Rasa bahagia dan tak bahagia bukan berasal dari apa yang kamu miliki, bukan pula berasal dari siapa diri kamu, atau apa yang kamu kerjakan. Bahagia dan tak bahagia berasal dari pikiran kamu." (Dale Carnegie)
*****
Chapter 5
Delina dan ibunya berdiri di sebuah rumah mewah dengan pagar besi berlapis cat emas dilengkapi kepala singa di bagian tengahnya. Hari itu, mereka akan bertemu dengan Nyonya Mia.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya salah satu penjaga dari balik pagar.
“Saya Ibu Susi temannya Nyonya Mia," sahut Susi.
“Sebentar saya coba tanya Nyonya besar,” ucapnya.
Pria itu menghubungi seseorang di dalam rumah melalui intercom di ruang satpam. Tak lama kemudian, ia datang menghampiri kedua wanita itu dan mempersilakan mereka untuk masuk. Kaki ramping gadis itu mengikuti si penjaga masuk ke dalam rumah bersama ibunya.
Seorang wanita seusia dengan Ibunya Delina, memakai pakaian daster batik dan menggunakan kaca mata itu memeluk Susi. Kalung mutiara, anting berlian, cincin berlian yang ada di tubuhnya cukup membuktikan betapa kaya harta dia. Daster yang ia pakai pastinya bukan daster murahan yang biasa dipakai Delina dan ibunya.
“Kamu apa kabar, Sus?”
“Saya baik, kamu juga apa kabar?" tanya Susi.
“Ini Delina, kan?" tanya wanita itu menunjuk ke arah Delina seraya tersenyum.
“Ya, dia Delina."
"Ya ampun, sudah besar ya sekarang."
"Halo, Tante, nama saya Delina." Gadis itu mengulurkan tangannya pada wanita di hadapannya.
“Halo, nama saya Mia, saya kawan ibu kamu. Silakan duduk!"
Ketiga wanita itu meletakkan bokongnya di atas sofa.
"Oh iya, saya turut berduka cita ya, maaf saya tidak bisa hadir. Kamu tahu kan semenjak Mas Haris meninggal lima tahun lalu, saya harus bolak-balik luar kota mengurus anak perusahaan yang di sana."
"Lho, bagaimana dengan putramu, bukankah dia yang menjalankan perusahaan?" tanya Susi.
"Hah, rasanya sulit mengandalkan Abi, hari libur begini saja ia tak ada di rumah. Apalagi semenjak ayahnya meninggal ia sangat membenciku, dia seperti menghindari saya," ucap Mia.
Ada raut kesedihan di wajah wanita itu. Namun, dia seolah berusaha menyembunyikannya. Seorang pelayan datang membawakan tiga cangkir berisi teh manis hangat.
"Silakan diminum dulu," ucap Mia.
Susi dan Delina menyeruput teh manis hangat tersebut.
"Begini, Mia, saya ke sini mau meminta tolong." Susi mencoba menuturkan tujuan ia datang ke rumah itu.
"Apa yang bisa aku lakukan? Apa kamu mau pinjam uang lagi?"
"Duh, yang kemarin saja belum saya lunasi. Oleh karena itu saya mau meminta keringanan dan meminta tolong agar memberikan Delina pekerjaan," pinta Susi.
Mia menatap ke arah Delina.
"Baiklah, tunggu sebentar."
Mia bangkit dan melangkah menuju ruang kerjanya. Tak lama kemudian dia kembali.
"Besok kamu datang ke alamat ini, bawa kartu nama saya dan temui Pak Indra." Mia menyerahkan kartu nama pada Delina.
"Baik, Nyonya, besok saya akan ke alamat ini."
Delina menunjukkan senyum hangatnya."Terima kasih, Mia, saya tak tau harus bilang apa sama kamu, pokoknya terima kasih banyak." Susi langsung menggenggam kedua tangan Mia.
"Sudahlah, selama saya masih bisa membantu, saya akan mencoba membantu."
Mia dan Susi lalu terlibat perbincangan seru, sementara Delina hanya bisa menyimak sampai ia dan ibunya pulang.
***
Pagi itu, Delina yang sudah rapi dengan kemeja putih dan rok hitam selutut bersiap untuk datang ke sebuah perusahaan yang bernama WE Corporation. Perusahaan tempat ayahnya bekerja dulu. Padahal dia ingin sekali melanjutkan kuliah S2 di Jerman bersama Jane dan Meri. Namun, apa daya takdir berkata lain.
"Lin, ayo sarapan dulu!" ajak ibu.
"Iya, Mah."
Delina menuju ruang makan. Gadis itu melahap nasi goreng yang ada di atas meja makannya. Ibunya juga membuatkan teh manis hangat untuk gadis itu. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Susi mencoba mengutarakan sesuatu pada putrinya itu.
"Lin, maafin Mamah ya, Nak. Harusnya 'kan keinginan kamu itu kuliah lagi ke Jerman bukannya bekerja seperti ini," lirih Susi.
Delina menatap wajah ibunya seraya tersenyum. Ia menghampiri sang ibu.
"Kenapa Mamah harus minta maaf, mungkin memang sudah takdir aku harus seperti ini, usia aku juga sudah cukup untuk mencari kerja, dan sudah waktunya aku membantu Mamah. Jadi, yang penting sekarang Mamah doain aku aja supaya aku bisa bekerja dengan giat supaya hutang kita cepat terlunasi." Delina memeluk ibunya.
Tak terasa ada bulir bening yang jatuh di pipi Susi. Ia sangat bersyukur memilik putri seperti Delina.
"Terima kasih ya, Nak."
***
Delina sampai di sebuah gedung yang megah bertuliskan WE Corporation. Salah satu gedung tertinggi di daerah pusat perkantoran bergengsi di Kota Mekarsari. Gedung kantor ini mengusung tema arsitektur yang kondusif, eksotis, modern, dan ekstetis. Gedung tersebut memiliki 30 lantai dengan dinding kaca yang membuatnya terlihat makin elegan. Selain itu, isi gedung We Corporation juga dilengkapi fasilitas canggih di dalamnya. Salah satunya adalah elevator.
Seorang petugas keamanan menyapa Delina.
"Selamat pagi, Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas berkumis itu.
"Selamat pagi, Pak. Begini saya mendapatkan kartu nama dari Nyonya Mia Wijaya, katanya saya disuruh ke sini," ucap Delina menunjukkan kartu nama tersebut.
"Kalau begitu, silakan ditunggu, saya akan mencoba menghubungi atasan dulu," ucapnya.
Delina lalu duduk di kursi tunggu para tamu. Ke dua mata lentiknya menelisik setiap para pekerja yang berdatangan pagi itu. Hampir rata-rata dari mereka terlihat rapi dengan kemeja dan setelan pakaian kerja yang bagus. Malah bisa dibilang mahal. Ada kemungkinan gaji yang diperoleh para karyawan itu lumayan besar.
"Semoga gaji di sini besar, jadi kalau aku diterima kerja di sini, aku akan cepat melunasi hutang Mamah," gumamnya.
Delina lalu menatap langit-langit gedung seraya seolah-olah sedang berbicara dengan ayahnya yang sudah meninggal.
"Papah doain aku dari atas sana, ya. Doakan putrimu ini agar sukses selalu, amin." Delina mengusap wajahnya.
Tak lama kemudian, satpam tadi datang dan menghampiri gadis itu. Pria itu memerintahkan Delina menuju ke lantai 30. Di lantai itu nantinya ia akan bertemu dengan Bapak Indra.
"Oh, baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak ya, Pak." Delina tersenyum lalu bangkit berdiri dan menghampiri sebuah lift yang ada dalam gedung tersebut. Gadis itu masuk bersama beberapa karyawan lainnya pagi itu.
"Pak, tolong lantai 30," pinta Delina pada seorang pria yang terdekat dengan tombol lift tersebut.
Pia itu hanya diam tetapi ia tetap menekan lantai 30 untuk Delina.
"Terima kasih ya, Pak," ucap Delina.
Pria itu hanya menoleh dengan tatapan datar sama seperti beberapa karyawan lainnya yang ada dalam lift tersebut. Entah kenapa suasana di dalam lift itu terasa canggung seolah mereka tidak saling mengenal.
Pintu lift di lantai 30 terbuka, gadis itu lalu menuju meja resepsionis yang sudah menyambutnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Permisi nama saya Delina, saya bawa kartu nama dari Nyonya Mia. Pak Satpam bilang saya disuruh bertemu dengan Pak Indra."
"Baiklah, sebentar ya saya hubungi Pak Indra dulu."
Wanita itu mengangkat gagang telepon dan menghubungi pria bernama Indra. Tak lama kemudian ia meletakkan gagang teleponnya.
" Silakan masuk ke kantor Pak Indra yang ada di ujung koridor sebelah kanan, di depan pintunya nanti ada papan nama bertuliskan Indra Garindra," ucap wanita yang mengenakan pakaian stelan jas warna ungu itu.
"Kalau begitu terima kasih banyak," ucap Delina.
*****
To be continue...
Rate five star dan ditunggu komentar kritik sarannya ya, terima kasih.
Kerja keras tanpa bakat mungkin akan menimbulkan rasa malu, tapi bakat tanpa kerja keras adalah sebuah tragedi. – Robert Hall ***** Chapter 6 Delina mengetuk pintu bertuliskan nama Indra sang COO atau yang dikenal dengan chief operating officer. COO ini adalah pimpinan yang bertanggung jawab pada pembuatan keputusan operasional perusahaan. Sering kali COO disebut sebagai orang kedua setelah CEO, bahkan di beberapa perusahaan, posisi ini disebut excecutive vice president atau umumnya disebut dengan direktur. "Silakan masuk!" seru seorang pria dari dalam ruangan tersebut. Kaki ramping gadis itu membawa ke sebuah ruangan berukuran 5x5 dengan interior yang minimalis. Cat dinding yang berwarna putih menambah sejuk ruangan tersebut. Di sudut ruangan terdapat rak buku dan juga rak untuk pajangan miniatur mobil yang dibuat perusahaan tersebut. "Kamu yang namanya Delina, ya?" tanya pria berkacamata dengan rambut kelimis yang ditat
“Gunung yang tinggi, besar, luas dan gagah perkasa pun tidak pernah bangga. Lalu kenapa engkau yang hanya sejentiknya berani sombong? Tidak malukah kamu dengan gunung?" — unknown.*****Chapter 7Pria itu merebahkan diri di atas sofa dan mencoba mengingat perlakuannya pada Rania kemarin.Malam itu, Abi memerintahkan pada Rania untuk mengerjakan bahan presentasi karena ia akan membutuhkannya dalam meeting esok hari. Padahal suami Rania sudah menunggu wanita itu dalam rangka perayaan ulang tahun pernikahan."Bos, ini presentasi untuk besok," ucap Rania seraya melirik waktu yang terus berdetak di arloji tangan kirinya yang menunjukkan pukul tujuh malam."Hmmm..." Abi masih sibuk bermain game di layar ponselnya."Bos, saya harus pergi suami saya menunggu saya di rumah," ucap Rania."Oke," ucap Abi seraya meraih map berisi presentasi untuk meeting esok hari."Ah, akhirnya dia baca juga," batin Rania seraya berharap cemas.Tiba-t
“Terkadang hati dan pikiran itu tidak sejalan. Hati selalu ingin bertahan, sedangkan pikiran memaksa untuk melepaskan." —unknown. ***** Chapter 8 "Ba-baik, Bos!" Delina langsung meraih map biru di atas meja sekertaris lalu pergi dari ruangan Abi. Ia menuju meja resepsionis untuk menanyakan di mana ia harus membuat salinan dokumen tersebut. Setelah diberi tahu oleh resepsionis di lantai tersebut, Delina pergi ke ujung koridor lantai tersebut tepat di samping toilet ada ruangan yang berisi mesin fotokopi. "Bukankah harusnya aku di interview, ini malah sudah disuruh-suruh, huh menyebalkan." Tak ada siapapun di sana, akan tetapi mesin foyoji di sebelahnya berbunyi seolah ada yang sedang menggunakan. "Lho, kok bunyi? Duh, jangan-jangan rusak, atau jangan-jangan ada... Aku tak boleh berpikir seperti itu." Delina teringat tentang cerita misteri di kantor ayahnya terdahulu. Ayahnya pernah menceritakan pengalaman misteri yang sa
“Orang yang tak pernah melakukan kesalahan adalah orang yang tak pernah mencoba sesuatu yang baru." — Albert Einstein.*****Chapter 9Delina kembali ke ruangan milik Abi seraya membawa dua puluh copy-an map presentasi hari itu."Ini, Bos, laporan yang Anda inginkan," ucap Delina."Hmmm... ikut aku! Bawa semua map itu!"Abi melangkah ke luar ruangan menuju ruang rapat di lantai 25. Delina buru-buru melangkah cepat mengikuti langkah pria itu. Ia benar-benar kesulitan membawa map-map tersebut.Pintu lift terbuka, Kevin melihat Delina yang kesusahan membawa map tersebut."Aku bantu, Lin," ucap Kevin."Terima kasih, ya," sahut Delina menyerahkan sebagian map."Eh, siapa yang suruh kamu bantu dia? Biarkan dua bawa semua map itu sendiri!" seru Abi."Iya, Bos!" sahut Kevin seraya menyerahkan kembali map tersebut ke tangan Delina.Pintu lift terbuka, Abi langsung melangkah keluar dengan langkah c
“Hiduptak akan menjadi beban jika kau bisa menjalaninya dengan ikhlas." — unknown. ***** Chapter 10 "Selamat pagi!" sapa Delina pada Maya yang juga baru datang. "Pagi, Delina! Kau siap bekerja hari ini?" tanya Maya. "Mau tak mau aku harus siap," ucap Delina penuh dengan keyakinan. Kedua kaki rampingnya melangkah menuju ruang kerja milik Abi. Delina masuk ke ruang kerja Abi, akan tetapi ia merasa mendengar suara mendesah dari dalam. "Apa sudah bisa?" tanya seorang wanita dengan nada mendesah. "Tunggu sedikit lagi, sedikit lagi dia akan berdiri," sahut suara seorang pria yang Delina yakini kalau itu suara Abi. "Tapi dia hanya berdiri sebentar, bagaimana sih?" keluh wanita itu. Delina melangkah lebih dalam dan menoleh ke arah sofa. Tiba-tiba, kedua matanya ternodai untuk pertama kali. Ia melihat pria itu sudah bertelanjang dada dan hampir membuka celananya. Pria itu sedang mencumbu seorang wanita di a
“Outer beauty is transient, but the inner beauty of a kind heart gets brighter with time. Be kind and get prettier forever.” — Debasish Mridha(Kecantikan di luar bersifat sementara, namun kecantikan di dalam dari hati yang baik menjadi lebih cemerlang dengan bertambahnya waktu. Bersikap baik.)*****Chapter 11“Begini Bos, bagaimana kalau Delina saja yang menggantikan Diane, lihatlah postur tubuhnya mirip dengan Nona Diane, mungkin ia bisa menggantikan gadis itu untuk memperkenalkan produk sofa terbaru perusahaan ini,” ucap Kevin memberi saran.Delina langsung menatap tajam wajah Kevin yang menahan tawa kala itu. Abi malah tertawa meledek sang sekretaris itu."Gadis jelek ini kau bilang akan dijadikan model? Hahaha..." Abi masih saja meledek Delina sampai pria itu terpingkal-pingkal memegangi perutnya.Delina maju ke hadapan Abi dan menggebrak meja kerja milik bosnya tersebut tanpa sadar karena tersulut emosi."Kau
“I am prepared for the worst, but hope for the best” — Benjamin Disraeli. (Saya bersiap untuk yang terburuk, tapi berharap untuk yang terbaik.) ***** Chapter 12 Kedua hidung mereka sudah bertemu. Napas Abi makin terasa panas di wajah Delina. Gadis itu mencoba memberontak, tetapi cengkeraman sang Bos itu sangat kuat. "Kau tak akan bisa lepas dariku," lirih Abi. Kala kemudian secara tiba-tiba Abi menyemburkan napas ke wajah Delina. "Bbuuuahhh!" Udara yang dihasilkan dari napas Abi sampai ke wajah Delina yang kedua matanya sudah menutup. "Hahahaha... kau pikir aku akan menciummu, ya? Percaya diri sekali Anda, baru memakai make up layaknya model kelas atas saja sudah merasa cantik dan dapat membuat pria sepertiku langsung menyukaimu, begitu? Hardik Abi dengan nada mencibir dan tatapan sinis. Delina meraih botol air mineral yang tergeletak di atas meja lalu melemparnya ke arah Abi. I
“Strong people alone know how to organize their suffering so as to bear only the most necessary pain.” — Emil Dorian.(Orang kuat tahu bagaimana mengelola penderitaan mereka sehingga hanya menanggung rasa sakit yang paling penting.)*****Chapter 13Seorang wanita mengunjungi kantor WE Corporation mencari Abi. Rupanya ia model papan atas bernama Lolita. Wanita dengan kaki ramping nan jenjang itu melangkah memasuki ruang kerja Abi dengan santainya."Selamat Pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Delina pada wanita yang rambutnya di cat pirang itu."Ibu? Kamu bisa lihat kan wajah cantik saya ini? Apa tampang saya setua ibu kamu?"Wanita itu membuka kaca matanya. Delina menatap tak percaya. Sosok model ternama di kota tersebut yang sangat diidolakan ibunya saat membintangi sebuah sinetron terkenal di televisi lokal itu hadir di hadapannya."Wah, Lolita pemain sinetron Cinta Gila, k