Share

LANGIT DAN JARAK - II

Penulis: HaKa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-17 13:31:36

Hari demi hari terus berlalu. Tak disangka, melihat Story I*******m Heri perlahan menjadi bagian dari rutinitas yang paling ditunggu oleh Sakura. Ia bahkan mulai bertanya pada dirinya sendiri—kenapa begitu menanti notifikasi dari akun itu? Kenapa senang saat melihat postingan Heri di X atau unggahannya di feed I*******m?

Padahal… ia sendiri belum pernah berani menyapa.

Musim dingin mulai merayap masuk. Udara semakin menusuk, jendela-jendela toko mulai dipenuhi dekorasi Natal. Tapi belum sekalipun Sakura mengirimkan pesan atau menyukai postingan Heri.

Hingga suatu hari, entah dorongan dari mana datangnya, Sakura merasa ingin membuat Story. Ia berdiri di trotoar Shibuya, menggenggam gelas kopi plastik hangat dari kedai kecil. Tangannya gemetar sedikit saat mengambil foto.

“Siapa tahu… dia melihat,” bisik hatinya.

Beberapa detik kemudian, ia mengunggah Story itu. Sederhana saja. Gambar tangannya memegang kopi, latar belakang keramaian Shibuya. Tapi ada harap kecil tersimpan di dalamnya.

Sakura tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri.

“Ya ampun, Sakura…” gumamnya dalam hati.

“Belum lama ini kamu bahkan baru disakiti. Dicampakkan begitu saja…”

Kenangan itu muncul, perlahan. Seorang pria yang dulu menjanjikan manisnya masa depan, tapi ternyata hanya tertarik pada tubuh Sakura. Setelah beberapa kali kencan dan hubungan singkat, pria itu menghilang begitu saja, meninggalkan Sakura dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

“Kamu ngapain sih berharap lagi? Bodoh.”

Namun langkahnya terus berjalan, tanpa arah. Gelas kopi masih di tangan, tapi pikirannya entah di mana.

Tanpa sadar, dia sudah sampai Yoyogi. Pikiran dan perasaan yang kacau membawa kakinya sejauh itu.

Ia duduk di sebuah bangku taman kecil, ditemani senja yang dingin dan suara burung gagak dari kejauhan. Dengan ragu, ia membuka kembali I*******m… dan membuka daftar siapa saja yang melihat Story-nya.

Jantungnya menegang.

Tidak ada.

Nama Heri belum muncul.

Sakura menarik napas panjang. Seakan realita kembali menamparnya lembut.

Ia menunduk… sekali lagi dia membuka story nya dan mengecek siapa yang melihat.

“@heri_sky” masuk dalam daftar

Sakura membeku. Matanya membesar, dan bibirnya membentuk senyum kecil tanpa sadar.

Dalam hati, ia berkata:

Eh… yang bener, nih?

Perasaannya menghangat. Dan belum sempat ia sepenuhnya memproses semuanya, notifikasi lain masuk.

Heri mengunggah Story baru.

Dengan refleks, Sakura langsung membukanya.

"Docking at Jakarta after a short trip from Singapore, Merak 815, Boeing 777-200LR, PK-MXE... next one in few days, Tokyo Narita."

Tokyo.

Heri akan kembali ke Tokyo. Tapi ke Narita, bukan Haneda seperti sebelumnya.

Jari Sakura sedikit gemetar. Ia ingin bertanya. Ingin bicara. Ingin menyambut. Tapi ragu. Takut. Bimbang. Semua bercampur.

Namun akhirnya… rasa nekat menang.

Ia mengetik:

“Hei Heri-san, tanggal berapa sampai berapa kamu di Tokyo? Masih ingat janji ku?

Ayo kita makan malam bersama. Aku ingin menepati janji ku.”

Lalu… Send.

Sakura berdiri. Melangkah kembali ke apartemennya.

Tidak peduli apakah pesannya dibalas atau tidak.

Ada rasa lega… sekaligus deg-degan yang sulit dijelaskan.

Setelah perjalanan panjang—yang baru ia sadari dimulai dari Shibuya sampai Yoyogi hanya untuk “beli kopi”—akhirnya ia sampai di kamarnya. Lelah. Kacau. Dan… sedikit malu pada dirinya sendiri.

“Aku jalan kaki sejauh ini… kemudian overthinking?”

Ia tertawa miris, lalu memberanikan diri membuka ponsel.

Ada notifikasi, Heri membalas.

“Tanggal 17 dan 18 aku ada di Tokyo. Boleh. Hotel-nya masih sama seperti kemarin.

Mau ketemu di mana? Tapi tanggal 17 aku baru bisa di atas jam 8 malam, aku tiba sore.”

Sakura membeku. Hampir menjatuhkan ponselnya.

Ia menarik napas dalam. Matanya berkaca-kaca. Lalu, dengan tangan gemetar tapi senyum tak tertahankan, ia membalas:

“Tidak apa! Untuk tempat ketemu dan restorannya, serahkan padaku!

*otsukaresamadeshita!” (thank you today hardwork)

Sakura tersenyum seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan impiannya.

“Sudah lama… aku nggak merasa seperti ini…” pikirnya.

Tanggal 17… hanya seminggu lagi. Ia sudah mulai berpikir — restoran mana yang terbaik di sekitar Shiodome? Pakai baju apa ya?

Hari itu, yang sempat terasa abu-abu… perlahan berubah warna.

Dari kelabu jadi jingga.

Dari sepi jadi penuh harapan.

***

“Haha, dia masih ingat juga ternyata ya…”

ucap Heri sambil menyandarkan tubuhnya di sofa kamar rumahnya. Sore itu ia baru saja tiba dari tugas terbang dan sedang menikmati waktu istirahat.

Tangannya bergerak di atas layar ponsel, mengetik pelan.

By the way, terakhir kali kita bertemu… kamu sampai rumah dengan aman, kan?

Sebenarnya Heri sempat ragu untuk menanyakan hal itu. Sudah berlalu cukup lama, dan mungkin sudah basi untuk dibahas. Tapi rasanya akan aneh jika mereka bertemu nanti tanpa ada usaha untuk saling membuka percakapan terlebih dahulu.

Tak lama, notifikasi muncul.

Sakura membalas:

Tentu saja! Tapi aku benar-benar berterima kasih… Aku nggak tahu apa yang akan terjadi padaku malam itu kalau kamu nggak muncul.

Heri tersenyum kecil membaca pesan itu. Ia mengetik lagi:

Aaah… aku rasa itu memang sudah seharusnya.”

Ngomong-ngomong, cuaca di Tokyo makin dingin, ya?

Sakura cepat membalas, seolah sudah menunggu obrolan ini.

Iya, dinginnya mulai terasa. Heri-san jadi ke Tokyo, kan? Jangan lupa pakai pakaian hangat ya! Di sana ada UNIQLO nggak? Heattech mereka ngebantu banget lho! Kalau nggak ada, nanti beli di sini aja. Bisa kepake juga buat dinas kamu!

Heri tertawa kecil, merasa hangat oleh perhatian yang tidak disangka.

Di sini ada kok UNIQLO juga, hahaha. Aku punya Heattech dan jaket windproof mereka. Tenang, nanti aku pakai itu.”

Obrolan itu, yang awalnya hanya sapaan ringan, mulai mengalir ke berbagai arah. Dari cuaca, pakaian musim dingin, hingga cerita-cerita ringan yang entah bagaimana terasa begitu mudah dibagikan.

Mereka saling membalas tanpa jeda canggung.

Seolah waktu tidak terlalu penting.

Seolah bahasa yang berbeda bukan penghalang.

Entah bagaimana, dua orang yang berasal dari dunia yang berbeda—budaya, bahasa, kebiasaan—bisa berbincang tanpa merasa asing.

Tanpa sadar, mereka mulai membuka diri. Dan mungkin… perlahan… mulai terhubung.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   Epilog

    Musim semi… tinggal menghitung minggu.Sakura keluar dari apartemennya pagi itu. Udara Tokyo masih dingin, menusuk pipi dan telinga. Ia berjalan menuju Stasiun Yoyogi-Uehara. Ear muffler menempel di telinganya, melindungi dari sisa-sisa musim dingin yang belum rela pergi.Di telinganya, lagu “Kaiju no Hanauta” dari Vaundy mengalun melalui handsfree.Di stasiun, kereta pagi sudah penuh sesak. Petugas mendorong penumpang masuk agar pintu bisa tertutup. Sakura ikut terdorong ke dalam, penuh sesak, menjadi bagian kesehariannya.Sesampainya di Higashi-Ikebukuro, ia berjalan santai menuju kantor, ia sempatkan membeli kopi kaleng dari vending machine. Ia genggam erat, berharap kehangatan kaleng itu bisa menular ke tubuhnya yang terkena angin dingin yang berhembus dari sela-sela gedung.Dia mengecek jadwal hari itu — rapat bersama manajernya di Omiya.“Sakura, ayo berangkat. Pastikan dokumennya ya,” ujar manajernya.Semua terasa biasa. Tapi ada yang berubah.Di sela-sela rutinitas, Sakura memb

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - V

    Di dalam kereta yang mulai sepi, Heri berdiri tenang di sudut dekat pintu. Lagu “Fragrance” dari Mahiru dan RINZO mengalun lembut lewat earphone-nya, menyatu dengan pemandangan malam Tokyo yang berlalu di balik kaca.Tokyu Lines... hari ini dia kembali menyusuri jalur yang pernah jadi bagian hidupnya. Bedanya, sekarang ada Sakura di sampingnya. Kenangan dan kenyataan saling bertemu — dan hatinya terasa hangat.Sesampainya di hotel, ia bertemu beberapa rekan cabin crew.“Mas Heri, dari tadi ke mana? Hilang seharian,” tanya salah satu dengan santai.“Main sama teman,” jawabnya pelan, hanya tersenyum.Mereka bercerita tentang petualangan belanja di Shibuya, makan di Ginza, dan ketawa-ketawa di Ikebukuro. Mereka mengajaknya bergabung lain kali.Heri hanya mengangguk sopan. Tokyo yang mereka cari dan cintai... berbeda dari Tokyo yang ia simpan dalam hati. Untuk hari ini — dan mungkin hari-hari ke depan — ia ingin tetap egois, memilih Tokyo versi dirinya sendiri.Malam itu, di tengah hiruk

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - IV

    Aroma kari hangat menyebar dari dapur, menyelimuti rumah kecil itu dengan rasa nyaman. Di dalamnya, Akari cekatan membantu Yuriko menyiapkan makan malam, sementara Kenta mondar-mandir menyusun piring dan gelas di meja. Di ruang keluarga, Mayu duduk anteng di depan televisi, sesekali bersenandung mengikuti lagu iklan yang lewat.Dari ruang tamu, Sakura mencuri pandang ke dapur. Ada rasa ingin tahu yang timbul begitu saja.“Sakura, mau lihat?” ajak Yuriko sambil tersenyum hangat.Sakura mengangguk pelan dan melangkah masuk. Dapurnya kecil, tapi terasa hidup—penuh suara, wangi, dan tawa kecil. Di sudut, Akari sedang menyiapkan salad. Yuriko sibuk mencicipi saus kare di panci besar.Sakura memperhatikan dapur itu. Ada kehidupan di ruang ini. Suara, aroma, dan interaksi yang terasa akrab dan kehangatan.Dapur ini... sangat berbeda dari dapur apartemennya yang sunyi.“Kamu biasa masak apa di rumah?” tanya Yuriko sambil tetap mengaduk kari.Sakura tersenyum kikuk. “Jujur aja… aku lebih serin

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - III

    “Nii-san! Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke Tokyo?” seru gadis muda itu dengan nada setengah protes.“Eh… iya, hahaha. Aku udah janji sama seseorang soalnya, Akari-chan. Takut waktunya gak cukup,” jawab Heri sambil nyengir canggung.Mata gadis itu langsung beralih ke Sakura. “Nii-san… dia siapa?” tanyanya polos.Sakura segera memperkenalkan diri, tak ingin membuat situasi jadi kikuk. “Kitagawa Sakura, salam kenal.”“Namaku Yamamura Akari! Salam kenal juga, Kitagawa-san!” jawab gadis itu dengan antusias dan senyum lebar.“Nii-san,” lanjutnya sambil tersenyum jahil, “dia teman… atau ‘teman’?”“Ibu pasti senang kalau melihatnya!”"Ibu?" Sebuah pertanyaan cepat melintas di kepala Sakura. Siapa 'ibu' yang dimaksud…?Heri menghela napas kecil, lalu menjelaskan sambil menoleh ke Sakura.“Akari ini… anak tertua dari keluarga angkatku di Tokyo.”Sakura, yang sempat merasa bingung, mendadak merasa lega. Bahkan senang. Sosok dari masa lalu Heri yang selama ini hanya dia dengar sekilas, kini

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - II

    Jarum jam menunjukkan pukul 11.45.Sakura bersantai di sofa, memeluk bantal kecil di tangannya. Matanya nyaris tertutup karena mengantuk.Diliriknya ke arah tempat tidur. Heri masih terlelap… tapi… oh? Sakura mengucek matanya. Heri sudah membuka matanya setengah, menatap pelan ke arah Sakura.Dengan gerakan pelan, Heri mencari HP-nya dan mematikan alarm sebelum sempat berbunyi.“Sudah bangun, ya,” ucap Sakura pelan.Heri hanya mengangguk, menguap, dan mengusap wajahnya. Ia bangkit dan masuk ke kamar mandi, mencuci muka, lalu menunaikan salat.Gerak-geriknya rapi dan sistematis—seolah terbentuk dari kebiasaan panjang. Sakura memperhatikan dalam diam, hanya mengamati. Ada rasa tenang melihatnya begitu.Tanpa banyak bicara, Heri mengambil pakaian dari kopernya dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama, dia sudah siap sepenuhnya: sweater biru gelap dengan kemeja putih di dalam, celana jeans hitam, dan sepatu OnCloud kesayangan.“Jadi… mau kemana? Makan siang, ya?” tanya Heri sambil merapik

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - I

    “Kamu udah makan?” tanya Heri sambil berjalan pelan di samping Sakura.“Udah kok. Tadi sarapan onigiri, terus sempet ngopi juga di Tully’s pas nunggu kamu mendarat,” jawab Sakura.“Ooh ya,” lanjutnya, “kita…mau ke mana sekarang? Kamu ke hotel dulu, ya?”Heri mengangguk pelan. “Iya, aku harus check-in dulu dan naro koper. Terus…sejujurnya, aku juga pengen tidur sebentar sampe jam 12 sebelum kita jalan-jalan.”Sakura hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ketika dia memutuskan untuk menjemput Heri di bandara dia tidak memikirkan “habis itu mau ngapain”—yang penting, dia bisa menjemput Heri. Bisa melihatnya langsung.“Sakura-san, kamu mau nunggu di mana nanti?”“Eh…ehm…mungkin di kafe dekat hotel kamu?” jawabnya ragu.“Gak kelamaan nanti kamu di kafe?” Heri tampak berpikir sejenak. “Atau…kalau kamu mau, ke kamar aja?”Hening.Keduanya tiba-tiba diam. Sunyi yang awkward.Sampai akhirnya Heri, agak tergesa, menambahkan, “Maksudku…ya kamu bisa duduk aja di sofa, nonton TV atau pesan cemilan lewa

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - VI

    PIIIPP PIIIPP...Suara alarm dari ponsel memecah keheningan pagi.Sebuah tangan langsung bergerak cepat mematikannya.Dengan mata setengah terpejam, Sakura mengangkat ponselnya—05:25 terpampang di layar.“Aku… kayaknya cuma tidur sebentar…” gumamnya lirih, masih dibalut rasa kantuk.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari ranjang, menyeret kakinya menuju kamar mandi.Sikat gigi. Cuci muka. Tarik napas panjang.Setidaknya, pagi ini dia berhasil bangun tepat waktu. Itu sudah pencapaian.Di meja kecil dekat jendela, Sakura membuka onigiri dan menyedot kotak jus jeruk dari konbini yang ia beli semalam.Apple Music memutar lagu secara acak, dan “Koi wo Shita nowa” by Aiko mulai mengalun.Entah kenapa, lagu itu terasa pas di pagi hari yang sunyi. Pagi ini terasa...istimewa.Sakura mengenakan celana jeans gelap, kaus nyaman yang ditutupi sweater putih, lalu winter coat abu-abu panjang yang sudah disiapkan semalam. Tak lupa sneakers New Balance putih favoritnya.Di depan cermin, ia merapikan ma

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - V

    TINGNotifikasi LINE berbunyi di ponsel Heri. Ia menaruh gelas latte-nya, membuka layar, dan membaca pesan dari Sakura."Sudah di bandara?""Sudah dong. Ini habis beli kopi, mau ke pesawat."Heri menyertakan foto: segelas kopi, koper, dan topi pilotnya di atas meja bandara."Kamu belum tidur? Di Tokyo udah jam 11 malam, kan?""Belum ngantuk >.!(semangat!)"Heri tersenyum kecil. Lagu “Innocence” dari NoisyCell mengalun pelan lewat earphone-nya."Arigatou (terima kasih)", balasnya."Tapi bobo gih. Katanya besok mau jemput di Haneda? Dari Yoyogi harus berangkat pagi loh~"TINGSakura membalas dengan selfie. Ia sedang tiduran, posisi miring ke kiri."Udah di kasur nih… tapi belum ngantuk ☹"Heri tertawa kecil."Kalau gitu… minum air hangat, terus coba hitung domba. Atau baca buku deh… buku matematika, misalnya. Biar cepet ngantuk 😆"Sakura tertawa keras.“Buku matematika katanya… emangnya aku anak SMA yang mau ujian nasional besok?”Dia memba

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - IV

    Malam hari di Tokyo. Angin dingin berhembus, menandakan musim dingin masih menyelimuti.Di kamar apartemennya, Sakura menatap layar ponsel dan menulis pesan LINE“Boleh gak... aku punya permintaan egois?”Heri cepat membalas,“Egois? Kenapa tuh? Apa apa?”Sakura ragu sejenak, lalu akhirnya menuliskan,“Aku mau jemput kamu di bandara. Aku kasih tau di awal biar kamu gak kaget... boleh?”Setelah mengirim pesan itu, Sakura langsung melempar ponselnya ke kasur dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.“Ya ampun… kacau kacau kacau…” desahnya, deg-degan.Satu menit... dua menit... tiga menit…TINGLINE berbunyi.“Eh? Ya… boleh aja sih.”Jawaban simpel, tapi cukup untuk bikin Sakura gelisah berubah jadi girang. Dia menggoyangkan kakinya di kasur, senyum-senyum sendiri.Sementara itu di Jakarta, Heri termenung.“Waduh… kalo sampe diliat kru, gimana ya?”Tapi kemudian dia mikir, “Ah ya sudahlah… kayaknya nggak perlu disembunyiin juga.”Di kamar apartemennya, Sakura kembali menulis pesan. La

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status