Melihat Bentara juga ada diantara mahasiswa yang tak dibagikan laporan hasil tesnya, Aria tidak berkomentar apa-apa, dia diam saja. Wajahnya tiba-tiba memucat. Nampaknya kali ini dia benar-benar panik. Mereka berlima melangkah memasuki ruangan kepala lab dengan membawa kekhawatiran yang sama; khawatir jika batal untuk mengikuti program relawan. Ruangan itu tak luas, di dalamnya sedang duduk seorang lelaki yang terlihat masih segar meski uban sudah hampir rata menyebar di kepalanya. Dia segera memasang maskernya saat menyadari kehadiran kelima mahasiswa itu. Dia tidak mungkin mempersilakan mereka untuk duduk karena kursi di ruangan itu hanya dua dan yang satunya sudah dia tempati untuk duduk.“Kalian tenang dulu, ya.” Ujarnya seolah menyadari arti dari kegusaran yang terpancar di mata kami berlima.Bagaimana aku bisa tenang? Batin Lara berkecamuk, keringat dingin mulai terasa membuat jemarinya licin. Dia melirik ke arah Aria, wajah temannya itu semakin pucat saja. Kemudian dia member
“Kamu yakin, Ra?” Tanya ibunya.“Iya, Bu. Lara yakin.” Jawab Lara.“Terus gimana program relawannya?”“Cuma ditunda kok, Bu. Dua minggu lagi Lara di tes lanjutan. Kalau udah negatif bisa nyusul.”“Oh gitu.” Gumam ibunya, “Tapi kalau Lara belum sembuh gimana, ya?” Tanyanya.“Lara bakalan sembuh kok, bu. Ini aja Lara sehat.” Jawab Lara untuk menenangkan.“Enggak gitu maksud Ibu, bisa nggak tempat Lara dipindah aja, jangan di daerah pelosok gitu?”“Terus dipindah ke mana dong?”“Di sini aja, Ra. Ya, nak? Kan Lara lagi nggak sehat.”“Mungkin bisa sih, Bu. Tapi Lara maunya di pelosok. Kurang srek kalau di kota, Bu.” Tolak Lara dengan halus.“Ya sudah, tapi Lara janji harus sembuh dan jaga kesehatan di sana nanti.”“Siap, Bu.” Jawab Lara dengan nada cerita.Setelah telepon itu terputus, Lara kembali lemas. Ternyata suaranya cerianya hanya dibuat-buta saja agar ibunya tidak khawatir.Arrrgghh, dengusnya seraya menjenggut rambut. Aria seketika menoleh padanya dan melihat wajah t
Meski sangat kuat sekali dugaan bahwa dirinya jadi bahan perbincangan Aria dan Bentara dichat, tetapi Lara tidak mau buru-buru terlihat kegeeran. Lagi puladia juga tidak mau kalau sampai, Aria tahu bahwa dia sudah lancang membaca pesan di ponsel Aria. Jadi dia memilih bungkam dan tak memerotes apapun kepada Aria. Meski tiba-tiba perasaan bencinya pada Bentara kembali menguat.BRAK!!Terdengar suara dentuman dari dalam kamar mandi yang membuat Lara sektika terlonjak kaget, dia kemudian memanggil-manggil Aria untuk menanyakan apakah yang sedang dilakukan Aria di dalam sana, meski sebenarnya Lara sangat khawatir pada Aria.“Suara apa tuh, Ar!”Tak ada jawaban.“Ar kamu ngapain sih?”Maih tak ada jawaban apapun dari Aria. Lara mulai panik dan mendekat ke arah kamar mandi, lalu menggedor-gedor pintunya.Tok tok tok“Ar, buka, Ar!” Teriaknya.Tetapi semua itu hasilnya nihil, Aria tak menjawab apapun. Hal itu semakin memperkuat dugaan Lara bahwa Aria jatuh dan pingsan di dalam sana
“Ar, Aria?” Ucap Lara seraya mengusap-usap lengan Aria.Aria yang belum sepenuhnya sadar dari pingsan nampak masih linglung, ia memandang Bentara dan Lara secara bersamaan. Lalu melihat kesekeliling dan meraba-raba badannya, ia melihat ke dalam selimut dan terperanjat mendapati dirinya tak mengenakan pakaian sama sekali. Aria segera mencoba untuk duduk namun ditahan oleh Lara.“Aku kenapa sih?” Tanya Aria dengan wajah kebingungan.“Nggak tahu deh, kamu tiba-tiba pingsan di kamar mandi.” Jawab Lara.“Tapi kok nggak pakai baju sih,” Protes Aria, “Bentara nggak habis perkosa aku kan?” Lanjutnya lalu melotot ke arah Bentara.Lara tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan konyol itu, sementara Bentaralangsung protes karena tidak terima dituduh.“Enak aja, nggak nafsu ya, aku sama kamu!” Ujarnya. “Ya, gimana kamu nggak telanj*ng, orang sementara mandi pingsannya.” Jelas Bentara.“Oh gitu, ya.” Aria manggut-manggut.“Ya udah jangan pecicilan dulu, Ar.” Pinta Lara.“Si bawel kan u
Mereka berlima kembali disuruh mengantri pada ruangan laboratorium untuk mengikuti test ulang lanjutan. Kelima mahasiswa itu terlihat sehat meski mereka tak bisa menutupi ekspresi cemas diwajahnya. Terlihat sehat saja tidak cukup untuk menganggap bahwa seseorang tidak terjangkit virus ini. Virus ini unik dan mematikan, gejala tak nampak namun serangannya sangat mematikan. Seperti saat pertama kali mereka divonis positif terjangkit, mereka berlima juga terlihat sehat dan segar bugar.Mereka akan di tes secara acak, tanpa urutan nomor induk mahasiswa seperti sebelumya. Mungkin karena mereka hanya sedikit, tak seperti test sebelumnya yang diikuti ribuan mahasiswa. Siapapun yang bersedia untuk dites duluan maka dia yang akan pertama dilayani. Mengetahui itu, Aria buru-buru mendekatkan diri seraya mengangkat-angkat tangannya.“Saya mau duluan, Pak. Saya aja.” Teriaknya dengan percaya diri kepada petugas.“Eh, yakin kamu?” Bisik Lara.“Yakinlah.” Jawab Aria lalu maju untuk dites.Tak l
“Aku juga kuliah di sini bayar kali.” Ucap Lara seraya menepuk dahi Aria menggunakan punggung tangan. Aria mengaduh“Ya, udah guys, aku duluan, ya.” Ujar Bentara kemudian beranjak. Hatinya patah entah untuk kali yang ke berapa.Setelah dari kampus Lara langsung pulang ke rumahnya, dengan perasaan riang di dalam bus itu dia kembali memutar Fine Today dari Ardhito Pramono. Lara segera mengetik sesuatu di ponselnya, tentu saja untuk dikirimkan kepada Mas Gala.“Mas Gala, Lara negatif!” Isi Pesan itu.Mas Gala membalasnya beberapa detik kemudian.“Syukurlah, Mas seneng. jadi udah bisa berangkat dong?” Balas Mas Gala.“Udah bisa, Mas. Besok.”“Lara sekarang di mana sayang? Udah pulang?” tanya Mas Gala.“Lagi di bus, Mas. Jalan mau pulang.” Jawab Mas Gala.“Ya sudah, Lara hati-hati, ya. nanti kalau mau berangkat kabarin, Mas.”“Baik Mas.”Malam harinya, Lara tak memilki waktu lagi untuk berbalas pesan dengan Mas Gala melalui ponselnya. Dia sibuk dengan semua perlengkapan yang ha
Lara disambut lima anak laki-laki berumur kisaran tujuh sampai sembilan tahun. Mereka semua berwajah riang dan berebut membawakan koper Lara. Meskipun Lara sudah melarangnya karena itu sangat berat, tetapi mereka tetap bersihkeras untuk membawakan koper itu. Akhirnya, Lara mengalah dan memperbolehkan mereka membawakan kopernya dengan syarat mereka berlima harus membawanya secara bersama-sama. Kelimanya saling memegang sisi-sisi koper dan berjalan tidak beraturan, ada yang ke arah barat dan ada yang ke timur. Lara tertawa melihat kelakuan lucu bocah-bocah itu.Kelima anak laki-laki itu membawa koper Lara ke salah satu rumah yang ada di desa ktu. Rumah itu cukup sederhana, dindingnya kayu dengan beratapkan pelepah sagu di atasnya. Terlihat sejuk jika tinggal di dalam rumah itu. Dari dalam rumah itu muncul seorang pria yang sudah cukup tua, badannya sudah mulai membungkuk rambutnya hanya tersisa sejumput dan berwarna putih secara keseluruhan. Pria itu segera tersenyum melihat kehadiran
Para bocah itu kemudian menghambur pada Jul, saling bergelendotan pada mahasiswa berperawakan jangkung dengan kumis tipis dan mata kecil. Sangat terlihat bahwa dia adalah laki-laki yang menyayangi anak kecil. Karena anak kecil akan mudah akrab kepada orang dewasa yang lembut dan suka anak-anak. Bocah-bocah itu kemudian terlibat permaian yang seru sehingga dia sedikit melupakan Lara. Lara tersenyum melihat tingkah kelima anak itu dan kemudian masuk ke dalam kamar, setelah salah seorang mahasiswi yang saat itu dia belum tahu namanya, memanggil Lara masuk.Bentara juga terlihat lebih banyak diam, sedikit tersenyum dan sesekali meyahut percakapan kawan-kawannya. Dia juga terlihat masih kurang nyaman. Namun tak butuh waktu yang lama untuk Bentara kemudian bisa berbaur menjadi sangat akrab dengan yang lain. Bahkan Bentara mulai ikut usil menjahili para mahasiswi, dia ikut-ikutan keusilan Adrian dan Baham, baham adalah ketua regu relawan di sesa itu yang tingkahnya sangat meresahkan. Usil da