Share

Bab 8

8

"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.

Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah.

"Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya.

"Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja.

"Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.

Edwin menutup pintu kulkas dengan sedikit kencang hingga Melati terlonjak kaget.

"Kau mengagetkanku!"

Melati hendak membuka pintu kulkas kembali, namun Edwin menahannya, hingga tangan lelaki itu persis di depan wajah Melati.

"Ck. Tidak bisakah sekali saja kau tidak membuatku marah?" Edwin berkata dengan gigi bergemeretuk dan rahang mengeras.

"Apa yang kau maksud?" tanya Melati. Dia merasa tidak melakukan ulah apapun.

Melati mengalah. Dia hendak terbalik pergi namun urung, ketika melihat Edwin bergeming di tempatnya dan berpikir, mungkin saja Edwin marah karena dia hendak mengambil sesuatu di dapur ini.

"Aku akan menggantinya jika kamu tidak suka aku memakan makananmu," katanya sambil membawa dua buah apel dan satu kotak susu, bersiap pergi dari tempat itu.

"Bukan itu yang kumaksud." Edwin menarik tangannya dengan sedikit kencang hingga Melati memekik kesakitan dan berbalik.

"Apa yang kau lakukan, brengs*k?" Edwin menatap penampilan Melati dari atas hingga ke bawah hingga wanita itu merasa kesal.

"Ada yang salah dengan penampilanmu," ucapnya dengan tatapan dingin.

"Kau pikir aku peduli, hah?" balas Melati sambil mendorong dadanya. Edwin balas memegang tangan Melati sedikit kencang.

"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk memakai pakaian yang lebih pantas. Ingat Melati, bukan hanya aku lelaki di rumah ini, tapi ada orang lain. Termasuk para pekerja lelaki yang mungkin saja tergiur melihat penampilanmu seperti ini. Tidaklah kau merasa risih dengan keadaanmu yang serba terbuka seperti itu?" Edwin menekankan setiap kata-katanya, hingga tubuhnya dicondongkan ke arah Melati dan wanita itu kesulitan bergerak.

"Pikiran kalian saja yang kotor. Aku sendiri merasa penampilanku biasa saja," ujar Melati tak terima. Hatinya sedikit sakit mendengar ucapan Edwin barusan.

"Tak bisakah satu kali saja kau menurut ucapanku?" sentak Edwin lagi merasa belum puas.

"Aku tidak mau!" balas Melati lagi sambil mengangsurkan makanannya ke dada Edwin yang lantas ditangkap oleh lelaki itu. Di segera berbalik dan berlari ke arah tangga dengan hentakan kakinya dan masuk ke dalam kamarnya, lalu membaringkan dirinya di dalam selimut.

Melati merasakan lebaran dalam dadanya yang kencang kala pandangannya bertemu dengan tatapan tajam dari Edwin. Yang entah mengapa dia merasa kesal, dan merasakan debaran yang menghujam ke dalam dadanya. Tiba-tiba saja perutnya sedikit kram dan dia merintih kesakitan. Tapi tangan itu urung mengusap perutnya.

"Argh ...! Dasar wanita sia*an!" Edwin meremas susu otak di tangannya, hingga isinya menyambur kemana-mana, kemudian melemparnya asal. Memikirkan kelakuan Melati, lama-lama otaknya bisa gila karena terus didera rasa amarah yang tidak berkesudahan.

Lelaki itu berjalan dengan cepat menyusul Melati yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya dan mendapati wanita itu tengah berbaring di balik selimut.

"Jangan kau pikir aku akan diam saja melihat tingkahmu di rumah ini," ungkap Edwin sambil menarik satu bantal dan segera berbaring di samping Melati.

Wanita itu mendecih sekaligus merasa kesal, lalu membuka selimut dan menatap ke sampingnya.

"Lalu, apa maumu? Mengusirku? Katakan dengan jelas," tantangnya dengan dada naik turun.

"Kau!"

"Lagipula bukankah seharusnya kau tidak tidur satu ranjang denganku? Rasanya terlalu aneh berbagi tempat tidur, sementara amarahmu saja meledak-ledak!"

Edwin balik menatapnya, hingga keduanya saling bertatap pandangan tajam. Memancarkan aura kebencian masing-masing.

"Apa kau pikir, aku akan mengalah dengan tidur di sofa tiap malam dan membiarkanmu tidur nyenyak di atas ranjangku. Begitu? Itu tidak akan pernah terjadi. Lagipula aku membutuhkan istirahat yang cukup agar bisa beraktivitas dengan baik esok hari." Edwin beralasan.

Dia tidak mau mengalah dan membiarkan orang lain menikmati ranjang empuknya. Sementara dirinya harus kesakitan karena tidur di sofa yang tak nyaman.

"Lalu kenapa kemarin malam kamu menghindariku dan memilih tidur di sofa?"

"Apa harus aku jabarkan alasannya padamu?" tanya Edwin lagi, merasa kesal dengan Melati yang terus-terusan mengajaknya berdebat.

"Tidak perlu," ujar Melati membuat emosi Edwin semakin meledak-ledak.

"Lama-lama aku bisa gila jika terus-terusan berurusan denganmu," kata lelaki itu sambil berpaling dan membelakangi Melati, kemudian segera memejamkan matanya. Melati mendengus kesal kemudian melakukan hal yang sama, yang keduanya sama-sama tidur saling membelakangi.

Tengah malam Edwin terbangun, karena merasakan tenggorokannya yang terasa kering. Disaat yang sama, samar-samar dia mendengar suara tangisan. Lelaki itu membuka matanya perlahan kemudian menajamkan pendengarannya dan menoleh ke samping di mana Melati berbaring. Namun suara itu seakan lenyap begitu saja.

'Pasti karena kelelahan hingga aku memikirkan hal yang tidak-tidak,' batinnya bermonolog.

*****

Pagi-pagi sekali Edwin sudah bangun dan mengawali harinya dengan menunaikan kewajibanNya pada sang khalik. Dia menatap Melati yang masih bergeming di balik selimutnya.

Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya pelan, kemudian beranjak dan memakai pakaian olahraga, lalu pergi ke ruangan dimana dia biasa membentuk otot-otot dalam tubuhnya. Cukup lama Edwin melakukan pemanasan hingga akhirnya Jovan yang baru saja bangun menghampirinya dengan wajah khas bangun tidur.

"Selamat pagi pengantin baru," ujar Jovan iseng. Edwin diam saja enggan menanggapi perkataan lelaki tengil itu.

"Kau baru bangun?"

"Ya, tentu saja. Semalam aku tak bisa tidur karena mendengar suara-suara aneh dari kamar sebelah. Ya, kau tahu, mirip suara desahan begitu." Jovan berkata sambil berdehem. Edwin yang bingung langsung menghentikan aktivitasnya sejenak.

"Bukankah sebelah kamarmu itu–"

"Yes, tepat di samping kamarmu," balas Jovan cepat hingga dia tergelak saat mata Edwin membulat sempurna.

"Hei, lalu apa maksudmu sebenarnya?" tanya Edwin tak terima. Lelaki itu hampir menoyor kepala Jovan namun lelaki itu terus menghindar dan terbahak.

"Kenapa kau marah, Ed. Itu hal yang wajar bagi pasangan baru menikah." Jovan tertawa lepas dan mendapat tatapan tajam sahabatnya.

"Otakmu sudah rusak," sela Edwin kesal. Dia tak habis pikir pada Jovan yang selalu saja mengajaknya bercanda dan selalu berhasil membuatnya kesal karena mulutnya yang asal bicara. Namun demikian, hubungan keduanya tetap langgeng, meskipun Jovan pikir kalau Edwin terlalu menganggap semuanya serius.

"Ed, mau kemana kau?!"

"Sudahlah, aku malas melanjutkan ini semua." Edwin berbalik pergi meninggalkan Jovan yang raut wajahnya berubah heran. Bahkan lelaki itu sempat menerima handuk basah yang dilemparkan tepat di wajahnya.

"Kau benar-benar tidak bisa diajak bercanda, Ed!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status