Share

Airin cemburu

Aku pamit kembali ke kamarku. Jujur jika berlama-lama di meja makan, aku takut jika tidak bisa lagi menahan air mataku.

Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan mereka berdua.

Setelah sampai di dalam kamar. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tutup wajahku dengan batal agar tak ada yang mendengar suara tangisanku.

Aku menangis sampai tertidur. Aku terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu.

Aku lihat sudah pukul satu dini hari. Aku penasaran siapa yang mengetuk pintu kamarku malam-malam begini.

Ketika aku membuka pintu, ternyata mas Ikhsan sudah berdiri disana.

Mas Ikhsan langsung masuk kedalam kamar.

Mas Ikhsan langsung memeluk tubuhku.

"Dek... Maafin Laras ya... Mungkin dia belum bisa menguasai rasa cemburunya." Ucapnya sambil mengecup keningku.

"Mas... Kenapa kesini? Nanti bagaimana jika Mbak Laras tahu."

"Laras sudah tidur. Mas kangen sama kamu." Jawabnya. Mas Ikhsan memintaku untuk melayaninya.

"Bukankah Mas sudah dilayani mbak Laras?"

"Beda dong Dek...  Pelayananmu membuatku sulit melupakan rasa itu, belum ada yang bisa membuat Mas merasakan kenikmatan seperti itu selama ini,"Kata-Kata itu sering aku dengar dari pelangganku dulu.  Mereka selalu ketagihan dengan servis yang aku berikan. Jadi aku tidak terkejut jika mas Ikhsan mengatakan hal itu.  Aku tidak mau lagi berebat dengannya.  Jadi dengan sedikit terpaksa aku layani mas Ikhsan. 

Setelah selesai menyalurkan hasratnya, mas Ikhsan langsung kembali ke kamar Mbak Laras.

Perih... Hatiku semakin perih dibuatnya. Setelah mas Ikhsan menuntaskan hasratnya dia langsung pergi begitu saja. Tanpa kecupan mesra atau basa-basi. Bahkan para pelangganku dulu selalu memberiku ucapan terima kasih dan kecupan lembut sebelum mereka pergi meninggalkanku dengan gepokkan uang. Sangat berbanding terbalik dengan mas Ikhsan. Dia berubah dingin setelah hasratnya tersalurkan. 

Sepertinya aku harus mulai terbiasa dengan keadaan ini. Karena, bagaimanapun juga aku sudah mengambil keputusan untuk menjadi istrinya.  Apapun yang aku alami sudah menjadi resiko.

Ketika aku akan beristirahat kembali. Aku baru tersadar jika aku lupa membawa obat pencegah kehamilan.

Aku semakin gusar. Bagaimana jika aku nanti hamil? Aku menarik rambutku dengan kasar. Kenapa aku bisa seceroboh ini. Bisa-bisa aku tidak akan diceraikan oleh Mas Ikhsan jika aku hamil.

Dua minggu kami berada di villa. Selama itu juga aku melayani mas Ikhsan secara sembunyi-sembunyi dari Mbak Laras.

Setelah dari villa aku kembali kerumah. Sedangkan mas Ikhsan pulang kerumah Mbak Laras karena bertepatan hari senin.

Lima hari mas Ikhsan disana tanpa pernah memberikan kabar atau sekedar bertanya kabarku.

Sabtu sore mas Ikhsan datang. Dia langsung memelukku dan langsung meminta untuk dilayani.

"Dek, Mas kangen sekali sama kamu,"Ucapnya sambil memelukku dengan mesra.  

"Kangen?"

"Iya, Mas kangen sekali sama kamu,"

"Kamu bukan kangen aku tapi kangen dengan apa yang saat ini sedang kamu inginkan."

"Pintar sekali sekarang kamu ya Dek,"Pujinya sambil mengecup belakang leherku 

"Mas... Apa bedanya aku sekarang dengan yang dulu? Kamu butuh aku hanya untuk diatas ranjang saja. Aku seperti baju tidur untukmu.  Kamu gunakan hanya untuk diranjang saja."

"Lho! Bukankah kamu dari awal sudah tahu Dek. Jadi jangan terlalu banyak protes. Kamu melayaniku itu sudah menjadi kewajibanmu sebagai istri."

"Tapi Mas. Aku merasa jika kamu hanya butuh tubuhku saja."

"Iya benar sekali. Aku suka dengan tubuhmu, pelayananmu dan yang lebih penting lagi aku ingin kamu segera hamil."

"Hamil, hamil dan hamil hanya itu yang selalu kamu ucapkan Mas."

"Lalu apa lagi? Kamu itu harus segera hamil,  karena aku sudah lama menantikan anak itu."

"Setidaknya perlakukan aku layaknya seorang istri! Jangan perlakukan aku layaknya seorang p*l*c*r!"

"Jika aku memeperlakukanmu seperti p*l*c*r tidak mungkin kamu tinggal dirumah yang bagus dan semewah ini, aku selalu menganggap kamu istriku karena aku memberikan fasilitas yang sama dengan Laras. Jadi jangan sekali-kali kamu mengucapkan hal itu lagi!"

"Jika aku tidak seperti itu bagimu,  maka perlakukan aku dengan lembut dan penuh kasih sayang, agar aku tidak merasa jika kamu menganggapku seperti p*l*c*r."

"Kamu adalah perempuan yang aku nikahi jadi kamu bukan seorang p*l*c*r, tapi kamu bukanlah istri yang aku cintai jadi bagaiamana aku bisa memperlakukanmu seperti Laras? Kamu nikmati saja peranmu saat ini jangan meminta lebih!"

Aku hanya diam mendengar hal itu. Sakit itu pasti tapi percuma juga jika aku protes. 

Walaupun kami ada di dalam satu kamar, tapi, mas Ikhsan sibuk dengan ponselnya. Mbak Laras terus menelponnya. Sepertinya mbak Laras sengaja tidak memberikan waktu untuk kami bermesraan. 

"Iya Sayang... Mas tahu dan mas tidak akan ingkar janji."

"Iya... Mas hanya akan menyentuhnya sekali dalam satu malam. Sudah dong jangan ngambek."

"Iya sayang, mas tidak akan berbohong pokoknya kamu tenang saja dan jangan marah lagi dong,"

"Bagi Mas, kamulah perempuan yang selalu ada dihati Mas, tidak akan ada satu orangpun yang bisa menggantikanmu dihati Mas,"

"Ya sudah kalau begitu,  Mas tutup dulu teleponnya ya, ini sudah malam,  kamu istirahat ya, love you."

Aku tahu arah pembicaraan  mas Ikhsan itu. Aku berpura-pura seolah tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. 

Mas Ikhsan cukup lama bertelponan dengan Mbak Laras sehingga aku benar-benar tertidur.

Aku terkejut ketika aku merasa tubuhku ada yang menindih, ketika aku membuka mata, benar saja mas Ikhsan sudah berada diatasku dan langsung menghujaniku dengan kecupan.

Malam itu mas Ikhsan memintaku untuk melayaninya sebanyak tiga kali.

Karena terlalu capek. Aku kesiangan untuk membuat sarapan.

Aku lihat mas Ikhsan masih tertidur pulas. Ponsel mas Ikhsan terus berbunyi. Mungkin karena terlalu lelah sehingga mas Ikhsan tidak mendengar suara ponselnya.

Ketika akan turun. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku terkejut siapa yang menghubungiku pagi-pagi begini? Dan bukankah nomorku ini nomor baru? Hanya mas Ikhsan yang tahu atau jangan-jangan ini nomor Mbak Laras?

Ah lebih baik aku angkat dulu. Biar aku tidak penasaran.

"Hallo."

"Airin! Dimana mas Ikhsan?"

"Mas Ikhsan masih tidur Mbak."

"Bangunkan! Aku ingin bicara penting!"

"Ba-baik Mbak."

Aku langsung bergegas membangunkan mas Ikhsan.

Mas Ikhsan langsung bangkit dan langsung mencuci mukanya. Setelah itu langsung mengambil ponselku.

"Hallo... Sayang... Maaf mas tadi malam lembur kerja jadi kesiangan."

"Gak sayang... Mas tidak bohong. Mas hanya menyentuhnya satu kali saja. Jika mas tidak menyentuhnya bagaimana dia bisa hamil sayang."

"Iya... Mas berani sumpah Sayang..."

"Ya sudah mas matikan dulu ya... Mas mau mandi dan sarapan."

Setelah itu panggilan telepon berakhir. Sepertinya Mbak Laras yang mematikan terlebih dahulu.

Setelah itu aku bertanya kepada mas Ikhsan.

"Mas... Kenapa harus berbohong?"

"Lalu? Mas harus berkata jujur. Jika tadi malam kita main tiga kali? Kamu senang jika mas bertengkar dengan Laras?"

Aku benar-benar ternganga mendengar hal itu.

"Maksud Mas?"

"Kamu senang jika Laras sakit hati dan terluka?"

"Mas! Bukankah pernikahan ini Mbak Laras yang meminta. Lalu untuk apa dia cemburu? Dan bukankah semua waktumu bersama dia."

"Sudah jangan tambah bikin mas pusing. Kamu harus sadar posisimu dan ingat jangan mencampuri urusan rumah tanggaku dengan Laras!"

Aku hanya bisa diam. Bingung mau menjawab apa, Karena apapun jawabanku tetap pasti aku yang akan disalahkan.

Mas Ikhsan tidak sarapan tapi langsung pamit pulang ke rumah Mbak Laras. Padahal hari ini adalah hari dia bersamaku. Tapi karena mbak Laras merajuk akhirnya dia putuskan untuk pulang ke rumah Mbak Laras.

Aku hanya bisa pasrah menerima semua ini. Karena memang aku tidak diijinkan untuk protes.

Ketika aku duduk di meja rias. Aku melihat sebuah amplop tebal berwarna coklat. Aku segera membukanya. Dan ternyata isinya beberapa gepok uang berwarna merah.

Tak berselang lama ponselku berbunyi. Mas Ikhsan menelponku.

"Hallo, Dek."

"Iya, mas."

"Dek. Ada mas tinggalkan amplop berisi uang. Kamu pake uang itu untuk membeli apa yang ingin kamu beli. Soalnya Mas mau membujuk Laras agar tidak marah lagi. Mungkin mas tidak bisa menjengukmu sampai bulan depan. Jadi nanti kamu kirim nomor rekeningmu agar mas bisa transfer uang belanjamu."

"Iya mas. Aku ngerti."

Setelah itu mas Ikhsan mematikan sambungan telepon.

Air mataku luruh membasahi pipiku. Beginikah nasib seorang istri yang tidak dicintai suaminya? Kata kebanyakan orang istri kedua itu adalah istri yang selalu dimanja oleh suaminya dan bahkan bisa dinomor satukan,  tapi, kenapa semua itu tidak terjadi kepadaku?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
aneh si Laras...ijinkan suami menikah spya dpt keturunan eh knp marah klo suamiX menyentuh Airin lbh dri satu kali...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status