Sebuah kisah sederhana..
ini adalah surat cinta yang kusisipkan perlahan..
melalui dua insan yang dipertemukan oleh kebetulan..
Untuk Tokyo, yang selalu ada di hati..
"A city where magic, hope, and dream blend into one—embracing every corner with a warmth felt only by the heart.For anyone who has ever walked its streets… and fallen in love, with the city."
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan)
___________________________________________________________________
Jumat yang sejuk dan cerah di kota Tokyo. Dedaunan musim gugur mulai berjatuhan dan menutupi trotoar Aoyama, menciptakan suasana yang damai—setidaknya bagi sebagian orang. Tapi tidak untuk Sakura, seorang office lady (OL) berusia 24 tahun yang harus merelakan malamnya untuk lembur bersama rekan-rekan divisinya di sebuah perusahaan trading yang penuh tekanan.
Waktunya banyak dihabiskan di balik meja kerja, tenggelam dalam angka, laporan, dan tenggat waktu. Ketika akhir pekan datang, pilihan hidupnya hanya dua: mengunci diri di apartemen sambil memulihkan tenaga, atau—kalau masih ada energi—bertemu dua sahabatnya.
"Pokoknya habis ini kita minum-minum! Gue udah muak sama berkas-berkas ini!" celetuk salah satu temannya, disambut gelak tawa dan seruan setuju dari yang lain. Sakura tersenyum kecil. Dia bukan peminum handal—bau sake saja bisa membuatnya pusing. Tapi malam itu, dia terlalu lelah untuk menolak. Dia pun ikut. Mereka berangkat bersama dari kantor mereka di Kawasan Higashi-Ikebukuro.
1 jam kemudian, mereka sudah berkumpul di sebuah izakaya kecil di Hamamatsucho. Tawa, umpatan, dan lelucon berseliweran di udara. Gelas-gelas bir bersulang berkali-kali. Sakura menatap gelas berisi bir Sapporo yang dituangkan oleh temannya. Dia ragu sejenak, tapi akhirnya meneguknya juga. Satu tegukan menjadi dua. Lalu tiga.
Tak butuh waktu lama sampai kepalanya mulai ringan dan bicaranya mulai melantur.
Malam pun larut. Satu per satu rekan kerjanya pamit. Sakura berdiri dengan langkah gontai, menolak tawaran temannya untuk memanggilkan taksi dari tempat itu. “Aku bisa sendiri…” katanya, meskipun suaranya nyaris tak terdengar. Dia berjalan menuju stasiun, sempoyongan di antara tiang dan lampu jalan.
Sepanjang jalan dia mengumpat. Tentang pekerjaannya, tentang hidupnya yang monoton, tentang kisah cintanya yang tak pernah berjalan mulus—ditipu, diselingkuhi, ditinggal tanpa penjelasan. Malam itu, semua emosi tumpah ruah. Dia tak peduli kalau beberapa orang memandanginya dari kejauhan.
Langkahnya goyah. Tubuhnya limbung. Sampai akhirnya dia terjatuh di sisi trotoar dan muntah. Malu, kesal, dan frustasi, Sakura menangis pelan, bahunya bergetar menahan segala beban.
Tiba-tiba, sebuah suara menghampiri. Lembut, tapi asing.
“Daijoubu desu ka ?” (apakah anda baik-baik saja ?) tanya seseorang dalam bahasa Jepang yang terdengar patah-patah. Tangan pria itu menyodorkan selembar tisu.
Sakura mendongak, menerima tisu itu, lalu mengusap wajahnya. Tanpa sadar, entah karena alkohol atau emosi yang meledak-ledak, dia meraih pria itu dan memeluknya erat.
“Jangan pergi…” bisiknya, nyaris seperti anak kecil yang kehilangan arah.
Pria itu terdiam, terlihat kebingungan. Dia mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing yang tak dikenali Sakura—bukan Jepang, bukan juga Inggris. Tapi Sakura tak peduli. Ia hanya ingin seseorang menemaninya malam itu, walau hanya sebentar.
Dalam pelukan yang tak terencana itu, dia akhirnya terlelap... terbungkus kehangatan asing yang terasa lebih nyaman dari kesendirian yang biasa dia peluk tiap malam.
***
Pagi hari. Kesadaran Sakura perlahan kembali, disambut selimut hangat, bantal empuk, dan kasur yang… jauh lebih nyaman dibanding miliknya di rumah. Dia hampir menikmatinya—sampai tiba-tiba tersentak.
“Ini… di mana!?”
Dia duduk dengan panik, matanya menyapu sekeliling ruangan. Ini jelas bukan apartemennya. Ini hotel! Tapi hotel mana? Siapa yang membawanya ke sini?
Refleks, dia langsung memeriksa tubuhnya. Pakaian lengkap. Hanya sepatunya yang dilepas dan diletakkan rapi di dekat tempat tidur.
Sakura mencoba mengingat. Terakhir dia mabuk bersama rekan-rekan kerjanya di Hamamatsucho. Mungkinkah seseorang dari mereka membawanya ke sini?
Matanya menangkap ponselnya yang sedang di-charge di atas meja kecil. Di sebelahnya, ada sebungkus onigiri dan sebotol ocha dari *konbini. Waktu menunjukkan pukul 07:15 pagi. Dari balik pintu kamar mandi, terdengar suara air mengalir.
Sakura mengambil ponselnya dan menyalakan kamera depan. Wajahnya… hancur. Rambut bob-nya acak-acakan. Belum sempat ia merapikan diri, seseorang keluar dari kamar mandi.
Bukan temannya. Pria asing.
Setidaknya, pria itu sudah mengenakan pakaian dalam dan celana panjang hitam—tidak dalam keadaan mencurigakan.
"Ooh, kamu sudah bangun ya?" ucap pria itu dengan bahasa Jepang yang terdengar kaku dan patah-patah.
"Kamu ingat apa yang terjadi semalam?" lanjutnya sambil menggabungkan beberapa kata dalam bahasa Inggris.
"Kamu muntah di dekat stasiun Hamamatsucho, bau alkoholnya kuat sekali. Lalu kamu memelukku erat dan tidak mau dilepas, sekeras apapun aku mencoba. Aku tidak punya pilihan lain… jadi aku bawa kamu ke sini."
Ia bahkan menunjukkan ponselnya, dengan kalimat terjemahan yang ditulis di aplikasi translate agar Sakura benar-benar mengerti.
Sakura masih memproses semuanya. "Ini… di mana?" tanyanya akhirnya.
"The Royal Park Hotel, Shiodome," jawab pria itu.
"Aku belikan kamu onigiri dan ocha dari konbini. Ada air mineral juga, kalau kamu butuh."
Sakura mulai merasa lebih tenang, walau kepalanya masih berdenyut. Siapa pria ini?
"Siapa kamu?" tanyanya pelan.
"Hanya seseorang yang kebetulan berjalan-jalan tengah malam di Tokyo," jawabnya sambil tersenyum kecil.
"Namamu?"
"Heri," jawabnya. Sebuah nama yang asing di telinga Sakura—bukan nama Jepang, bukan juga Amerika. “Heri Prasetyo, itu nama ku, panggil saja Heri”.
"Dari mana asalmu?"
"Indonesia," kata Heri, sambil meraih sesuatu dari gantungan.
Seragam kerja. Ada epaulette dua garis di pundaknya. ID Card maskapai, dan pin berbentuk sayap.
Sakura menatapnya lekat-lekat. "Kamu… pilot?"
"Ya. Dan pagi ini aku harus kembali terbang ke Indonesia dari Haneda. Kamu pulanglah, bawa onigiri dan minumannya. Muka kamu—berantakan sekali. Cuci muka dulu, mau?" kata Heri dengan bahasa Jepang yang terbata tapi tulus.
Sakura pun berdiri, menuju kamar mandi, mencuci wajahnya. Di sana sudah tersedia sikat gigi dalam kemasan. Setelah selesai, ia kembali ke kamar dan melihat Heri sedang memukul-mukul punggungnya sendiri.
"Aku tidur di sofa tadi malam," ucap Heri.
"Nggak enak hati kalau kamu harus tidur di sana sementara aku di kasur."
Sakura terdiam. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya. Ia tersenyum pelan.
"Heri-san… aku ingin berterima kasih," ucapnya.
"Pulanglah," jawab Heri lembut.
"Tidak, maksudku… aku ingin benar-benar berterima kasih."
Sakura tampak bingung sendiri. Apa yang bisa diberikan kepada seseorang yang baru saja menolongnya… dan akan segera terbang jauh?
"Boleh… aku minta kontakmu? I*******m, atau apa pun? Kalau suatu hari kamu kembali ke Tokyo, aku ingin mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih."
Heri sempat terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil.
"Boleh. Aku juga punya LINE. Aku mau tambah teman orang Jepang, supaya bisa latihan bahasa juga."
Mereka pun bertukar kontak. LINE, I*******m, bahkan akun X. Entah mengapa, percakapan mereka tiba-tiba terasa lebih cair.
Sakura berpamitan.
"Terima kasih… sungguh."
"Hati-hati di jalan," balas Heri.
Sakura berjalan keluar hotel dengan hati campur aduk. Bingung, cemas, masih kacau karena semalam… tapi di balik itu semua—ada perasaan aneh yang tumbuh perlahan.
Perasaan hangat. Perasaan yang belum bisa ia definisikan.
Apapun itu, pagi itu, ia kembali menapaki jalan menuju apartemennya di Yoyogi… dengan langkah yang terasa sedikit lebih ringan.
Sesampainya di apartemennya, Sakura langsung merebahkan diri di atas kasur. Rasa lelah, bingung, dan emosi semalam masih menempel seperti embun yang belum menguap dari jendela. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya.
Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan masuk ke kamar mandi. Air hangat menyapu tubuhnya, membersihkan sisa malam penuh kejutan yang tak pernah ia bayangkan.
Usai mandi, Sakura mengenakan pakaian kasual—kaos longgar dan celana pendek—lalu duduk di meja makan kecil di sudut ruangannya. Onigiri yang tadi pagi dibelikan Heri kini ada di tangannya, dingin tapi tetap terasa hangat… karena niat baik yang menyertainya.
Sembari makan, ia mengecek LINE. Beberapa pesan dari teman sekantornya masuk, menanyakan apakah ia sudah sampai rumah. Sakura hanya membalas singkat:
"Sudah. Tadi malam."
Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Dia sendiri belum siap menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah itu, dia membuka ponsel dan mulai tenggelam di dunia maya. TikTok. X. I*******m. Satu demi satu aplikasi ia buka, mengisi waktu luang dengan scroll tanpa arah.
Sampai akhirnya...
Sebuah Story muncul di bagian atas I*******m.
Heri.
Tangannya ragu. Tapi rasa penasaran terlalu kuat untuk diabaikan. Ia mengetuk ikon itu.
Tampak foto selfie di dalam kokpit pesawat. Heri tersenyum ke kamera, duduk di kursi sebelah kanan. Di sampingnya, seorang pria paruh baya mengenakan seragam pilot—sang kapten. Di belakang mereka, dua orang awak kabin—pria dan wanita—ikut berpose, menambah kehangatan gambar itu.
Caption-nya terbaca:
"Merak 875 service to Jakarta ✈️
Boeing 777-300ER PK-MRM
See you again, Tokyo!"
Sakura terdiam. Tangannya sempat menyentuh kolom balasan… tapi ia urungkan.
Apa aku terlalu agresif kalau membalas?
Baru kenal satu malam…
Ia menghela napas, menutup aplikasi, dan meletakkan ponselnya.
Hening.
Angin siang menerobos masuk lewat jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipisnya. Di tengah keheningan itu, Sakura menatap langit Tokyo yang cerah.
Indonesia…
Seperti apa ya, negara itu? pikirnya.
Tak ada jawaban. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, pertanyaan itu terasa… menarik.
Musim semi… tinggal menghitung minggu.Sakura keluar dari apartemennya pagi itu. Udara Tokyo masih dingin, menusuk pipi dan telinga. Ia berjalan menuju Stasiun Yoyogi-Uehara. Ear muffler menempel di telinganya, melindungi dari sisa-sisa musim dingin yang belum rela pergi.Di telinganya, lagu “Kaiju no Hanauta” dari Vaundy mengalun melalui handsfree.Di stasiun, kereta pagi sudah penuh sesak. Petugas mendorong penumpang masuk agar pintu bisa tertutup. Sakura ikut terdorong ke dalam, penuh sesak, menjadi bagian kesehariannya.Sesampainya di Higashi-Ikebukuro, ia berjalan santai menuju kantor, ia sempatkan membeli kopi kaleng dari vending machine. Ia genggam erat, berharap kehangatan kaleng itu bisa menular ke tubuhnya yang terkena angin dingin yang berhembus dari sela-sela gedung.Dia mengecek jadwal hari itu — rapat bersama manajernya di Omiya.“Sakura, ayo berangkat. Pastikan dokumennya ya,” ujar manajernya.Semua terasa biasa. Tapi ada yang berubah.Di sela-sela rutinitas, Sakura memb
Di dalam kereta yang mulai sepi, Heri berdiri tenang di sudut dekat pintu. Lagu “Fragrance” dari Mahiru dan RINZO mengalun lembut lewat earphone-nya, menyatu dengan pemandangan malam Tokyo yang berlalu di balik kaca.Tokyu Lines... hari ini dia kembali menyusuri jalur yang pernah jadi bagian hidupnya. Bedanya, sekarang ada Sakura di sampingnya. Kenangan dan kenyataan saling bertemu — dan hatinya terasa hangat.Sesampainya di hotel, ia bertemu beberapa rekan cabin crew.“Mas Heri, dari tadi ke mana? Hilang seharian,” tanya salah satu dengan santai.“Main sama teman,” jawabnya pelan, hanya tersenyum.Mereka bercerita tentang petualangan belanja di Shibuya, makan di Ginza, dan ketawa-ketawa di Ikebukuro. Mereka mengajaknya bergabung lain kali.Heri hanya mengangguk sopan. Tokyo yang mereka cari dan cintai... berbeda dari Tokyo yang ia simpan dalam hati. Untuk hari ini — dan mungkin hari-hari ke depan — ia ingin tetap egois, memilih Tokyo versi dirinya sendiri.Malam itu, di tengah hiruk
Aroma kari hangat menyebar dari dapur, menyelimuti rumah kecil itu dengan rasa nyaman. Di dalamnya, Akari cekatan membantu Yuriko menyiapkan makan malam, sementara Kenta mondar-mandir menyusun piring dan gelas di meja. Di ruang keluarga, Mayu duduk anteng di depan televisi, sesekali bersenandung mengikuti lagu iklan yang lewat.Dari ruang tamu, Sakura mencuri pandang ke dapur. Ada rasa ingin tahu yang timbul begitu saja.“Sakura, mau lihat?” ajak Yuriko sambil tersenyum hangat.Sakura mengangguk pelan dan melangkah masuk. Dapurnya kecil, tapi terasa hidup—penuh suara, wangi, dan tawa kecil. Di sudut, Akari sedang menyiapkan salad. Yuriko sibuk mencicipi saus kare di panci besar.Sakura memperhatikan dapur itu. Ada kehidupan di ruang ini. Suara, aroma, dan interaksi yang terasa akrab dan kehangatan.Dapur ini... sangat berbeda dari dapur apartemennya yang sunyi.“Kamu biasa masak apa di rumah?” tanya Yuriko sambil tetap mengaduk kari.Sakura tersenyum kikuk. “Jujur aja… aku lebih serin
“Nii-san! Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke Tokyo?” seru gadis muda itu dengan nada setengah protes.“Eh… iya, hahaha. Aku udah janji sama seseorang soalnya, Akari-chan. Takut waktunya gak cukup,” jawab Heri sambil nyengir canggung.Mata gadis itu langsung beralih ke Sakura. “Nii-san… dia siapa?” tanyanya polos.Sakura segera memperkenalkan diri, tak ingin membuat situasi jadi kikuk. “Kitagawa Sakura, salam kenal.”“Namaku Yamamura Akari! Salam kenal juga, Kitagawa-san!” jawab gadis itu dengan antusias dan senyum lebar.“Nii-san,” lanjutnya sambil tersenyum jahil, “dia teman… atau ‘teman’?”“Ibu pasti senang kalau melihatnya!”"Ibu?" Sebuah pertanyaan cepat melintas di kepala Sakura. Siapa 'ibu' yang dimaksud…?Heri menghela napas kecil, lalu menjelaskan sambil menoleh ke Sakura.“Akari ini… anak tertua dari keluarga angkatku di Tokyo.”Sakura, yang sempat merasa bingung, mendadak merasa lega. Bahkan senang. Sosok dari masa lalu Heri yang selama ini hanya dia dengar sekilas, kini
Jarum jam menunjukkan pukul 11.45.Sakura bersantai di sofa, memeluk bantal kecil di tangannya. Matanya nyaris tertutup karena mengantuk.Diliriknya ke arah tempat tidur. Heri masih terlelap… tapi… oh? Sakura mengucek matanya. Heri sudah membuka matanya setengah, menatap pelan ke arah Sakura.Dengan gerakan pelan, Heri mencari HP-nya dan mematikan alarm sebelum sempat berbunyi.“Sudah bangun, ya,” ucap Sakura pelan.Heri hanya mengangguk, menguap, dan mengusap wajahnya. Ia bangkit dan masuk ke kamar mandi, mencuci muka, lalu menunaikan salat.Gerak-geriknya rapi dan sistematis—seolah terbentuk dari kebiasaan panjang. Sakura memperhatikan dalam diam, hanya mengamati. Ada rasa tenang melihatnya begitu.Tanpa banyak bicara, Heri mengambil pakaian dari kopernya dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama, dia sudah siap sepenuhnya: sweater biru gelap dengan kemeja putih di dalam, celana jeans hitam, dan sepatu OnCloud kesayangan.“Jadi… mau kemana? Makan siang, ya?” tanya Heri sambil merapik
“Kamu udah makan?” tanya Heri sambil berjalan pelan di samping Sakura.“Udah kok. Tadi sarapan onigiri, terus sempet ngopi juga di Tully’s pas nunggu kamu mendarat,” jawab Sakura.“Ooh ya,” lanjutnya, “kita…mau ke mana sekarang? Kamu ke hotel dulu, ya?”Heri mengangguk pelan. “Iya, aku harus check-in dulu dan naro koper. Terus…sejujurnya, aku juga pengen tidur sebentar sampe jam 12 sebelum kita jalan-jalan.”Sakura hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ketika dia memutuskan untuk menjemput Heri di bandara dia tidak memikirkan “habis itu mau ngapain”—yang penting, dia bisa menjemput Heri. Bisa melihatnya langsung.“Sakura-san, kamu mau nunggu di mana nanti?”“Eh…ehm…mungkin di kafe dekat hotel kamu?” jawabnya ragu.“Gak kelamaan nanti kamu di kafe?” Heri tampak berpikir sejenak. “Atau…kalau kamu mau, ke kamar aja?”Hening.Keduanya tiba-tiba diam. Sunyi yang awkward.Sampai akhirnya Heri, agak tergesa, menambahkan, “Maksudku…ya kamu bisa duduk aja di sofa, nonton TV atau pesan cemilan lewa
PIIIPP PIIIPP...Suara alarm dari ponsel memecah keheningan pagi.Sebuah tangan langsung bergerak cepat mematikannya.Dengan mata setengah terpejam, Sakura mengangkat ponselnya—05:25 terpampang di layar.“Aku… kayaknya cuma tidur sebentar…” gumamnya lirih, masih dibalut rasa kantuk.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari ranjang, menyeret kakinya menuju kamar mandi.Sikat gigi. Cuci muka. Tarik napas panjang.Setidaknya, pagi ini dia berhasil bangun tepat waktu. Itu sudah pencapaian.Di meja kecil dekat jendela, Sakura membuka onigiri dan menyedot kotak jus jeruk dari konbini yang ia beli semalam.Apple Music memutar lagu secara acak, dan “Koi wo Shita nowa” by Aiko mulai mengalun.Entah kenapa, lagu itu terasa pas di pagi hari yang sunyi. Pagi ini terasa...istimewa.Sakura mengenakan celana jeans gelap, kaus nyaman yang ditutupi sweater putih, lalu winter coat abu-abu panjang yang sudah disiapkan semalam. Tak lupa sneakers New Balance putih favoritnya.Di depan cermin, ia merapikan ma
TINGNotifikasi LINE berbunyi di ponsel Heri. Ia menaruh gelas latte-nya, membuka layar, dan membaca pesan dari Sakura."Sudah di bandara?""Sudah dong. Ini habis beli kopi, mau ke pesawat."Heri menyertakan foto: segelas kopi, koper, dan topi pilotnya di atas meja bandara."Kamu belum tidur? Di Tokyo udah jam 11 malam, kan?""Belum ngantuk >.!(semangat!)"Heri tersenyum kecil. Lagu “Innocence” dari NoisyCell mengalun pelan lewat earphone-nya."Arigatou (terima kasih)", balasnya."Tapi bobo gih. Katanya besok mau jemput di Haneda? Dari Yoyogi harus berangkat pagi loh~"TINGSakura membalas dengan selfie. Ia sedang tiduran, posisi miring ke kiri."Udah di kasur nih… tapi belum ngantuk ☹"Heri tertawa kecil."Kalau gitu… minum air hangat, terus coba hitung domba. Atau baca buku deh… buku matematika, misalnya. Biar cepet ngantuk 😆"Sakura tertawa keras.“Buku matematika katanya… emangnya aku anak SMA yang mau ujian nasional besok?”Dia memba
Malam hari di Tokyo. Angin dingin berhembus, menandakan musim dingin masih menyelimuti.Di kamar apartemennya, Sakura menatap layar ponsel dan menulis pesan LINE“Boleh gak... aku punya permintaan egois?”Heri cepat membalas,“Egois? Kenapa tuh? Apa apa?”Sakura ragu sejenak, lalu akhirnya menuliskan,“Aku mau jemput kamu di bandara. Aku kasih tau di awal biar kamu gak kaget... boleh?”Setelah mengirim pesan itu, Sakura langsung melempar ponselnya ke kasur dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.“Ya ampun… kacau kacau kacau…” desahnya, deg-degan.Satu menit... dua menit... tiga menit…TINGLINE berbunyi.“Eh? Ya… boleh aja sih.”Jawaban simpel, tapi cukup untuk bikin Sakura gelisah berubah jadi girang. Dia menggoyangkan kakinya di kasur, senyum-senyum sendiri.Sementara itu di Jakarta, Heri termenung.“Waduh… kalo sampe diliat kru, gimana ya?”Tapi kemudian dia mikir, “Ah ya sudahlah… kayaknya nggak perlu disembunyiin juga.”Di kamar apartemennya, Sakura kembali menulis pesan. La