Ada sesuatu yang aneh didalam bus ini. Melaju dengan kecepatan di atas rata-rata sopir tampak gugup. Aku yang duduk tepat di depan dekat pintu kernek samar melihat gerak bibir pengemudi dengan kernek. Rem blong!
Jalanan terus menurun semakin mempercepat laju bus. Para penumpang yang tidak paham hanya diam. Tidak pernah tau jika nyawa terancam.
Tiba-tiba dari arah depan terdapat mobil yang hendak menyeberang agresif. Terkejut! Sopir bus yang aku tumpangi membanting setir ke kanan. Tanpa rem menabrak beton pembatas jalan. Selayaknya terbius kilat oleh waktu. Tidak ada yang sempat berteriak. Bus terpelanting sejauh sepuluh meter dari arah tabrakan. Bagian depan ringsek parah. Beruntung jalanan masih sepi. Hingga kecelakaan itu tunggal.
Aku yang terhimpit kursi berangsur keluar. Meninggalkan orang-orang dengan kondisinya masing-masing. Tidak ada yang bisa dibilang baik-baik saja. Bahkan bisa kuduga ada beberapa yang meninggal. Tepat dibagian depan pojok kanan. Kecuali aku.
Aku berdiri angkuh diluar bus. Tidak ada bekas luka apapun. Semua itu tidak akan terjadi. Tidak akan ada kisah tragis. Karena kejadian simpel barusan hidup dalam pikiranku. Improvisasi dari keinginaku yang ingin mati.
"Giwangan!"
Mata yang sibuk menerawang kosong keluar jendela tersebut kembali pada posisi semula. Aku mengalihkan atensi pada kernek bus yang bersuara lantang beberapa kali dengan kalimat yang sama. Kemudian bembanting stir menoleh ke arah luar jendela. Sebentar lagi aku akan sampai di terminal Giwangan, Jogja. Kuhapus mataku dari jejak airnya.
Miko: "Udah sampai mana?"
"Bentar lagi juga sampai di terminal,": Rani
Miko:"Okey. Nanti kalau udah sampai kabari ya. Ini aku juga udah selesai kerja."
"Iya,": Rani
Secarik senyum mengembang beberapa mili. Chat singkat dari Miko membuatku limbung ke dasar angkasa. Kupikir Miko hanya membual ketika berujar hendak menjemput.
Cahaya agak meredup. Bus yang tengah kutumbangi berhenti tepat di terminal Giwangan. Seluruh penumpang berbondong-bondong ingin segera terbebas dari kegabutan duniawi. Lekas beristirahat selepas perjalanan panjang. Hal itu membuat aku menyimpan android pada saku jaket, menggendong tas belakang, kemudian menunggu antrian untuk keluar dari bus. Cukup berdesakan karena memang ini menjadi tempat paling banyak dituju penumpang.
Kaki beralaskan sepatu joger khas Bali, oleh-oleh terbaik yang mampu ku beli ketika studi tour sekolah dulu menginjak plasteran terminal. Mataku awas menatap ke sekeliling. Ada beberapa orang yang tengah mengawasi saat ini. Aku bersikap cuek dan terus berjalan menuju kursi tunggu, duduk sebentar di sana untuk membuka chat Miko lagi.
Tidak ada kabar dari pemuda tersebut. Agak dongkol karena aku tidak suka menunggu. Kendati demikian aku bermonolog mungkin masih dalam perjalanan.
"Kamu di mana, Zyn?": Rani
Sepersekon tidak ada jawaban apapun dari Miko. Dengan hikmat aku menunggu sambil memandang area sekitar yang penuh dengan penjual jajanan serta oleh-oleh khas Jogja. Dan ketika manik hitamku beralih pada sudut kanan jalan. Segerombolan orang yang tengah lenggah santai diatas motor menatap ke arah ku.
Salah satu diantara mereka berdiri, mendekat. Membuat ku agak gugup sebenarnya. Adakah yang salah dengan diriku?
"Tujuannya kemana, mbak? Biar saya antar." Ucapannya lembut, sapaan sopan dari produsen ke konsumen.
Aku tersenyum, menggeleng cepat. "Tidak, Pak. Terimakasih, saya dijemput."
Dengan penuh pengertian bapak ojek tersebut undur diri. Tidak berselang lama notifikasi muncul dari Miko.
Miko: "Keluar, aku di depan terminal."
Aku menoleh ke belakang. Jalanan agak jauh dari tempat aku duduk. Sekitar lima puluh meter. Aku menjawab pesan Miko singkat.
"Bentaran, Zyn. Pintu terminal sebelah mana?😩": Rani
Tanyaku dalam ketikan chat. Padahal aku telah memperkirakan kalau jalannya tepat di belakangku. Tetap saja ku kirim pesan tersebut sambil berjalan menuju pintu keluar. Aku agak heran karena tepat di jalanan raya tidak ada satupun kendaraan berhenti yang menandakan Miko di sana.
"Kamu di mana, sih?": Rani
Miko:"Di kanan jalan. Kamu majulah."
Kanan jalan? Kanan ketika aku menghadap barat atau timur? Ini rumit. Tidak mungkin aku menyebrang.
"Nggak ada!": Rani
Miko: "Kamu jalan ke kanan."
Aku berbalik, ke arah kanan dengan setengah ragu.
"Kok kamu nggak ada? Pakai baju apa?":Rani
Miko: "Kamu mundur, di sana ada mobil. Nah, aku dibelakangnya."
Aku yang kembali menatap ke arah jalan raya tersebut berbalik. Dibelakang tepat terdapat mobil putih di depan minimarket. Tetapi di sana terdapat keraguan pula. Mustahil. Aku mendekat, melihat apakah ada motor Miko di sana.
Miko:"Hitam."
Miko: "Loh, nih bocah! Kamu ke mana?"
Kesal setengah mati. Aku kembali kepinggir jalan raya. Begitu menoleh ke kiri aku mendapati seseorang dengan rambut agak gondrong, baju hitam, masker merah dan celana cream. Meski ragu untuk menyapa. Gelagat pemuda tersebut cukup mencurigakan.
"Di mana, sih Mik!": Rani
Aku kesal bukan main. Kutatap pemuda itu lagi. Tampak terlihat santai bermain handphone dan sesekali menatap ku aneh. Aku jadi curiga.
Ku tekan tombol telepon. Mendekatkan android itu ke arah telinga. Dan pemuda tersebut melakukan hal yang sama. Menempelkan android ke telinga. Terdengar suara tawa dari arah sebrang. Dan kulihat pemuda itu juga tertawa.
Aku mendekat sambil menghentakkan kaki. "Miko! Kamu tuh, nyebelin banget, sih? Nggak tau apa, aku jalan kaya orang linglung. Ngeliatin mobil kaya orang mau maling."
Dia melihatku tengah marah, tidak berusaha menenangkan tetapi malah tertawa. Bahkan ia dengan repot membuka masker agar tawanya membuncah. Rona cokelatnya nampak jahil minta dipites. Aku memukul punggung Miko yang hanya memiliki selisih tinggi lima sentimeter di atasku.
"Lah kamu, di bilangin noleh ke belakang. Malah nggak konek. Bikin gemes!"
"Sinyalnya yang nggak konek! Tau gitu telfon aja." Ujarku mbesungut.
Miko masih tertawa dengan sisa-sisa kecil. Membuatku makin dongkol, pemuda cerewet ini.
"Terus mana motormu?" memilih untuk mengubah topik. Aku mengalihkan perhatian Miko dari tawanya.
"Noh! Di belakang mobil sana," Miko menunjuk ke arah kiri mereka. Di sana terdapat mobil putih terparkir di pinggir jalan. Tampaknya motor Miko terhalang mobil tersebut, "lah kamu, di suruh mundur malah masuk ke minimarket."
"Nggak masuk! Di sana juga ada mobil," kilahku penuh realita.
"Masa, sih?" ledeknya dengan nada dibuat-buat.
Dan masih sama dengan tawanya yang menyebalkan.
"Kayaknya Angga suka deh sama kamu."Aku tidak cukup bodoh untuk menyadarinya. Tetapi apa peduliku? Yang kupikirkan saat ini hanya ketenangan batin. Tidak lebih."Tau dari mana?""Keliatan jelas banget dari matanya. Gelagatnya juga kelihatan tidak suka dengan kehadiranku." Aku tidak cukup paham kenapa Farhan terkekeh saat mengucapkan itu. Tetapi ia kembali meneruskan, "dia itu kaya bocil. Pikirannya belum dewasa.""Tauu, kamu saja juga gitu.""Lah, kalau aku kan kaya gini biar ngimbangin kamu."Saat itu aku hanya bisa tersenyum kecil. Tidak tau harus seperti apa menanggapi. Tapi satu hal yang pasti, terkadang aku membenci semesta. Ia mampu melambatkan atau mempercepat waktu. Dan yang mengesalkan ia tidak berkoordinasi denganku. Dia lancang mempercepat waktu sampai larut malam. Bahkan sebelum aku bisa merasakan arti dari perjalanan ini.
Seringkali aku berusaha menebak. Kata apa saja yang telah diucapkan Desi tentangku pada Farhan. Sanjungankah? Atau bahkan keburukan?Entah mengapa aku menjadi sepeduli ini mengenai pendapat Farhan tentang diriku. Terlepas dari iya atau tidak Desi mengumpat dibelakangku. Yang paling penting untuk saat ini hanya satu. Farhan masih menghubungiku walau sekedar butuh.Tepat pukul 8 malam nanti Farhan berjanji akan datang. Mengajakku keliling Jogja, terutama Malioboro. Meski aku sudah sering ketempat itu, pasti akan lain lagi rasanya jika Farhan yang menemani.Dengan diiringi rasa nano-nano aku membereskan resto untuk tutup. Hal itu tidak lepas dari kebahagiaan yang menular pada Bu Ikhlas. Beliau sesekali mengarahkan aku untuk bersiap-siap. Baju apa yang sekiranya pantas dipakai?Rasanya jantung seolah ingin lepas dari asalnya begitu paham Farhan datang lebih awal. N
Aku mengangguk tanpa ragu, meletakkan android milikku ke atas meja. "pakai saja, nggak disandi," ujarku ringan. Dulu pernah bersama dengan Farhan selama dua bulan lebih membuatku dan ia layaknya kakak adik. Kupikir tidak ada yang salah dengan terbuka padanya.Dengan wajah pucat tanpa ekspresi tersebut aku tak acuh menatap Farhan melakukan sesuatu pada androidku. Sekilas aku mendengar dari belakang Desi masih setia mendongeng merdu bersama Bu Ikhlas dan Nurul. Dan Angga masih setia bercinta dengan game yang aku tidak tau apa namanya dibangku pojok, terpisah menyendiri.Selama aku bekerja dua bulan ini, Angga terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Berselancar jauh meninggalkan posisinya. Tentu saja aku tidak peduli dengan siapapun. Bagaimanapun."Hai, Mik!"Secara mendadak aku tersadar. "Kamu ngapain, Han?"Sekilas senyum licik menjelma jail. Farhan menurunkan posisi android ku yang semula b
Seperti biasa, dalam acara makan malam bersama sebagai karyawan aku duduk tersisih. Satu meja dengan Angga dan saling berhadapan. Sungguh aneh jika Bu Ikhlas dan Nurul yang baru keluar dari rumah lebih memilih meja lain. Sedangkan setiap meja mampu menampung empat orang. Terdapat banyak celah di mejaku untuk mereka bergabung. Tatkala begitu, aku sungguh tidak peduli. Mereka punya hak atas apa yang ingin mereka lakukan.Dalam keheningan yang menyapu temaram selepas menuntaskan makanan, aku lebih memilih sibuk dengan android. Membuat cerita fantasi berjudul "Wolf Fair Eyes" di Wattpad. Mengabaikan Nurul dan Bu Ikhlas yang sibuk bercanda gurau. Sedangkan Angga? Aku yakin bahwa pemuda tersebut sibuk bermain game.Berbeda dari malam biasanya, saat ini mereka tengah menanti seseorang. Aku tidak tahu siapa itu, dan tentunya aku tidak peduli. Bu Ikhlas bilang namanya Desi. Menurut ceritanya Desi dulu hanyalah anak berandal yang suka mengumpat sana-sini. Namun lambat laun segal
'Alam pernah berkata...Ada kalanya dua pasang manusia yang saling mencinta itu kadang ditakdirkan tidak untuk bersama. Mereka hanya akan melengkapi separuh rasanya untuk orang lain yang dirasa lebih pantas mendapatkanya. Dan itu terjadi antar aku denganmu. Ada rasa sesal yang tidak pernah bisa membalikkan waktu ketika aku tidak bisa menyangkal perasaanku sendiri.'Catatan kecil tersebut seakan menjelma bebatuan terjal yang menimpaku secara bersamaan. Kesakitannya seolah becek tanpa pengering.Jika resiko mencintai adalah terluka. Maka aku adalah pemegang rekor murni, tanpa terbalas telah meninggalkan bekas. Lelah akan harap yangku bangun sendiri.
"Ish, kamu mah ngga tau. Bahasa cinta itu indah. Nanti kamu sakit hati loh ngga pernah mau berjuang selagi bisa.""Cinta itu relatif, In. Dia bakal datang dan pergi kapan saja dan kepada hati siapa saja kamu mau, asalkan kita ilhlas dan sungguh-sungguh. Ngga bakal sakit hati, deh." Kala itu aku masih berpegang teguh.Semilir angin menjeda perdepatan. Meluangkan otak untuk berpikir jernih. Kata yang barusan terucap. Apakah iya? Aku bahkan ragu dengan diriku sendiri. Aku hanya berusaha menipu untuk sejumput ketenangan."Aku bingung banget sama perasaanku sendiri." Ina memusatkan perhatiannya ke arahku yang menunduk, memainkan rerumputan yang tampak hijau."Kamu cuman terlalu sering me