Share

Part 3: Improvisasi

Ada sesuatu yang aneh didalam bus ini. Melaju dengan kecepatan di atas rata-rata sopir tampak gugup. Aku yang duduk tepat di depan dekat pintu kernek samar melihat gerak bibir pengemudi dengan kernek. Rem blong!

Jalanan terus menurun semakin mempercepat laju bus. Para penumpang yang tidak paham hanya diam. Tidak pernah tau jika nyawa terancam.

Tiba-tiba dari arah depan terdapat mobil yang hendak menyeberang agresif. Terkejut! Sopir bus yang aku tumpangi membanting setir ke kanan. Tanpa rem menabrak beton pembatas jalan. Selayaknya terbius kilat oleh waktu. Tidak ada yang sempat berteriak. Bus terpelanting sejauh sepuluh meter dari arah tabrakan. Bagian depan ringsek parah. Beruntung jalanan masih sepi. Hingga kecelakaan itu tunggal.

Aku yang terhimpit kursi berangsur keluar. Meninggalkan orang-orang dengan kondisinya masing-masing. Tidak ada yang bisa dibilang baik-baik saja. Bahkan bisa kuduga ada beberapa yang meninggal. Tepat dibagian depan pojok kanan. Kecuali aku.

Aku berdiri angkuh diluar bus. Tidak ada bekas luka apapun. Semua itu tidak akan terjadi. Tidak akan ada kisah tragis. Karena kejadian simpel barusan hidup dalam pikiranku. Improvisasi dari keinginaku yang ingin mati.

"Giwangan!"

Mata yang sibuk menerawang kosong keluar jendela tersebut kembali pada posisi semula. Aku mengalihkan atensi pada kernek bus yang bersuara lantang beberapa kali dengan kalimat yang sama. Kemudian bembanting stir menoleh ke arah luar jendela. Sebentar lagi aku akan sampai di terminal Giwangan, Jogja. Kuhapus mataku dari jejak airnya.

Miko: "Udah sampai mana?"

"Bentar lagi juga sampai di terminal,": Rani

Miko:"Okey. Nanti kalau udah sampai kabari ya. Ini aku juga udah selesai kerja."

"Iya,": Rani

Secarik senyum mengembang beberapa mili. Chat singkat dari Miko membuatku limbung ke dasar angkasa. Kupikir Miko hanya membual ketika berujar hendak menjemput.

Cahaya agak meredup. Bus yang tengah kutumbangi berhenti tepat di terminal Giwangan. Seluruh penumpang berbondong-bondong ingin segera terbebas dari kegabutan duniawi. Lekas beristirahat selepas perjalanan panjang. Hal itu membuat aku menyimpan android pada saku jaket, menggendong tas belakang, kemudian menunggu antrian untuk keluar dari bus. Cukup berdesakan karena memang ini menjadi tempat paling banyak dituju penumpang.

Kaki beralaskan sepatu joger khas Bali, oleh-oleh terbaik yang mampu ku beli ketika studi tour sekolah dulu menginjak plasteran terminal. Mataku awas menatap ke sekeliling. Ada beberapa orang yang tengah mengawasi saat ini. Aku bersikap cuek dan terus berjalan menuju kursi tunggu, duduk sebentar di sana untuk membuka chat Miko lagi.

Tidak ada kabar dari pemuda tersebut. Agak dongkol karena aku tidak suka menunggu. Kendati demikian aku bermonolog mungkin masih dalam perjalanan.

"Kamu di mana, Zyn?": Rani

Sepersekon tidak ada jawaban apapun dari Miko. Dengan hikmat aku menunggu sambil memandang area sekitar yang penuh dengan penjual jajanan serta oleh-oleh khas Jogja. Dan ketika manik hitamku beralih pada sudut kanan jalan. Segerombolan orang yang tengah lenggah santai diatas motor menatap ke arah ku.

Salah satu diantara mereka berdiri, mendekat. Membuat ku agak gugup sebenarnya. Adakah yang salah dengan diriku?

"Tujuannya kemana, mbak? Biar saya antar." Ucapannya lembut, sapaan sopan dari produsen ke konsumen.

Aku tersenyum, menggeleng cepat. "Tidak, Pak. Terimakasih, saya dijemput."

Dengan penuh pengertian bapak ojek tersebut undur diri. Tidak berselang lama notifikasi muncul dari Miko.

Miko: "Keluar, aku di depan terminal."

Aku menoleh ke belakang. Jalanan agak jauh dari tempat aku duduk. Sekitar lima puluh meter. Aku menjawab pesan Miko singkat.

"Bentaran, Zyn. Pintu terminal sebelah mana?😩": Rani

Tanyaku dalam ketikan chat. Padahal aku telah memperkirakan kalau jalannya tepat di belakangku. Tetap saja ku kirim pesan tersebut sambil berjalan menuju pintu keluar. Aku agak heran karena tepat di jalanan raya tidak ada satupun kendaraan berhenti yang menandakan Miko di sana.

"Kamu di mana, sih?": Rani

Miko:"Di kanan jalan. Kamu majulah."

Kanan jalan? Kanan ketika aku menghadap barat atau timur? Ini rumit. Tidak mungkin aku menyebrang.

"Nggak ada!": Rani

Miko: "Kamu jalan ke kanan."

Aku berbalik, ke arah kanan dengan setengah ragu.

"Kok kamu nggak ada? Pakai baju apa?":Rani

Miko: "Kamu mundur, di sana ada mobil. Nah, aku dibelakangnya."

Aku yang kembali menatap ke arah jalan raya tersebut berbalik. Dibelakang tepat terdapat mobil putih di depan minimarket. Tetapi di sana terdapat keraguan pula. Mustahil. Aku mendekat, melihat apakah ada motor Miko di sana.

Miko:"Hitam."

Miko: "Loh, nih bocah! Kamu ke mana?"

Kesal setengah mati. Aku kembali kepinggir jalan raya. Begitu menoleh ke kiri aku mendapati seseorang dengan rambut agak gondrong, baju hitam, masker merah dan celana cream. Meski ragu untuk menyapa. Gelagat pemuda tersebut cukup mencurigakan.

"Di mana, sih Mik!": Rani

Aku kesal bukan main. Kutatap pemuda itu lagi. Tampak terlihat santai bermain handphone dan sesekali menatap ku aneh. Aku jadi curiga.

Ku tekan tombol telepon. Mendekatkan android itu ke arah telinga. Dan pemuda tersebut melakukan hal yang sama. Menempelkan android ke telinga. Terdengar suara tawa dari arah sebrang. Dan kulihat pemuda itu juga tertawa.

Aku mendekat sambil menghentakkan kaki. "Miko! Kamu tuh, nyebelin banget, sih? Nggak tau apa, aku jalan kaya orang linglung. Ngeliatin mobil kaya orang mau maling."

Dia melihatku tengah marah, tidak berusaha menenangkan tetapi malah tertawa. Bahkan ia dengan repot membuka masker agar tawanya membuncah. Rona cokelatnya nampak jahil minta dipites. Aku memukul punggung Miko yang hanya memiliki selisih tinggi lima sentimeter di atasku.

"Lah kamu, di bilangin noleh ke belakang. Malah nggak konek. Bikin gemes!"

"Sinyalnya yang nggak konek! Tau gitu telfon aja." Ujarku mbesungut.

Miko masih tertawa dengan sisa-sisa kecil. Membuatku makin dongkol, pemuda cerewet ini.

"Terus mana motormu?" memilih untuk mengubah topik. Aku mengalihkan perhatian Miko dari tawanya.

"Noh! Di belakang mobil sana," Miko menunjuk ke arah kiri mereka. Di sana terdapat mobil putih terparkir di pinggir jalan. Tampaknya motor Miko terhalang mobil tersebut, "lah kamu, di suruh mundur malah masuk ke minimarket."

"Nggak masuk! Di sana juga ada mobil," kilahku penuh realita.

"Masa, sih?" ledeknya dengan nada dibuat-buat.

Dan masih sama dengan tawanya yang menyebalkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status