Berumah tangga merupakan bagian dari perjalanan hidup yang sangat panjang. Pernikahan bagai berlayar dengan sebuah kapal yang terombang-ambing di lautan, peran nahkoda sangat penting untuk menjaga kapalnya agar bisa terus berlayar. Tetapi bagaimana jadinya jika Nendra, yang berperan sebagai nahkoda, justru ternyata menginginkan kapalnya tenggelam?
Lihat lebih banyakLama mencari, matanya tertuju kepada sebungkus bubuk coklat dan bahan-bahan kue, tak lupa pandangannya tidak luput dari beberapa bungkus mie instan. “Kakak minta coklat bubuk itu dan sekardus mie instan dong, Dhis. Coklat bubuknya yang baru ya jangan yang sudah kamu pakai,” ucap Mega.
“Tapi Kak, mie yang di kitchen set kan tidak ada sekardus, lalu bubuk coklatnya hanya sisa itu saja,” ucapnya.
“Yang di kitchen set ya emang nggak sekardus, tapi di gudang kan kamu banyak simpan stok makanan, sudah kasih Kakak saja, di rumah Kakak ada Arga yang makan, katanya sayang sama keponakan? Bubuk coklatnya ya terpaksa Kakak bawa yang bekas kamu aja.” seloroh Mega.
Mega selalu berdalih tentang Arga jika ingin meminta sesuatu dari Adhis. Mendengar nama Arga, Adhisty selalu luluh, bagaimana tidak? Setiap kali melihat Arga, Adhisty selalu teringat akan dirinya di masa SMA. ia tahu betul bagaimana pedihnya kehilangan kasih sayang dari orang tua, meskipun saat itu usianya sudah remaja tetapi tetap saja dunianya seakan runtuh. Bedanya, orang tua Adhis mengalami kecelakaan dan meninggal ketika dirinya masih SMA, sedangkan Arga, ayahnya adalah seorang pemabuk, penjudi, dan pemarah sehingga jarang sekali Arga mendapat kedamaian di rumahnya, setiap harinya hanya melihat orangtuanya bertengkar.Tidak cukup kakak iparnya yang meminta, Tania yang sudah hilang dari dapur itu rupanya berada di lantai dua rumah Adhis, tepatnya di kamar Adhis, memang sangat tidak sopan untuk seorang mahasiswi seperti Tania yang seharusnya mengerti adab dalam bertamu. Tania berteriak dari lantai atas, tetapi tidak terdengar jawaban apapun dari Adhis. Tania merasa kesal lalu membuka lemari dan mengacak-acak baju yang sudah tersusun rapi di lemari kakak iparnya itu.Setelah mengambil beberapa baju milik Adhisty, Tania kembali menuju lantai satu dan menemui kakaknya yang tengah duduk di sofa ruang tengah sambil menonton serial drama korea di layar yang berukuran 29 inchi. “Kak Adhis kemana, Kak?” tanyanya.“Dia lagi Kakak suruh ke gudang ambil sekardus mie, lagian rumah sebesar ini dan tinggal cuma berdua aja ngapain stok makanan banyak-banyak,” celetuk Mega mengundang tawa Tania.
“Iya, lagian di rumah ini juga nggak ada anak kecil, siapa yang mau habisin makanan sebanyak itu,” sambung Tania.
Adhisty rupanya sudah kembali dari gudang dan tidak sengaja mendengar percakapan dari iparnya. Tetapi, Adhisty berusaha tetap tenang dan sabar untuk menghadapi mereka. Adhisty membawakan sekardus mie itu di hadapan Mega, Mega tersenyum puas dan mengambilnya dengan kasar.“Nah gitu dong! Jadi ipar itu harus berguna,” ucapnya.
Adhis hanya bisa menghela napas, kali ini mata Adhis tertuju kepada sebuah tumpukan baju yang berada di atas sofa, menyadari itu adalah bajunya, Adhis lalu menanyakan hal itu kepada mereka.
“Kenapa bajuku ada di sini?” tanyanya.
“Itu aku yang keluarin, Kak. Lagian baju sebanyak itu emang Kakak pake semua? mending kasih aku aja, Kak,” kali ini giliran Tania yang berbicara.
“Tapi kan Kakak masih mau pake baju itu, Dek.” Jawaban dari Adhis barsuan tentu saja membuat Tania merasa tidak senang.
“Halah, lagian baju butut kaya gini banyak kok Kak di pasar, pelit banget sih jadi kakak ipar, pantesan aja nggak punya anak, sama saudara aja pelit gimana sama anaknya nanti?” Tania lalu berpura-pura menutup mulutnya. Adhisty hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Melihat suasana yang sudah tidak nyaman, Adhisty memilih pergi menuju kamarnya, begitu tiba di kamar, ia terkejut ketika melihat baju yang berserakan di lantai maupun di kasur. Ingin sekali rasanya berteriak, tetapi ia tidak enak karena iparnya masih ada di rumahnya. Tiba-tiba, suara teriakan terdengar dari lantai bawah, rupanya Mega berteriak meminta Adhis untuk memesankan layanan mobil online untuk mengantar mereka pulang. Dengan senang hati Adhis langsung turun menuju lantai satu dan memesankan mobil untuk iparnya pulang.“Astaga, ingatanku terlalu jauh,” monolog Adhisty yang baru saja menghabiskan coklat hangat dan kuenya. Mengingat kembali perlakuan mereka kepadanya membuat Adhis menggindikan bahunya ngeri. Alasan dirinya tidak bisa memiliki anaklah yang membuat keluarga Nendra menindasnya. Adhis tiba-tiba memikirkan hal gila untuk menyelamatkan rumah tangganya, “Apa aku harus meminta Mas nendra menikah lagi?” gumamnya.Adhis bergegas untuk segera pulang begitu pikiran gila itu menghantuinya. Ketika membuka pintu kedai kopi, seorang gadis yang baru saja memasuki kedai kopi terlihat sangat anggun dan begitu memikat perhatian Adhisty. “Tuhan, secepat itukah doaku dijawab olehMu?” gumamnya.“Apa nggak apa-apa kalau aku ma…” Dion menghentikan ucapan Dhafina dengan sengaja menariknya lalu menutup pintu. Dhafina yang belum bersiap itu sudah berada dalam dekapan Dion. Aroma tubuh Dion menyeruak memasuki setiap rongga hidung Dhafina. Dada telanjangnya mampu membangkitkan gairah Dhafina. “Astaga! apa yang sedang aku pikirkan. Padahal aku sudah bersuami,” gumam Dhafina yang masih tetap dalam dekapan dada telanjang Dion. “Mikirin apa sih, Sayang?” tanya Dion menggoda. Ketika Dion berucap, tentu saja bibirnya sangat dekat dengan bibir Dhafina, hawa panas mulai terasa menyelimuti Dhafina yang seakan-akan enggan melepaskan tubuhnya dari Dion. “Nggak kok, tapi aku takut, Yon,” ujar Dhafina. “Nggak usah takut. Selama kamu ada di samping aku semuanya aman,” goda Dion. “Tapi lepasin dulu pelukannya, Yon! Aku engap,” titah Dhafina yang langsung dituruti Dion. Dion perlahan melepaskan pelukannya dari Dhafina, namun tidak disangka sesuatu terjadi. Handuk yang semula melilit pada tu
Langit pekat mulai terlihat, cerahnya siang segera berganti malam. Saatnya Adhisty dan Nendra pulang ke rumah. Kegiatan yang sama terus berulang. Pergi pagi hari pulang malam hari dengan berbagai kesibukan yang berbeda. Santapan makan malam sudah tersedia di meja makan. Tentu saja Dhafina telah menyiapkan semuanya. Begitu Adhisty dan Nendra pulang, mereka langsung menuju meja makan setelah mencium aroma wangi masakan yang memaksa masuk ke indera penciuman mereka. “Fin, tumben sekali menyiapkan makan malam,” ujar Adihsty seraya mendaratkan bokongnya di kursi. “Udah lah, Dek, tinggal makan aja repot,” bela Nendra kepada istri keduanya itu yang turut mendaratkan bokongnya juga. “Iya tapi nggak biasanya aja, Mas.” “Aku kan hari ini nggak kerja, Mbak. Jadi mending masak aja buat kalian. Kalian pasti capek kan seharian habis kerja?” tanya Dhafina bersimpati. “Iya, makasih, Fin.” Adhisty berucap malas. Merek
Dhafina tergesa-gesa menuju alamat yang tertera pada kartu nama yang sempat diberikan Dion kepadanya. Di alamat itu tercantum nama ‘Dion Sparepart “Rupanya impian kamu terwujud juga, ya, Yon,” gumam Dhafina seraya menatap terus kartu nama yang digenggamnya. Setelah 5 menit memesan mobil online lewat ponsel, tak lama sang supir pun sudah tiba di depan rumah. Dhafina bergegas keluar lalu menghampiri supir itu. “Siang, Pak,” sapanya dengan lembut. “Siang, Mbak. Ke Dion Sparepart, ya?” tanya sang supir. “Iya, Pak. Agak cepat, ya!” “Baik, Mbak.” Tidak butuh waktu lama, mobil itu kini sudah berhenti di depan toko Dion. Begitu ia turun dari mobil, gedung 6 tingkat di depannya menyuguhkan pemandangan yang sangat mengagumkan. Begitu besar dan mewah. 2 orang satpam terlihat sedang berjaga di depan pintu utama yang seluruhnya terbuat dari kaca. Dhafina tidak berhenti mengagumi keindahan setiap detil bangunan yang sedang ia
“Bukan siapa-siapa, Mas. Mas tidur lagi aja, masih malam lho, ini.” Adhisty langsung membalikan layar ponselnya karena khawatir Nendra melihat apa yang sedang ia sembunyikan.Adhisty sengaja menyimpan bukti tersebut untuk digunakan pada saat keadaan mendesak. Ia pikir sekarang bukan saatnya untuk menjadikan foto itu sebagai senjata. Masih banyak hari esok seraya mengumpulkan bukti-bukti lain.Keesokan harinya, Dhafina terbangun dengan kondisi badan yang payah. Berulang kali ia pergi ke kamar mandi memuntahkan sisa-sisa mabuknya semalam. Seisi kamarnya bau alkohol. Namun Nendra belum mengetahui hal itu karena ia masih tertidur.Pukul 05.30, Adhisty menuju dapur untuk menyiapkan sarapan karena dengan kondisi Dhafina yang seperti itu mustahil baginya bisa menyiapkan sarapan seperti biasa. Maka Adhisty berinsiatif untuk memasak sendiri hari ini.Karena aroma masakan yang begitu kuat, Nendra akhirnya terbangun dan langsung menuju ruang makan untuk sarapan. Dengan mata yang masih menahan
“Apa Pak Bram mengingat sesuatu tentang camilan itu? Apa Pak Bram pernah memakan camilannya?” tanya Gamal yang menyadari jika Bram terlihat sedang memikirkan sesuatu. Peter tiba-tiba menoyor kepala Gamal yang dianggapnya sok tahu itu sambil berkata, “Semua orang di kota ini pasti pernah makan Charty Snack. Dari zaman gue SD juga snack itu udah ada, bambang!” ucap Peter sangat kesal. “Eh nama gue Gamal, bukan Bambang, ya.” “Serah dah!” Bukan rahasia umum jika perusahaan Charty Snack begitu terkenal. Selain terkenal, perusahaan makanan ringan ini pun sudah sangat eksis dari puluhan tahun lalu. Konsistensi terhadap rasa dari setiap camilannya membuat pelanggan mereka tetap setia dan tidak ingin berpaling ke camilan kompetitor. Namun bukan itu yang sedang dipikirkan oleh Bram, begitu mendengar nama Charty, ia seakan pernah mendengar nama itu di masa lalunya, tetapi Bram masih ragu apakah Charty dalam ingatannya ha
Langkah Adhisty semakin dekat ke arah pria yang semula dilihatnya, dengan segenap rasa ragu yang menyelimuti, Adhisty memberanikan diri berjalan menuju meja yang akan ia tuju. “Jika benar dia adalah Bram, oh sungguh aku akan jadi gila. Bram yang kukenal dulu kumal dan miskin, bagaimana bisa Bram berubah menjadi tampan dan begitu keren seperti saat ini? Bahkan aura kekayaan terpancar di wajahnya,” gumam Adhisty seraya terus melangkahkan kakinya.Adhisty terus berjalan seperti seorang penguntit tanpa sadar jika ada dua orang penjaga memperhatikannya. Sedikit lagi Adhisty tiba di meja itu, namun sang penjaga dengan sigap mencegah Adhisty untuk berjalan lebih jauh lagi.“Stop!” ucap salah satu pria berbadan tinggi dan bertubuh bongsor, peringainya sangat seram jika dilihat dari dekat.“Astaga!” Adhisty terkejut ketika langkahnya diketahui oleh pria besar tadi.“Ibu mau ke mana? Ibu penggemar salah satu pria tampan yang ada di meja itu, ya? Saya sudah banyak ketemu wanita modelan Ibu gini,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen