“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”
Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.
Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.
Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.
Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini jadwalku cukup padat. Ada syuting di beberapa tempat. Dapat dipastikan malam baru pulang, sementara sarapan di mobil bukan solusi bagus karena memicu mual.
“Selamat ulang tahun juga, Kak,” ucap Artemis tulus, lalu meminta lilin yang ada di kue tadi agar kembali dinyalakan dan dibawanya ke hadapanku. “Nah, sekarang buat permohonan. Setelah itu tiup lilinnya.”
“Tidak perlu,” jawabku singkat, sambil menepis benda itu. Lalu, aku fokus mengambil dua lembar roti dan mengolesinya dengan selai kacang
“Apa sulit sekali menghargai usaha adikmu? Padahal dia sudah berbaik hati mau berbagi,” tegur Papa.
“Ya, sulit sekali. Aku tidak suka barang bekas orang lain. Daripada membaginya denganku, lebih baik abaikan saja aku seolah kalian lupa.”
“Pa, udah.” Artemis menggeleng, senyum tipis langsung mengulas di bibirnya. “Aku nggak pa-pa. Benar yang dibilang Kak Thena, harusnya ada dua kue karena hari ini adalah hari kelahiran kami.”
“Seingat Mama, Athena nggak pernah mau ulang tahunnya dirayakan. Itu sebabnya kami hanya memesan satu, khusus untuk Artemis saja,” timpal Mama.
Hampir saja aku mendenguskan tawa, namun aku berusaha menahan diri agar tetap menjaga sopan santun di hadapan kedua orang tua kami.
Tahu apa yang membuatku tak suka hari ulang tahun? Karena sedari kecil yang diprioritaskan selalu Artemis. Setiap kue yang dibeli pasti kesukaan Artemis, bahkan untuk dekorasi ruangan dan gaun yang dipakai pun mengikuti keinginan Artemis.
Aku kakak yang hanya beda beberapa menit, tetapi selalu dituntut untuk mengalah pada adikku. Seisi rumah dan seluruh perhatian orang tua kami milik Artemis, sementara aku hanya mendapat sisa—itu pun jika mereka masih ingat padaku.
“Aku selesai.” Setelah menandaskan susu coklat, aku segera berdiri. “Sekadar memberitahu, aku tidak akan pulang sampai tengah malam. Ada syuting.”
“Apa tak bisa meluangkan waktu sebentar untuk makan di luar? Artemis ingin merayakan ula—”
“Tidak bisa. Silakan kalian makan tanpaku. Bukankah bertiga lebih baik daripada berempat denganku?”
“Tapi, Kak,” raut Artemis berubah murung, “ini acara kita.”
“Bukan kita, hanya kau saja,” tekanku di setiap kata.
Setelah itu, aku benar-benar meninggalkan ruang makan. Meskipun tidak menoleh, aku tahu kepergianku diiringi tatapan tajam dari papa dan mama. Mereka tidak suka dengan sikap penolakan, apalagi jika itu menyangkut keinginan Artemis—si anak kesayangan.
Kembar tak identik, ya? Itu benar-benar tak identik, sampai-sampai segalanya pun tak sama.
Ah, sial! Aku benci sekali. Andai sebelum lahir bisa memilih, aku tak ingin ada di keluarga ini.
***
Pukul setengah sepuluh malam, aku akhirnya tiba di rumah. Jangankan ada yang menunggu dengan cemas, satu pesan pun tak datang dari orang tuaku. Entah karena mereka terlalu percaya atau karena saking tidak pedulinya, yang jelas, aku selalu merasa seperti ini. Sendirian, padahal aku ada di tengah keluarga yang utuh.
“Baru pulang?”
Aku urung menaiki tangga saat mendengar pertanyaan mama. “Iya,” jawabku singkat setelah berbalik.
“Usahakan jangan sering pulang malam. Nggak baik dilihat orang.”
Pandangan orang yang beliau pikirkan, lantas bagaimana dengan pandangan beliau sendiri? Apakah tak terbesit sedikit pun rasa khawatir?
“Aku bisa jaga diri.”
“Ini bukan tentang dirimu, tapi tentang menjaga nama baik keluarga. Coba contoh adikmu, dia nggak pernah membangkang apa kata orang tua. Setiap Mama bilang—”
“Aku dan Artemis berbeda!” tekanku dengan nada dingin. “Jangan banding-bandingkan kami! Aku sudah muak mendengarnya.”
“Thena!”
Saat suasana di antara kami semakin memanas, Artemis muncul dengan raut bingung di wajahnya. “Ada apa?” Suaranya terdengar lembut saat bertanya. “Tadi Mama bilang mau bikin teh buat kita. Apa mau ajak Kak Thena juga, supaya dia gabung sama kita?”
“Bukan. Kakakmu ini baru pulang, tapi dia langsung marah-marah saat Mama nasihati.”
“Marah-marah? Ya udah gini aja, kasih waktu buat kakak sendiri dulu. Dia mau bersih-bersih dan istirahat, pasti capek sekali makanya kakak jadi terbawa emosi kayak gini.”
Artemis perlahan mendekati mama, merangkul bahunya, dan memberinya usapan-usapan ringan yang menenangkan. Setelah berhasil meredakan emosi mama, dia menoleh ke arahku. “Kakak, kalau butuh sesuatu, panggil aku aja, ya. Aku begadang kok sama mama. Kami mau curhat tipis-tipis malam ini. Jangan ganggu bibi, dia udah tidur kayaknya,” ujar Artemis.
Tak kupedulikan kata-katanya, langsung kutinggalkan mereka.
Sungguh hari yang berat. Kuharap besok lebih baik, meski kenyataannya hidupku tetap pahit.
Bersambung ...
Hari ini tepat satu bulan sejak film Dua Sisi tayang di bioskop. Seperti yang sempat diprediksi Mahesa, film kami mendapat respons positif. Hingga kini, Dua Sisi masih bertahan di jajaran film populer dengan penjualan tiket yang terus melesat.Kesuksesan itu juga membawa dampak besar bagiku. Nama Thena kini mulai dikenal, dan akun Instagram yang dulu kubuat atas saran Sherina telah mencapai seratus ribu pengikut. Sebagian besar memuji aktingku yang, menurut mereka, berhasil menggugah emosi penonton. Sebagian lagi terpukau oleh visualku yang dianggap pas memerankan sosok pelakor berkedok perempuan muslimah.Tak hanya tawaran endorse dan iklan yang berdatangan, tetapi juga beberapa proyek film baru. Namun, aku masih mempertimbangkannya. Setelah menikah dengan Atlantis, fokusku belum sepenuhnya pada karier. Saat ini, aku lebih sibuk beradaptasi dengan peran baruku sebagai istri.Bukan berarti aku mengesampingkan dunia akting setelah berhasil menikahi Atlantis. Hanya saja, ada prioritas y
Mobilku berhenti tepat di depan rumah Atlantis. Setelah mengeluarkan barang bawaan dari bagasi bersama Mbak Hera, aku terdiam sejenak, menatap fasad rumah yang kini menjadi tempat tinggalku. Ada perasaan senang yang sulit diungkapkan, terlebih saat menyadari bahwa apa yang dulu hanya angan kini telah menjadi kenyataan. Aku berhasil pindah ke sini—sebagai nyonya rumah ini.“Mbak,” gumamku tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian. “Mulai sekarang, aku akan lebih bahagia lagi. Aku janji.”“Tentu saja harus! Aku merestui pernikahanmu bukan untuk melihatmu makin bersedih. Meskipun semuanya terjadi karena keterpaksaan satu pihak, tapi aku berharap kau benar-benar bahagia, Thena.”Tanpa berkata lagi, aku dan Mbak Hera mulai menggiring koper menuju teras rumah. Saat semua barang telah tertata rapi di depan pintu, Mbak Hera menatapku dalam sebelum akhirnya berpamitan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk pundakku dengan lembut seakan ingin meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri.“Kau tahu,
Kamarku dan Atlantis diatur sedemikian rupa agar terasa romantis dan intim, sebagaimana layaknya kamar pengantin baru. Namun, ironi tak bisa dihindari—sebab satu-satunya yang tidak seperti pengantin baru adalah kami berdua. Sejak memasuki kamar hingga sekarang, Atlantis sama sekali tidak mengajakku bicara. Jangankan berbincang, melirik pun dia enggan. Dia hanya menjalani rutinitasnya: mandi, berganti pakaian, lalu berbaring dengan punggung menghadapku.Suasana di dalam sini terasa begitu dingin, sepi, dan penuh jarak. Tapi bodohnya aku—meskipun diabaikan, jantungku tetap berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku berada di ruang tertutup hanya berdua dengannya, dengan pria yang kini sah menjadi suamiku. Fakta bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama kami terus mengusik pikiranku.Setelah melepas gaun dan menghapus riasan, aku memanjakan diri dengan berendam di air hangat. Aroma terapi dan kelopak mawar memenuhi bathtub—seharusnya ini menjadi momen yang kubagi dengannya. Namun,
Satu jam sebelum pemberkatan pernikahanku, suara gaduh terdengar dari luar kamar hotel. Aku yang baru saja selesai berfoto bersama Mbak Hera langsung berdiri dan berjalan keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.“Ini semua karena Papa! Kalau saja Papa nggak menyetujui permintaan gila Athena, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi, dan Artemis tidak akan terluka seperti ini!” suara Mama terdengar tajam, penuh emosi. Dalam pelukannya, Artemis terisak tanpa henti. “Papa tahu sendiri Artemis mencintai Atlantis, dan Atlantis juga mencintainya. Athena hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka!”“Ma, ini semua demi kebaikan Artemis juga.” Papa menghela napas berat, berusaha menenangkan suasana dengan suara yang lebih rendah. “Papa tidak ingin melihatnya terus menangis karena Athena. Lagi pula …” Tatapannya melembut, seolah ingin meyakinkan Mama, “Keluarga Atlantis sedang menghadapi masalah besar. Jika Artemis menikah dengannya, dia juga akan ikut menanggung beban itu.”“Lalu apa bedanya
Aku akan menikah. Setiap kali memikirkannya, jantungku berdebar kencang, dan perasaan bahagia menguasaiku. Terlebih lagi, pria yang akan menjadi suamiku adalah Atlantis Pranadipta. Hidupku yang sebelumnya terasa hambar kini penuh warna. Dia adalah harapan baruku, dan di benakku sudah tersusun banyak rencana setelah kami menikah.Aku bersumpah akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin, mencintai dan melayaninya dengan sepenuh hati.Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, sebagai bentuk terima kasih, aku akan menunjukkan kasih sayangku setiap hari—setiap jam, menit, bahkan detik. Kuharap, perlahan hatinya yang sekeras batu bisa luluh setelah melihat usahaku yang tulus.Malam itu, di dalam kamar, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Gaun tidur satin yang kupakai terasa lembut di kulit, tetapi pikiranku jauh lebih gaduh dari yang seharusnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Esok adalah salah satu hari yang paling kutunggu—fitting gaun sekaligus per
Begitu aku dan orang tuaku tiba di restoran yang telah mereka pesan, kedua orang tua Atlantis yang sudah lebih dulu datang, segera berdiri menyambut kami. Senyum merekah di wajah mereka saat pandangan kami bertemu. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah, menyalami mereka satu per satu, lalu memeluk Mama Atlantis dengan erat.“Om, Tante, apa kabar?” tanyaku setelah melepaskan pelukan.“Sangat baik. Bagaimana denganmu, Thena?” Mama Atlantis balik bertanya.“Tak pernah sebaik malam ini. Aku senang bisa bertemu kalian lagi,” jawabku tulus.“Kami juga,” sahut Papa Atlantis. “Terima kasih banyak sudah mengundang kami malam ini.”Beliau terlihat jauh lebih sehat sekarang, tidak seperti terakhir kali di rumah sakit—wajahnya tidak lagi pucat dan tampak lebih bertenaga.“Sama-sama, Om.”Kemudian Mama dan Papa menyalami mereka. Dalam pertemuan ini, jelas sekali aku yang paling antusias, sementara Papa dan Mama tampak biasa saja. Seolah-olah mereka tidak sedang bertemu calon rekan bisnis, apalagi ca