Share

Chapter 05

Farhan tertawa ringan, dia benar-benar pintar menyembunyikan kebohongannya di balik sikap yang tenang dan tutur lembutnya. Dia menghela napas panjang sesaat sebelum menjawab rasa penasaran yang menyelimuti hati Rania.

Kedua tangan Farhan mencengkeram bahu Rania tanpa menyakitinya. Matanya yang teduh menatap dalam-dalam wajah sang istri hingga perlahan membuat wanita itu sedikit melemah.

"Seharusnya kau tanyakan langsung kepadaku malam itu juga agar tidak terjadi kesalahpahaman," ucap Farhan.

Kedua alis Rania mengernyit dalam, berusaha mencerna maksud perkataan suaminya.

"Apa maksudmu?"

Farhan kembali menghela napas panjang. "Kau salah paham, Rania," katanya. Seulas senyum manis menggoda terukir di sudut bibir Farhan sebelum melanjutkan perkataannya. "Semalam aku berbicara dengan Nara di telepon, dia bilang sangat merindukanku. Kau tahu kan kalau anak itu dekat sekali denganku, dan kita juga sudah lama tidak menemuinya."

Ah, ya, Nara. Rania lupa bahwa suaminya itu memiliki keponakan yang masih kecil dan anak itu sangat manja sekali kepada Farhan. Tidak menutup kemungkinan semalam Farhan benar-benar sedang berbicara dengan gadis kecil itu karena Nara memang selalu menghubungi Farhan dan Rania sebelum tidur, tetapi dia malah mencurigainya berselingkuh.

Farhan melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu Rania lalu merogoh ponsel di dalam saku celananya.

"Kalau kau tidak percaya, kau boleh lihat history panggilan di ponselku. Bila masih tak percaya, periksa saja semuanya. Aku tidak merasa keberatan asal kau tidak berpikir buruk lagi tentang aku." Farhan menunjukkan ponselnya kepada Rania yang membuat wanita itu langsung mengejapkan mata.

Rasa tak percaya Farhan benar-benar memberikan ponselnya untuk diperiksa. Rania pun langsung mengambil benda pipih itu dan melihat isi di dalamnya. Rania tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di sana. Namun, entah kenapa dia masih merasa ragu.

Rania mengembalikan benda pipih itu kepada pemiliknya. Dia masih menunjukkan raut wajah masam meski sudah mengetahui bahwa tuduhannya salah.

"Tapi kenapa kau pergi ke hotel kemarin? Kau juga terlihat sangat dekat dengan sekretarismu itu." Rania mengungkapkan isi pikirannya yang masih mengganjal.

"Sudah kukatakan, aku akan menemui klien. Klienku mendadak meminta aku menemuinya untuk menandatangani kontrak kerja karena dia akan kembali ke negaranya besok." Dengan sabar Farhan menjelaskan semuanya kepada Rania agar istrinya itu tidak lagi berpikir buruk tentangnya.

"Mengenai Dinar, aku tidak memiliki hubungan apa pun selain pekerjaan," tegasnya sambil menatap serius ke arah Rania.

Farhan diam sejenak sambil memerhatikan perubahan ekspresi wajah Rania.

"Ada hal lain lagi yang ingin kau tanyakan? Katakan sekarang juga jika itu bisa membuat perasaanmu tenang," tutur Farhan lembut.

Hati Rania melemah, keraguannya perlahan sirna.

"Kau yakin tidak memiliki hubungan khusus dengan wanita itu?" Rania ingin memastikan kembali.

"Hm." Farhan mengangguk. "Aku benar-benar menganggapnya karyawanku, tak lebih dari itu," ujar Farhan. "Jika kau merasa tidak nyaman Dinar jadi sekretarisku, aku bersedia memindahkannya ke departemen lain. Hanya saja, sejauh ini dia satu-satunya sekretaris yang kompeten dalam bekerja, tapi demimu aku tidak masalah merekrut sekretaris lain."

Entah kenapa? Rania justru malah merasa bersalah mendengar perkataan Farhan seperti itu. Farhan bahkan bersedia melakukan apa pun permintaannya termasuk mengganti sekretaris demi membuatnya merasa nyaman.

Namun, sesungguhnya bukan seperti itu yang dia inginkan. Farhan tidak perlu mengganti sekretaris jika memang wanita itu bekerja sangat baik asalkan mereka tidak bermain-main di belakangnya.

"Bukan seperti itu maksudku," lirih Rania. Pandangannya tertunduk sesaat, lalu kembali menatap Farhan dengan sorot berkaca-kaca.

"Kau tidak perlu mengganti sekretaris jika memang pekerjaannya bagus dan bisa diandalkan." Rania menjeda perkataannya sejenak, "Yang terpenting, kau benar-benar tidak ada main dengannya di belakangku."

Farhan tersenyum tipis, lalu menarik tubuh Rania ke dalam dekapannya. Dia usap puncak kepala istrinya itu dengan lembut.

Lega raha hati Farhan begitu dia berhasil meluluhkan hati Rania, kembali membuat sang istri memercayainya. Dia semakin mengeratkan dekapannya seolah tak ingin kehilangan, padahal sebenarnya Farhan sedang bersyukur karena kebohongannya tak jadi terbongkar.

"Kau tidak akan mengkhianatiku kan?" tanya Rania masih dalam dekapan Farhan.

"Tidak akan pernah," jawab Farhan. "Rania, aku mencintaimu," sambungnya lagi sambil mengecup kening Rania cukup lama.

Setelah itu, Farhan merenggangkan tubuhnya dari Rania, menatap wajah cantik nan polos itu dalam-dalam.

"Semalam aku sudah membuat janji dengan Nara, kita akan pergi menemuinya sore nanti. Apa kau ingin ikut?" tanya Farhan sebagai pengalihan pembicaraan.

Pria itu amat sangat bersyukur memiliki keponakan seperti Nara yang sangat dekat dengannya. Secara tidak langsung, gadis kecil itu sudah membantunya dalam menutupi kebohongan yang dia buat kepada Rania.

"Benarkah? Ah, aku juga sudah sangat merindukan anak itu," sahut Rania. Senyum di bibirnya merekah begitu manis.

"Baiklah, nanti sepulang dari kantor aku akan langsung menjemputmu." Farhan mengangkat tangan kiri dan menyingkapkan sedikit lengan kemejanya untuk melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sekarang sudah siang, aku harus segera ke kantor," katanya sambil mendaratkan kembali bibirnya di kening Rania.

Tanpa merasa curiga, Rania menganggukkan kepala mengizinkan Farhan pergi ke kantor. Dia bahkan mengantar suaminya hingga ke depan rumah.

Farhan menghela napas panjang saat dia sudah ada di dalam mobil. Dia tersenyum kepada Rania yang masih berdiri di depan pintu sambil melihat ke arahnya. Setelah itu, Farhan langsung melajukan mobilnya memnelah jalanan dengan kecepatan sedang.

Setelah berada cukup jauh dari rumahnya, Farhan mengeluarkan ponsel kedua miliknya yang tidak diketahui oleh Rania. Ponsel itu khusus dia gunakan untuk berkomunikasi dengan Dinar, kekasihnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status