"Darimana kau?"
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Gabriel, segera setelah Arienne memasuki kediaman mereka.
Meletakkan tas tangannya di sofa, Arienne menghampiri suaminya yang tampak berdiri kaku di depan meja makan. Pria itu masih mengenakan jas dan dasi, menandakan kalau ia baru saja sampai dari kantor.
Mengelus jas pria itu, Arienne membantu suaminya membuka jas dan juga dasinya. Sambil merapihkan kedua pakaian itu yang diletakkan di lengannya, ia berkata santai. "Dari rumah sakit. Papa meninggal."
Penjelasan isterinya yang dingin menghentikan kegiatan Gabriel yang sedang menggulung lengan bajunya. Kedua alisnya yang tebal berkerut dalam. "Maurice meninggal?"
Kepala Arienne mengangguk, dan Gabriel tidak menemukan tanda apapun yang menunjukkan kalau isterinya sedih dengan berita itu.
"Kau tidak apa?"
Kedua mata hijau yang menatap Gabriel tampak jernih, dan kembali wanita itu mengangguk. "Ya. Aku baik-baik saja. Mama sempat histeris, tapi sudah ditenangkan oleh dokter. Untuk sementara, sepertinya dia masih harus tinggal di rumah sakit. Aku sudah mengurus agar seorang suster merawatnya nanti saat ia dipulangkan ke rumah beberapa hari lagi."
Kedua alis Gabriel semakin dalam kerutannya. Ia tidak habis fikir dengan reaksi dari isterinya ini. "Kau akan membiarkannya pulang dan tinggal di rumahmu? Sendirian?"
Tampak Arienne mengambil tas tangannya dari sofa, dan ia mulai melangkah menuju kamar mereka. Terlihat senyuman tipis di bibirnya saat ia berkata kembali. "Ya, Gabe. Aku akan membiarkannya tinggal di sana sendirian. Atau kamu mau berbaik hati untuk menampungnya di sini?"
Geram dengan tantangan dari isterinya, Gabriel menggeleng kaku. "Tidak. Kau tahu kalau aku tidak suka ada orang asing di rumahku, Anne."
Senyuman Arienne semakin lebar. "Aku sudah tahu, Gabe. Karena itu, aku tidak pernah menanyakannya padamu. Kamu mandilah dulu. Aku akan menyiapkan makan malam untukmu."
Tubuh isterinya yang menghilang di dalam kamar mereka membuat Gabriel menghembuskan nafasnya. Meski mereka sudah menjadi suami-isteri selama hampir 4 tahun ini, tapi ia sama sekali belum mengenal sosok isterinya yang sebenarnya.
Wanita itu sangat terkontrol. Hampir tidak pernah Gabriel melihatnya bereaksi seperti perempuan normal yang selama ini diketahuinya. Ia juga sangat pandai memasak dan selalu melayani kebutuhan suaminya dengan sempurna. Ia bahkan partner yang cukup memuaskan di tempat tidur, meski Gabriel merasa kalau wanita itu selalu berusaha untuk menahan dirinya selama bercinta dengan dirinya.
Pada intinya, wanita itu adalah sosok seorang isteri yang ideal. Bagi pria mana pun juga. Ia cantik secara fisik, pandai pula untuk diajak berdiskusi tentang apapun, juga pintar untuk memenuhi kebutuhan perut dan memuaskan area bagian bawah dari seorang pria.
Tapi entah kenapa, semakin lama Gabriel merasa semakin sesak dengan pernikahan ini.
Awalnya, ia memang menginginkan pernikahan yang sifatnya platonis seperti ini. Tapi lama-lama, ia sendiri yang merasa tidak tahan dengan sosok isterinya yang sama sekali tidak pernah mengeluh pada dirinya. Selama hampir empat tahun ini pun, keduanya belum pernah bertengkar. Semuanya terasa adem-ayem dan baik-baik saja, tapi Gabriel justru tidak merasa kalau pernikahannya baik-baik saja.
Nalurinya sebagai seorang pria mulai berteriak, ketika ia menginginkan agar wanita itu membutuhkan dirinya. Ia membutuhkan untuk dibutuhkan, dan ia tidak mendapatkannya dari Arienne.
Semakin lama, Gabriel merasa dirinya telah menikahi seorang robot.
Sementara itu di dalam kamarnya, Arienne menggantung pakaian dan dasi suaminya yang akan ia laundry besok. Mengusap pakaian itu, ia mencondongkan wajahnya dan memeluk jas pria itu yang masih menyisakan kehangatan dan juga wangi parfumnya.
Hampir tidak terdengar, suara Arienne lirih ketika berbicara. "Gabe... Aku sedih..."
Ketika terdengar suara pintu kamar yang terbuka, tergesa Arienne menegakkan tubuhnya. Dengan tenang, ia mengambil pakaian rumah suaminya dari lemari dan menyerahkannya pada Gabriel.
Pria itu menerimanya setelah membuka seluruh pakaian kantornya dan membiarkan tubuhnya terpampang polos di hadapan isterinya. Tubuh yang sangat indah. "Terima kasih."
Sebelum pria itu memasuki kamar mandi, tangan mungil Arienne memegang pergelangan tangan Gabriel yang besar dan kokoh. "Gabe... Aku menginginkanmu malam ini... Kamu mau kan?"
Mata hitam Gabriel hanya memandanginya datar, tapi kemudian bibirnya yang maskulin mengeluarkan rintihan rendah saat merasakan jari-jari lentik isterinya bermain-main di asetnya yang terbuka. "Arienne..."
Mengecup bibir suaminya yang terbuka dan mengeluarkan udara panas, wanita itu berbisik mesra di telinga suaminya dan mengirimkan getaran di seluruh tubuh pria itu. "Aku sangat membutuhkanmu, Gabe... Malam ini, aku membutuhkanmu untuk berada di bawahku... Kamu mau kan...?"
"A- Anne..." Suara pria itu mulai terdengar terbata-bata. Nafasnya terasa berat.
"Ayolah, Gabe... Aku merindukanmu... Sudah seminggu ini kita tidak melakukannya... Kamu mau, kan...?" Rayuannya semakin nyata, saat dengan konstan jari-jarinya mengirimkan g*lenyar memabukkan pada aset pria itu yang semakin lama semakin mengeras di bawah.
Dalam hatinya, Arienne berdoa agar Gabriel mengabulkan keinginannya. Ia sangat membutuhkan pria itu malam ini. Karena jika tidak, wanita itu tidak tahu apakah ia akan sanggup menahan kesedihannya nanti.
Penuh putus asa, wanita itu menggosok-gosokkan hidungnya yang mancung ke pipi suaminya yang mulai menggelap. Ia juga menjilati telinga pria itu yang tinggi dan merasakan jakun pria itu yang naik-turun dengan susah payah. Ia juga mendengar erangan lirih dari tenggoran lelaki itu. "Gabe...?"
Tiba-tiba, tangan Gabriel menahannya dan dengan sedikit paksaan, melepaskannya dari asetnya yang sudah tegak seperti bendera. Pandangan pria itu terlihat dingin saat ini, meski tampak kedua pipinya yang memerah karena h*srat yang sangat tinggi pada isterinya sendiri. "Tidak malam ini, Anne. Aku ada pertemuan virtual dengan salah satu perusahaan di Amerika sana."
Menghembuskan nafasnya pelan, Arienne berusaha menelan kekecewaannya saat ini. "Pertemuan? Malam-malam begini, Gabe?"
"Kau tahu sendiri perbedaan waktu antara Jerman dan Amerika. Pertemuan ini sangat penting, Anne. Aku tidak bisa membatalkannya begitu saja. Kau paham, kan?"
Menundukkan pandangannya, Arienne berusaha menyunggingkan senyuman yang manis. "Tentu, Gabe. Kamu mandilah. Aku akan menyiapkan makan malam untukmu di ruang kerjamu nanti."
Tampak kedua mata hitam pria itu bergerak-gerak, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Terima kasih."
Menatap suaminya yang telah masuk ke kamar mandi, tanpa terasa air mata yang sejak tadi ditahannya mulai mengaliri pipinya yang halus.
Betapa ia ingin menangis dan mendapatkan penghiburan dari pria itu. Tapi dia tidak berani memintanya.
Arienne sangat tahu kenapa Gabriel menikahinya. Ia adalah wanita yang dianggapnya dingin dan mampu menjaga emosi dirinya. Wanita itu sangat tahu betapa Gabriel membenci wanita yang cengeng dan manja, membuatnya berusaha menjadi sosok isteri yang tegar dan kuat seperti keinginan suaminya.
Ia juga tahu Gabriel tidak menyukai wanita yang agresif seperti para kekasihnya dulu, membuat Arienne pun berusaha menahan diri saat berhubungan int*m dengan suaminya. Padahal naluri liarnya ingin mencakar dan menghentakkan dirinya semakin dalam ke tubuh pria itu. Tapi dia tidak memiliki keberanian.
Banyak hal yang ingin ditunjukkan dan dilakukan Arienne untuk suaminya, tapi ia tidak bisa melakukannya. Ia terlalu takut kalau Gabriel akan membencinya dan tidak menyukai kehadirannya. Dan ia takut, kalau suatu saat Gabriel akan berpaling darinya untuk wanita lain.
Wanita itu sudah pernah mengalami penolakan dari keluarganya sendiri, dan ia tidak sanggup kalau harus mendapatkan penolakan dari suaminya juga.
Sama sekali tidak disadarinya, kalau ketakutannya itulah yang pada akhirnya pelan-pelan membawa kehancuran dalam rumah tangganya sendiri.
"Apa kekuranganku, Gabe?"Tidak ada. Kau sempurna, honey. Sangat sempurna.Kedua mata Gabriel yang hitam hanya memandang isterinya dalam diam, meski hatinya memberontak. Ia tidak ingin berpisah dari wanita ini, tapi ia sudah tidak tahan lagi. Karena ia juga tidak pernah tahu apa yang ada dalam otak wanita itu, membuatnya selalu bertanya-tanya saat ia berhadapan dengan isterinya."Kenapa kau menanyakan ini, Arienne? Kau sudah tahu dari awal, kalau aku tidak mencintaimu. Kita tidak saling mencintai. Pernikahan ini ada untuk keuntungan kita berdua. Kau dapat keluar dari rumah itu, dan aku terhindar dari omelan keluarga. Apalagi yang ingin kau ketahui?"Posisi Arienne tampak santai saat menatap foto pernikahan mereka berdua yang tegantung di salah satu dinding. Bukan reaksi seperti ini yang diharapkan oleh Gabriel, tapi itulah Arienne. Wanita itu selalu datar. Selalu terkontrol."Aku tahu. Tapi aku ingin tahu, apa kekuranganku sebagai seorang isteri, Gabriel. Aku berhak untuk tahu kan? Pa
Malam itu seperti biasa, mereka makan malam dengan penuh sopan santun dan etiket. Setelah itu, keduanya pun tampak duduk di sofa sambil menonton acara di TV yang sebenarnya sama sekali tidak menjadi perhatian mereka. Benak suami-isteri itu penuh dengan berbagai macam pemikiran."Apa rencanamu besok?" Sambil lalu Arienne bertanya pada suaminya yang sedang duduk di sebelahnya."Tidak ada. Seharian sepertinya aku akan di rumah karena lusa aku ke luar negeri."Informasi itu membuat Arienne mengangguk singkat. Ia sudah terbiasa dengan jadwal Gabriel yang harus pergi di waktu week end, membuat keduanya cukup jarang menghabiskan waktu bersama di hari libur."Ke mana sekarang ini?""Amerika, kemudian Italia dan Perancis."Kembali kepala isterinya mengangguk. Ia bertanya lagi dengan pelan. "Berapa lama?"Ada jeda yang singkat sebelum akhirnya Gabriel menjawab pelan. "Sekitar tiga minggu."Jawaban itu membuat kepala Arienne berpaling dengan sangat cepat pada suaminya. "Tiga minggu? Tapi Gabe, k
Setelah merasakan suaminya benar-benar terlelap di belakangnya, perlahan Arienne bangkit dari tidurnya.Duduk bersandar di kepala tempat tidur, wanita itu menutupi tubuh polosnya dengan selimut dan menatap Gabriel yang sangat terlelap seperti bayi. Raut pria itu tenang dan mulutnya sedikit terbuka.Tangan lentiknya mengusap-usap rambut tebal pria itu yang berwarna hitam selama beberapa saat. Pelan, ia menunduk dan mengecup kening suaminya penuh perasaan. Kedua matanya berair, ketika mengingat beberapa waktu lagi ia harus akan melepaskan lelaki ini untuk selamanya.Arienne sangat ingin mempertahankan Gabriel di sisinya, tapi ia sangat tahu prioritas pria itu dalam hidupnya. Theodore Gabriel Hamilton adalah seorang pengusaha yang sangat ambisius. Yang ada di benaknya adalah untuk membesarkan usaha keluarganya. Menjadi semakin besar, dan semakin berkuasa. Saat ini, kesempatan itu tengah datang apalagi dengan runtuhnya kerajaan Dalton, membuat peluang itu terbuka semakin lebar.Seringnya
"Tidak ada lagi yang tertinggal?"Kepala hitam Gabriel menggeleng pelan. Terlihat pria itu sudah siap dengan koper besarnya dan menatap isterinya dalam diam. Pikirannya kalut saat ini.Tersenyum, Arienne merapihkan syal yang meliliti leher suaminya yang jenjang. "Jangan lupa jaga makanmu di sana. Cuaca sangat dingin. Aku tidak mau kamu sakit selama bekerja di sana. Ya, Gabe?"Lagi, kepala Gabriel hanya mengangguk. Pandangannya turun. Entah kenapa, tapi ia tidak sanggup untuk menatap isterinya yang saat ini sedang berdiri di depannya.Tidak menyadari kekalutan suaminya, kedua tangan mungil Arienne mengusap sepanjang lengan suaminya dan akhirnya menggenggam kedua tangan besar suaminya erat. Ia menimang-nimangnya sebentar dan mengusapnya pelan. Ketika akhirnya melepasnya, tiba-tiba tangan Gabriel mencekal pergelangannya.Mata hijau Arienne membesar dan pandangannya bertanya. "Gabe...?"Masih belum mampu berkata-kata, Gabriel hanya memandang isterinya. Kedua bola matanya yang gelap berger
Selama dua minggu lebih perjalanannya ke luar negeri, adalah siksaan bagi Gabriel. Pria itu dengan sangat angkuh berusaha menepiskan rasa rindunya pada isterinya sendiri, yang malah membuatnya uring-uringan selama ia berada di kamar hotel.Ia masih dapat menyisihkan perasaannya di siang hari, ketika kesibukannya menghadiri banyak konferensi bisnis dan juga pertemuan dengan beberapa pengusaha yang cukup menyita waktunya seharian penuh. Tapi beda ceritanya dengan saat ia sudah kembali ke kamar hotelnya yang besar, luas tapi sepi. Beberapa kali pria itu merasa mengalami halusinasi ketika ia melihat ke arah tempat tidur besar yang ada di tengah ruangan. Ia seolah dapat melihat sosok isterinya yang polos, tampak terbaring seksi dengan senyuman di wajahnya.Pemandangan yang semakin lama semakin menyiksanya ini, seringkali membuat tubuh Gabriel merasakan panas dan gemetar tanpa diinginkannya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia pun terpaksa melakukan kegiatan yang selama hidupnya sama
Tidak sampai setengah jam kemudian, tampak pintu ruangan Gwendolyn terbuka dan Gabriel keluar dari sana. Ricard yang melihatnya hanya sekilas menangkap kalau wanita itu sedang berdiri membelakangi pintu dan bahunya terlihat tertunduk. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan ia tampak menangis.Menoleh pada atasannya, pria tampan itu bertanya pelan. "Apa yang terjadi padanya, Tuan Hamilton? Anda memukulnya?"Merapihkan kerah jasnya, Gabriel mendengus kasar dan menyerahkan berkas-berkas yang tadi sempat ditinggalkan asistennya di ruangan. "Kau kira aku pria yang rendah dan akan melakukan itu pada seorang wanita lemah, Ricard? Dia menangis hanya karena ketakutan kehilangan hartanya kalau Gregorio sampai menceraikan dirinya nanti. Dan dia sudah menandatangani berkas-berkas ini."Mengerjapkan kedua matanya, Ricard menerima berkas itu. "Bagaimana cara Anda-""Aku akan menceritakannya nanti. Untuk saat ini aku ingin segera kembali ke Jerman, Ricard. Semua urusan kita sudah beres kan?""
Keesokan harinya, dengan tidak sabar Arienne mematut dirinya di depan kaca besar lemarinya. Beberapa kali ia mengganti bajunya, karena merasa tidak ada yang pas untuk menyambut suaminya nanti.Ketika akhirnya ia memilih satu pakaian yang dirasa menggambarkan hatinya saat ini, wanita itu berputar-putar di depan kacanya dan pipinya terlihat memerah. Ia sudah memulas wajahnya dengan make-up tipis, dan menggerai rambut pirangnya yang cukup panjang.Wanita itu tersenyum lebar dan mengelus perutnya yang rata. Mengambil amplop putih dari tas tangannya, Arienne menyimpan benda itu di laci lemarinya. Ia memutuskan akan mengatakan hal ini pada suaminya, saat mereka benar-benar sudah dalam keadaaan santai. Ia tidak mau membebani Gabriel dulu, sebelum merasa yakin 100% dengan hubungan mereka berdua.Memandang kembali kamar tidurnya, matanya bersibobrok pada koper besarnya yang terletak di pojokan ruangan. Beberapa hari lalu, ia telah selesai merapihkan pakaiannya dan siap untuk membawanya pergi s
"ANNEEE!?"Kedua mata hitam Gabriel membelalak terbuka. Dan dengan segera, pria itu segera menoleh ke sampingnya. Melihat tempat di sebelahnya kosong, lelaki itu kembali memalingkan mukanya dan tangan kirinya menutupi mukanya. Masih telentang, perlahan Gabriel mengusap wajahnya dan juga rambutnya. Keringat tampak membasahi tubuh berototnya yang saat ini terlihat polos.Menyender di kepala tempat tidurnya, kembali kepala pria itu menoleh ke sebelahnya dan menghela nafas berat. Sama seperti beberapa hari lalu, tempat di sampingnya kosong dan dingin. Terlihat tidak ada seorang pun yang tampak pernah tidur di sana.Perlahan, pria itu bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Di dalam sana, ia membersihkan dirinya sambil melamun dan sejenak, membiarkan air yang cukup panas menerpa kepalanya yang saat ini terasa sangat berat. Tangan kanan pria itu terlihat mer*mas kencang d*danya yang kembali terasa sakit.Beberapa menit kemudian, pria itu keluar dari kamar mandi dan mulai berpakaia