Beranda / Rumah Tangga / Tolong, Cintai Aku! / BAB 03 : Nama yang Sama

Share

BAB 03 : Nama yang Sama

Penulis: Hellowol_
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-23 16:31:21

Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.

“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk.  Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.

“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”

“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”

“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”

“Maksudnya?”

Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”

Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku bangkit untuk pergi. Namun, tiba-tiba saja Artemis menahan tanganku dan menggenggamnya dengan hati-hati. “Gunanya cerita untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan hati kita supaya jadi lega. Selain itu, gimana aku bisa tau letak kesalahanku kalau Kakak nggak kasih tau? Ayo diobrolin baik—”

“Lepas! Bicara denganmu menguras emosiku!”

Artemis langsung menurut, tetapi tentu dia tidak berhenti semudah itu. Dia masih terus melontarkan berbagai pertanyaan kepadaku. “Jujur, aku nggak ngerti kenapa Kakak jadi kayak gini. Setiap kali aku mendekat, Kakak langsung menjauh, padahal aku berharap kita bisa akrab layaknya saudara kembar pada umumnya.”

Di mana letak ketidakmengertiannya? Artemis itu cerdas. Dengan mengamati saja, seharusnya dia sudah paham, bukan berlagak lugu seperti sekarang.

“Buang harapanmu jauh-jauh, karena sampai kapan pun itu tak akan pernah terwujud!” hardikku.

“Astaga, Kak, jangan ngomong kayak gitu. Aku mau kita baik-baik aja ke depannya. Saling memaafkan—”

“Aku yang tidak mau!” potongku tegas.

Perdebatan sepihak itu berakhir dengan aku meninggalkan Artemis.

Seperti biasa, dalam situasi seperti ini, dialah yang terlihat menderita, dan akulah antagonisnya. Kesannya seolah-olah aku menepis uluran tangan Artemis, padahal kenyataannya tidak seperti itu.

Aku sudah bosan menerima kebaikan yang terasa palsu. Bergabung dengan Artemis dan orang tua kami hanya membuatku merasa buruk. Selalu ada kalimat pembanding di sela-sela obrolan santai mereka, dan aku selalu sakit hati mendengarnya. Itu juga alasan mengapa aku sebisa mungkin menolak berada di ruangan yang sama dengan mereka. Aku hanya berusaha melindungi diriku agar tidak terus-menerus terluka.

***

Malam Sabtu seharusnya kuhabiskan bersantai di kamar, menonton film sambil menunggu kantuk datang. Namun, kenyataannya, pukul sembilan aku baru pulang dari lokasi syuting bersama Mbak Hera. Kami bahkan belum makan malam, dan terlalu lelah untuk menentukan ingin makan di mana sekarang.

“Kita langsung ke rumahku saja, Mbak,” ucapku dengan mata setengah terpejam.

“Nggak isi perut dulu?” tanyanya.

“Isi perutnya di rumahku sebelum Mbak pulang.”

“Hm? Oke.”

Setengah jam kemudian, mobil yang dikemudikan Mbak Hera mulai memasuki halaman rumah dan diparkir tepat di samping mobil papa.

Melihat mobil Artemis dan mobil Mama yang juga ada di tempatnya, aku langsung menyimpulkan mereka tidak keluar malam ini. Tumben? Biasanya, mereka family time di akhir pekan.

“Nggak usah bawa, biar Mbak aja,” cegah Mbak Hera ketika aku hendak meraih tas berisi pakaian ganti dari syuting tadi. “Kau pasti lelah sekali. Ada beberapa adegan yang menguras tenaga, apalagi bagian di dalam air.”

“Itu bukan hal besar, Mbak. Justru aku yang harus minta maaf padamu karena tak menarik, makanya terus mendapat peran pembantu.”

“Hei, siapa bilang kau tak menarik? Di mataku, nggak ada aktris lain yang sehebat darimu!”

Aku langsung tertawa mendengarnya. “Jangan bicara dengan ekspresi serius seperti itu, hampir saja aku tertipu.”

“Sungguh, Thena! Demi ibuku—”

“Iya, iyaaa,” potongku sambil mengibaskan tangan beberapa kali. Aku memilih berjalan lebih dulu. Di belakang sana, Mbak Hera bergegas mengikuti dan berusaha mengimbangi langkahku.

Saat kami masuk ke dalam, suasana terasa sepi. Tidak ada siapa pun yang menyambut, dan ruang tengah kosong.

“Udah pada tidur, ya?” tanya Mbak Hera dengan nada keheranan.

“Belum, sepertinya. Mbak langsung ke ruang makan saja, nanti aku minta bibi siapkan semuanya,” jawabku.

“Lalu kau ke mana?”

“Ke kamar sebentar, mau taruh barang-barang sekalian ganti baju.”

“Oke, jangan lama.”

Kami berpisah di depan tangga menuju lantai dua. Setelah menyerahkan tas yang tadi dibawanya, Mbak Hera terus berjalan lurus melewati lorong yang di ujungnya terdapat pintu penghubung antara ruang makan dan dapur.

Tiga tahun menjadi manajerku membuat Mbak Hera cukup familiar dengan beberapa bagian rumah kami. Bahkan, ini bukan pertama kalinya dia makan di sini—sudah beberapa kali.

Bergegas, aku menaiki tangga karena tidak ingin membuat Mbak Hera lama menunggu. Namun, baru menapaki anak tangga ketiga, langkahku terhenti ketika samar-samar mendengar suara percakapan antara papa dan Artemis—tanpa suara mama.

Ah, rupanya mereka ada di ruang kerja papa. Dari tempatku berdiri, celah pintu yang sedikit terbuka memperlihatkan Artemis sedang memijat kedua bahu papa sambil bercerita di sela kesibukan tangannya.

“Biasanya aku nggak gampang buka diri ke orang yang mendekatiku, tapi ini beda, Pa. Dia smart, gentleman, dan caranya bicara pun tenang.”

“Sepertinya putri bungsu Papa ini mulai jatuh cinta, dan mendadak Papa merasa takut kamu akan direbut orang,” ujar Papa sambil tersenyum kecil.

“Belum sampai ke tahap ituuu, tapi ... nggak tahu ya kalau dia terus tunjukin poin plusnya di depanku,” jawab Artemis tertawa kecil.

“Pesan Papa cuma satu, sekalipun nanti kamu suka sekali padanya, jangan perlihatkan kalau kamu terlalu menginginkannya. Ego pria akan melambung tinggi kalau tahu perempuan incarannya terlalu mudah ditaklukkan.”

“Nggak akan!” sahutnya yakin. “Makanya selama dua bulan ini aku main tarik ulur. Sesekali nerima ajakannya, sesekali nolak. Mama yang kasih tips itu.”

“Terus kenapa tiba-tiba ngebet minta izin lusa mau pergi jalan sama dia? Kelihatan tidak sabar pula sampai menceritakan semua sisi baiknya.”

“Yaaaa lusa ‘kan jadwalnya aku nerima ajakan dia,” ucap Artemis malu-malu. “Maka dari itu, please izinin ya, Pa? Dia bilang mau datang ke rumah buat kenalin diri ke Papa dan Mama.”

“Lumayan juga keberaniannya. Siapa tadi namanya?”

“Atlan, Pa. Atlantis Pranadipta.”

Spontan, aku menahan napas setelah mendengarnya. Nama itu ... persis nama seseorang yang dulunya sangat kukenal. Seseorang yang—ah, semoga bukan! Semoga itu Atlantis yang lain, karena seingatku, beberapa tahun ini pria itu berada di luar negeri. Tak mungkin kabar kepulangannya tak terdengar olehku sama sekali.

Ya, jangan buru-buru menyimpulkan. Selama belum melihat langsung, pikiranku tak boleh dibiarkan liar seperti ini.

Artemis bilang lusa pria itu akan bertamu. Aku pasti akan menunggu dan melihatnya dengan kedua mataku, apakah dia orang yang kukenal, atau hanya kebetulan memiliki nama yang sama.

Bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 40 : Serba Salah

    Hari ini tepat satu bulan sejak film Dua Sisi tayang di bioskop. Seperti yang sempat diprediksi Mahesa, film kami mendapat respons positif. Hingga kini, Dua Sisi masih bertahan di jajaran film populer dengan penjualan tiket yang terus melesat.Kesuksesan itu juga membawa dampak besar bagiku. Nama Thena kini mulai dikenal, dan akun Instagram yang dulu kubuat atas saran Sherina telah mencapai seratus ribu pengikut. Sebagian besar memuji aktingku yang, menurut mereka, berhasil menggugah emosi penonton. Sebagian lagi terpukau oleh visualku yang dianggap pas memerankan sosok pelakor berkedok perempuan muslimah.Tak hanya tawaran endorse dan iklan yang berdatangan, tetapi juga beberapa proyek film baru. Namun, aku masih mempertimbangkannya. Setelah menikah dengan Atlantis, fokusku belum sepenuhnya pada karier. Saat ini, aku lebih sibuk beradaptasi dengan peran baruku sebagai istri.Bukan berarti aku mengesampingkan dunia akting setelah berhasil menikahi Atlantis. Hanya saja, ada prioritas y

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 39 : Mulai Tinggal Bersama

    Mobilku berhenti tepat di depan rumah Atlantis. Setelah mengeluarkan barang bawaan dari bagasi bersama Mbak Hera, aku terdiam sejenak, menatap fasad rumah yang kini menjadi tempat tinggalku. Ada perasaan senang yang sulit diungkapkan, terlebih saat menyadari bahwa apa yang dulu hanya angan kini telah menjadi kenyataan. Aku berhasil pindah ke sini—sebagai nyonya rumah ini.“Mbak,” gumamku tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian. “Mulai sekarang, aku akan lebih bahagia lagi. Aku janji.”“Tentu saja harus! Aku merestui pernikahanmu bukan untuk melihatmu makin bersedih. Meskipun semuanya terjadi karena keterpaksaan satu pihak, tapi aku berharap kau benar-benar bahagia, Thena.”Tanpa berkata lagi, aku dan Mbak Hera mulai menggiring koper menuju teras rumah. Saat semua barang telah tertata rapi di depan pintu, Mbak Hera menatapku dalam sebelum akhirnya berpamitan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk pundakku dengan lembut seakan ingin meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri.“Kau tahu,

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 38 : Malam Pertama yang Dingin

    Kamarku dan Atlantis diatur sedemikian rupa agar terasa romantis dan intim, sebagaimana layaknya kamar pengantin baru. Namun, ironi tak bisa dihindari—sebab satu-satunya yang tidak seperti pengantin baru adalah kami berdua. Sejak memasuki kamar hingga sekarang, Atlantis sama sekali tidak mengajakku bicara. Jangankan berbincang, melirik pun dia enggan. Dia hanya menjalani rutinitasnya: mandi, berganti pakaian, lalu berbaring dengan punggung menghadapku.Suasana di dalam sini terasa begitu dingin, sepi, dan penuh jarak. Tapi bodohnya aku—meskipun diabaikan, jantungku tetap berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku berada di ruang tertutup hanya berdua dengannya, dengan pria yang kini sah menjadi suamiku. Fakta bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama kami terus mengusik pikiranku.Setelah melepas gaun dan menghapus riasan, aku memanjakan diri dengan berendam di air hangat. Aroma terapi dan kelopak mawar memenuhi bathtub—seharusnya ini menjadi momen yang kubagi dengannya. Namun,

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 37 : Pernikahan; Awal Dari Segalanya

    Satu jam sebelum pemberkatan pernikahanku, suara gaduh terdengar dari luar kamar hotel. Aku yang baru saja selesai berfoto bersama Mbak Hera langsung berdiri dan berjalan keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.“Ini semua karena Papa! Kalau saja Papa nggak menyetujui permintaan gila Athena, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi, dan Artemis tidak akan terluka seperti ini!” suara Mama terdengar tajam, penuh emosi. Dalam pelukannya, Artemis terisak tanpa henti. “Papa tahu sendiri Artemis mencintai Atlantis, dan Atlantis juga mencintainya. Athena hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka!”“Ma, ini semua demi kebaikan Artemis juga.” Papa menghela napas berat, berusaha menenangkan suasana dengan suara yang lebih rendah. “Papa tidak ingin melihatnya terus menangis karena Athena. Lagi pula …” Tatapannya melembut, seolah ingin meyakinkan Mama, “Keluarga Atlantis sedang menghadapi masalah besar. Jika Artemis menikah dengannya, dia juga akan ikut menanggung beban itu.”“Lalu apa bedanya

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 36 : Cincin Keluarga

    Aku akan menikah. Setiap kali memikirkannya, jantungku berdebar kencang, dan perasaan bahagia menguasaiku. Terlebih lagi, pria yang akan menjadi suamiku adalah Atlantis Pranadipta. Hidupku yang sebelumnya terasa hambar kini penuh warna. Dia adalah harapan baruku, dan di benakku sudah tersusun banyak rencana setelah kami menikah.Aku bersumpah akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin, mencintai dan melayaninya dengan sepenuh hati.Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, sebagai bentuk terima kasih, aku akan menunjukkan kasih sayangku setiap hari—setiap jam, menit, bahkan detik. Kuharap, perlahan hatinya yang sekeras batu bisa luluh setelah melihat usahaku yang tulus.Malam itu, di dalam kamar, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Gaun tidur satin yang kupakai terasa lembut di kulit, tetapi pikiranku jauh lebih gaduh dari yang seharusnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Esok adalah salah satu hari yang paling kutunggu—fitting gaun sekaligus per

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 35 : Perjodohan

    Begitu aku dan orang tuaku tiba di restoran yang telah mereka pesan, kedua orang tua Atlantis yang sudah lebih dulu datang, segera berdiri menyambut kami. Senyum merekah di wajah mereka saat pandangan kami bertemu. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah, menyalami mereka satu per satu, lalu memeluk Mama Atlantis dengan erat.“Om, Tante, apa kabar?” tanyaku setelah melepaskan pelukan.“Sangat baik. Bagaimana denganmu, Thena?” Mama Atlantis balik bertanya.“Tak pernah sebaik malam ini. Aku senang bisa bertemu kalian lagi,” jawabku tulus.“Kami juga,” sahut Papa Atlantis. “Terima kasih banyak sudah mengundang kami malam ini.”Beliau terlihat jauh lebih sehat sekarang, tidak seperti terakhir kali di rumah sakit—wajahnya tidak lagi pucat dan tampak lebih bertenaga.“Sama-sama, Om.”Kemudian Mama dan Papa menyalami mereka. Dalam pertemuan ini, jelas sekali aku yang paling antusias, sementara Papa dan Mama tampak biasa saja. Seolah-olah mereka tidak sedang bertemu calon rekan bisnis, apalagi ca

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 34 : Sebuah Jawaban

    Setelah percakapan berat di ruang kerja Papa malam itu, kini satu bulan telah berlalu. Aku masih menunggu, berharap penuh. Setiap kali bertemu, aku selalu menunjukkan sikap memohon dengan putus asa, berharap Papa segera mengambil keputusan. Namun, beliau hanya menatapku dalam diam, tanpa memberi jawaban.Meski begitu, aku yakin Papa akan melakukannya. Karena aku tahu, jika menyangkut Artemis, beliau rela melakukan apa pun. Artemis adalah anak kesayangan, dan melihatnya terus-menerus menangis belakangan ini karena ulahku jelas membuat Papa tidak tenang.Di sisi lain, ada Oktavianus Batara Salim yang belakangan gencar mendekati Artemis. Dia adalah calon paling potensial di mata Papa. Jika dibandingkan dengan Atlantis, Batara jelas lebih unggul dalam segala hal—pekerjaan, keluarga, juga kekayaan. Papa sepertinya sudah menetapkan pilihan, hanya saja masih ragu untuk mengambil langkah.Sementara itu, aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa agar semuanya berjalan sesuai keinginanku. Baru s

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 33 : Permintaan Pertama dan Terakhir

    Aku berpapasan dengan Artemis di lorong. Dia baru saja keluar dari dapur, sementara aku hendak menuju ruang kerja Papa. Matanya sembap, jelas seperti habis menangis. Di tangan kanannya ada tumbler, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel. Kalau tebakanku tepat, dia pasti baru saja selesai berteleponan dengan Atlantis.“Kakak tega menusukku dari belakang,” ucapnya setelah kami saling melewati. Suaranya bergetar, penuh kekecewaan. “Kakak bilang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, ternyata Kakak menjenguk orang tua Kak Atlan.”Aku berhenti melangkah, lalu perlahan berbalik, menatapnya tepat di mata. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat Artemis dalam kondisi seperti ini—terluka, marah, dan mungkin merasa dikhianati. Mungkin ini juga pertama kalinya dia merasa dikalahkan olehku.“Kenapa, sih, kita harus bersaing seperti ini?” lanjutnya. “Sebelum tau Kak Atlan adalah pria yang dekat denganku, kita masih berhubungan baik. Aku selalu menghormati dan menyayangi Kakak.”Aku

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 32 : Kembali ke Rumah

    Mbak Hera menjemputku di stasiun kereta. Dari kejauhan, wajah memberengutnya terlihat jelas, membuatku tersenyum tipis. Aku tahu persis alasan di balik ekspresi itu—kepergianku tanpa pemberitahuan membuatnya kelabakan. Tadi malam, dia mengomeliku habis-habisan di telepon, mengatakan bahwa menjelang talk show seharusnya aku tidak ke mana-mana. Lebih baik di rumah, beristirahat, dan mempersiapkan diri.“Dasar perempuan nakal!” omelnya begitu mengambil alih koperku dan membuka pintu mobil untukku. “Sejak kapan kau mulai bandel seperti ini? Pergi ke luar kota tanpa sepengetahuanku, kau jadi benar-benar sulit ditebak sekarang.”“Maaf,” ujarku dengan senyum kecil. “Sebenarnya itu tindakan impulsif, Mbak. Aku memutuskannya tanpa pikir panjang, dan ya ... hasilnya tidak buruk. Justru menyenangkan.”“Hah! Lihat wajah itu!” Mata Mbak Hera menyipit, seakan menuduhku. “Apa ada hal baik yang terjadi di sana? Wajahmu berseri-seri sekali.”“Banyak. Nanti kuceritakan setelah sampai.”“Dasar licik. Bi

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status