Share

Saat Langit Terasa Runtuh

Cahaya mentari pagi menyeruak masuk menembus jendela kaca di dalam kamar Gaga. Lara menyipitkan kedua matanya, rekaman kejadian semalam masih terputar di kepalanya saat dia menoleh ke arah Gaga yang masih terlelap di sampingnya. Lara tahu dan sangat sadar bahwa pagi itu Lara terbangun sebagai dirinya yang baru, yang tak lagi utuh. Matanya seketika mengembun menyadari apa yang telah terjadi dan saat gadis itu teringat akan pesan ayahnya sebelum ia merantau ke kota ini, tangisannya pecah seketika.

Seketika Gaga terbangun saat mendengar isakkan gadis di sampingnya. Tangannya segera merengkuh Lara untuk menenangkan.

“Why, Ra? Kamu kenapa?” Tanyanya.

Lara tak menjawab, gadis itu terlihat berusaha menghentikan isakannya yang justru terdengar semakin sendu.

“I’m sorry, Ra. Aku menyakitimu, ya?” Gaga bertanya lagi.

Lara menyentuh wajah pria itu lalu menggeleng perlahan.

“I love you.” Gumam Lara.

“I love you more.”

Gaga menarik tubuh Lara, merapatkan apada dadanya dan memeluk gadis itu erat. Isakkan Lara seketika mereda.

“Aku sebatangkara …” Ujar Gaga, matanya menatap ke arah matahari yang terlihat meredup. “Ayah membunuh ibu, lalu aku mendapati tubuhnya yang sudah kaku tergantung di raung tengah saat aku baru pulang dari sekolah. Aku ingat sekali, Ra, saat itu adalah hari pembagian raport untuk kenaikan kelas empat.” Lanjutnya, tak ada tangis atau air mata tetapi Lara melihat ekspresi anak laki-laki yang menyayat pada wajah Gaga saat dia bercerita.

Lara terbungkam dengan apa yang baru saja didengarnya. Tak ada yang akan menyangka jika pria yang sering tertawa itu memilki masal lalu sekelam gelombang tsunami, yang sampai kapan pun tak akan terhapus dari memori ingatannya.

“Aku sendiri heran, Ra.” Pria itu bergumam lagi. “Kenapa aku bisa bertahan sampai sekarang, hidup “seperti” orang normal atau lebih tepatnya berpura-pura seperti orang normal. Ternyata sangat menyakitkan, kadang-kadang aku merasakan dadaku nyaris meledak karena menahan semua ini.” Lanjutnya, matanya tetap menatap matahari melalui jendela kaca yang tirainya sedikittersingkap.

“Karena Tuhan menyayangimu, Ga.” Jawab Lara.

“Kurasa tidak.” Gaga tersenyum kecut.

“Ga?”

“Ya?”

“Kapan terakhir kau menangis.” Tanya Lara, sedari tadi ia kebingungan kenapa bisa mata Gaga tidak basah oleh air mata sama sekali.

“Saat kejadian itu aku menangis hingga suaraku menghilang beberapa hari dan air mataku menghilang selamanya. Aku tidak ingat pernah menangis lagi setelah kejian itu.” Jawabnya.

Lara memeluknya erat, seakan ia meminta untuk dibagi dengan luka-luka yang nyaris abadi di hati Gaga.

“Kau tidak sebatangkara lagi, Ga. Tidak akan kubiarkan kau sebatangkara lagi.” Ujar Lara. Gaga membalas pelukannya.

Bak pasangan yang dimabuk asmara, Lara dan Gaga menghabiskan waktu seharian untuk bersama dan bersepakat tidak masuk kantor hari itu. Mereka melakukan apapun yang ingin mereka lakukan, seakan dunia ini hanya untuk mereka berdua, hanya tentang cinta mereka berdua. Lara yang sebelumnya tak pernah merasakan sentuhan seorang pria, mengalami setiap detik di samping Gaga dengan penuh takjub. Lara merasa dia adalah wanita tercantik di dunia setiap kali Gaga memandang wajahnya. Lara merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia setiap kali Gaga mengatakan bahwa dia mencintai Lara. Lara merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia ketika Gaga berkata bahwa dia tak bisa jauh dari Lara.

***

Hari berikutnya Lara kembali berangkat ke kantor dan bekerja seperti biasa. Namun, gelagatnya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan. Bagaimana mungkin Lara bisa tenang jika nyaris memasuki jam makan siang Gaga belum muncul batang hidungnya, terlebih pesannya yang dikirim sejak pagi tadi tak kunjung mendapatkan balasan dari Gaga. Apa yang terjadi padanya, apakah Gaga baik-baik saja? Kalimat itu terus berulang di kepalanya sepanjang hari. Hingga jam kantor berakhir Gaga tak pernah datang.

Setelah pulang dari kantor, Lara bergegas menuju rumah Gaga, rasa cemasnya yang tak terbendung dan ia tak tahan lagi untuk menanti hari esok, ia ingin mengetahui kedaan Gaga hari ini juga. Taksi yang ditumpanginya telah tiba, pagar rumah itu tertutup, seluruh pintu rumah pun terlihat tertutup, tak ada cahaya lampu dari dalam rumah dan yang paling membuat perasaan Lara tak karuan adalah tak ada satu pun kendaraan yang terparkir di parkiran rumah Gaga, menandakan tidak ada seseorang di dalam rumah itu.

Puluhan pesan telah terkirim dan belasan panggilan telpon tidak mendapatkan jawaban apa-apa dari pria itu. Tentu saja Lara tak bisa memejam apalagi terlelap malam itu, kepalanya disesaki kemungkinn-kemungkinan buruk tentang Gaga dan tentang hubungan mereka. Pukul 03.45 dini hari akhirnya Gaga mejawab panggilan telepon dari Lara.

“Halo.” Ucap seseorang di seberang telpon.

“Ga! Are you ok?” Lara terlonjak dan bangkit dari duduknya ketika teleponnya diangkat oleh Gaga.

“Ya, Ra. Aku baik-baik.” Jawab Gaga, nada suaranya terdengar datar.

“Ga, seharian …”

“Ra …” Gaga memutus kalimat Lara yang belum rampung. “Ini yang terakhir.” Lanjutnya.

“Apa maksudmu?” Tanya Lara.

“Ini yang terakhir kita berbicara.” Jawabnya, “Jangan menghubungiku lagi ya.” Lanjutnya.

“Kenapa?” Suara Lara bergetar, “Apa yang terjadi padamu, Gaga?” Lara berbicara setengah teriak.

“Tidak ada apa-apa yang terjadi padaku, Ra. Tidak ada apa-apa pula yang terjadi pada kita berdua.” Jawab Gaga dengan nada yang masih datar.

“I love you, Ga. Don't leave me.” Lara mulai terisak.

“I love you too, but I can’t. Aku tak bisa denganmu.”

“Kenapa?”

“Karena aku tak bisa.”

“Kenapa kamu lakukan ini padaku?” Suara Lara terdengar tak beraturan, “Kenapa harus aku yang kau pilih untuk kau hancurkan?” Lanjutnya, tangisnya pecah.

Di seberang telepon Gaga terdengar menghela napas panjang, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi Lara memutuskan sambungan telepon itu segera, dia tak mau mendengar kata-kata yang dikeluarkan dari mulut pria itu karena Lara sudah yakin semuanya akan bak belati yang mengiris-iris hatinya. Itu benar-benar menjadi kali terakhir mereka berbicara.

Lara membanting tubuhnya ke kasur, isaknya kian kerap, matanya sembab, kepalanya terasa menumpu beban yang amat berat. Seketika gadis itu kembali mengingat pesan terakhir ayahnya saat melepaskannya pergi merantau. Ayahnya yang amat sangat menjaganya sedari kecil, memberinya kasih sayang dan perlindungan dengan penuh dibalas oleh hal hina hanya karena cinta yang semu, apakah memang ada cinta yang seperti itu? Setiap kali ia membayangkan wajah ayahnya Lara merasa gagal menjadi anak perempuan, dia benar-benar merasa tubuhnya diijangkiti kotoran yang abadi.

“Setelah apa yang telah kita lakukan, setelah apa yang telah kuserahkan dan setelah kau menceritakan kisahmu yang kelam itu, ternyata aku masih kau anggap bukan siapa-siapa di dalam hidupmu, Ga.” Gumamnya lirih, dia merasakan langit sedang runtuh saat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status