Share

Bab 7

"Hmm … aku datang tepat waktu rupanya," ujar Jovan saat aroma harum masakan tercium dari arah ruang makan.

Pria lajang itu langsung berjalan ke arah sana dan menyapa Ernawati dan Candra, lalu pada Wina yang tengah menyajikan makanan. Sementara Edwin langsung berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Keningnya berkerut saat berpapasan dengan pelayan yang tampak membawa baki, masih berisi penuh makanan.

"Apa ini?" tanyanya tidak mengerti. Setahunya orang-orang tengah berkumpul di ruang makan, tapi wanita itu malah membawa baki dari lantai atas.

"Eum anu, Pak, Bu Melati tidak mau memakan makanannya, jadi saya ganti makanannya dengan yang baru, tapi sepertinya beliau tidak mau membuka pintu," jawab pelayan sopan.

"Begitukah?" Pelayan itu mengangguk, setelahnya langsung berlalu pergi.

Dia hendak membuka pintu saat makanan yang baru dan masih hangat, ada di meja dekat pintu kamarnya.

'Apa dia tinggal di kamarku?' gumamnya pelan, sambil menarik gagang pintu dan membukanya sedikit kasar. Hingga Melati yang tengah berada di dalam langsung terkejut. Dia sempat mengira jika pelayan itu yang membuka pintunya.

"Begitukah caramu masuk ke kamar?"

"Apa kau tidak pernah diajarkan sopan santun, hingga untuk makan saja orang-orang harus melayanimu. Bahkan kau sama sekali tak menghargai usaha mereka," bentaknya mengabaikan ucapan Melati, saat wanita itu tengah memainkan ponselnya di atas tempat tidur.

"Siapa yang menyuruh? Seharusnya mereka tidak perlu repot-repot untuk melakukan hal itu. Lagipula bukan hanya aku saja yang tak punya sopan santun, caramu membuka pintu, menunjukkan sifat aslimu," jawabnya ketus, tanpa mau mengalihkan pandangannya dari layar di depannya.

Edwin yang kesal langsung mendekat ke arah ranjang.

"Melati, dengar, sudah untung aku membawamu ke dalam rumah ini atas ancaman dari ayahmu. Tidak bisakah kamu mematuhi aturan di rumah ini, atau setidaknya jangan membuat orang lain kesusahan atas ulahmu," desisnya dengan suara berat. Melati hanya mendelik. Sesungguhnya dia sangat lapar. Hanya saja perkataan Ernawati dan pelayan tadi mempengaruhi moodnya saat ini.

"Pergilah, karena aku tidak ingin berdebat denganmu saat ini," kata Melati lagi.

"Kau mengusirku pergi dari dalam kamarku sendiri?" sindir Edwin yang mampu membuat Melati terduduk cepat.

"Jadi, maksudmu aku yang harus keluar dari kamar ini?" Keduanya saling menatap satu sama lain. Sebelum akhirnya Edwin membuang muka karena merasa jijik. Apalagi gaun tidur yang digunakan wanita itu hanya berupa tank top.

Melati mendecih.

"Jika itu perlu." Edwin menatap ke sudut ruangan dimana beberapa bungkus coklat bertebaran di lantai. Dia mendengkus kesal, kamarnya yang selalu rapi dan wangi, kini terlihat jorok. Tapi dia menduga, dibalik sifat keras kepala Melati, wanita pasti sangat kelaparan. Hanya saja terlalu gengsi.

Lelaki itu membuka pintu kembali dan membawakan makanan untuknya.

"Makanlah," ujarnya sambil meletakkan baki di samping tempat tidur Melati. Wanita itu hanya menoleh sekilas kemudian membalikkan badannya ke arah lain.

"Aku tidak lapar dan aku tidak perlu dikasihani," ucapnya penuh penekanan. Edwin menarik sudut bibirnya, seperti mengejek.

"Kalau kau tidak lapar, tidak mungkin ada bungkus makanan berserakan di kamarku. Lagipula, itu bukan hanya untukmu tapi juga demi kebaikan anak dalam perutmu. Aku hanya tak ingin disebut sebagai lelaki yang tak peka pada urusan perutmu, hingga akhirnya, kamu mengadukan semuanya pada ayahmu yang kasar itu," tutur Edwin lagi sambil bersiap keluar dari ruangan itu menuju ke dalam kamar mandi, setelah mengambil satu setel baju ganti.

Melati langsung melirik ke samping, saat menghirup aroma makanan yang masuk ke dalam hidungnya. Sejujurnya dia membenarkan ucapan Edwin barusan, dan dia juga memang sangat lapar, namun rasa kesal akibat ucapan Ernawati tadi, membuatnya tak berselera untuk makan.

Lagipula terlalu memalukan baginya jika harus makan masakan gadis yang tadi membicarakan dirinya di belakangnya.

Beberapa saat kemudian, Edwin yang baru saja keluar dari kamar mandi tersenyum tipis ketika melihat Melati langsung mengambil sepotong ayam goreng dan memakannya seperti orang yang kelaparan, dan wanita itu masih duduk di atas tempat tidurnya tanpa memikirkan jika nanti kasurnya akan berubah menjadi kotor atau bau amis.

"Apakah sudah jadi kebiasaanmu makan di tempat tidur?" sindirnya lagi sambil bersiap membuka pintu dan menutupnya dengan cepat, sebelum Melati sempat menjawab ucapannya. Wanita itu langsung memutar matanya malas.

'Dasar si mulut besar.'

Edwin langsung turun menuju ruang makan, dimana orang-orang sedang menikmati makan malamnya.

"Hey, kenapa istrimu tidak kamu ajak untuk makan bersama? Kamu tahu kan tujuanku ke sini, ingin berkenalan dengannya," protes Jovan sambil menatap kearah Edwin yang menarik kursi dan mendudukkan dirinya di sana. Tak lama kemudian, Wina mengambilkan piring untuknya dan menyiapkan nasi serta lauk yang akan dimakan oleh lelaki itu.

"Sepertinya dia ingin makan di dalam kamarnya," sahut Edwin tanpa mengalihkan pandangan. Dia mengambil sepotong ayam dan memasukkannya ke mulut.

Jovan yang heran tak tahan untuk bertanya.

"Kenapa?"

Edwin menoleh tak suka.

"Kamu mau menemani dia?"

"Eh, bukan begitu maksudku." Jovan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Kalau begitu diamlah, jangan banyak bertanya," balas Edwin lagi pada lelaki bermulut besar itu.

"Dari siang Melati tidak mau makan," kata Ernawati membuka suara. Wanita merasa tak enak hati. Edwin hanya menanggapinya dengan senyum tipis.

"Sudahlah, biarkan saja dia, Bu," balas Edwin lagi karena tak mau membicarakan wanita itu, yang tiap kali bertemu yang ada hanya membuat dirinya semakin bertambah kesal.

"Iya, tapi kan-"

"Ngomong-ngomong ayam goreng ini rasanya sangat enak sekali. Pasti ini buatan ibu," potong Edwin lagi membuat Ernawati langsung tersenyum ke arahnya.

"Iya, ibu dan Wina tadi yang memasaknya di dapur. Sayang sekali Melati tidak mau mencicipinya," tukas Ernawati lagi, merasa bersalah kepada Melati, yang karena ucapan dirinyalah hingga wanita itu enggan keluar dari dalam kamar. Padahal sebagai sebagai wanita yang sudah resmi menjadi menantunya, dia ingin lebih mengenal Melati dan bertanya banyak hal pada gadis itu. Tapi sepertinya rencananya harus sedikit tertunda, mengingat sikap wanita itu yang tidak mudah untuk dirinya dekati. Ditambah lagi setelah ucapannya siang tadi, bisa dipastikan kalau Melati akan semakin tidak suka pada dirinya.

*****

Edwin berjalan ke arah balkon dan memegang besinya, memandang kelap-kelip bintang yang bertaburan di langit malam ini. Yang tampak cerah tanpa terhalangi awan kelabu.

Beberapa saat yang lalu, Candra dan juga ibunya sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Kini tinggallah dirinya bersama dengan Jovan yang mengobrol santai ditemani dengan segelas cappuccino hangat dan beberapa camilan di depannya.

"Apa kau tidak ingin segera tidur? Ini sudah hampir jam sepuluh malam, lagipula ada seorang wanita yang menunggumu di dalam kamar." Jovan sengaja berkata demikian demi menggoda atasan sekaligus temannya itu, yang sepertinya masih betah berlama-lama di tempat itu.

Padahal dirinya pun sudah merasakan ngantuk yang sangat hebat. Nyatanya, secangkir cappucino buatan Wina tidak mampu membuat matanya terjaga lebih lama. Hanya tinggal menemukan bantal dan selimut, sudah bisa dipastikan kalau Jovan akan langsung berlabuh ke alam mimpi.

Edwin mendecih sebal.

'Wanita dalam kamar?' Terlalu absurd jika harus di jelaskan.

"Jika kamu mau, kamu bisa menggantikan aku untuk menemani dia." Jovan melotot dan tak sengaja melayangkan tinjunya ke bahu lelaki itu hingga meringis.

"Bercandamu tidak lucu, Kawan," tukasnya cepat yang mampu membuat Edwin menarik sudut bibirnya ke samping.

"Siapa yang bilang bercanda?" balas Edwin lagi seperti cicitan.

Dalam pikirannya, wanita seperti Melati pasti dengan sukarela menerima siapa saja lelaki yang ingin menghabiskan malam dengannya dan hal itu membuatnya bergidik ngeri. Meringis membayangkan wanita itu yang bergonta-ganti pasangan tiap waktu. Sesuatu hal yang tak pernah terbayangkan olehnya, dan sialnya kenapa harus wanita seperti itu yang menjadi istrinya saat ini.

Seseorang membuka pintu kamar Edwin dan langsung keluar ruangan, ketika Jovan menatap ke arahnya sambil melongo.

"W-wow …!" Matanya membulat sempurna melihat penampilan Melati yang terekpose sempurna di depan matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status