Share

4. Obsesi

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2021-12-30 12:40:08

"Aku ingin kamu kerja secara profesional. Anggap saja aku dan kamu tidak pernah saling kenal sebelumnya. Bagaimana?" tanya Mas Candra.

"Ba--baik, Mas," lirihku dengan tubuh yang lemas. Hilang sudah harapan dapat berdekatan lagi dengannya. Padahal kami sudah sedekat ini. Sayang sekali.

***

Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba bisa berterus terang kepada Darnia tentang masalahku, sore hari itu. Pengakuan itu terlontar begitu saja dari mulutku, padahal Darnia sama sekali tidak mengorek-ngorek apalagi mendesakku untuk mengeluarkan isi hati.

“Tumben cuci baju sore-sore, May.” Darnia menyapa saat melihatku menjemur pakaian di belakang rumah. Ia datang dari ujung jalan sempit, membawa bungkusan plastik hitam kecil di salah satu tangannya. Melihat gayanya yang hanya mengenakan pakaian santai rumahan, aku menduga Darnia baru pulang dari warung yang berada di kelokan jalan.

“Iya, Dar. Besok aku mulai kerja di kantoran lagi.” Tebersit rasa bangga di dalam suaraku. Bangga karena aku memiliki pekerjaan lagi yang penghasilannya jelas setiap bulan.

“Wah, selamat. Kerja di mana sekarang?” Darnia tersenyum saat menyahut.

“Di kantor IT, seperti dulu. Tahu enggak, pemilik kantor itu ternyata Mas Candra. Gebetanku dulu,” ceplosku. Darnia terbengong sampai mulutnya terbuka sedikit. Jelas sekali ia terlihat kaget.

“Waduh, jangan-jangan nanti bakal CLBK, dong.” Darnia menyeletuk spontan.

“Ah, enggak ada harapan kayaknya,” sahutku muram.

“Kalau ketemu lagi setiap hari, apa yang enggak mungkin? Kamu diterima kerja lagi sama dia saja sudah menunjukkan bahwa peluang itu diberikan oleh Mas Candra,” balas Darnia.

“Soalnya Mas Candra sudah memberiku rambu-rambu sewaktu menerimaku bekerja sama dia,” jelasku.

“Apa?” Darnia mendekati pagar halaman belakang rumah. Kedua tangannya menggenggam bilah-bilah besi BRC yang menjadi pembatas tanah belakang rumahku dengan jalan umum.

“Aku harus bekerja profesional. Aku juga diminta melupakan masa lalu kami.”

“Kalau melihat murung wajahmu, kamu masih mau dengannya, ya?” tembak Darnia.

“Mau sih sebetulnya. Tapi kalau Mas Candra enggak mau, percuma aku goda terus juga. Mana istrinya itu galak dan suka mengatur Mas Candra,” keluhku muram.

“Ya, bikin saja Mas Candra mau lagi sama kamu.”

“Bagaimana caranya? Digodain terus?” tanyaku seraya menatap Darnia. Darnia tersenyum simpul.

“Bukan hanya itu. Kamu harus main siasat juga. Coba kamu pasang susuk,” bisik Darnia seraya mencondongkan wajah ke arahku yang entah kapan sudah berada tepat di hadapannya.

“Pasang susuk?” desisku kaget. Hal itu tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.

Darnia mengangguk-angguk sambil terus tersenyum. Baru kusadari senyuman Darnia amat menawan. Ia terlihat bersinar cantik di bawah matahari sore yang menebarkan cahaya jingga. Jangan-jangan Darnia juga pasang susuk kecantikan? Kecurigaan menyeruak di dalam benak.

“Kamu tahu orang yang bisa bantu pasang susuk buat pemikat?” Aku menatap Darnia penuh rasa ingin tahu.

“Tahu, dong. Kalau kamu betulan mau, bisa aku antarkan. Bagaimana?” tawar Darnia. Senyum tak lepas dari wajahnya. Spontan aku mengangguk, bahkan otakku tak sempat berpikir panjang lagi.

“Kapan kamu mau? Nanti biar aku janjian dulu dengan Nyai Sekar Kanti,” bisik Darnia lagi.

***

“Apa? Pasang susuk?” Kikan membulatkan sepasang matanya yang sipit ke arahku. Mulut mungilnya bahkan terbuka membentuk huruf O yang tak sempurna.

“Kamu tahu kan, pasang susuk itu perbuatan syirik? Dosanya besar, May!”

Ah, Kikan mulai menceramahiku. Aku agak risi mendengarnya, tapi aku memilih mengabaikan peringatannya. Aku tahu ia peduli kepadaku, makanya mencoba mencegah niatku itu. Namun sayang, keputusanku sudah bulat dan tak dapat dipatahkan lagi oleh siapa pun. Jangankan Kikan yang hanya rekan kerjaku di kantor, orang terdekatku saja tak akan aku hiraukan saat ini.

“Aku harus mendapatkan Mas Candra, Ki. Aku enggak mau kehilangan dia lagi seperti dulu. Cukup sekali aku dan dia gagal menikah. Kali ini, aku tak mau dikalahkan lagi oleh istrinya. Apa pun caranya, aku ingin menikah dengannya, walaupun aku harus dengan pasang susuk,” tegasku panjang lebar.

Kikan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah prihatin. Semangkuk bakso di hadapannya yang masih tersisa setengah dipandanginya dengan tatapan kosong. Sepertinya pernyataanku barusan betul-betul menyita pikirannya, sampai-sampai makanan kesukaannya itu hanya dipandangi dan tidak dihabiskan.

“Aku mohon, May. Jangan lakukan itu. Aku yakin masih banyak lelaki yang sama baiknya dengan Mas Candra untukmu. Lupakan dia, May. Carilah lelaki lain.” Kikan menatapku dengan pandangan sungguh-sungguh. Suaranya lirih dan mengiba.

“Kalau hati sudah memilih, susah buat pindah ke lain hati,” elakku.

“Tapi, May. Masa sih kamu ingin terjebak dua kali dengan lelaki yang sama?” Kikan terus berusaha menggoyang niatku.

“Udah deh, Ki. Aku cerita ke kamu tentang niatku pasang susuk bukan untuk dihalang-halangi begini. Aku hanya ingin cerita karena kamu temanku yang paling dekat saat ini .” Aku tatap mata Kikan tajam ketika menekankan setiap ucapan. Kikan mengembuskan napas kuat-kuat.

“Pokoknya aku sudah mengingatkanmu lho, ya!” ujarnya, akhirnya menyerah juga. Mungkin ia sudah kehabisan akal.

Kemudian Kikan meraih kembali sendok dan garpu yang tergeletak di mangkuk, lalu menghabiskan baksonya yang tersisa. Bakso pesananku sendiri sudah lama tandas. Aku habiskan sebelum menyatakan niatku pasang susuk kepada Kikan. Aku mengecek waktu digital pada layar ponselku.

“Sudah pukul satu. Sebaiknya kita segera kembali ke kantor.”

Kikan mengangguk. Kami berdua sama-sama meraih gelas es jeruk dan menghabiskan isinya secara bersamaan. Kami keluar dari warung bakso di dekat wilayah perkantoran yang tak jauh dari Jalan Soekarno-Hatta. Tatkala menuju pintu utama bangunan, langkah kami berpapasan dengan Mas Candra yang juga hendak masuk ke dalam gedung. Ia tersenyum saat melihatku. Aku membalas senyumnya.

“Dari makan siang, May?” sapanya berbasa-basi. Jam istirahat makan siang, sudah tentu semua orang pergi buat mengisi perut yang sudah keroncongan.

“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan tersenyum manis. Mas Candra mengalihkan pandang ke arah Kikan di sebelahku. Ia mengangguk sopan.

“Saya duluan, ya.” Mas Candra berjalan mendahuluiku dan Kikan. Ia tak menoleh lagi.

Aku menatapnya pergi dengan sebuncah rasa kecewa yang menggumpal di rongga dada. Tadinya aku berharap Mas Candra akan masuk ke dalam ruangan bersama-sama denganku. Apakah karena ada Kikan di antara kami sehingga Mas Candra merasa sungkan? Aku melirik Kikan di sisi kiriku. Ternyata Kikan juga sedang melirik ke arahku. Kami jadi saling melirik. Namun hanya sampai di situ. Kami berdua memasuki gedung dan kembali ke ruangan tempat kerja kami dalam diam.

Tunggu. Tunggu saja, Mas. Kalau aku sudah pasang susuk, kamu tidak akan pernah bisa melirik wanita lain selain diriku.

Dengan langkah gontai, aku berjalan beriringan bersama Kikan memasuki kantor. Setelah duduk kembali di kursiku, ingatan ini kembali mengembara kepada Darnia, tetangga yang membuka pandanganku untuk mendapatkan Mas Candra dengan cara pasang susuk. Aku harus segera minta diantarkan kepada orang pintar yang Darnia sarankan.

Aku pikir sekaranglah waktu yang tepat buat meminta bantuan Darnia. Awalnya aku pikir Mas Candra bisa aku dekati lagi tanpa perlu pasang susuk. Namun, sikap dingin Mas Candra selama sebulan terakhir membuat tekadku menjadi bulat. Aku harus menerima tawaran Darnia.

Ponsel yang tergeletak di meja aku raih. Jari jemariku lincah mengetikkan pesan buat Darnia, berisi permintaan untuk menemui Nyai Sekar Kanti secepatnya. Usai mengirim pesan, hatiku merasa lebih lega. Pikiranku kembali relaks. Tumpukan berkas di meja mulai aku jamah. Aku kembali bekerja dengan semangat baru.

***

“Mau ke mana, May?” Mama bertanya saat melihatku melintasi ruang makan. Mama mengernyitkan dahi melihat penampilanku yang rapi dengan tas tersandang di bahu.

“Ada perlu sebentar. Mau jalan dengan Darnia, anak Bu Yati. Mama ingat Darnia, kan?” sahutku setelah menghentikan langkah kaki demi menjawab pertanyaan Mama.

“Sedikit lupa, sih. Kalau nggak salah dia seumuran kamu, kan?” Mama terlihat mengingat-ingat.

“Iya, Ma. Kami sering bermain waktu masih SD. Mama lupa, ya?” Aku melirik jam analog di dinding ruang makan. Posisi jam itu tepat di atas kepala Mama.

“Mama sekarang ingat. Dulu kamu dan dia sering main ke empang ikan, kan?” tanya Mama lagi.

“Iya, Ma. Kami hanya jarang bertemu ketika aku dan dia mulai bekerja. Sudah dulu ya, Ma. Aku hampir telat.” Aku kembali melangkah dengan sedikit tergesa-gesa.

Aku dan Darnia sudah ada janji temu hari ini. Darnia akan mengajakku ke rumah Nyai Sekar Kanti, orang pintar yang konon bisa memasangkan susuk kecantikan kepadaku. Cukup berjalan kaki saja, aku sudah sampai di depan rumah Darnia. Senyum manisnya menyambut kedatanganku. Di halaman rumahnya yang cukup luas, terparkir manis sebuah sepeda motor matic berwarna merah. Darnia bangkit melihat kedatanganku.

“Kita ke rumah Nyai Sekar Kanti menggunakan motor saja, biar cepat.” Darnia menyerahkan satu helm kepadaku. Tanganku bergerak otomatis menyambut uluran dari Darnia. Aku membonceng motor Darnia, lantaran alamat tujuan memang tidak aku ketahui persis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   31. Setia Selamanya (Tamat)

    Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   30. Ikut Ke Alam Kubur

    Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   29. Musibah

    Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   28. Bertobat

    Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   27. Melambung dan Jatuh

    Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   26. Titik Nol

    Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status