Share

2. Adu mekanik

            Adhisty ingin mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah dan masuk kembali untuk menemui gadis yang baru saja membuatnya terpana, tetapi ia segera tersadar dari lamunannya dan bergegas pulang untuk membicarakan dengan Nendra terlebih dahulu terkait keputusannya.

            Setelah sepuluh menit menyetir, Adhisty sudah tiba di rumahnya. Adhisty mengucap salam dan langsung memasuki rumahnya, tetapi tidak ada satupun manusia terlihat di sana. “Rupanya Kak Mega sudah pulang, ya?” gumamnya. Adhisty menuju dapurnya untuk meletakkan barang belanjaan yang tadi ia beli di supermarket, ia juga mengambil segelas air untuk diminumnya, “Loh, Dek, ko pulang ga ucap salam?” tanya Nendra mengejutkan Adhisty dan membuatnya tersedak.

“Loh, tadi Adek sudah ucap salam loh, tapi rumah sepi banget, Mas juga dari mana saja?” giliran Adhisty yang bertanya kembali.

“Em, A..anu.. Mas habis mandi tadi, ya, habis mandi, hehe,” jawab Nendra setengah terbata-bata ketika menjawab pertanyaan dari Adhisty.

            Melihat suaminya yang hanya berdiri, Adhisty menyuruhnya untuk duduk, ia mengambil lagi segelas air putih untuk Nendra, “Mas, diminum dulu, ada yang mau aku omongin,” titahnya.

Jantung Nendra berdetak sangat kencang ketika Adhisty mengajaknya untuk bicara. “Jangan terlalu tegang, Mas,” sambungnya lagi. Nendra memperhatikan raut wajah Adhisty, sepertinya pembicaraan kali ini memang serius.

“Ada apa, Dek? Kan setiap hari juga kita ngobrol,” timpalnya.

“Kali ini cukup serius, Mas.” Benar saja dugaan Nendra, firasatnya terhadap Adhisty tidak pernah salah.

“Ya sudah, mau ngomong apa?” Adhisty mencoba menghela napasnya sebelum berbicara kepada Nendra, “Mas merasa kesepian nggak di rumah ini? Tanpa suara tangisan bayi, tanpa…”

“Sudah cukup, Dek. Mas tahu arah pembicaraan kita mengarah kemana,” ucap Nendra yang tiba-tiba memotong ucapan istrinya.

Adhisty tidak berhenti begitu saja, ia melanjutkan lagi ucapannya yang terpotong oleh suaminya.

“Adek tadi nggak sengaja dengar pembicaraan Mas sama Kak Mega, mungkin Kak Mega juga muak sama Adek yang nggak bisa kasih keturunan,” ucap Adhisty dengan lirih.

            Suasana seketika hening, Nendra belum berkata satu kata pun kepada istrinya, “Adek nggak nyuruh Mas untuk menceraikan Adek, tapi Adek berpikir untuk menyuruh Mas nikah lagi. Dengan begitu,  di rumah ini jadi ramai dan suasana menjadi hangat,” ucap Adhisty menambah keheningan siang itu.

Tetapi, Nendra masih saja diam membisu. “Mas, kok diam saja?” Nendra baru tersadar dari lamunannya ketika mendengar namanya dipanggil.

“Iya, maaf, Dek.” Setelah selesai berpikir, barulah Nendra mau membuka mulutnya dan bersuara.

“Kita bicarakan lain kali saja ya, Dek. Mas lagi banyak pikiran, lagian Mas juga tidak mempermasalahkan kan selama ini kita punya anak atau tidak?” tuturnya.

 Lagi-lagi, ucapan Nendra terdengar begitu manis di telinga Adhisty. Adhisty menuruti perkataan Nendra untuk tidak membahasnya, ia lalu membuka tas belanjaan dan mengeluarkan puding kesukaan Nendra yang tadi dibelinya di supermarket.

Ketika sedang asik menikmati pudingnya, dering telpon Nendra berbunyi, nama Anton tertulis di layar ponsel Nendra, lama ponsel itu berdering, tetapi Nendra tidak mengangkat telponnya membuat Adhisty bertanya-tanya.

“Kok tidak diangkat Mas telponnya? Siapa tau penting?”

“Emm ii..iya.. si Anton, biasa dia, ya, biasa dia, si Anton ini  paling mau minjem duit, sudah biarin aja, Dek,” ucapnya tampak gugup dan secepat kilat mengubah topik pembicaraan dengan istrinya.

            Siang itu berlalu begitu saja, waktu sudah berganti menjadi malam, Adhisty yang setiap harinya bekerja sebagai writer freelance tengah asik dengan pekerjaannya, sementara Nendra terlihat sedang berada di ruang tengah dan bercakap lewat ponselnya dengan seseorang.

Di kamar, dering telpon Adhisty berbunyi, rupanya sebuah pesan dari Mega masuk melalui ponselnya, “Dhis, kamu di dalam kan? Aku dari tadi ketuk pintu kok nggak ada yang buka?” Adhisty menaikan sebelah alisnya. Ia heran, padahal Nendra sedang di lantai bawah tetapi  mengapa tidak mendengar suara ketukan pintu dari luar, sedang apa dia sebenarnya? Batinnya.

Tidak ingin memicu kemarahan Mega, Adhisty mengalah dan menuruni anak tangga untuk membukakan pintu. Di ruang tengah, Adhisty melihat dan mendengar Nendra tengah asik berbicara di telepon, “Mas, lagi telponan sama siapa sampai kak Mega ketuk pintu kok ga kedengeran?” tanyanya.

“Oh ini sayang, lagi ngobrol sama Anton,” jawabnya singkat dan melanjutkan lagi pembicaraannya.

Adhisty tidak peduli dan langsung membukakan pintu untuk kakak iparnya. Tetapi, seraya berjalan, Adhisty sempat dibuat heran oleh Nendra, tidak biasanya laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan sayang, dan lagi, Anton? Bukankah siang tadi suaminya tidak mau mengangkat panggilan dari Anton? “Ah sudahlah, mungkin Aku sedang capek aja,” monolognya.

            Krekk, begitu pintu terbuka, wajah masam Mega terpampang dengan sangat jelas, “Lama banget sih Dhis bukain pintunya, Aku digigitin nyamuk nih di luar,” cetus Mega.

“Iya maaf, Kak,” ucap Adhisty tidak ingin ribut.

“Kakak mau ambil jaket Kakak yang ketinggalan di sini, di mana jaketnya?” tanya Mega dengan sangat arogan.

Adhisty berpura-pura tidak tahu dengan kedatangan Mega siang tadi, lalu menanyainya, “Memangnya kapan Kakak ke sini?” Mega terlihat panik merasa keceplosan, “Ah banyak tanya ya, Kakak tadi ada urusan sama suamimu, urusan keluarga,” jawabnya ketus.

“Ya kalau gitu Aku nggak tahu Kak di mana jaket Kakak, Kakak ke sini kan pas Aku tidak di rumah,” kali ini Adhisty mencoba untuk tidak tertindas lagi oleh kakak iparnya.

“Oh sudah berani ya sama kakak ipar sendiri?” “Ya berani, ini rumahku, kenapa harus tidak berani? Justru Kakak yang harusnya punya sopan santun di rumah orang lain.”

Mega merasa dirinya terpojok, dia lantas menerobos dan mencari sendiri jaketnya, begitu jaketnya sudah ditemukan, Mega bergegas pergi dari rumah itu dengan sebuah kalimat menohok yang dilontarkan kepada adik iparnya, “Lihat suamimu, uruslah adikku, kasihan sekali sampai kurus begitu, malam-malam masih bekerja dengan kliennya hanya mencari nafkah buat kamu saja, ngurus suami aja ga bisa, apalagi ngurus anak, pantesan nggak dikasih anak sampai sekarang.”

Adhisty naik pitam, kesabarannya sudah habis, selama enam tahun hidup dengan Nendra, kali ini ia sama sekali tidak bisa menahan lagi amarahnya, ia lantas menjambak rambut Mega dan berteriak di depan wajahnya.

“Ngaca! Urus saja rumah tangga Kakak, lihat suami Kakak, lihat rumah tangga Kakak, kasihan sekali, hidup menumpang sama Ayah, biaya sekolah Arga Aku yang bayarin, gatau diri.”

Aksi jambak-menjambak rambut terjadi cukup lama, teriakan demi teriakan saling bersahut membuat Nendra yang semula cuek karena sedang menelpon dengan seseorang itu langsung berlari menuju area pertarungan dan meninggalkan ponselnya begitu saja.

            Nendra dengan tenaganya yang kuat akhirnya mampu memisahkan kakak dan istrinya dari pertikaian sengit yang berakhir seri itu. Mega dengan rambut yang semraut pergi tanpa berpamitan dari rumah Adhisty, sementara Adhisty dituntun Nendra menuju ruang tengah untuk menenangkannya.

Nendra kemudian pergi ke dapur untuk membawakan segelas air untuk istrinya. Di ruang tengah itu, Adhisty melihat layar ponsel Nendra yang masih menyala, Adhisty meraih ponsel itu dan melihat apa yang ada di layarnya, “Anton?” tanyanya. Rupanya, panggilan suara Nendra dan Anton di aplikasi hijau masih tersambung, ketika nama Anton disebut oleh Adhisty, panggilan suara itu pun tertutup.

Nendra sudah kembali dari dapur dan membawakan air putih juga coklat untuk istrinya, “Terima kasih, Mas. Oh ya, kamu lagi telponan sama Anton, ya?” tanyanya.

“Oh iya, tadi Mas lagi telponan sama Anton, Dek.” “Tapi kok fotonya perempuan, Mas?” Degh! Jantung Nendra berdegup dengan sangat cepat, keringat turut bercucuran membasahi dahinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status