespon dan berlalu menuju kamarnya.
Usai membicarakan masalah rumah tangga mereka malam tadi, Adhisty dan Nendra pagi ini tidak terlalu bertutur sapa meskipun duduk bersama di satu meja. Mereka menghabiskan sarapannya tanpa bertegur sapa satu sama lain, hingga akhirnya Adhisty mengalah dan mengajak Nendra bicara terlebih dahulu. “Mas, hari ini Adek mau pergi ke Dandelion cafe ya. Adek mau ketemu sama teman, mau bicarain antologi cerpen buat diterbitin di penerbitannya dia,” izin Adhisty kepada Nendra yang hanya dianggukinya saja.
Usai sarapan, Nendra berdiri dari kursinya dan segera berangkat ke kantor. Hari ini tampak berbeda dari hari sebelumnya. Semenjak Adhisty membicarakan soal pernikahan ke-duanya, Nendra menjadi lebih cuek dan dingin kepada Adhisty. Adhisty berpikir bahwa Nendra sedang marah kepadanya. Tetapi, Adhisty sudah tidak ada pilihan lain lagi selain membiarkan suaminya menikah lagi.
Setelah membereskan dapur, Adhisty pergi ke kamarnya untuk membersihkan badan dan segera pergi menuju cafe, dia memilah baju seadanya di lemarinya dan bergegas menuju Dandelion cafe karena sudah ditunggu oleh temannya.
Tidak membutuhkan waktu lama, sepuluh menit setelah meninggalkan rumah, Adhisty sudah sampai di cafe itu dan segera turun dari mobilnya, ketika turun dari mobilnya, seorang perempuan manis tidak sengaja menabrak Adhisty dan membuat barang yang dipegangnya menjadi jatuh berceceran. Dengan sangat sopan, gadis itu membantu Adhisty merapikan barang-barangnya. Pertama kali menatap gadis itu, Adhisty langsung terpana oleh kecantikan dan keluguannya, Adhisty hampir tidak berkedip dalam waktu yang cukup lama.
“Halo, Mbak. Apa ada yang sakit? Maafkan saya, saya tidak sengaja menabrak Mbak karena tidak memperhatikan sekitar,” ucap gadis manis berambut hitam lurus itu.
“Oh iya tidak apa-apa, Dik. Kalau boleh tahu nama Adik siapa?” tanya Adhisty dengan rasa penasarannya. “Saya Dhafina, Mbak.” jawabnya singkat.
Terlanjur terpesona oleh kecantikan dan kepolosan gadis itu, Adhisty memberanikan diri untuk meminta nomor telponnya. “Boleh saya minta nomor teleponmu, Dik?” Adhisty bertanya dengan sangat gugup dan hati-hati karena takut ditolak oleh Dhafina.
“Maaf untuk apa ya, Mbak? Kita kan baru kenal. Saya tidak memberikan nomor ke orang yang baru saya kenal.” Jawabnya.
“Em, anu, teman saya punya perusahaan kosmetik, dia sedang mencari model untuk memasarkan prodaknya. Saya lihat Adik cocok untuk pekerjaan ini, jika Adik keberatan saya tidak akan memaksa,” seru Adhisty.
Tetapi, ajakan Adhisty rupanya mendapat respon baik dari Dhafina, ia dengan sukarela memberikan nomor telponnya kepada Adhisty. “Terima kasih, Dik. Oh ya, nama saya Adhisty. Salam kenal, ya. Saya sudah kirim pesan, tolong disimpan nomor saya di aplikasi hijau milikmu ya, Dik Dhafina.” Mereka berdua pun berpisah dari tempat itu, dan Adhisty melanjutkan langkahnya menuju Dandelion Cafe karena sudah ditunggu oleh Iren, temannya yang merupakan CEO dari Iren Publishing.
Setelah pertemuan dan urusannya dengan Iren selesai, Adhisty lalu kembali ke rumahnya. Di sepanjang jalan, dia memikirkan Dhafina yang baru saja ditemuinya, ia bergumam dalam hati, “Apakah ini jawaban dari do’aku selama ini, Tuhan?”.
Setelah berkendara selama sepuluh menit dari kedai kopi itu, Adhisty kini sudah tiba di rumahnya. Pikirannya terus saja memikirkan Dhafina yang ditemuinya tempo lalu. Adhisty lalu merebahkan tubuhnya di sofa dan mulai membuka aplikasi hijau untuk membuka profil Dhafina. Seperti mendapatkan restu dari semesta, Dhafina terlihat sedang memasang sebuah status kata-kata bijak dan kutipan-kutipan tentang kehidupan. Adhisty semakin terpesona kepada Dhafina, Adhisty lalu mengunjungi laman media sosial Dhafina yang lainnya karena di aplikasi hijau itu tercantum alamat media sosial Dhafina. Adhisty mengunjungi laman media sosial Dhafina hingga lupa waktu sampai-sampai dia tidak sadar bahwa Nendra sudah berada di sampingnya.
“Lagi apa sih, Dek? Mas datang kok sampai gak kedengeran?” protes Nendra.
Adhisty terkejut dan segera bangkit dari tidurnya. “Maaf, Mas. Adek keasikan lihat media sosial Dhafina,” tutur Adhisty.
“Dhafina? siapa? Mas kok baru dengar nama itu?” tanya Nendra.
“Adek juga baru kenalan sama dia, Mas. Tadi pas Adek mau ke cafe, dia ga sengaja nyenggol Adek, eh malah kita kenalan deh. Orangnya baik loh, Mas. Manis lagi. Adek lihat di media sosialnya juga sepertinya orang baik, Mas.” Adhisty berbicara panjang lebar membuat Nendra mengantuk.
“Ihh Mas kok nggak dengerin Adek, sih?” rengek Adhisty kepada suaminya.
“Mas nggak tertarik Dek denger cerita kamu. Bagi Mas, kamulah yang tercantik di alam semesta ini, Dek,” gombalnya.
“Kayanya Adek bakal setuju sih kalau Mas menikahi Dhafina.”
Bak disambar petir, Nendra terkejut mendengar perkataan istrinya. “Mas capek, Dek. Mas tidak mau membahas ini lagi, ya. Cukup kamu saja di hidup Mas, oke? Lagian kamu harus hati-hati Dek, siapa tahu dia cuma baik di media sosial saja. Jangan sampai tertipu ya.” Nendra bergegas menuju kamarnya, tak lupa memberikan ciuman manis di dahi istrinya sebelum kakinya melangkah.
Di dalam kamarnya, Nendra merebahkan tubuhnya akibat lelah bekerja, Nendra masih memikirkan perkataan istrinya yang membuatnya terkejut. Ia kemudian mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat melalui aplikasi hijau kepada seseorang. [Bagus, Sayang. Rencana kita hari ini berhasil. Kamu sudah berhasil membuat Adhisty jatuh hati kepadamu. Aku sampai terkejut ketika dia menyinggungku untuk menikahimu.]
“Dasar wanita bodoh, kalau aja bukan karena perusahaan Papa bekerja sama dengan perusahaan pamannya, mana mungkin aku mau menikah dengannya.” Umpat Nendra kepada Adhisty usai mengirim pesan kepada Dhafina. Ya, pernikahan Nendra dan Adhisty adalah pernikahan bisnis yang direncanakan oleh Damar, ayah Nendra, dan Irfan, paman Adhisty. Perusahaan Damar bergerak di bidang advertising sementara perusahaan Irfan bergerak di bidang makanan. Demi menjalin kerja sama perusahaannya agar lebih stabil, mereka memutuskan untuk menikahkan Adhisty dan Nendra. Setelah mendapat perlakuan dingin dari suaminya, Adhisty menyusul Nendra ke kamarnya, ia ingin membicarakan lagi hal ini kepada Nendra. Ketika Adhisty membuka pintu kamar, terlihat Nendra sedang berbaring di kasurnya. Adhisty lalu menghampiri suaminya itu dan mengajaknya bicara.“Mas, masih marah ya sama Adek?” tanya Adhisty seraya menyentuh pipi Nendra. Nendra yang tertidur itu membukakan matanya dan merespon istrinya
“Ya. Adek sudah capek Mas dikucilkan keluarga Mas gara-gara gak bisa punya anak. Apalagi pas denger Kak Mega nyuruh Mas dan Adek cerai, rasanya sakit sekali, Mas. Siapa tahu dengan Mas menikah lagi, Mas bisa punya anak dan kebencian mereka terhadap Adek jadi hilang,” tidak terasa Adhisty berucap dengan air mata yang membasahi pipinya.“Baiklah, jika itu alasannya. Mas bersedia.” Degh! Jantung Adhisty rasanya tidak karuan, disatu sisi, ia senang karena Nendra akhirnya mau menikah dengan Dhafina. Disisi lain, ia juga sedih karena harus berbagi cinta dengan wanita lain di rumahnya. Tetapi semua sudah diputuskan dan ia harus siap dengan hal-hal pahit yang akan menimpanya nanti. Surat undangan sudah dibagikan kepada seluruh teman, keluarga dan kerabat Nendra maupun Dhafina, tinggal empat hari lagi menjelang pernikahan Nendra dan Dhafina akan digelar. Semua biaya catering, biaya gedung dan lainnya sudah siap. Tinggal menunggu hari-H saja. Adhisty tengah bersantai me
“Oh iya, Anton. Iya dia lagi sibuk sepertinya, Dek. Sudah jarang hubungin Mas juga sih,” jawab Nendra.“Oh ya? Masa? Tadi ponsel Mas bunyi tuh, pas Adek lihat ternyata telpon dari Anton,” ucap Adhisty memancing Nendra untuk berkata jujur.Nendra diam, belum berbicara sedikit pun, sepertinya dia sedang berpikir untuk membuat alibi kepada istrinya.“Ya sudah, telpon sekarang saja, Mas.”Degh! Nendra tidak mungkin menelepon Anton pada saat itu juga, jika Adhisty tahu siapa sebenarnya pemilik nama Anton di ponselnya, bisa-bisa Adhisty marah besar dan Nendra tidak akan mendapat bagian dari perusahaan Adhisty.Ya, perusahaan orang tua Adhisty yang dikelola oleh pamannya itu ternyata atas nama Adhisty. Tetapi, Adhisty belum mengetahui hal itu. Hanya keluarga Nendra dan pamannya yang mengetahui hal tersebut.Berbicara tentang Anton kembali, ketika Adhisty menyuruh Nendra menelpon Anton, tiba-tiba Dhafina dan keluarganya tiba di rumah Adhis.“Sial, mengapa harus datang sekarang?” gumam Adhis k
“Sudahlah, Dek. Kita lagi makan, nggak sopan kalau jawab telpon dari orang lain,” ujar Nendra.Nendra merebut gawai Dhafina yang masih berdering itu dengan kasar, padahal sebelumnya ia tidak pernah merasa sangat ketakutan seperti ini. Begitu Nendra melihat sebuah nama yang terpampang di ponsel Dhafina, ia terkejut karena yang menelpon Dhafina adalah ibunya. Nendra terdiam dan memberikan kembali gawai milik Dhafina.“Kenapa, Mas? Apa itu orang lain?” tanya Adhisty. Adhisty berusaha terlihat tetap tegar meskipun di dalam hatinya sangat merasa hancur dan rapuh. “Bukan, Dek. Ternyata itu Bu Aminah,” tutur Nendra.‘Sial! Berani-beraninya dia mempermainkanku,’ gumam Nendra mengumpat.Dhafina pamit keluar dari ruang makan dan menerima panggilan suara dari ibunya. Sementara itu, Nendra dan Adhisty tengah berduaan dan menyantap sarapannya.“Mas, jadi kapan nih kita ketemu Anton?” tanya Adhisty dengan gawai Nendra yang masih di tangannya.Nendra terlihat sangat bingung dan mencoba menjawab pe
“Ya, Sayang. Its me, Dion,” ucap pria itu.“Nggak usah sayang-sayang deh, lo. Dulu aja ninggalin gue sama cewe lain!” gerutu Dhafina.Tidak disangka, hari yang begitu sial itu kian bertambah sial dengan kehadiran Dion di hadapannya. Ketika melihat Dion, sepintas bayangan kelam di masa lalunya beserta pria itu muncul kembali dalam ingatannya.Masih terinngat jelas bagaimana dirinya yang dulu sangat mencintai Dion dan dengan mduahnya Dion meninggalkan Dhafina demi wanita lain. Alasan klasik yang diberikan Dion saat itu adalah karena bosan dengan hubungannya dengan Dhafina, pun wanita yang dulu dikencani Dion di belakangnya lebih perhatian dan lebih menarik, katanya.“Jangan marah gitu dong, Sayang,” ujarnya yang masih saja suka merayu.Dhafina hanya melirik sinis Dion dengan mata bulatnya, ‘Sial!’ umpatnya.“Kamu mau ke mana? Biar aku antar ya!” tawar Dion kepada mantan kekasihnya itu.“Nggak usah, aku bisa sendiri, kok!” Dhafina dengan tegas menolak tawaran Dion itu.“Udah nggak usah n
Adhisty mengeluarkan ponselnya untuk memfoto dua insan yang sedang asik bercengkrama di café itu, tetapi entah mengapa rasa ragu justru menyelinap dalam dirinya. Adhisty yakin jika Dhafina sedang bekerja, jadi tidak mungkin wanita yang ia lihat kini adalah Dhafina. Jika dilihat dari punggungnya, memang pemilik postur tubuh seksi nan mungil itu mirip sekali dengan Dhafina, tetapi ia ragu jika itu Dhafina. Lagi pula, Dhafina telah berselingkuh dengan suaminya cukup lama, mana mungkin Dhafina ada waktu dengan pria lain. Adhisty tersadar dari lamunannya setelah Iren menjentikkan jari tepat di depan wajahnya. “Eh Adhis, ngapain lo bengong gitu?” “Nggak, Ren. Tadi gue kaya liat istri kedua suami gue sama cowo lain,” tutur Adhis. Hubungan Adhis dan Iren sangatlah dekat karena mereka satu SMA. Hubungan pertemanan itu terjalin hingga saat ini. Adhisty berandai jika Iren belum bersuami, maka ia akan menjadikan Iren istri kedua untuk suaminya, dengan terkekeh Adhis menggoda Iren, “Lo sih nika
Dengan sangat terpaksa, Dhafina menjawab panggilan suara yang terus-menerus berdering itu, “Ha…hallo,” ucap Dhafina dengan pelan.“Sudah kubilang pakai pengeras suara!” titah Nendra.Dhafina langsung menuruti apa yang menjadi ingin Nendra, ia menekan tombol pengeras suara pada ponselnya. 30 detik tidak ada jawaban dari penelpon hingga Dhafina mengulang perkataannya, “Hallo.”“Hallo, bersama Dion di sini, apa benar dengan Ibu Dhafina?”“Ya, benar.”Dhafina tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan Dion, ia bertanya mengapa Dion menyapanya dengan sangat formal.“Begini, Bu. Kami dari pusat perbelanjaan Mentari ingin memberitahukan bahwa Ibu terpilih ….”Nendra menarik ponsel Dhafina dan menutupnya secara kasar. “Udah, nggak penting. Zaman sekarang banyak penipuan,” ujar Nendra.Dhafina merasa lega, ia takut jika Dion akan berkata macam-macam, rupanya laki-laki itu pandai membaca situasi juga.Tak terasa, teriknya siang ini berganti malam. Dhafina, Nendra, maupun Adhisty, semuan
Adhisty berpura-pura jika dirinya sudah puas dan berterima kasih kepada Nendra karena sudah dipertemukan dengan Anton. Adhisty tahu betul jika laki-laki yang baru saja bertemu dengannya adalah seorang aktor sewaan Nendra. Demi terus mengumpulkan bukti untuk menyudutkan Nendra, ia rela menahan semua emosi yang sudah terkumpul di dadanya. Rasanya begitu sesak hingga ia seringkali kesulitan bernapas. Adhisty memang meminta suaminya agar menikah lagi, namun ia tidak menyangka jika lelakinya justru memanipulasi keadaan seolah-olah pertemuannya dengan Dhafina adalah hal yang tidak disengaja. Memikirkan hal itu rasanya sangat menyebalkan sekaligus menyedihkan. Ia merasa telah gagal menjadi seorang istri. Adhisty sebisa mungkin mencoba untuk tegar menerima semua konsekuensi dari apa yang menjadi keputusannya dahulu. Namun ia juga tidak munafik, ia masih sering cemburu ketika melihat kedekatan Nendra dan Dhafina walau setitik kebencian mulai hinggap di hatinya. Andai saja dulu pamannya tid