“Dasar wanita bodoh, kalau aja bukan karena perusahaan Papa bekerja sama dengan perusahaan pamannya, mana mungkin aku mau menikah dengannya.” Umpat Nendra kepada Adhisty usai mengirim pesan kepada Dhafina.
Ya, pernikahan Nendra dan Adhisty adalah pernikahan bisnis yang direncanakan oleh Damar, ayah Nendra, dan Irfan, paman Adhisty. Perusahaan Damar bergerak di bidang advertising sementara perusahaan Irfan bergerak di bidang makanan. Demi menjalin kerja sama perusahaannya agar lebih stabil, mereka memutuskan untuk menikahkan Adhisty dan Nendra.
Setelah mendapat perlakuan dingin dari suaminya, Adhisty menyusul Nendra ke kamarnya, ia ingin membicarakan lagi hal ini kepada Nendra. Ketika Adhisty membuka pintu kamar, terlihat Nendra sedang berbaring di kasurnya. Adhisty lalu menghampiri suaminya itu dan mengajaknya bicara.
“Mas, masih marah ya sama Adek?” tanya Adhisty seraya menyentuh pipi Nendra. Nendra yang tertidur itu membukakan matanya dan merespon istrinya. “Nggak, Mas nggak marah, kok. Mas cuma heran aja sama kamu, Dek. Memangnya tidak ada cara lain ya? Mas nggak sanggup kalau harus berbagi cinta Mas dengan yang lain,” tuturnya berdusta.
Adhisty yang mendengar itu seketika menitikkan air matanya. “Adek tahu kok Mas begitu menyayangi Adek, tapi Adek sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Adek mohon Mas mau ya.” pintanya.
“Terserah Adek saja. Mas capek, mau tidur,” jawabnya.
Malam berlalu begitu saja, semenjak Adhisty berinisiaif untuk menyuruh Nendra menikah lagi, ia justru merasa rumah tangganya tidak begitu harmonis, Nendra menjadi sangat cuek terhadapnya. Tetapi, demi menjaga kesehatan mentalnya dari rundungan keluarga Nendra, Adhisty rela membagi cintanya dengan wanita lain asal Nendra memiliki anak meski dari perempuan lain.
Semakin lama, Adhisty sengaja mendekati Dhafina dan semakin sering berinteraksi dengannya, tak jarang mereka pun bertemu dan nongkrong besama di kedai kopi. Suatu hari, Adhisty meminta izin kepada Dhafina untuk membawa suaminya ketika mereka bertemu lagi. Dhafina pun tidak keberatan dengan permintaan Adhisty.
Siang ini, di kedai kopi Dandelion, seorang gadis anggun tengah duduk menunggu kedatangan seseorang. Gadis itu adalah Dhafina, hari ini Dhafina mengenakan gaun selutut dengan sangat manis. Ya, Adhisty merencanakan pertemuan mereka. Adhisty berdalih bosan pergi sendiri dan mengajak Nendra sehingga Nendra pun mau ikut dengannya.
Adhisty menghampiri Dhafina yang tengah duduk menikmati kopinya, disusul dengan Nendra di belakangnya. Adhisty lalu menghampiri Dhafina dan menyapanya. “Dik Fin, sudah lama menunggu, ya?” sapa Adhisty. Dik Fin adalah sapaan Adhisty untuk Dhafina agar terkesan lebih dekat.
“Nggak kok, Mbak. tidak terlalu lama.” Mereka bertiga duduk kembali, Adhisty lalu memperkenalkan Nendra kepada Dhafina. “Oh iya Dik, ini Mas Nendra, suami saya. Dan ini Dhafina Mas, yang tempo lalu Adek ceritain sama Mas.”
Nendra terlihat cuek hanya dengan mengatakan, “Oh, iya. Saya Nendra, suami Adhisty,” tuturnya seraya menjulurkan tangannya kepada Dhafina. Dhafina pun membalas menjabat tangan Nendra dan sesekali melemparkan senyum termanisnya.
Mereka bertiga terlibat percakapan yang cukup seru, bahkan Adhisty merasa sangat senang karena Nendra dapat berbaur dengan cepat meski baru pertama kali bertemu dengan Dhafina. Melihat Nendra sudah tidak canggung lagi dengan Dhafina, Adhisty berinisiatif untuk meninggalkan mereka agar lebih dekat lagi. Adhisty berpura-pura akan pergi bertemu dengan Iren untuk keperluan penerbitan buku solonya.
“Mas, Adek lupa ada janji sama Iren buat bahas buku soloku yang akan terbit bulan depan, Mas temani Dhafina dulu ya.” Titahnya.
“Tapi Dek, Mas gak enak berduaan saja sama Dhafina di sini,” Nendra terlihat berbisik kepada Adhisty.
“Tidak apa-apa, Mas. Siapa tahu Mas bisa cocok sama dia,” balas Adhisty membisik. Adhisty lalu pergi dari kedai kopi itu dan meninggalkan mereka berdua di sana.
Selepas Adhisty tidak terlihat dari pandangan Dhafina dan Nendra, mereka berdua terbahak menertawakan kebodohan Adhisty. “Acting kamu bagus banget, Sayang.” Puji Nendra kepada pacarnya itu.
“Kamu juga. Bodoh banget emang istri kamu itu.” Mereka kembali tertawa dan saling memuji satu sama lain. “Tapi lain kali jangan sebut dia istri kamu di depan Aku, ya. Aku nggak suka,” rengek Dhafina.
“Iya, Aku kan tadi hanya acting aja, Sayang. Maaf ya,” ucap Nendra sambil mengelus pipi Dhafina yang sehalus permen kapas. Dhafina tersipu dan kemudian mengajak Nendra untuk mampir ke apartemennya seperti biasa.
Hari ini, mentari terlihat lebih cepat tenggelam. Langit sudah mulai gelap, Nendra yang sedang berada di apartemen Dhafina segera berpamitan untuk pulang agar tidak terlalu dicurigai oleh istrinya jika pulang terlambat. Dhafina lalu merengek meminta Nendra agar tidak pulang, tetapi demi menjalankan misinya agar tetap natural, Nendra menyuruh Dhafina untuk sabar dan mengikuti skenarionya.
“Kamu sabar dulu, Sayang. Sebentar lagi pasti istriku, maksudku Adhisty pasti akan menyuruhku untuk segera menikahimu. Jadi tunggulah sampai waktu itu tiba, ya.” Perintah Nendra diiringi dengan sebuah kecupan hangat di kening Dhafina.
Nendra pun melajukan mobilnya dengan sangat cepat, ia khawatir jika Adhisty sudah berada di rumah lebih dulu darinya. Ketika sampai di rumah, untungnya Adhisty belum tiba. Nendra dengan cepat mengganti baju dan berbaring di sofa ruang tengah, tak lama kemudian Adhisty pulang dengan membawa beberapa kue kesukaannya.
“Loh, Mas sudah di rumah ternyata?” tanyanya. “Iya, tadi Mas langsung pulang pas ketemu sama Dhafina,” jawabnya terkesan tidak peduli dan cuek.
“Oh ya Mas, gimana tadi menurut Mas?” tanya Adhisty penasaran dengan tanggapan suaminya mengenai Dhafina. “Apa? Dhafina? Biasa saja, Dek. Lebih cantik kamu kemana-mana,” godanya.
“Ih Mas, Adek serius. Kalau Adek minta Mas buat nikahin Dhafina, Mas mau tidak?” “Adek sebegitu inginnya ya Mas nikah lagi?” bukannya bertanya, Nendra justru bertanya balik kepada istrinya.
“Apa nggak apa-apa kalau aku ma…” Dion menghentikan ucapan Dhafina dengan sengaja menariknya lalu menutup pintu. Dhafina yang belum bersiap itu sudah berada dalam dekapan Dion. Aroma tubuh Dion menyeruak memasuki setiap rongga hidung Dhafina. Dada telanjangnya mampu membangkitkan gairah Dhafina. “Astaga! apa yang sedang aku pikirkan. Padahal aku sudah bersuami,” gumam Dhafina yang masih tetap dalam dekapan dada telanjang Dion. “Mikirin apa sih, Sayang?” tanya Dion menggoda. Ketika Dion berucap, tentu saja bibirnya sangat dekat dengan bibir Dhafina, hawa panas mulai terasa menyelimuti Dhafina yang seakan-akan enggan melepaskan tubuhnya dari Dion. “Nggak kok, tapi aku takut, Yon,” ujar Dhafina. “Nggak usah takut. Selama kamu ada di samping aku semuanya aman,” goda Dion. “Tapi lepasin dulu pelukannya, Yon! Aku engap,” titah Dhafina yang langsung dituruti Dion. Dion perlahan melepaskan pelukannya dari Dhafina, namun tidak disangka sesuatu terjadi. Handuk yang semula melilit pada tu
Langit pekat mulai terlihat, cerahnya siang segera berganti malam. Saatnya Adhisty dan Nendra pulang ke rumah. Kegiatan yang sama terus berulang. Pergi pagi hari pulang malam hari dengan berbagai kesibukan yang berbeda. Santapan makan malam sudah tersedia di meja makan. Tentu saja Dhafina telah menyiapkan semuanya. Begitu Adhisty dan Nendra pulang, mereka langsung menuju meja makan setelah mencium aroma wangi masakan yang memaksa masuk ke indera penciuman mereka. “Fin, tumben sekali menyiapkan makan malam,” ujar Adihsty seraya mendaratkan bokongnya di kursi. “Udah lah, Dek, tinggal makan aja repot,” bela Nendra kepada istri keduanya itu yang turut mendaratkan bokongnya juga. “Iya tapi nggak biasanya aja, Mas.” “Aku kan hari ini nggak kerja, Mbak. Jadi mending masak aja buat kalian. Kalian pasti capek kan seharian habis kerja?” tanya Dhafina bersimpati. “Iya, makasih, Fin.” Adhisty berucap malas. Merek
Dhafina tergesa-gesa menuju alamat yang tertera pada kartu nama yang sempat diberikan Dion kepadanya. Di alamat itu tercantum nama ‘Dion Sparepart “Rupanya impian kamu terwujud juga, ya, Yon,” gumam Dhafina seraya menatap terus kartu nama yang digenggamnya. Setelah 5 menit memesan mobil online lewat ponsel, tak lama sang supir pun sudah tiba di depan rumah. Dhafina bergegas keluar lalu menghampiri supir itu. “Siang, Pak,” sapanya dengan lembut. “Siang, Mbak. Ke Dion Sparepart, ya?” tanya sang supir. “Iya, Pak. Agak cepat, ya!” “Baik, Mbak.” Tidak butuh waktu lama, mobil itu kini sudah berhenti di depan toko Dion. Begitu ia turun dari mobil, gedung 6 tingkat di depannya menyuguhkan pemandangan yang sangat mengagumkan. Begitu besar dan mewah. 2 orang satpam terlihat sedang berjaga di depan pintu utama yang seluruhnya terbuat dari kaca. Dhafina tidak berhenti mengagumi keindahan setiap detil bangunan yang sedang ia
“Bukan siapa-siapa, Mas. Mas tidur lagi aja, masih malam lho, ini.” Adhisty langsung membalikan layar ponselnya karena khawatir Nendra melihat apa yang sedang ia sembunyikan.Adhisty sengaja menyimpan bukti tersebut untuk digunakan pada saat keadaan mendesak. Ia pikir sekarang bukan saatnya untuk menjadikan foto itu sebagai senjata. Masih banyak hari esok seraya mengumpulkan bukti-bukti lain.Keesokan harinya, Dhafina terbangun dengan kondisi badan yang payah. Berulang kali ia pergi ke kamar mandi memuntahkan sisa-sisa mabuknya semalam. Seisi kamarnya bau alkohol. Namun Nendra belum mengetahui hal itu karena ia masih tertidur.Pukul 05.30, Adhisty menuju dapur untuk menyiapkan sarapan karena dengan kondisi Dhafina yang seperti itu mustahil baginya bisa menyiapkan sarapan seperti biasa. Maka Adhisty berinsiatif untuk memasak sendiri hari ini.Karena aroma masakan yang begitu kuat, Nendra akhirnya terbangun dan langsung menuju ruang makan untuk sarapan. Dengan mata yang masih menahan
“Apa Pak Bram mengingat sesuatu tentang camilan itu? Apa Pak Bram pernah memakan camilannya?” tanya Gamal yang menyadari jika Bram terlihat sedang memikirkan sesuatu. Peter tiba-tiba menoyor kepala Gamal yang dianggapnya sok tahu itu sambil berkata, “Semua orang di kota ini pasti pernah makan Charty Snack. Dari zaman gue SD juga snack itu udah ada, bambang!” ucap Peter sangat kesal. “Eh nama gue Gamal, bukan Bambang, ya.” “Serah dah!” Bukan rahasia umum jika perusahaan Charty Snack begitu terkenal. Selain terkenal, perusahaan makanan ringan ini pun sudah sangat eksis dari puluhan tahun lalu. Konsistensi terhadap rasa dari setiap camilannya membuat pelanggan mereka tetap setia dan tidak ingin berpaling ke camilan kompetitor. Namun bukan itu yang sedang dipikirkan oleh Bram, begitu mendengar nama Charty, ia seakan pernah mendengar nama itu di masa lalunya, tetapi Bram masih ragu apakah Charty dalam ingatannya ha
Langkah Adhisty semakin dekat ke arah pria yang semula dilihatnya, dengan segenap rasa ragu yang menyelimuti, Adhisty memberanikan diri berjalan menuju meja yang akan ia tuju. “Jika benar dia adalah Bram, oh sungguh aku akan jadi gila. Bram yang kukenal dulu kumal dan miskin, bagaimana bisa Bram berubah menjadi tampan dan begitu keren seperti saat ini? Bahkan aura kekayaan terpancar di wajahnya,” gumam Adhisty seraya terus melangkahkan kakinya.Adhisty terus berjalan seperti seorang penguntit tanpa sadar jika ada dua orang penjaga memperhatikannya. Sedikit lagi Adhisty tiba di meja itu, namun sang penjaga dengan sigap mencegah Adhisty untuk berjalan lebih jauh lagi.“Stop!” ucap salah satu pria berbadan tinggi dan bertubuh bongsor, peringainya sangat seram jika dilihat dari dekat.“Astaga!” Adhisty terkejut ketika langkahnya diketahui oleh pria besar tadi.“Ibu mau ke mana? Ibu penggemar salah satu pria tampan yang ada di meja itu, ya? Saya sudah banyak ketemu wanita modelan Ibu gini,