[Flashback: tiga tahun yang lalu]
Dua bulan sebelum upacara kelulusan, universitas menyelenggarakan kompedisi design yang disponsori oleh beberapa perusahaan mode.
Hadiah yang ditawarkan sangat fantastis. Selain uang dan materi lainnya, pemenang akan direkrut sebagai designer tetap di perusahaan mereka. Tentu saja hal itu merupakan hal yang sangat diimpikan oleh semua mahasiswa jurusan design, terutama Jane.
Tidak ingin melewatkan kesempatan yang ada, Jane pun mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi tersebut. Di kepalanya sudah tergambar ide sesuai tema yang diberikan oleh pihak penyelenggara.
Waktu berlalu, batas waktu pengumpulan rancangan tersisa 15 hari lagi.
Sementara itu Jane masih sibuk menyelesaikan detail rancangannya.
"Hai, Jane. Lagi ngapain?" Tanya Cherry ketika melihat Jane sendirian di ruang kelas. Sementara mahasiswa lainnya sudah pergi setelah perkuliahan selesai.
Jane menoleh, kemudian tersenyum ke arah Cherry.
"Hai, Cher. Aku masih sibuk dengan detail, nih. Kamu sudah siap?"
"Sudah, dong. Udah aku kumpulin malah." Jawab Cherry dengan percaya diri.
"Wah, kamu keren," puji Jane seraya mengacungkan jempolnya ke arah Cherry.
Mendapat pujian begitu Cherry tersenyum dengan lebar. Faktanya dalam hatinya yang paling dalam, sejujurnya Cherry sangat iri melihat hasil rancangan Jane. Cherry sudah bisa menebak, hasil rancangan Jane pasti akan terpilih sebagai pemenang utama.
Cherry tidak habis pikir, bagaimana Jane bisa memiliki bakat sejenius itu padahal latar belakang keluarganya tidak mendukung sama sekali.
Sementara dirinya yang memiliki DNA designer itu dalam dirinya, tidak bisa membuat karya secemerlang itu. Kalau bukan karena nama besar ibunya, Cherry yakin tidak akan ada orang yang menghargai hasil rancangannya.
Ibu Cherry adalah perancang terkenal, yang hasil rancangannya sudah dipakai oleh lebih dari setengah masyarakat kelas atas di dalam negeri. Bahkan beberapa publik figur dari negara tetangga pun sudah menjadi pelanggan tetap ibunya.
Mereka juga memiliki beberapa butik terkenal yang menjadi langganan para artis dan tokoh-tokoh penting, yang omzetnya mencapai milyaran setiap tahunnya.
Itulah dua hal yang menyelamatkan harga diri Cherry, yang membuatnya tetap bisa menegakkan kepala di depan Jane.
"Kamu masih ada kelas?" tanya Jane kemudian.
"Masih, nih. Kelas Prof. Shaney. Kamu ga ikut?" Jawab Cherry seraya balik bertanya.
"Enggak. Aku ikut kelasnya Mr. Dude aja," jawab Jane sementara tangannya tetap sibuk di atas kertas.
"Jane! Kamu dipanggil Mr. Dude ke ruangannya." Salah satu mahasiswa memanggil Jane dari pintu kelas. Jane mengangguk, melipat buku sketsanya, kemudian langsung berlari menuju ruangan Mr. Dude.
Sesaat sebelum mencapai pintu kelas, Jane berbalik kemudian bersorak kepada Cherry.
"Cher, titip tas aku sebentar, ya."
Setelah melihat Cherry mengangguk, Jane melanjutkan langkahnya menuju ruang Mr. Dude.
Cherry terdiam di dalam kelas sambil memainkan ponselnya. Moodnya sedang down banget setelah melihat hasil rancangan Jane.
Di kepalanya terbayang kata-kata orang yang akan meledeknya saat kalah nanti.
"Ibunya sih perancang handal, tapi anaknya kok bisa jadi pecundang begitu, sih. Jangan-jangan anak pungut lagi."
"Bagaimana kamu bisa kalah dari gadis kampung yang miskin gitu? Percuma kamu mama kenalkan pada fashion sejak dini kalau kamu ga ngerti apa itu fashion!"
"Sungguh papa ga habis pikir, Cher. Dengan semua fasilitas yang kamu punya selama ini, bagaimana kamu bisa kalah dari orang yang asal usulnya ga jelas?"
"Aaah, si Cherry itu kalau bukan karena nama besar ibunya, dia pasti gak akan lebih baik dari kita."
Kepala Cherry pusing membayangkan semua kata-kata miring yang mungkin akan ia dengar nantinya.
Tidak. Tidak boleh. Aku tidak boleh kalah dari Jane. Desis Cherry di dalam hati. Sebuah ide terbersit dalam pikirannya.
Setelah memastikan ruangan kelas sepi, diam-diam Cherry mengambil kertas rancangan Jane kemudian memindahkannya ke dalam tasnya. Setelah itu ia melangkah dengan cepat meninggalkan ruang kelas. Cherry tidak menyadari kalau Bobby Parker menyaksikan aksinya itu dari sudut kelas.
Untuk menghilangkan kecurigaan, Cherry mengirim pesan singkat kepada Jane. Memberitahukan bahwa ia harus pergi karena kelasnya akan segera dimulai.
Jane kembali ke kelas setengah jam kemudian. Dia tidak terkejut mendapati ruang kelas kosong, karena Cherry memang sudah mengiriminya pesan.
Jane mengambil tasnya, kemudian melangkah pulang.
***
Keesokan harinya, sepulang dari kerja sampingan, Jane berencana untuk menyelesaikan sketsa rancangannya. Batas waktu pengumpulan semakin dekat, sementara rancangannya masih sekitar 90%. Masih ada beberapa detail yang ingin Jane tambahkan agar semakin menyatu dengan tema.
Tapi Jane tidak menemukan kertas designnya itu. Jane membongkar isi tasnya berharap menemukan lembaran design di sana. Tapi nihil.
Padahal seingat Jane, sketsa itu terakhir kali masih ia kerjakan setelah kelas Mr. Dude berakhir. Kemudian Jane dipanggil ke ruangan Mr. Dude, dan sketsanya ia tinggalkan di kelas bersama Cherry.
"Ah! Cherry. Apa mungkin Cherry?" tanya Jane curiga. Tapi ia segera tepis prasangka buruknya itu. Tidak mungkin Cherry tega mengambil sketsanya, tepis Jane lagi.
Merasa putus asa dengan pencariannya, akhirnya Jane memutuskan untuk membuat ulang designnya itu. Untung saja Jane masih ingat dengan jelas setiap detail yang ia buat dulu.
***
Sementara itu, Cherry tengah berada di butik milik ibunya. Ia memanggil Ms. Candy, designer senior yang terkenal dengan sifat ambisiusnya.
"Aku ingin kamu memproduksi design ini secepatnya. Kalau bisa, besok sudah bisa diluncurkan, dan ditambahkan ke dalam katalog desain terbaru bulan ini," ujar Cherry dengan ekspresi serius, sambil menyerahkan selembar kertas ke tangan Candy.
Candy membuka lipatan kertas itu, dan langsung terbelalak takjup.
"Wow, indah sekali rancangannya, Ms. Cherry. Apakah ini rancangan Anda?" Tanyanya penasaran.
"Tidak penting siapa yang merancang. Yang aku mau kamu segera mengerjakan sesuai perintahku. Secepat mungkin. Kamu mengerti?"
"Baik, Ms. Cherry, saya mengerti maksud Anda. Nama designernya apakah nama Anda sendiri?" tanyanya kemudian. Cherry menggeleng.
"Tidak. Bukan aku, tapi kamu. Cantumkan nama kamu sebagai designernya," ucap Cherry yakin. Candy langsung sumringah mendengarnya. Terbayang bonus dan pujian yang akan ia terima dari Lady Diane, ibunya Cherry.
***
Hari ini adalah batas pengumpulan desain kompetisi. Jane lega karena berhasil menuntaskan sketsanya tepat waktu, sehingga ia bisa mengumpulkannya sebelum batas waktu berakhir.
Pengumuman akan diadakan sekitar satu minggu lagi. Jane menantikannya dengan perasaan berdebar.
Jane ingin sekali menang kompetisi ini. Dengan begitu, begitu lulus kuliah ia tidak perlu lagi cari kerja karena ia sudah otomatis menjadi designer tetap di perusahaan sponsor.
Ada lima perusahaan yang mensponsori kompetisi ini, salah satunya adalah The Caldwell Company, salah satu perusahaan fashion terbesar di dunia. Pusatnya di New York. Sementara yang ada di Indonesia adalah cabangnya yang kesekian ratus.
Bisa berkerja sebagai designer di perusahaan sehebat itu sama saja dengan impian jadi kenyataan.
Terbayang oleh Jane besarnya penghasilan yang akan ia dapat jika berkerja di sana. Dengan begitu ia bisa menabung, membeli apartemen, kemudian memboyong ibunya untuk pindah dari kontrakan kecil yang sekarang mereka tempati. Jane ingin sekali membahagiakan satu-satunya orangtua yang ia miliki itu.
Apalagi setahun terakhir ini kondisi fisik ibu Jane semakin lemah. Stroke yang menyerangnya berhasil melumpuhkan tubuhnya. Membuat ibu Jane tidak berdaya, dan hanya bisa berbaring di tempat tidur.
Waktu cepat berlalu. Hari pengumuman hasil kompetisi pun tiba. Berdasarkan info yang Jane dapat, pengumuman hasil konpetisi ini akan dihadiri oleh para eksekutif perusahaan sponsor. Jane tidak sabar untuk mengetahui hasil kompetisi itu. Dalam hati ia membisikkan doa, semoga karyanya terpilih sebagai salah satu pemenang.
Setelah menyuapi ibunya sarapan, dan membersihkan rumah, Jane segera pergi ke kampusnya.
Ketika sampai di kampus, para mahasiswa sudah ramai berkumpul di aula.
Sepertinya acara belum dimulai, kenapa mereka sudah berisik sekali? Jane bertanya-tanya di dalam hati.
"Hai, Jane. Kamu baru datang?" Tegur Nell, salah satu teman seangkatannya. Jane mengangguk sambil tersenyum.
"Eh, kamu ada dengar kabar, gak? Salah satu karya peserta kabarnya didiskualifikasi karena terbukti plagiat," kata Nell kemudian.
"Plagiat. Bagaimana bisa?" seru Jane kaget.
"Iya, plagiat. Salah satu perusahaan sponsor mengklaim bahwa hasil rancangan itu sudah muncul di katalog bulanan mereka." Jelas Nell lagi.
Jane hanya bisa menganga mendengar penjelasan Nell. Ia bisa bayangkan, betapa suramnya masa depan pelaku plagiat itu. Setelah kejadian ini bisa dipastikan namanya akan di blacklist dari daftar designer di negeri ini. Jane bergidik ngeri membayangkannya.
Jane dan Nell sudah berada di aula. Mereka memilih duduk di kursi yang telah disediakan.
Saat ituah tiba-tiba sekelompok mahasiswa mendekati Jane.
"Apakah kamu Jane Ariesta?" tanya salah satu dari mereka.
"Ya, benar. Ada apa, ya?" Tanya Jane kemudian.
"Oh, rupanya kamu pelakunya?" Tuduh mereka dengan ekspresi meledek.
"Pelaku? Maksud kalian apa?" Tanya Jame penasaran.
"Jangan pura-pura ga tau, deh. Kamu kan pelaku plagiat itu?" Desak mereka lagi.
Jane terkesiap, lalu spontan berdiri. Satu tangannya terangkat ke udara. Dia bersiap untuk menampar mulut mahasiwa yang mengatainya plagiat tadi.
"Hentikan!" sebuah suara maskulin terdengar tegas mengudara.
Jane terpaku dengan posisi tangan masih menggantung di atas kepalanya. Di hadapannya berdiri sosok tinggi menjulang dengan tatapan tajam menikam.
"Jangan bertindak gegabah," desisnya. Kemudian menyeret tangan Jane pergi.
Pria bertubuh tinggi besar itu berjalan dengan cepat, dan tangannya mencengkram tangan Jane dengan kuat. Dalam hitungan detik dia berhasil membawa Jane menjauh dari kerumunan itu. Jane ingin berontak, tapi entah mengapa hati kecilnya memutuskan untuk menuruti pria itu tanpa membantah ataupun bertanya. Langkah mereka baru berhenti ketika berada di lantai atap gedung. "Kau pikir kekerasan bisa menyelesaikan masalah?" Pria itu memutar tubuhnya, dan langsung mencecar Jane dengan pertanyaan. "Aku tidak berniat begitu. Tapi kata-kata mereka keterlaluan. Aku tidak pernah melakukan hal senista itu," jelas Jane. Matanya berkaca-kaca menahan emosi. Pria itu bergeming, mengeluarkan ponsel dari sakunya, kemudian menyerahkannya kepada Jane. Jane meraih ponsel itu dengan perasaan penuh tanda tanya. Jane langsung shock ketika melihat dress yang sama persis dengan desain yang ia kirimkan pada kompetisi.
Jane sampai di tempat janji temu dengan Diodra tepat waktu. Dia bersyukur karena Glen menjadwal ulang pertemuan ini sehingga ia kembali bisa membangun harapan positif. Dengan percaya diri, Jane melangkah memasuki cafe mewah itu. "Selamat datang, Nona. Apakah Anda sudah reservasi?" Sambut seorang pelayan begitu Jane masuk. "Saya ada janji temu dengan Mrs. Diodra. Apakah beliau sudah datang?" jawab Jane balik bertanya. "Oh, Mrs. Diodra. Beliau sudah datang sejak 5 menit yang lalu. Silakan ikut saya, Nona," jawab pelayan itu ramah. Pelayan itu berjalan lurus menuju sebuah meja. Dari tempatnya berada, Jane bisa melihat seorang wanita duduk membelakanginya. "Selamat malam, Mrs. Diodra. Tamu Anda sudah datang." Diodra menoleh, langsung melebarkan senyum ke arah Jane. Dengan sopan dia berdiri menyambut Jane. Mengulurkan tangan, kemudian menyapa Jan
Tidak lama setelah Jane masuk ke rumahnya, Aaron langsung tertawa terpingkal-pingkal. Lelaki yang selama ini selalu terlihat serius itu benar-benar sulit menahan dirinya kali ini. Ia tertawa sampai air matanya keluar. Ia tidak menyangka Jane akan menemuinya dengan penampilan selucu itu. Terlebih lagi Jane, tidak menyadarinya, dan dengan percaya dirinya ia bersikap canggung di depan Aaron. Begitu juga Chris yang terpaksa bertugas sebagai supir Aaron malam itu. Meski suara tawanya tidak terdengar, tapi bahunya terlihat turun naik menahan tawa. "Bagaimana pendapat kamu tentang gadis itu, Chris?" tanya Aaron setelah puas tertawa. "Dalam pandangan saya, dia gadis yang baik dan juga lugu. Selain itu dia juga terlihat sangat waspada, Sir. Maaf, jika pendapat saya lancang. Sepertinya dia tipikal perempuan yang sulit untuk didekati," jawab Chris sambil terus mengemudi. "Kau benar. Dia memang tidak mudah didekati. Tapi, bukannya tidak mungkin. Hanya
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cherry. Suaranya tercekat ditenggorokan, sementara jantungnya berdetak kencang. Cherry tidak menyangka sama sekali kalau akan bertemu Glen dalam kondisi dirinya masih mengenakan handuk mandi, di kamar hotel, bersama dengan pria lain, pada waktu dini hari pula. "Justru aku yang seharusnya bertanya, Cher. Apa yang kau lakukan di sini? Dini hari begini? Bersama pria brengsek ini?" Cecar Glen dengan emosi. Dia mendorong Cherry dengan beringas, membuat Cherry kehilangan keseimbangan, hingga terjatuh. Bobby yang tidak menyangka akan kedatangan Glen masih diam terpaku di tempatnya berdiri. Sungguh ia tidak siap menghadapi Glen yang sedang murka. Semua orang di kota ini tahu siapa Glen. Mantan atlit taekwondo, dengan rekor tak terkalahkan. "Kau salah paham, Sayang. Aku bisa jelaskan, tolong tahan dulu amarahmu," ujar Cherry seraya bangkit. Ia berjalan mendekati Glen, berusaha meredakan amarahnya dengan
Diodra melangkah dengan perasaan berdebar menuju lift. Ketua tim desain baru saja memberitahukan bahwa CEO meminta Diodra untuk datang ke ruangannya. Selama di dalam lift Diodra tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Dia meyakini akan mendapatkan apresiasi yang melimpah dari bosnya berkat desain untuk koleksi musim panas yang ia berikan kali ini. Setelah lima tahun berkerja di perusahaan Caldwell Company, ini adalah pertama kalinya Diodra dipanggil keruangan bos besarnya itu. Selama ini ia hanya bisa mengagumi sosok tampan CEO itu lewat rekaman video yang diputar saat meeting. Diodra menghela nafas panjang begitu sampai di depan pintu kaca yang tingginya mencapai lima meter. Ruangan CEO memang dirancang khusus memiliki ruangan yang luas dan langit-langit yang tinggi, sehingga meskipun diisi oleh banyak orang ruangan itu tidak akan terasa panas. "Masuk!" suara bariton terdengar sesaat setelah Diodra mengetuk pintu. Diodra membuka pint
Malam itu, langit tampak cerah dihiasi ribuan bintang. Angin sepoi-sepoi pun berhembus, menghadirkan udara yang sejuk sehingga membuat orang-orang tidak ingin berdiam diri di rumah. Mereka ingin menghabiskan malam itu dengan berjalan-jalan atau hangout dengan orang-orang terkasih. Pukul 8 kurang 5 menit, Aaron tiba di galeri kota. Rona wajahnya tampak sangat bahagia. Dia menyempatkan diri untuk berkaca, sekedar merapikan rambut sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berwibawa, Aaron melangkah menuju galeri. Sambil menunggu Jane, ia putuskan untuk berjalan-jalan di sekitar lobby yang memajang beberapa benda seni. Selang beberapa menit, ia menoleh ke pintu, berharap orang yang ia tunggu-tunggu datang. Namun ia harus menahan kecewa karena Jane yang ia tunggu masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Aaron melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum panjamg telah mengarah ke angka tiga, itu berarti hampir 15 menit Jane terlambat da
[Flashback, 2 hari sebelum Jane diculik] Hari sudah menunjukkan pukul tiga dinihari, tapi Cherry belum juga bisa memejamkan matanya. Ia terlihat sangat gelisah. Hampir satu jam sudah waktu yang ia habiskan hanya untuk berjalan mondar-mandir antara dapur dan ruang tamu. Tangan kanannya bersilang menopang tangan kiri yang terus melakukan gerakan mengusap tengkuk berulang kali. Cherry sedang berpikir keras untuk menemukan cara membawa Jane ke hadapan Bobby. Namun ia ingin ini adalah upaya terakhirnya memenuhi keinginan Bobby. Cherry sangat muak jika membayangkan dirinya kembali harus melayani nafsu bejat lelaki itu. Jika bisa, ia ingin melenyapkan Jane dan Bobby sekaligus agar hidupnya bisa tenang di masa depan. Sebuah ide akhirnya melintas di pikirannya. Bergegas ia mengambil ponsel, kemudian mencari informasi tentang narapidana kasus penculikan yang dibebaskan dalam waktu dekat. Hasil penelusurannya membuahkan hasil, di sebuah situs berita ia me
Pagi itu cuaca begitu cerah. Sinar matahari bersinar terang di langit yang bersih tanpa awan. Seolah tak peduli, jika semalam sebuah tragedi yang mengerikan telah terjadi. Di ranjang rumah sakit, Jane terbaring dengan wajah pucat dan perban putih melingkari kepalanya. Luka akibat pukulan Bobby Parker tadi malam membuat Jane harus memiliki 10 jahitan di kepala. Tepat di samping Jane, Aaron duduk dalam keadaan siaga. Matanya terlihat sangat merah karena semalaman ia tidak tidur sama sekali. Begitu mendapat kabar Jane mengalami luka parah, ia langsung memacu mobilnya menuju rumah sakit. Dirinya terasa lemas sekali begitu melihat Jane tergolek di atas brankar dengan penuh darah di bagian kepalanya. Sementara tubuhnya dibungkus dengan kain. Aaron tidak tahu pasti bagaimana kondisi tubuh Jane di balik kain itu. Setelah Jane dipindahkan ke kamar perawatan VIP, secara pribadi, Aaron pergi menemui dokter yang menangani Jane. Dia meminta dokter itu melakukan ya