Dhafina tergesa-gesa menuju alamat yang tertera pada kartu nama yang sempat diberikan Dion kepadanya. Di alamat itu tercantum nama ‘Dion Sparepart “Rupanya impian kamu terwujud juga, ya, Yon,” gumam Dhafina seraya menatap terus kartu nama yang digenggamnya. Setelah 5 menit memesan mobil online lewat ponsel, tak lama sang supir pun sudah tiba di depan rumah. Dhafina bergegas keluar lalu menghampiri supir itu. “Siang, Pak,” sapanya dengan lembut. “Siang, Mbak. Ke Dion Sparepart, ya?” tanya sang supir. “Iya, Pak. Agak cepat, ya!” “Baik, Mbak.” Tidak butuh waktu lama, mobil itu kini sudah berhenti di depan toko Dion. Begitu ia turun dari mobil, gedung 6 tingkat di depannya menyuguhkan pemandangan yang sangat mengagumkan. Begitu besar dan mewah. 2 orang satpam terlihat sedang berjaga di depan pintu utama yang seluruhnya terbuat dari kaca. Dhafina tidak berhenti mengagumi keindahan setiap detil bangunan yang sedang ia
Langit pekat mulai terlihat, cerahnya siang segera berganti malam. Saatnya Adhisty dan Nendra pulang ke rumah. Kegiatan yang sama terus berulang. Pergi pagi hari pulang malam hari dengan berbagai kesibukan yang berbeda. Santapan makan malam sudah tersedia di meja makan. Tentu saja Dhafina telah menyiapkan semuanya. Begitu Adhisty dan Nendra pulang, mereka langsung menuju meja makan setelah mencium aroma wangi masakan yang memaksa masuk ke indera penciuman mereka. “Fin, tumben sekali menyiapkan makan malam,” ujar Adihsty seraya mendaratkan bokongnya di kursi. “Udah lah, Dek, tinggal makan aja repot,” bela Nendra kepada istri keduanya itu yang turut mendaratkan bokongnya juga. “Iya tapi nggak biasanya aja, Mas.” “Aku kan hari ini nggak kerja, Mbak. Jadi mending masak aja buat kalian. Kalian pasti capek kan seharian habis kerja?” tanya Dhafina bersimpati. “Iya, makasih, Fin.” Adhisty berucap malas. Merek
“Apa nggak apa-apa kalau aku ma…” Dion menghentikan ucapan Dhafina dengan sengaja menariknya lalu menutup pintu. Dhafina yang belum bersiap itu sudah berada dalam dekapan Dion. Aroma tubuh Dion menyeruak memasuki setiap rongga hidung Dhafina. Dada telanjangnya mampu membangkitkan gairah Dhafina. “Astaga! apa yang sedang aku pikirkan. Padahal aku sudah bersuami,” gumam Dhafina yang masih tetap dalam dekapan dada telanjang Dion. “Mikirin apa sih, Sayang?” tanya Dion menggoda. Ketika Dion berucap, tentu saja bibirnya sangat dekat dengan bibir Dhafina, hawa panas mulai terasa menyelimuti Dhafina yang seakan-akan enggan melepaskan tubuhnya dari Dion. “Nggak kok, tapi aku takut, Yon,” ujar Dhafina. “Nggak usah takut. Selama kamu ada di samping aku semuanya aman,” goda Dion. “Tapi lepasin dulu pelukannya, Yon! Aku engap,” titah Dhafina yang langsung dituruti Dion. Dion perlahan melepaskan pelukannya dari Dhafina, namun tidak disangka sesuatu terjadi. Handuk yang semula melilit pada tu
“Kakak mau kamu dan Adhis bercerai. Mau sampai kapan kamu berumah tangga dan tidak punya anak, Nendra!?” begitulah suara teriakan dari dalam rumah megah milik Adhisty yang terdengar nyaring di telinganya. Bak disambar petir pada siang bolong, Adhisty Charity yang baru saja pulang dari supermarket itu tidak sengaja mendengar percakapan Aswan Ganendra, suaminya, dan Trimega, kakak iparnya. Dari balik pintu utama rumahnya itu Adhisty menguping sebanyak yang ia bisa, tetapi semakin lama, semakin banyak hinaan yang terdengar di telinganya hingga Adhisty memutuskan untuk pergi menuju sebuah kedai kopi di dekat rumahnya. Adhisty kembali memasuki mobilnya dan melajukan kuda besi itu menuju kedai kopi Dandelion. Di sana lah ia bisa dengan tenang menjernihkan pikirannya. Masih terdengar jelas perkataan dari iparnya tadi, sebuah perintah bercerai yang begitu mudah diucapkan iparnya itu membuatnya sangat muak. Adhisty merasa selama enam tahun pernikahannya, keluarga Nendra terlalu ikut campur den
Adhisty ingin mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah dan masuk kembali untuk menemui gadis yang baru saja membuatnya terpana, tetapi ia segera tersadar dari lamunannya dan bergegas pulang untuk membicarakan dengan Nendra terlebih dahulu terkait keputusannya. Setelah sepuluh menit menyetir, Adhisty sudah tiba di rumahnya. Adhisty mengucap salam dan langsung memasuki rumahnya, tetapi tidak ada satupun manusia terlihat di sana. “Rupanya Kak Mega sudah pulang, ya?” gumamnya. Adhisty menuju dapurnya untuk meletakkan barang belanjaan yang tadi ia beli di supermarket, ia juga mengambil segelas air untuk diminumnya, “Loh, Dek, ko pulang ga ucap salam?” tanya Nendra mengejutkan Adhisty dan membuatnya tersedak.“Loh, tadi Adek sudah ucap salam loh, tapi rumah sepi banget, Mas juga dari mana saja?” giliran Adhisty yang bertanya kembali.“Em, A..anu.. Mas habis mandi tadi, ya, habis mandi, hehe,” jawab Nendra setengah terbata-bata ketika menjawab pertanyaan dari Adhis
“Soal itu Mas tidak tahu, Dek. Mungkin gebetannya, atau sepupunya atau saudaranya bisa jadi,” timpal Nendra yang mencoba untuk terlihat santai. Adhisty mengangguk mendengarkan perkataan Nendra. Kini, suasana hati Adhisy terasa lebih tenang dari sebelumnya. Adhisty bahkan mengungkit perkataan siang tadi yang belum selesai.“Mas, Adek mau lanjutin bahas obrolan tadi siang.” Tuturnya. Nendra hanya terlihat pasrah ketika Adhisty membahas masalah yang sama. Tetapi kali ini Nendra mau mendengarkan istrinya.“Setelah Adek pikir, mungkin kita harus bercerai, Mas.” Suasana seketika hening, lalu beberapa saat kemudian Nendra bersuara, “Kenapa harus bercerai? Mas tidak mau bercerai dengan kamu, Dek. Mas sungguh menyayangi kamu, Mas tidak peduli kita memiliki anak atau tidak.” Tegasnya.“Tapi kan Kak Mega dan keluarga Mas yang lainnya selalu merundungku, Mas. Aku tidak tahan dengan perlakuan mereka. Ditambah lagi tadi Kak Mega datang malah menyuruh Mas menceraikan aku,” Adhisty perlahan terisak
“Dasar wanita bodoh, kalau aja bukan karena perusahaan Papa bekerja sama dengan perusahaan pamannya, mana mungkin aku mau menikah dengannya.” Umpat Nendra kepada Adhisty usai mengirim pesan kepada Dhafina. Ya, pernikahan Nendra dan Adhisty adalah pernikahan bisnis yang direncanakan oleh Damar, ayah Nendra, dan Irfan, paman Adhisty. Perusahaan Damar bergerak di bidang advertising sementara perusahaan Irfan bergerak di bidang makanan. Demi menjalin kerja sama perusahaannya agar lebih stabil, mereka memutuskan untuk menikahkan Adhisty dan Nendra. Setelah mendapat perlakuan dingin dari suaminya, Adhisty menyusul Nendra ke kamarnya, ia ingin membicarakan lagi hal ini kepada Nendra. Ketika Adhisty membuka pintu kamar, terlihat Nendra sedang berbaring di kasurnya. Adhisty lalu menghampiri suaminya itu dan mengajaknya bicara.“Mas, masih marah ya sama Adek?” tanya Adhisty seraya menyentuh pipi Nendra. Nendra yang tertidur itu membukakan matanya dan merespon istrinya
“Ya. Adek sudah capek Mas dikucilkan keluarga Mas gara-gara gak bisa punya anak. Apalagi pas denger Kak Mega nyuruh Mas dan Adek cerai, rasanya sakit sekali, Mas. Siapa tahu dengan Mas menikah lagi, Mas bisa punya anak dan kebencian mereka terhadap Adek jadi hilang,” tidak terasa Adhisty berucap dengan air mata yang membasahi pipinya.“Baiklah, jika itu alasannya. Mas bersedia.” Degh! Jantung Adhisty rasanya tidak karuan, disatu sisi, ia senang karena Nendra akhirnya mau menikah dengan Dhafina. Disisi lain, ia juga sedih karena harus berbagi cinta dengan wanita lain di rumahnya. Tetapi semua sudah diputuskan dan ia harus siap dengan hal-hal pahit yang akan menimpanya nanti. Surat undangan sudah dibagikan kepada seluruh teman, keluarga dan kerabat Nendra maupun Dhafina, tinggal empat hari lagi menjelang pernikahan Nendra dan Dhafina akan digelar. Semua biaya catering, biaya gedung dan lainnya sudah siap. Tinggal menunggu hari-H saja. Adhisty tengah bersantai me