Share

LANGIT DAN JARAK - I

Penulis: HaKa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-17 13:31:29

Hari-hari berlalu seperti lembar kalender yang dicabut tanpa arti.

Sakura menjalani rutinitasnya bak robot. Pagi hari ia naik Tokyo Metro Chiyoda Line, berdesakan dengan orang-orang yang juga memendam kantuk dan beban masing-masing. Bekerja hingga malam, lalu ketika pulang dia makan di restoran terdekat atau membeli makanan instan dari konbini, lalu pulang ke apartemen mungilnya di Yoyogi. Istirahat sebentar. Tidur. Ulangi lagi keesokan harinya.

Dunia terasa datar.

Namun di sela-sela rutinitas itu, ada satu hal kecil yang diam-diam menjadi rutinitas baru: Story I*******m Heri.

Isi story-nya biasa saja. Kadang foto kucing, kadang suasana ngopi dengan teman-teman, kadang langit senja dari atas pesawat. Tapi entah kenapa, Sakura selalu menyempatkan diri untuk melihatnya.

Satu malam yang sepi, saat pekerjaan tidak menumpuk, rasa penasaran itu membuncah. Sakura membuka profil Heri dan mulai menyusuri linimasa digitalnya.

Ia mencari… tanpa sadar tahu apa yang sedang ia cari.

Apakah ada foto seorang wanita yang sering muncul? Apakah Heri sudah punya pasangan?

Satu jam berlalu. Tidak ada.

Sakura menutup layar ponselnya dan menghela napas. Ada rasa lega… tapi kenapa? pikirnya. Kenapa aku senang tidak menemukannya? Rasanya aneh… tapi juga hangat, sedikit.

Malam itu, saat pulang naik kereta terakhir menuju Yoyogi, ponselnya bergetar. Story baru dari Heri.

Tanpa ragu ia membukanya.

Sebuah foto ekor pesawat berdiri gagah di apron bandara, dilatari langit malam yang pekat. Caption-nya singkat:

“Merak 88 service to Amsterdam.

Gonna be a long night.

Boeing 777-300ER PK-MRA.”

Tidak ada selfie. Hanya pesawat. Tapi entah kenapa, Sakura menatap foto itu cukup lama.

Amsterdam… pikirnya. Rasanya enak ya, bisa keliling dunia… hidup di langit… bebas…

Seketika, banyak topik bermunculan di kepalanya. Ia ingin bertanya ini-itu. Tentang Amsterdam. Tentang hidup sebagai pilot. Tentang Indonesia.

Tapi pesannya tidak pernah ditulis.

Ia hanya menyimpannya dalam diam.

Sakura sadar, dirinya jarang sekali membuat story atau postingan. Tiba-tiba muncul keinginan aneh: “Kalau aku bikin story… kira-kira dia lihat nggak ya?”

Ia membuka kembali profil Heri. Foto pesawat. Mobil Subaru—sepertinya miliknya. Dan seekor kucing oren yang sedang tidur di sofa.

Sakura tersenyum kecil.

"Lucu banget..." bisiknya pelan, menatap wajah si kucing.

Waktu berlalu tanpa terasa. Suara kereta mengumumkan stasiun terakhir: Yoyogi-Uehara.

Sakura tersentak. Ia buru-buru berdiri, melangkah keluar dari gerbong, lalu berjalan pelan di trotoar yang sudah sepi. Langit malam bersih. Lampu jalan memantulkan cahaya lembut ke dedaunan musim gugur yang berguguran.

Ada sesuatu yang berubah. Sakura belum tahu apa. Tapi sejak malam itu… rutinitas yang biasa terasa sedikit berbeda.

***

Keesokan harinya, di tengah pagi yang sedikit mendung, Sakura duduk di meja kerjanya sambil menyeruput kopi dari paper cup. Di sela kesibukan, matanya sesekali melirik layar ponsel. Harapan kecil tumbuh di dalam dirinya: “Mungkin hari ini ada Story lagi dari Heri…”

Tangannya menggenggam ponsel, membuka layar…

Belum ada notifikasi. Tapi siapa tahu.

“@heri_sky just posted a story” — kalimat itu terus terngiang di benaknya, seolah ponselnya bisa membacanya.

“Sakuraa~” suara temannya membuyarkan lamunan.

“Kok belakangan kamu kelihatan lebih sumringah, ya? Lebih… ceria dikit~” goda mereka sambil tersenyum jahil.

“Apa ada sesuatu yang bagus terjadi? Wah, jangan-jangan ada yang spesial~”

“Nggak ada! Biasa aja…” jawab Sakura buru-buru, sedikit gugup.

“Hidupku ya begitu-begitu saja…” tambahnya, mencoba menutup rasa kikuknya dengan senyum kecil.

Sakura menarik napas pelan dan menunduk kembali ke layar komputer. Mencoba fokus. Excel. Email di Outlook. Dokumen Word. Dunia kerja yang monoton kembali membungkus dirinya.

Namun sore itu, sesuatu yang jarang terjadi terjadi — ia bisa pulang lebih cepat.

Sakura memutuskan mampir ke restoran kecil dekat stasiun. Ia memesan saba shioyaki, makanan kesukaannya, dan duduk di sudut dekat jendela. Sambil menunggu, ia membuka ponsel. Notifikasi muncul:

“@heri_sky just posted a story (4h ago)”

Hatinya berdetak sedikit lebih cepat. Ia mengetuk layar.

Story pertama: tampak pemandangan apron Bandara Schiphol, difoto dari jendela kokpit. Dua pesawat dari maskapai yang sama sudah lebih dulu terparkir di kejauhan.

Caption-nya berbunyi:

“This day of the week is special. You could see 3 of the airline’s widebodies completed their long journey from 3 different cities in Indonesia!

Merak 80 - Airbus A330-200 from Medan

Merak 82 - Boeing 777-200LR from Bali

And our 777-300ER from Jakarta ✈️”

Sakura membaca sambil tersenyum. “Keren ya…” pikirnya.

Story berikutnya:

Sebuah foto grup. Dua belas pilot—kombinasi dari kru Merak 80, 82, dan 88—berdiri bersama di depan restoran hotel. Heri salah satunya. Di sampingnya ada dua pilot perempuan muda yang tampaknya seumuran dengan Sakura.

“12 cockpit crew, Merak 80, 82, and 88. The hotel restaurant gonna be wild.”

Sakura terpaku. “Perempuan juga ya, jadi pilot…” gumamnya kagum.

Story ketiga:

Sebuah foto jalanan kota Amsterdam. Komposisinya indah—tidak asal jepret. Sudut pengambilan gambarnya memperlihatkan sisi artistik Heri yang tidak disangka-sangka.

Sakura tak sadar makanannya sudah datang. Saba shioyaki panas mengepul di depannya, tapi matanya masih tertuju ke layar ponsel.

Ia kembali membuka profil Heri.

Foto-foto pemandangan. Langit, bandara, laut, kota. Jarang foto dirinya sendiri. Tapi ada juga banyak unggahan saat Heri berada di Jepang—lengkap dengan caption dalam bahasa Jepang.

“Dia serius belajar ya… bahasa Jepang-nya bagus,” pikir Sakura.

Akhirnya, ia menarik napas panjang. Meletakkan ponselnya di meja.

Makan malamnya menunggu.

Dengan gerakan pelan, ia mulai menyuap makanannya, mencoba menenangkan pikirannya.

Malam itu, tak ada kejadian istimewa. Tapi jauh di dalam hatinya, sesuatu terasa tumbuh… perlahan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   Epilog

    Musim semi… tinggal menghitung minggu.Sakura keluar dari apartemennya pagi itu. Udara Tokyo masih dingin, menusuk pipi dan telinga. Ia berjalan menuju Stasiun Yoyogi-Uehara. Ear muffler menempel di telinganya, melindungi dari sisa-sisa musim dingin yang belum rela pergi.Di telinganya, lagu “Kaiju no Hanauta” dari Vaundy mengalun melalui handsfree.Di stasiun, kereta pagi sudah penuh sesak. Petugas mendorong penumpang masuk agar pintu bisa tertutup. Sakura ikut terdorong ke dalam, penuh sesak, menjadi bagian kesehariannya.Sesampainya di Higashi-Ikebukuro, ia berjalan santai menuju kantor, ia sempatkan membeli kopi kaleng dari vending machine. Ia genggam erat, berharap kehangatan kaleng itu bisa menular ke tubuhnya yang terkena angin dingin yang berhembus dari sela-sela gedung.Dia mengecek jadwal hari itu — rapat bersama manajernya di Omiya.“Sakura, ayo berangkat. Pastikan dokumennya ya,” ujar manajernya.Semua terasa biasa. Tapi ada yang berubah.Di sela-sela rutinitas, Sakura memb

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - V

    Di dalam kereta yang mulai sepi, Heri berdiri tenang di sudut dekat pintu. Lagu “Fragrance” dari Mahiru dan RINZO mengalun lembut lewat earphone-nya, menyatu dengan pemandangan malam Tokyo yang berlalu di balik kaca.Tokyu Lines... hari ini dia kembali menyusuri jalur yang pernah jadi bagian hidupnya. Bedanya, sekarang ada Sakura di sampingnya. Kenangan dan kenyataan saling bertemu — dan hatinya terasa hangat.Sesampainya di hotel, ia bertemu beberapa rekan cabin crew.“Mas Heri, dari tadi ke mana? Hilang seharian,” tanya salah satu dengan santai.“Main sama teman,” jawabnya pelan, hanya tersenyum.Mereka bercerita tentang petualangan belanja di Shibuya, makan di Ginza, dan ketawa-ketawa di Ikebukuro. Mereka mengajaknya bergabung lain kali.Heri hanya mengangguk sopan. Tokyo yang mereka cari dan cintai... berbeda dari Tokyo yang ia simpan dalam hati. Untuk hari ini — dan mungkin hari-hari ke depan — ia ingin tetap egois, memilih Tokyo versi dirinya sendiri.Malam itu, di tengah hiruk

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - IV

    Aroma kari hangat menyebar dari dapur, menyelimuti rumah kecil itu dengan rasa nyaman. Di dalamnya, Akari cekatan membantu Yuriko menyiapkan makan malam, sementara Kenta mondar-mandir menyusun piring dan gelas di meja. Di ruang keluarga, Mayu duduk anteng di depan televisi, sesekali bersenandung mengikuti lagu iklan yang lewat.Dari ruang tamu, Sakura mencuri pandang ke dapur. Ada rasa ingin tahu yang timbul begitu saja.“Sakura, mau lihat?” ajak Yuriko sambil tersenyum hangat.Sakura mengangguk pelan dan melangkah masuk. Dapurnya kecil, tapi terasa hidup—penuh suara, wangi, dan tawa kecil. Di sudut, Akari sedang menyiapkan salad. Yuriko sibuk mencicipi saus kare di panci besar.Sakura memperhatikan dapur itu. Ada kehidupan di ruang ini. Suara, aroma, dan interaksi yang terasa akrab dan kehangatan.Dapur ini... sangat berbeda dari dapur apartemennya yang sunyi.“Kamu biasa masak apa di rumah?” tanya Yuriko sambil tetap mengaduk kari.Sakura tersenyum kikuk. “Jujur aja… aku lebih serin

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - III

    “Nii-san! Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke Tokyo?” seru gadis muda itu dengan nada setengah protes.“Eh… iya, hahaha. Aku udah janji sama seseorang soalnya, Akari-chan. Takut waktunya gak cukup,” jawab Heri sambil nyengir canggung.Mata gadis itu langsung beralih ke Sakura. “Nii-san… dia siapa?” tanyanya polos.Sakura segera memperkenalkan diri, tak ingin membuat situasi jadi kikuk. “Kitagawa Sakura, salam kenal.”“Namaku Yamamura Akari! Salam kenal juga, Kitagawa-san!” jawab gadis itu dengan antusias dan senyum lebar.“Nii-san,” lanjutnya sambil tersenyum jahil, “dia teman… atau ‘teman’?”“Ibu pasti senang kalau melihatnya!”"Ibu?" Sebuah pertanyaan cepat melintas di kepala Sakura. Siapa 'ibu' yang dimaksud…?Heri menghela napas kecil, lalu menjelaskan sambil menoleh ke Sakura.“Akari ini… anak tertua dari keluarga angkatku di Tokyo.”Sakura, yang sempat merasa bingung, mendadak merasa lega. Bahkan senang. Sosok dari masa lalu Heri yang selama ini hanya dia dengar sekilas, kini

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - II

    Jarum jam menunjukkan pukul 11.45.Sakura bersantai di sofa, memeluk bantal kecil di tangannya. Matanya nyaris tertutup karena mengantuk.Diliriknya ke arah tempat tidur. Heri masih terlelap… tapi… oh? Sakura mengucek matanya. Heri sudah membuka matanya setengah, menatap pelan ke arah Sakura.Dengan gerakan pelan, Heri mencari HP-nya dan mematikan alarm sebelum sempat berbunyi.“Sudah bangun, ya,” ucap Sakura pelan.Heri hanya mengangguk, menguap, dan mengusap wajahnya. Ia bangkit dan masuk ke kamar mandi, mencuci muka, lalu menunaikan salat.Gerak-geriknya rapi dan sistematis—seolah terbentuk dari kebiasaan panjang. Sakura memperhatikan dalam diam, hanya mengamati. Ada rasa tenang melihatnya begitu.Tanpa banyak bicara, Heri mengambil pakaian dari kopernya dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama, dia sudah siap sepenuhnya: sweater biru gelap dengan kemeja putih di dalam, celana jeans hitam, dan sepatu OnCloud kesayangan.“Jadi… mau kemana? Makan siang, ya?” tanya Heri sambil merapik

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - I

    “Kamu udah makan?” tanya Heri sambil berjalan pelan di samping Sakura.“Udah kok. Tadi sarapan onigiri, terus sempet ngopi juga di Tully’s pas nunggu kamu mendarat,” jawab Sakura.“Ooh ya,” lanjutnya, “kita…mau ke mana sekarang? Kamu ke hotel dulu, ya?”Heri mengangguk pelan. “Iya, aku harus check-in dulu dan naro koper. Terus…sejujurnya, aku juga pengen tidur sebentar sampe jam 12 sebelum kita jalan-jalan.”Sakura hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ketika dia memutuskan untuk menjemput Heri di bandara dia tidak memikirkan “habis itu mau ngapain”—yang penting, dia bisa menjemput Heri. Bisa melihatnya langsung.“Sakura-san, kamu mau nunggu di mana nanti?”“Eh…ehm…mungkin di kafe dekat hotel kamu?” jawabnya ragu.“Gak kelamaan nanti kamu di kafe?” Heri tampak berpikir sejenak. “Atau…kalau kamu mau, ke kamar aja?”Hening.Keduanya tiba-tiba diam. Sunyi yang awkward.Sampai akhirnya Heri, agak tergesa, menambahkan, “Maksudku…ya kamu bisa duduk aja di sofa, nonton TV atau pesan cemilan lewa

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - VI

    PIIIPP PIIIPP...Suara alarm dari ponsel memecah keheningan pagi.Sebuah tangan langsung bergerak cepat mematikannya.Dengan mata setengah terpejam, Sakura mengangkat ponselnya—05:25 terpampang di layar.“Aku… kayaknya cuma tidur sebentar…” gumamnya lirih, masih dibalut rasa kantuk.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari ranjang, menyeret kakinya menuju kamar mandi.Sikat gigi. Cuci muka. Tarik napas panjang.Setidaknya, pagi ini dia berhasil bangun tepat waktu. Itu sudah pencapaian.Di meja kecil dekat jendela, Sakura membuka onigiri dan menyedot kotak jus jeruk dari konbini yang ia beli semalam.Apple Music memutar lagu secara acak, dan “Koi wo Shita nowa” by Aiko mulai mengalun.Entah kenapa, lagu itu terasa pas di pagi hari yang sunyi. Pagi ini terasa...istimewa.Sakura mengenakan celana jeans gelap, kaus nyaman yang ditutupi sweater putih, lalu winter coat abu-abu panjang yang sudah disiapkan semalam. Tak lupa sneakers New Balance putih favoritnya.Di depan cermin, ia merapikan ma

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - V

    TINGNotifikasi LINE berbunyi di ponsel Heri. Ia menaruh gelas latte-nya, membuka layar, dan membaca pesan dari Sakura."Sudah di bandara?""Sudah dong. Ini habis beli kopi, mau ke pesawat."Heri menyertakan foto: segelas kopi, koper, dan topi pilotnya di atas meja bandara."Kamu belum tidur? Di Tokyo udah jam 11 malam, kan?""Belum ngantuk >.!(semangat!)"Heri tersenyum kecil. Lagu “Innocence” dari NoisyCell mengalun pelan lewat earphone-nya."Arigatou (terima kasih)", balasnya."Tapi bobo gih. Katanya besok mau jemput di Haneda? Dari Yoyogi harus berangkat pagi loh~"TINGSakura membalas dengan selfie. Ia sedang tiduran, posisi miring ke kiri."Udah di kasur nih… tapi belum ngantuk ☹"Heri tertawa kecil."Kalau gitu… minum air hangat, terus coba hitung domba. Atau baca buku deh… buku matematika, misalnya. Biar cepet ngantuk 😆"Sakura tertawa keras.“Buku matematika katanya… emangnya aku anak SMA yang mau ujian nasional besok?”Dia memba

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - IV

    Malam hari di Tokyo. Angin dingin berhembus, menandakan musim dingin masih menyelimuti.Di kamar apartemennya, Sakura menatap layar ponsel dan menulis pesan LINE“Boleh gak... aku punya permintaan egois?”Heri cepat membalas,“Egois? Kenapa tuh? Apa apa?”Sakura ragu sejenak, lalu akhirnya menuliskan,“Aku mau jemput kamu di bandara. Aku kasih tau di awal biar kamu gak kaget... boleh?”Setelah mengirim pesan itu, Sakura langsung melempar ponselnya ke kasur dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.“Ya ampun… kacau kacau kacau…” desahnya, deg-degan.Satu menit... dua menit... tiga menit…TINGLINE berbunyi.“Eh? Ya… boleh aja sih.”Jawaban simpel, tapi cukup untuk bikin Sakura gelisah berubah jadi girang. Dia menggoyangkan kakinya di kasur, senyum-senyum sendiri.Sementara itu di Jakarta, Heri termenung.“Waduh… kalo sampe diliat kru, gimana ya?”Tapi kemudian dia mikir, “Ah ya sudahlah… kayaknya nggak perlu disembunyiin juga.”Di kamar apartemennya, Sakura kembali menulis pesan. La

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status