“Kamu mau apa?” tanya Ran kepada Charlie.
Pria itu menjangkau rambut Ran lalu menghirup aromanya. Ia seperti menikmati wangi rambut Ran yang begitu lembut dan menenangkan hidung itu.
Ran dengan cepat menepis tangan Charlie untuk melepaskan rambutnya.
“Kenapa Ran?” tanya Charlie dengan santai. Seolah apa yang dilakukannya sama sekali tidak salah.
“Kamu udah janji kalau nggak akan apa-apain aku,” ujar Ran dengan lantang. Matanya menatap tajam pria itu.
“Memangnya aku mau ngapain kamu?” tanya Charlie sambil memajukan wajahnya ke depan—semakin dekat dengan wajahnya Ran.
Ran menggeleng pelan. “Nggak tahu,” jawabnya cepat.
“Jangan terlalu banyak berpikir, Ran. Kamu kebanyakan melamun,” ucap Charlie sambil mengusap puncak kepala Ran.
Charlie pun berbalik dan pergi keluar dari kamar. Ia tidak jadi melanjutkan untuk membantu memasukkan pakaian Ran ke dalam lemari.
Ran merasa heran dengan apa yang terjadi, termasuk terhadap reaksi dirinya yang begitu berlebihan. Selama ini, saat berhadapan dengan laki-laki mana pun, tidak pernah Ran merasa takut. Namun, dengan Charlie, kenapa ia merasa takut kalau didekati oleh laki-laki itu, ya?
Ran mencoba untuk bersikap normal. Ia dan Charlie sudah membuat perjanjian sebelum menikah. Masing-masing di antara mereka akan memenuhi isi perjanjian itu dan tidak akan melanggarnya. Jika dilanggar, akan ada sanksi yang sudah mereka sepakati.
Ran menghela napas lalu berjalan menuju kopernya berada. Ia melihat lemari yang sudah dibuka oleh Charlie tersebut.
Ran pun memasukkan semua pakaiannya ke dalam sana. Baru kali ini Ran melakukan pekerjaan seperti ini seorang diri. Sejak kecil ia selalu dibantu oleh pelayan di rumahnya untuk melakukan pekerjaan apa pun di rumah.
“Akan lebih mudah kalau ada pelayan di sini,” gumam Ran saat memasukkan pakaian terakhir.
“Ran, sudah selesai?” tanya Charlie berdiri di ambang pintu kamar.
Ran menoleh ke sumber suara. “Iya, ada apa?” tanyanya.
“Ayo keluar, kita makan,” ajak Charlie.
“Nggak lapar,” jawab Ran. Ia berjalan menuju tempat tidur lalu duduk di sana.
Charlie pergi keluar. Ran pikir Charlie akan memaksanya, ternyata pria itu malah meninggalkannya.
“Bagus deh, setidaknya aku bisa di sini sendirian untuk sementara,” ujar Ran sambil melihat-lihat isi kamar. Tidak ada hal istimewa di sana. Namun, di sudut sebelah kiri dekat dengan sofa ada meja rias.
Saat Ran sedang melihat-lihat meja rias yang sudah lengkap dengan peralatan make up itu pun, tiba-tiba ia dikagetkan oleh kedatangan Charlie.
“Makan dulu, sejak pagi kamu belum makan, ‘kan?” tanya Charlie dengan penuh perhatian.
Ran menoleh, dilihatnya di tangaan Charlie ada nampan yang berisi satu piring makanan dan segelas jus jeruk—kesukaannya.
“Aku udah bilang nggak lapar, Lie!” ketus Ran langsung memalingkan wajah. Ia tidak tahan melihat jus jeruk, tetapi ia sudah menolak sebelumnya.
Charlie berjalan mendekati Ran. Ia tarik tangan Ran untuk duduk di sofa.
“Kalau kamu nggak mau, aku akan paksa kamu untuk mau makan!” tegas Charlie membuat Ran duduk seketika di atas sofa. Charlie menyendokkan makanan lalu menyuapinya ke mulut Ran.
Ran tidak bisa menolak. Semua terjadi sangat cepat, tanpa bisa ia melontarkan kata-kata penolakan.
Perutnya juga tidak bisa berbohong. Ia belum makan sejak pagi dan sekarang tentu saja sudah sangat lapar.
Suapan demi suapan pun masuk ke dalam mulut Ran. Hingga pada suapan terakhir, Ran melihat lama ke arah jus jeruk yang masih berada di atas nampan.
“Haus?” tanya Charlie memperhatikan arah mata Ran.
Ran mengangguk.
Charlie pun mengambil gelas berisi jus jeruk itu lalu memberikannya pada Ran. Ia memegangi gelas itu dan membantu Ran untuk minum.
“Biar aku sendiri,” tolak Ran.
“Udah, nurut aja Ran,” ujar Charlie.
Selesai makan dan minum, Ran menatap lama Charlie. Ia memperhatikan wajah pria itu yang sempat kena pukul oleh kakaknya. Tetapi, bekas luka dari Charlie tidak hanya satu. Ada bekas lainnya.
Ran bergerak mendekati Charlie. Membuat Charlie heran—kenapa Ran bertindak seperti itu?
Ran memegangi kedua belah pipi Charlie. “Kamu terluka?” tanya Ran kepada Charlie.
“Hmm, sedikit.”
“Ini bukan sedikit, biar Ran obati, ya?” tanya Ran menatap lekat bola mata Charlie.
Charlie menjadi bingung. Tadi Ran masih menghindarinya, tetapi sekarang gadis itu malah mendekatinya dan juga menaruh rasa peduli.
“Kotak obatnya di mana?” tanya Ran kepada Charlie.
“Di sana,” tunjuk Charlie pada lemari pajang dan terlihat langsung lewat kacanya ada kotak obat di sana.
“Oke, tunggu di sini,” ucap Ran berjalan ke sana. Ia mengambil kotak obat itu lalu menghampiri Charlie.
Dengan telaten Ran mengobati luka Charlie.
“Ran, kamu sudah tidak masalah kita menikah?” tanya Charlie membuat Ran spontan menekan kuat luka pria itu.
“Awww,” jerit Charlie mengaduh.
“Kita sudah buat perjanjian, Lie. Selama di rumah aku akan menjadi istri yang baik dan di luar … kita tidak ada hubungan apa-apa. Ya, mau tidak mau aku harus menerima, ‘kan?” tanya Ran sambil menghela napas.
Charlie tersenyum. Ia merasa senang karena bisa bertemu dan berada dekat dengan Ran seperti ini. Sudah sangat lama ia tidak memandangi wajah cantik gadis manis itu. Terakhir kali, saat Ran masuk SMP. Sekarang sudah duduk di bangku perkuliahan. Ran menjadi sangat berbeda.
“Kenapa melihatku begitu?” tanya Ran memperhatikan dirinya, apakah ada yang aneh atau bagaimana.
Charlie menggeleng. “Nggak ada. Aku hanya senang karena kita menikah,” ucap Charlie jujur.
“Senang?” tanya Ran sewot.
“Hmm, bukan begitu Ran.”
“Kamu benar-benar sangat ingin menikah denganku?” tanya Ran langsung berdiri dari sofa. Ran tidak habis pikir. Ternyata, Charlie memang sudah berniat untuk menikah dengannya! Pantas saja pria itu tidak menolak saat keputusan menikah dicetuskan oleh papanya Ran.
Ran menatap kesal kepada Charlie. Ia bingung harus bagaimana marah atau memaki pria itu. Satu sisi, ini adalah keputusan yang dibuat papanya karena kejadian di hotel, dan kenyataan baru yang terungkap sekarang membuatnya tidak bisa mempercayai Charlie.
“Aku bisa jelasin, Ran.” Charlie mencoba untuk bicara.
“Nggak ada yang perlu dijelasin. Aku nggak akan mengikuti aturan pernikahan yang sudah kita buat. Itu hanya akan menguntungkan kamu, sedangkan aku … menjadi pihak yang dirugikan,” ujar Ran dengan mata yang menatap tajam.
“Nggak begitu, Ran. Kamu salah paham,” jelas Charlie.
“Nggak! Aku sama sekali nggak salah paham. Jangan-jangan ini rencana kamu?” tebak Ran.
“Astaga Ran!” teriak Charlie sambil memegangi kepalanya. Susah berbicara dengan Ran yang keras kepala. Inilah yang dari dulu Charlie takutkan, Ran sangat susah untuk diajak berbincang baik-baik. Ia hanya akan bersikukuh dengan argumennya sendiri, argumen orang lain sama sekali tidak berarti baginya.
“Aku nggak mau ya tidur dengan kamu di tempat tidur yang sama,” ujar Ran membuat Charlie hanya diam.
“Satu lagi, perjanjian kita batal!” ujar Ran, “setelah ini aku akan bilang semuanya sama Papa.”
“Terserah kamu,” balas Charlie dan pergi menuju kamar mandi. Ia tidak tahu mau mengatakan apa pada Ran. Percuma saja berusaha menjelaskan, yang ada malah bertambah ribut.
Saat sedang berada di dalam kamar mandi, tiba-tiba Ran berteriak.
“Lie!” teriaknya membuat Charlie yang sedang melepaskan pakaian itu pun segera keluar. Bajunya sudah lepas, tetapi celananya masih terpasang.
“Ada apa?”
“Foto ini …,” tunjuk Ran pada ponselnya. Charlie melihatnya dan ia sangat kaget.
Mata Ran menunjukkan kalau ia sangat syok.
“Lie … ini gimana?” tanya Ran mulai menangis.
***
Bersambung—
Ran bergegas keluar setelah selesai bersiap-siap. Saat tiba di luar, papa, kakak, kakak ipar dan juga keponakannya sudah siap-siap untuk berangkat.“Papa,” sapa Ran saat menuruni anak tangga.“Aunty, aku berangkat sekolah dulu sama Mama,” teriak keponakannya Ran. Ran menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kepada anak kecil itu.Keluarga kecil Theo pergi dari rumah duluan.“Ran,” panggil Tito sambil berdiri di dekat ambang pintu.“Iya, Pa,” sahut Ran.“Kamu yakin mau bawa mobil sendiri?” tanya pria itu.“Iya Pa, Ran nggak mau repotin Lie terus,” ujar Ran.“Nggak mau repotin Lie atau … supaya kamu bisa bebas pergi ke mana pun?”Ran mengerucutkan bibirnya. “Papa ih …,” keluh Ran.Tito mengusap kepala Ran. “Iya, ini kunci mobil kamu. Eh, tapi Lie mana?” tanya Tito pada putrinya itu.&ld
Ran dan Charlie tengah duduk bersama di dalam kamar. Setelah berbicara dengan Tito sore itu, satu hal yang Ran simpan rapat-rapat 7 tahun yang lalu terkuak ke permukaan.Charlie meraih tangan Ran. Diusapnya lembut tangan itu sembari menatap lekat wajah Ran.Rambut hitam panjang milik Ran bergoyang terkena angin malam yang masuk ke dalam jendela. Sepertinya angin itu sengaja membuat rambut Ran bergerak hingga menutupi sebagian wajahnya.“Ran, terima kasih,” ucap Charlie.“Hhahaha.” Ran tertawa. “Terima kasih untuk apa?”Ran menolehkan wajahnya pada Charlie dengan tampang sedikit gugup. Membuat pria itu mengembangkan senyum lebar nan indah karena merasa Ran sangat cantik malam ini.“Karena surat kamu membuat Papa kamu tahu kalau ….”“Lie, asal kamu tahu, aku udah move on mengenai masalah itu. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi,” ujar Ran berterus terang. Ya, Ra
Ran dan Charlie sudah tiba di rumah besar di mana sejak bayi, Ran tinggal di sana. Rumah yang sudah menyimpan kenangan untuknya selama 19 tahun.Ran keluar dari mobil. Langkahnya terhenti saat mengamati rumah itu. Beberapa hari pergi, rumah itu terlihat sepi. Ya, memang selalu sepi, bukan? Tidak pernah ramai karena semua orang sibuk.Ponakannya, anak dari Theo dan Lidya tidak ada di rumah karana ikut kegiatan di luar. Biasanya akan pulang barengan dengan mamanya, Lidya.Tiba-tiba Charlie meraih tangan Ran membuat Ran terkejut.“Ayo masuk,” ajak Charlie pada gadis itu. Ran mengangguk kecil.Charlie menggandeng tangan Ran berjalan ke dalam. Siapa yang bisa menyangka, satu-satunya nona muda di rumah itu akan pergi meninggalkan rumah di saat usianya baru saja menginjak 19 tahun. Karena pernikahan membuatnya meninggalkan rumah yang konon menyimpan banyak kenangan terutama tentang mamanya.Ran melangkah masuk. Tiba diambang pintu, semu
“Ran! Kamu kok baru datang!” seru Tiara saat Ran tiba di depan kelas. Gadis dengan rambut bergelombang itu bertanya langsung pada Ran yang baru saja tiba.“Kenapa? Aku belum telat juga,” ujar Ran terlihat bingung karena semua teman-temannya memperhatikan ia sejak datang ke sini.“Kamu udah tahu belum sahabat tentang sahabat kamu, si Hera itu masuk penjara?” tanya Tiara memperlihatkan ponselnya pada Ran. Ada berita tentang Hera yang masuk penjara dan heboh di kalangan mahasiswa sejak semalam.“Kamu ‘kan sahabat Ran juga, Tia,” timpal Lala. Wajah Lala sedikit keheranan karena dari gaya bicara Tiara menunjukkan kalau yang bersahabat dengan Ran hanya Hera saja.“Kita beda, Lala. Kita sahabatan sama Ran sejak kuliah, sedangkan si Hera ‘kan sahabatnya Ran pas sekolah,” cetus Tiara. Ia tidak terima disama-samakan dengan Hera. Dari awal tahu kalau Ran bersahabat dengan Hera sudah tidak disuka
Ran dan Charlie sudah tiba di apartemen. Charlie bilang ingin ke dapur dulu, sedangkan Ran segera pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat.Usai mandi, Ran mendapati Charlie membawakan secangkir cokelat panas.“Ini buat kamu. Aku mau mandi dulu,” ujar Charlie meletakkan cangkir tersebut di atas meja—dekat sofa santai mereka.Ran hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun. Ia pergi menuju sofa dan duduk di sana. Lalu, mengambil cangkir cokelat itu dan menghangatkan tangannya dengan memegang badan cangkir.Ran menghirup aroma cokelat panas yang begitu enak. “Harumnya,” ucap Ran disertai senyum menghiasi bibirnya yang pucat.Ran sangat suka dengan cokelat panas. Apa lagi saat dingin seperti ini, cokelat panas adalah minuman yang sangat cocok untuk diminum.Ran menyesapnya sedikit-sedikit karena masih panas. “Rasanya enak,” puji Ran mengakui kalau cokelat panas buatan Charlie memang enak.
Langit kota Jakarta yang mendung membuat Charlie kian cemas karena takut hujan tiba-tiba turun. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah kepada Ran. Belum lagi keberadaan Ran yang tidak jelas ada di mana.“Semoga kamu ada di sana, Ran,” gumam Charlie sambil membaca alamat yang dikirimkan oleh Lidya.Belum sampai tujuan, benar saja hujan pun turun. Hujan itu pun kian lebat. Membuat jalanan menjadi macet dan Charlie terjebak lama menuju tempat itu.Charlie tidak menyerah. Ia tetap lanjut menuju tempat itu. Meski sekali pun Ran sudah tidak ada di sana, tetapi ia tetap akan pergi ke tempat itu.Charlie berhenti di sebuah pemakaman umum. Di sana, Charlie melihat ada sebuah taksi yang terparkir.“Kenapa ada taksi hujan-hujan begini di dekat pemakaman?” tanya Charlie heran.Charlie tersadar. “Pasti Ran ada di sini!”Bergegas Charlie turun dengan memakai payung keluar dari mobil. Ia berjalan masuk ke dalam kawasan