Share

Chapter 04

Rania bangun pagi-pagi sekali. Meskipun dia sedang marah kepada Farhan, tetapi dia tidak melupakan kewajibannya untuk melayani sang suami yang akan berangkat ke kantor. Dia memasak, menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Farhan.

Sejak menikah, Farhan langsung membawa Rania tinggal di rumah yang sudah dia beli sebelumnya. Pria itu beralasan ingin belajar hidup mandiri ketika Ardan, sang mertua bertanya alasannya tidak ingin tinggal di rumah mewah milik Ardan.

Farhan juga meminta agar Rania berhenti bekerja supaya bisa fokus mengurus rumah dan suami saja. Awalnya Rania keberatan karena sejak kecil dia sudah bercita-cita ingin menjadi pebisnis yang hebat. Namun, demi menghormati Farhan yang sudah menjadi suaminya, wanita itu pun setuju untuk tidak bekerja.

"Wangi sekali, kau masak apa pagi ini?" tanya Farhan yang baru saja tiba di dapur.

Pria itu bersikap seolah tidak terjadi apa pun tadi malam. Sama sekali tidak ada raut rasa bersalah atau pun niatan untuk meminta maaf. Benar-benar santai dan tenang.

Rania enggan menjawab pertanyaan suaminya yang sangat tidak penting itu karena masih marah. Dia duduk santai menikmati sarapan yang dia buat sendiri. Sama sekali tidak ada niatan untuk menoleh, menatap wajah suami idamannya.

Hatinya masih diselimuti amarah dan kecewa setiap mengingat percakapan Farhan semalam dengan seseorang via telepon.

Terdengar suara helaan napas kasar keluar dari mulut Farhan. Pria itu merasa kesal karena tak diacuhkan, tetapi berusaha untuk tidak terpengaruh karena tidak ingin ada keributan di pagi hari. Dia langsung menarik kursi lalu mendudukinya.

Hening, pasangan suami istri itu memutuskan untuk mengikuti egonya masing-masing. Mereka saling diam, menikmati makanan yang terhidang di meja. Tak berniat untuk membuka percakapan.

Beberapa saat kemudian, Rania sudah menghabiskan makanannya lebih dulu. Dia langsung beranjak dari duduknya, hendak mencuci piring kotor yang baru saja dia gunakan.

"Apa kau tidak ingin meminta maaf kepadaku karena sudah menuduh aku berselingkuh?" tanya Farhan.

Rania terdiam sesaat mendengar pertanyaan tak masuk akal dari suaminya. Setelah menghela napas panjang dan menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring, dia langsung berbalik menghadap ke arah Farhan yang masih duduk di tempatnya semula.

"Kenapa aku yang harus minta maaf? Bukankah yang bersalah di sini adalah kau?" Rania menaikkan sebelah alisnya, mata wanita itu menyipit menatap tajam suaminya.

Pria berparas tampan itu beranjak dari duduknya, berjalan mendekati Rania yang masih berdiri di dekat westafel. Sikapnya sangat tenang, sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi bersalah. Hal tersebut membuat Rania semakin merasa kesal.

"Tidak masalah kalau kau tidak mau meminta maaf. Aku akan selalu memaafkanmu," tutur Farhan dengan tak tahu malunya.

Dia mengusap wajah Rania dan menyingkirkan anak rambut yang menghalangi kecantikan istrinya itu. Seulas senyum manis tanpa beban terukir di bibir tebalnya. Sementara itu, Rania hanya bergeming. Dia langsung membuang muka, menghindari sentuhan dan tatapan Farhan.

"Kemarin aku membeli hadiah anniversary pernikahan kita." Farhan mengeluarkan sesuatu dari saku jas yang dikenakannya. Sebuah kotak persegi panjang berwarna merah dia berikan kepada Rania.

Wanita itu masih bergeming sambil mengejapkan mata, menatap hadiah yang Farhan berikan lalu kemudian beralih melihat wajah Farhan. Rasa tak percaya menyelimuti pikirannya hingga muncul tanya dalam hati 'Benarkah Farhan menyiapkan hadiah itu untuknya?'

"Kenapa malah diam? Bukalah!" Farhan mengkode Rania untuk membuka hadiah pemberiannya.

Meskipun ragu, Rania membuka kotak persegi panjang itu secara perlahan hingga terlihat sebuah benda cantik nan berkilau di dalamnya.

"Apa kau suka dengan hadiahnya?" tanya Farhan tenang sambil menatap Rania. "Tadinya aku akan memberikan hadiah itu semalam, tapi kau malah menuduhku macam-macam," tuturnya.

"Kau membeli ini untukku?" tanya Rania bernada tak percaya.

"Tentu saja untukmu, memang kau pikir untuk siapa?" sahut Farhan diakhiri tanya.

"Aku pikir kau ingin memberikan kalung ini untuk selingkuhanmu," sahut Rania ketus. Bibirnya mencebik, kedua tangan bersedekap dada dan matanya menyipit menatap penuh selidik.

Farhan menghela napas panjang untuk menetralkan perasaannya agar dia tidak terpancing oleh perkataan istrinya. Pria itu mengambil kalung berlian yang dibelinya kemarin dari tangan Rania. Sebenarnya, kalung itu dia beli untuk Dinar. Farhan akan memberikan hadiah itu kepada kekasihnya sebagai kejutan.

Namun, niatnya urung karena tiba-tiba saja Rania melihatnya di hotel. Untuk membujuk sang istri agar tidak marah dan curiga lagi, Farhan berinisiatif memberikan kalung tersebut kepada Rania.

Farhan hendak memakaikan benda berkilau itu di leher Rania, tetapi niatnya tertahan sebentar karena wanita itu tiba-tiba menahannya. Namun, Farhan tidak peduli, dia tetap memasangkan kalung itu di leher Rania.

"Cantik. Cocok sekali denganmu," puji Farhan sambil tersenyum manis melihat wajah cantik Rania. Dia tak menghiraukan tatapan curiga yang tersirat di manik mata istrinya.

Masih dengan ekspresi kesal dan tak percaya, Rania menatap dalam-dalam mata Farhan. Memerhatikan seraut wajah tampan di hadapannya itu dengan seksama, mencoba mencari-cari sesuatu yang berbeda dari suaminya itu. Jika saja tak melihat serta tak mendengar percakapan Farhan semalam di telepon, mungkin saat ini tak ada keraguan dalam hatinya.

Mungkin saat ini Rania akan bahagia karena memiliki suami yang begitu perhatian dan romantis. Namun, semua terasa berbeda sekarang. Bahagia itu telah dibalut dengan kecewa.

"Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau tidak mau berterima kasih dan memelukku sekarang?" tanya Farhan yang langsung menyadarkan Rania dari lamunannya.

Farhan tahu Rania masih mencurigainya. Namun, dia berpura-pura tidak mengerti dan tetap bersikap tenang agar istrinya itu kembali percaya kepadanya dan bersikap manis seperti biasa.

"Aku tidak ingin memelukmu sebelum kau menjelaskan semuanya kepadaku," ucap Rania masih bernada ketus.

Kedua alis Farhan mengernyit dalam, menatap Rania yang sedang melihatnya dengan sorot yang sulit diartikan.

"Apa lagi yang perlu aku jelaskan? Apa kau masih berpikir aku berselingkuh?" tanya Farhan.

Diamnya sang istri seolah menegaskan bahwa wanita itu memang masih tidak memercayainya.

"Ayolah, Rania. Aku sangat mencintaimu, tidak mungkin aku berselingkuh. Lagi pula selama ini aku sibuk dengan pekerjaan di kantor, sama sekali tidak memiliki waktu untuk hal-hal yang tidak penting seperti itu," ujar Farhan. Dia berusaha menahan emosinya agar tidak meledak.

Bukankah jika seseorang semakin marah dan kesal saat dicurigai, semakin menunjukkan kebenaran di dalamnya. Hal itu tidak boleh terjadi dalam hidup Farhan. Rania harus tetap mengenalnya sebagai suami idaman yang baik dan penyayang.

"Tapi aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku. Aku bahkan mendengar percakapanmu semalam di telepon," ujar Rania. Dia menjeda perkataannya sesaat untuk melihat ekspresi Farhan.

Namun, pria itu benar-benar sulit dibaca. Pembawaan sikapnya begitu tenang, tidak menunjukkan sikap yang mencurigakan.

"Aku dengar kau mengatakan i love you kepada seseorang di telepon," sambung Rania lirih. Matanya sudah memerah dan berkaca-kaca.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status