Adhisty ingin mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah dan masuk kembali untuk menemui gadis yang baru saja membuatnya terpana, tetapi ia segera tersadar dari lamunannya dan bergegas pulang untuk membicarakan dengan Nendra terlebih dahulu terkait keputusannya.
Setelah sepuluh menit menyetir, Adhisty sudah tiba di rumahnya. Adhisty mengucap salam dan langsung memasuki rumahnya, tetapi tidak ada satupun manusia terlihat di sana. “Rupanya Kak Mega sudah pulang, ya?” gumamnya. Adhisty menuju dapurnya untuk meletakkan barang belanjaan yang tadi ia beli di supermarket, ia juga mengambil segelas air untuk diminumnya, “Loh, Dek, ko pulang ga ucap salam?” tanya Nendra mengejutkan Adhisty dan membuatnya tersedak.
“Loh, tadi Adek sudah ucap salam loh, tapi rumah sepi banget, Mas juga dari mana saja?” giliran Adhisty yang bertanya kembali.
“Em, A..anu.. Mas habis mandi tadi, ya, habis mandi, hehe,” jawab Nendra setengah terbata-bata ketika menjawab pertanyaan dari Adhisty.
Melihat suaminya yang hanya berdiri, Adhisty menyuruhnya untuk duduk, ia mengambil lagi segelas air putih untuk Nendra, “Mas, diminum dulu, ada yang mau aku omongin,” titahnya.
Jantung Nendra berdetak sangat kencang ketika Adhisty mengajaknya untuk bicara. “Jangan terlalu tegang, Mas,” sambungnya lagi. Nendra memperhatikan raut wajah Adhisty, sepertinya pembicaraan kali ini memang serius.
“Ada apa, Dek? Kan setiap hari juga kita ngobrol,” timpalnya.
“Kali ini cukup serius, Mas.” Benar saja dugaan Nendra, firasatnya terhadap Adhisty tidak pernah salah.
“Ya sudah, mau ngomong apa?” Adhisty mencoba menghela napasnya sebelum berbicara kepada Nendra, “Mas merasa kesepian nggak di rumah ini? Tanpa suara tangisan bayi, tanpa…”
“Sudah cukup, Dek. Mas tahu arah pembicaraan kita mengarah kemana,” ucap Nendra yang tiba-tiba memotong ucapan istrinya.
Adhisty tidak berhenti begitu saja, ia melanjutkan lagi ucapannya yang terpotong oleh suaminya.
“Adek tadi nggak sengaja dengar pembicaraan Mas sama Kak Mega, mungkin Kak Mega juga muak sama Adek yang nggak bisa kasih keturunan,” ucap Adhisty dengan lirih.
Suasana seketika hening, Nendra belum berkata satu kata pun kepada istrinya, “Adek nggak nyuruh Mas untuk menceraikan Adek, tapi Adek berpikir untuk menyuruh Mas nikah lagi. Dengan begitu, di rumah ini jadi ramai dan suasana menjadi hangat,” ucap Adhisty menambah keheningan siang itu.
Tetapi, Nendra masih saja diam membisu. “Mas, kok diam saja?” Nendra baru tersadar dari lamunannya ketika mendengar namanya dipanggil.
“Iya, maaf, Dek.” Setelah selesai berpikir, barulah Nendra mau membuka mulutnya dan bersuara.
“Kita bicarakan lain kali saja ya, Dek. Mas lagi banyak pikiran, lagian Mas juga tidak mempermasalahkan kan selama ini kita punya anak atau tidak?” tuturnya.
Lagi-lagi, ucapan Nendra terdengar begitu manis di telinga Adhisty. Adhisty menuruti perkataan Nendra untuk tidak membahasnya, ia lalu membuka tas belanjaan dan mengeluarkan puding kesukaan Nendra yang tadi dibelinya di supermarket.
Ketika sedang asik menikmati pudingnya, dering telpon Nendra berbunyi, nama Anton tertulis di layar ponsel Nendra, lama ponsel itu berdering, tetapi Nendra tidak mengangkat telponnya membuat Adhisty bertanya-tanya.
“Kok tidak diangkat Mas telponnya? Siapa tau penting?”
“Emm ii..iya.. si Anton, biasa dia, ya, biasa dia, si Anton ini paling mau minjem duit, sudah biarin aja, Dek,” ucapnya tampak gugup dan secepat kilat mengubah topik pembicaraan dengan istrinya.
Siang itu berlalu begitu saja, waktu sudah berganti menjadi malam, Adhisty yang setiap harinya bekerja sebagai writer freelance tengah asik dengan pekerjaannya, sementara Nendra terlihat sedang berada di ruang tengah dan bercakap lewat ponselnya dengan seseorang.
Di kamar, dering telpon Adhisty berbunyi, rupanya sebuah pesan dari Mega masuk melalui ponselnya, “Dhis, kamu di dalam kan? Aku dari tadi ketuk pintu kok nggak ada yang buka?” Adhisty menaikan sebelah alisnya. Ia heran, padahal Nendra sedang di lantai bawah tetapi mengapa tidak mendengar suara ketukan pintu dari luar, sedang apa dia sebenarnya? Batinnya.
Tidak ingin memicu kemarahan Mega, Adhisty mengalah dan menuruni anak tangga untuk membukakan pintu. Di ruang tengah, Adhisty melihat dan mendengar Nendra tengah asik berbicara di telepon, “Mas, lagi telponan sama siapa sampai kak Mega ketuk pintu kok ga kedengeran?” tanyanya.
“Oh ini sayang, lagi ngobrol sama Anton,” jawabnya singkat dan melanjutkan lagi pembicaraannya.
Adhisty tidak peduli dan langsung membukakan pintu untuk kakak iparnya. Tetapi, seraya berjalan, Adhisty sempat dibuat heran oleh Nendra, tidak biasanya laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan sayang, dan lagi, Anton? Bukankah siang tadi suaminya tidak mau mengangkat panggilan dari Anton? “Ah sudahlah, mungkin Aku sedang capek aja,” monolognya.
Krekk, begitu pintu terbuka, wajah masam Mega terpampang dengan sangat jelas, “Lama banget sih Dhis bukain pintunya, Aku digigitin nyamuk nih di luar,” cetus Mega.
“Iya maaf, Kak,” ucap Adhisty tidak ingin ribut.
“Kakak mau ambil jaket Kakak yang ketinggalan di sini, di mana jaketnya?” tanya Mega dengan sangat arogan.
Adhisty berpura-pura tidak tahu dengan kedatangan Mega siang tadi, lalu menanyainya, “Memangnya kapan Kakak ke sini?” Mega terlihat panik merasa keceplosan, “Ah banyak tanya ya, Kakak tadi ada urusan sama suamimu, urusan keluarga,” jawabnya ketus.
“Ya kalau gitu Aku nggak tahu Kak di mana jaket Kakak, Kakak ke sini kan pas Aku tidak di rumah,” kali ini Adhisty mencoba untuk tidak tertindas lagi oleh kakak iparnya.
“Oh sudah berani ya sama kakak ipar sendiri?” “Ya berani, ini rumahku, kenapa harus tidak berani? Justru Kakak yang harusnya punya sopan santun di rumah orang lain.”
Mega merasa dirinya terpojok, dia lantas menerobos dan mencari sendiri jaketnya, begitu jaketnya sudah ditemukan, Mega bergegas pergi dari rumah itu dengan sebuah kalimat menohok yang dilontarkan kepada adik iparnya, “Lihat suamimu, uruslah adikku, kasihan sekali sampai kurus begitu, malam-malam masih bekerja dengan kliennya hanya mencari nafkah buat kamu saja, ngurus suami aja ga bisa, apalagi ngurus anak, pantesan nggak dikasih anak sampai sekarang.”
Adhisty naik pitam, kesabarannya sudah habis, selama enam tahun hidup dengan Nendra, kali ini ia sama sekali tidak bisa menahan lagi amarahnya, ia lantas menjambak rambut Mega dan berteriak di depan wajahnya.
“Ngaca! Urus saja rumah tangga Kakak, lihat suami Kakak, lihat rumah tangga Kakak, kasihan sekali, hidup menumpang sama Ayah, biaya sekolah Arga Aku yang bayarin, gatau diri.”
Aksi jambak-menjambak rambut terjadi cukup lama, teriakan demi teriakan saling bersahut membuat Nendra yang semula cuek karena sedang menelpon dengan seseorang itu langsung berlari menuju area pertarungan dan meninggalkan ponselnya begitu saja.
Nendra dengan tenaganya yang kuat akhirnya mampu memisahkan kakak dan istrinya dari pertikaian sengit yang berakhir seri itu. Mega dengan rambut yang semraut pergi tanpa berpamitan dari rumah Adhisty, sementara Adhisty dituntun Nendra menuju ruang tengah untuk menenangkannya.
Nendra kemudian pergi ke dapur untuk membawakan segelas air untuk istrinya. Di ruang tengah itu, Adhisty melihat layar ponsel Nendra yang masih menyala, Adhisty meraih ponsel itu dan melihat apa yang ada di layarnya, “Anton?” tanyanya. Rupanya, panggilan suara Nendra dan Anton di aplikasi hijau masih tersambung, ketika nama Anton disebut oleh Adhisty, panggilan suara itu pun tertutup.
Nendra sudah kembali dari dapur dan membawakan air putih juga coklat untuk istrinya, “Terima kasih, Mas. Oh ya, kamu lagi telponan sama Anton, ya?” tanyanya.
“Oh iya, tadi Mas lagi telponan sama Anton, Dek.” “Tapi kok fotonya perempuan, Mas?” Degh! Jantung Nendra berdegup dengan sangat cepat, keringat turut bercucuran membasahi dahinya.
“Soal itu Mas tidak tahu, Dek. Mungkin gebetannya, atau sepupunya atau saudaranya bisa jadi,” timpal Nendra yang mencoba untuk terlihat santai. Adhisty mengangguk mendengarkan perkataan Nendra. Kini, suasana hati Adhisy terasa lebih tenang dari sebelumnya. Adhisty bahkan mengungkit perkataan siang tadi yang belum selesai.“Mas, Adek mau lanjutin bahas obrolan tadi siang.” Tuturnya. Nendra hanya terlihat pasrah ketika Adhisty membahas masalah yang sama. Tetapi kali ini Nendra mau mendengarkan istrinya.“Setelah Adek pikir, mungkin kita harus bercerai, Mas.” Suasana seketika hening, lalu beberapa saat kemudian Nendra bersuara, “Kenapa harus bercerai? Mas tidak mau bercerai dengan kamu, Dek. Mas sungguh menyayangi kamu, Mas tidak peduli kita memiliki anak atau tidak.” Tegasnya.“Tapi kan Kak Mega dan keluarga Mas yang lainnya selalu merundungku, Mas. Aku tidak tahan dengan perlakuan mereka. Ditambah lagi tadi Kak Mega datang malah menyuruh Mas menceraikan aku,” Adhisty perlahan terisak
“Dasar wanita bodoh, kalau aja bukan karena perusahaan Papa bekerja sama dengan perusahaan pamannya, mana mungkin aku mau menikah dengannya.” Umpat Nendra kepada Adhisty usai mengirim pesan kepada Dhafina. Ya, pernikahan Nendra dan Adhisty adalah pernikahan bisnis yang direncanakan oleh Damar, ayah Nendra, dan Irfan, paman Adhisty. Perusahaan Damar bergerak di bidang advertising sementara perusahaan Irfan bergerak di bidang makanan. Demi menjalin kerja sama perusahaannya agar lebih stabil, mereka memutuskan untuk menikahkan Adhisty dan Nendra. Setelah mendapat perlakuan dingin dari suaminya, Adhisty menyusul Nendra ke kamarnya, ia ingin membicarakan lagi hal ini kepada Nendra. Ketika Adhisty membuka pintu kamar, terlihat Nendra sedang berbaring di kasurnya. Adhisty lalu menghampiri suaminya itu dan mengajaknya bicara.“Mas, masih marah ya sama Adek?” tanya Adhisty seraya menyentuh pipi Nendra. Nendra yang tertidur itu membukakan matanya dan merespon istrinya
“Ya. Adek sudah capek Mas dikucilkan keluarga Mas gara-gara gak bisa punya anak. Apalagi pas denger Kak Mega nyuruh Mas dan Adek cerai, rasanya sakit sekali, Mas. Siapa tahu dengan Mas menikah lagi, Mas bisa punya anak dan kebencian mereka terhadap Adek jadi hilang,” tidak terasa Adhisty berucap dengan air mata yang membasahi pipinya.“Baiklah, jika itu alasannya. Mas bersedia.” Degh! Jantung Adhisty rasanya tidak karuan, disatu sisi, ia senang karena Nendra akhirnya mau menikah dengan Dhafina. Disisi lain, ia juga sedih karena harus berbagi cinta dengan wanita lain di rumahnya. Tetapi semua sudah diputuskan dan ia harus siap dengan hal-hal pahit yang akan menimpanya nanti. Surat undangan sudah dibagikan kepada seluruh teman, keluarga dan kerabat Nendra maupun Dhafina, tinggal empat hari lagi menjelang pernikahan Nendra dan Dhafina akan digelar. Semua biaya catering, biaya gedung dan lainnya sudah siap. Tinggal menunggu hari-H saja. Adhisty tengah bersantai me
“Oh iya, Anton. Iya dia lagi sibuk sepertinya, Dek. Sudah jarang hubungin Mas juga sih,” jawab Nendra.“Oh ya? Masa? Tadi ponsel Mas bunyi tuh, pas Adek lihat ternyata telpon dari Anton,” ucap Adhisty memancing Nendra untuk berkata jujur.Nendra diam, belum berbicara sedikit pun, sepertinya dia sedang berpikir untuk membuat alibi kepada istrinya.“Ya sudah, telpon sekarang saja, Mas.”Degh! Nendra tidak mungkin menelepon Anton pada saat itu juga, jika Adhisty tahu siapa sebenarnya pemilik nama Anton di ponselnya, bisa-bisa Adhisty marah besar dan Nendra tidak akan mendapat bagian dari perusahaan Adhisty.Ya, perusahaan orang tua Adhisty yang dikelola oleh pamannya itu ternyata atas nama Adhisty. Tetapi, Adhisty belum mengetahui hal itu. Hanya keluarga Nendra dan pamannya yang mengetahui hal tersebut.Berbicara tentang Anton kembali, ketika Adhisty menyuruh Nendra menelpon Anton, tiba-tiba Dhafina dan keluarganya tiba di rumah Adhis.“Sial, mengapa harus datang sekarang?” gumam Adhis k
“Sudahlah, Dek. Kita lagi makan, nggak sopan kalau jawab telpon dari orang lain,” ujar Nendra.Nendra merebut gawai Dhafina yang masih berdering itu dengan kasar, padahal sebelumnya ia tidak pernah merasa sangat ketakutan seperti ini. Begitu Nendra melihat sebuah nama yang terpampang di ponsel Dhafina, ia terkejut karena yang menelpon Dhafina adalah ibunya. Nendra terdiam dan memberikan kembali gawai milik Dhafina.“Kenapa, Mas? Apa itu orang lain?” tanya Adhisty. Adhisty berusaha terlihat tetap tegar meskipun di dalam hatinya sangat merasa hancur dan rapuh. “Bukan, Dek. Ternyata itu Bu Aminah,” tutur Nendra.‘Sial! Berani-beraninya dia mempermainkanku,’ gumam Nendra mengumpat.Dhafina pamit keluar dari ruang makan dan menerima panggilan suara dari ibunya. Sementara itu, Nendra dan Adhisty tengah berduaan dan menyantap sarapannya.“Mas, jadi kapan nih kita ketemu Anton?” tanya Adhisty dengan gawai Nendra yang masih di tangannya.Nendra terlihat sangat bingung dan mencoba menjawab pe
“Ya, Sayang. Its me, Dion,” ucap pria itu.“Nggak usah sayang-sayang deh, lo. Dulu aja ninggalin gue sama cewe lain!” gerutu Dhafina.Tidak disangka, hari yang begitu sial itu kian bertambah sial dengan kehadiran Dion di hadapannya. Ketika melihat Dion, sepintas bayangan kelam di masa lalunya beserta pria itu muncul kembali dalam ingatannya.Masih terinngat jelas bagaimana dirinya yang dulu sangat mencintai Dion dan dengan mduahnya Dion meninggalkan Dhafina demi wanita lain. Alasan klasik yang diberikan Dion saat itu adalah karena bosan dengan hubungannya dengan Dhafina, pun wanita yang dulu dikencani Dion di belakangnya lebih perhatian dan lebih menarik, katanya.“Jangan marah gitu dong, Sayang,” ujarnya yang masih saja suka merayu.Dhafina hanya melirik sinis Dion dengan mata bulatnya, ‘Sial!’ umpatnya.“Kamu mau ke mana? Biar aku antar ya!” tawar Dion kepada mantan kekasihnya itu.“Nggak usah, aku bisa sendiri, kok!” Dhafina dengan tegas menolak tawaran Dion itu.“Udah nggak usah n
Adhisty mengeluarkan ponselnya untuk memfoto dua insan yang sedang asik bercengkrama di café itu, tetapi entah mengapa rasa ragu justru menyelinap dalam dirinya. Adhisty yakin jika Dhafina sedang bekerja, jadi tidak mungkin wanita yang ia lihat kini adalah Dhafina. Jika dilihat dari punggungnya, memang pemilik postur tubuh seksi nan mungil itu mirip sekali dengan Dhafina, tetapi ia ragu jika itu Dhafina. Lagi pula, Dhafina telah berselingkuh dengan suaminya cukup lama, mana mungkin Dhafina ada waktu dengan pria lain. Adhisty tersadar dari lamunannya setelah Iren menjentikkan jari tepat di depan wajahnya. “Eh Adhis, ngapain lo bengong gitu?” “Nggak, Ren. Tadi gue kaya liat istri kedua suami gue sama cowo lain,” tutur Adhis. Hubungan Adhis dan Iren sangatlah dekat karena mereka satu SMA. Hubungan pertemanan itu terjalin hingga saat ini. Adhisty berandai jika Iren belum bersuami, maka ia akan menjadikan Iren istri kedua untuk suaminya, dengan terkekeh Adhis menggoda Iren, “Lo sih nika
Dengan sangat terpaksa, Dhafina menjawab panggilan suara yang terus-menerus berdering itu, “Ha…hallo,” ucap Dhafina dengan pelan.“Sudah kubilang pakai pengeras suara!” titah Nendra.Dhafina langsung menuruti apa yang menjadi ingin Nendra, ia menekan tombol pengeras suara pada ponselnya. 30 detik tidak ada jawaban dari penelpon hingga Dhafina mengulang perkataannya, “Hallo.”“Hallo, bersama Dion di sini, apa benar dengan Ibu Dhafina?”“Ya, benar.”Dhafina tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan Dion, ia bertanya mengapa Dion menyapanya dengan sangat formal.“Begini, Bu. Kami dari pusat perbelanjaan Mentari ingin memberitahukan bahwa Ibu terpilih ….”Nendra menarik ponsel Dhafina dan menutupnya secara kasar. “Udah, nggak penting. Zaman sekarang banyak penipuan,” ujar Nendra.Dhafina merasa lega, ia takut jika Dion akan berkata macam-macam, rupanya laki-laki itu pandai membaca situasi juga.Tak terasa, teriknya siang ini berganti malam. Dhafina, Nendra, maupun Adhisty, semuan