Share

Chapter 06

Seorang wanita yang masih mengenakan pakaian tidur tipis dengan wajah sedikit pucat berjalan gontai untuk membukakan pintu. Bibir tebalnya langsung memaju ke depan saat pria yang ditunggunya menampakkan wajah di hadapannya.

"Kenapa Mas lama sekali?" tanya Disti kepada Farhan yang masih berdiri di ambang pintu sambil membawa kresek berwarna putih di kedua tangannya.

Pria itu langsung menerobos masuk walau belum dipersilakan oleh pemilik kamar. Dia menyimpan belanjaannya di atas meja, kemudian kembali menghampiri sang kekasih.

Dengan begitu mesra Farhan langsung memeluk Dinar dari belakang dan tak berhenti menciumi wajah juga leher wanita itu.

"Mas merindukanmu, Sayang," bisik Farhan.

Embusan napas pria itu mengenai leher jenjang Dinar hingga membuat kekasihnya itu menggelinjang karena geli. Dinar langsung berbalik, saling berhadapan dengan Farhan, menatap lamat wajah tampan itu dengan pandangan yang polos dan teduh.

"Aku sudah cemas, kupikir Mas tidak jadi ke sini," tutur Dinar, manja.

Farhan tersenyum sambil membelai rambut panjang Dinar dengan lembut. "Sekarang Mas sudah ada di sini, kau mau apakan Mas?" tanyanya menggoda.

Dinnar mencebikkan bibir lantas menjauhkan tubuhnya dari Farhan, berpura-pura tak acuh.

"Aku sedang tidak enak badan, Mas," tuturnya sembari duduk di sofa.

Farhan mengikuti Dinar dan duduk tepat di sampingnya. Setelah itu, Farhan membuka kantung kresek yang di bawanya tadi.

"Mas membelikan makanan kesukaanmu. Dimakan ya! Nanti keburu dingin jadi tidak enak lagi, setelah itu kamu minum obat ini," ujar Farhan.

Dinar mengambil obat yang dibeli oleh Farhan dan memeriksanya dengan seksama. Rupanya kekasihnya itu membeli obat demam sesuai permintaannya, malah ada beberapa jenis vitamin juga sebagai tambahannya.

"Ayo, makan!" Farhan menyodorkan sesendok makanan ke mulut Dinar sambil tersenyum manis.

Dengan senang hati wanita itu langsung membuka mulutnya, melahap makanan dari suapan sang kekasing.

Perlakuan manis dan juga perhatian-perhatian yang selalu Farhan tunjukkan setiap hari kepada Dinar, membuat wanita itu semakin merasa sangat istimewa. Dia bahkan lupa bahwa posisinya hanya sebagai kekasih gelap saat ini saking terlena dengan cinta terlarang mereka.

"Mas gak ikut makan?" tanya Dinar dengan mulut yang masih dipenuhi makanan.

Farhan tersenyum gemas melihatnya. "Mas sudah makan tadi bersama Rania," katanya. Farhan sengaja menjeda perkataannya selama beberapa detik untuk melihat seraut wajah cantik di hadapannya. "Sekarang Mas hanya ingin memakanmu," tutur Farhan sambil tersenyum nakal.

Dinar memutar bola matanya jengah sambil menelan sisa-sisa makanan di mulutnya.

"Aku sedang tidak enak badan loh, Mas," ucap Dinar manja.

Farhan tertawa pelan, lantas mengusap puncak kepala Dinar penuh kasih sayang. Entah kenapa? Perasaannya semakin hari semakin bertambah untuk wanita di hadapannya itu. Tak hanya cantik, Dinar sosok wanita baik dan polos yang mampu menggetarkan hatinya dan belum pernah dia temui dari wanita lain termasuk Rania, istrinya.

Sebenarnya, Rania juga wanita yang baik, dia sangat sempurna, dan penurut. Namun, entah kenapa Farhan tidak bisa merasakan jantungnya bergetar hebat saat berada di dekat Rania. Semua sangat berbeda ketika dia sedang bersama Dinar, getaran cinta itu muncul begitu saja.

Namun, jika disuruh memilih di antara keduanya, tentu Farhan tidak akan bisa memilih karena baik Rania atau pun Dinar, keduanya sangat penting untuk melengkapi hidupnya.

Di tempat yang berbeda, Rania sedang menikmati secangkin choco latte bersama sahabatnya di salah satu kafe favorit mereka. Lalita tiba-tiba saja menghubungi Rania dan berkata ingin bertemu dengannya. Wanita itu mengaku sedang bertengkar dengan tunangannya, dan saat ini dia membutuhkan teman curhat.

"Menurutmu, sekarang aku harus bagaimana?" tanya Lalita.

Rania menyesap minumannya secara perlahan sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya yang sedang galau.

"Menurutku itu hal yang wajar sih, La. Pertengkaran, baik itu karena salah paham atau karena miskomunikasi di waktu dekat-dekat hari pernikahan itu sudah biasa. Orang bilang itu ujian untuk calon pengantin seperti kalian," jelas Rania.

"Tapi, Ra, sikap dia itu sangat berlebihan, posesif. Dia minta aku untuk selalu menghubunginya setiap waktu, apa saja yang ingin aku lakukan harus bilang dulu sama dia. Lama-lama aku tertekan, aku capek, Ra." Lalita bercerita dengan menggebu-gebu penuh emosi.

Rania yang mendengarnya langsung menghela napas panjang seraya menggelengkan pelan kepalanya. Dia paham bagaimana perasaan Lilita saat ini. Hal yang wajar, pertengkaran pasangan kekasih sebelum menjelang hari pernikahan.

"Itu tandanya dia sayang sama kamu, Lala. Ambil sisi positifnya saja, nikmati keposesifan Arfan sebelum dia berubah menjadi dingin seperti es. Selagi tak ada kekerasan dan juga perselingkuhan, kalian bisa saling memaafkan," tutur Rania lembut.

Kali ini giliran Lalita yang menghela napas panjang. Dia menggigit bibir bawahnya sambil mencerna perkataan Rania baru saja.

"Lagi pula, Arfan tidak mungkin seposesif sekarang kalau kamu memiliki cukup waktu untuk kalian berdua. Akhir-akhir ini 'kan kamu memang sibuk dengan karirmu," sambung Rania lagi.

"Iya, sih," jawab Lalita lirih sambil menyeruput minumannya.

"Bagaimana dengan Farhan?" tanya Lalita. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa sahabatnya juga sedang tidak baik-baik saja saat terakhir mereka bertemu kemarin malam.

"Aku sudah bertanya kepadanya, dia bilang tidak ada hubungan apa-apa selain atasan dan karyawan." Rania berbicara dengan nada santai, tetapi sorot matanya berkata lain.

"Dan kau percaya?" tanya Lalita.

Rania langsung mengangguk mengiakan. "Aku juga sudah memeriksa ponselnya, tak ada yang mencurigakan," ucapnya.

Lalita terdiam sejenak sambil menatap wajah cantik sahabatnya dengan sorot yang sulit diartikan. Jujur saja, dia sangat tidak percaya jika tak ada hubungan apa pun antara Farhan dengan sekretarisnya. Namun, sebagai sahabat yang ingin menjaga perasaan Rania, Lalita tidak sampai hati untuk mengutarakan kecurigaannya.

"Semoga saja benar begitu," sahut Lalita sambil mengangguk ringan lantas kembali menyeruput minumannya.

Sebenarnya, Rania belum benar-benar percaya dengan Farhan. Hanya saja, tak ada bukti yang kuat atas kecurigaannya tersebut. Dia juga tidak berani mengutarakan isi pikirannya kepada Lalita karena Rania pikir orang lain termasuk sahabatnya tidak perlu tahu lebih dalam tentang permasalahan rumah tangganya.

"Ra, aku angkat telepon dulu ya," pamit Lalita saat ponselnya tiba-tiba saja berdering.

Rania langsung mengangguk mempersilakan sahabatnya untuk menjawab telepon. Sementara itu, Rania menunggu sambil sambil menikmati sisa minumannya.

Beberapa menit kemudian, Lalita kembali duduk di tempatnya semula setelah selesai berbicara dengan seseorang melalui sambungan teleponnya.

"Arfan bilang dia mau ke sini," katanya tanpa ditanya.

"Kalau begitu, sebaiknya aku pulang sekarang. Lagi pula sebentar lagi Farhan akan menjemputku, kami akan pergi menemui Nara," ujar Rania sembari memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Kamu tidak mau nunggu Arfan dulu?" tanya Lalita.

"Sampaikan salamku kepadanya. Baik-baik kamu sama dia, Arfan pria yang baik," pesan Rania kepada Lalita sembari beranjak berdiri bersiap untuk pergi.

Dia mencium pipi kiri dan kanan Lalita sebelum berpamitan. Setelah itu, Rania pun bergegas keluar dari kafe. Namun, saat dia sedang berjalan menuju mobilnya, tiba-tiba saja dia bertabrakan dengan seseorang.

Entah dia yang ceroboh atau justru sebaliknya. Namun, semua itu terjadi begitu saja hingga membuat ponsel milik orang itu terjatuh tepat di hadapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status