Share

Bab 8

Penulis: Bun say
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-05 10:09:02

8

"Wow …!" Mata Jovan membulat melihat pemandangan di depannya saat ini. Bagaimana dia tidak terkejut, ketika melihat seorang wanita berpenampilan seksi keluar dari kamar sahabatnya.

Edwin mendengus kesal seraya menatap sahabatnya, kemudian menutupi mata lelaki itu dengan tangannya. Melati sendiri hanya mengangkat bahunya cuek, melanjutkan langkah membawa baki kosong itu menuju ke lantai bawah.

"Apa dia tidak pernah melihat seorang wanita," gumamnya pelan. Sementara Edwin langsung mendorong Jovan untuk masuk ke kamarnya, meskipun lelaki itu bersikeras ingin menunggu Melati dan berkenalan dengannya.

"Ed, biarkan aku berkenalan dengannya, sebentar saja, please …!" Jovan terus memohon, tapi Edwin tak membiarkannya begitu saja.

"Kau bisa melakukan hal itu kapanpun," desis Edwin karena amarahnya kembali naik setelah melihat Melati. Dia segera turun ke bawah tangga untuk menyusul Melati yang rupanya tengah berada di dapur.

Edwin menutup pintu kulkas dengan sedikit kencang hingga Melati terlonjak kaget.

"Kau mengagetkanku!"

Melati hendak membuka pintu kulkas kembali, namun Edwin menahannya, hingga tangan lelaki itu persis di depan wajah Melati.

"Ck. Tidak bisakah sekali saja kau tidak membuatku marah?" Edwin berkata dengan gigi bergemeretuk dan rahang mengeras.

"Apa yang kau maksud?" tanya Melati. Dia merasa tidak melakukan ulah apapun.

Melati mengalah. Dia hendak terbalik pergi namun urung, ketika melihat Edwin bergeming di tempatnya dan berpikir, mungkin saja Edwin marah karena dia hendak mengambil sesuatu di dapur ini.

"Aku akan menggantinya jika kamu tidak suka aku memakan makananmu," katanya sambil membawa dua buah apel dan satu kotak susu, bersiap pergi dari tempat itu.

"Bukan itu yang kumaksud." Edwin menarik tangannya dengan sedikit kencang hingga Melati memekik kesakitan dan berbalik.

"Apa yang kau lakukan, brengs*k?" Edwin menatap penampilan Melati dari atas hingga ke bawah hingga wanita itu merasa kesal.

"Ada yang salah dengan penampilanmu," ucapnya dengan tatapan dingin.

"Kau pikir aku peduli, hah?" balas Melati sambil mendorong dadanya. Edwin balas memegang tangan Melati sedikit kencang.

"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk memakai pakaian yang lebih pantas. Ingat Melati, bukan hanya aku lelaki di rumah ini, tapi ada orang lain. Termasuk para pekerja lelaki yang mungkin saja tergiur melihat penampilanmu seperti ini. Tidaklah kau merasa risih dengan keadaanmu yang serba terbuka seperti itu?" Edwin menekankan setiap kata-katanya, hingga tubuhnya dicondongkan ke arah Melati dan wanita itu kesulitan bergerak.

"Pikiran kalian saja yang kotor. Aku sendiri merasa penampilanku biasa saja," ujar Melati tak terima. Hatinya sedikit sakit mendengar ucapan Edwin barusan.

"Tak bisakah satu kali saja kau menurut ucapanku?" sentak Edwin lagi merasa belum puas.

"Aku tidak mau!" balas Melati lagi sambil mengangsurkan makanannya ke dada Edwin yang lantas ditangkap oleh lelaki itu. Di segera berbalik dan berlari ke arah tangga dengan hentakan kakinya dan masuk ke dalam kamarnya, lalu membaringkan dirinya di dalam selimut.

Melati merasakan lebaran dalam dadanya yang kencang kala pandangannya bertemu dengan tatapan tajam dari Edwin. Yang entah mengapa dia merasa kesal, dan merasakan debaran yang menghujam ke dalam dadanya. Tiba-tiba saja perutnya sedikit kram dan dia merintih kesakitan. Tapi tangan itu urung mengusap perutnya.

"Argh ...! Dasar wanita sia*an!" Edwin meremas susu otak di tangannya, hingga isinya menyambur kemana-mana, kemudian melemparnya asal. Memikirkan kelakuan Melati, lama-lama otaknya bisa gila karena terus didera rasa amarah yang tidak berkesudahan.

Lelaki itu berjalan dengan cepat menyusul Melati yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya dan mendapati wanita itu tengah berbaring di balik selimut.

"Jangan kau pikir aku akan diam saja melihat tingkahmu di rumah ini," ungkap Edwin sambil menarik satu bantal dan segera berbaring di samping Melati.

Wanita itu mendecih sekaligus merasa kesal, lalu membuka selimut dan menatap ke sampingnya.

"Lalu, apa maumu? Mengusirku? Katakan dengan jelas," tantangnya dengan dada naik turun.

"Kau!"

"Lagipula bukankah seharusnya kau tidak tidur satu ranjang denganku? Rasanya terlalu aneh berbagi tempat tidur, sementara amarahmu saja meledak-ledak!"

Edwin balik menatapnya, hingga keduanya saling bertatap pandangan tajam. Memancarkan aura kebencian masing-masing.

"Apa kau pikir, aku akan mengalah dengan tidur di sofa tiap malam dan membiarkanmu tidur nyenyak di atas ranjangku. Begitu? Itu tidak akan pernah terjadi. Lagipula aku membutuhkan istirahat yang cukup agar bisa beraktivitas dengan baik esok hari." Edwin beralasan.

Dia tidak mau mengalah dan membiarkan orang lain menikmati ranjang empuknya. Sementara dirinya harus kesakitan karena tidur di sofa yang tak nyaman.

"Lalu kenapa kemarin malam kamu menghindariku dan memilih tidur di sofa?"

"Apa harus aku jabarkan alasannya padamu?" tanya Edwin lagi, merasa kesal dengan Melati yang terus-terusan mengajaknya berdebat.

"Tidak perlu," ujar Melati membuat emosi Edwin semakin meledak-ledak.

"Lama-lama aku bisa gila jika terus-terusan berurusan denganmu," kata lelaki itu sambil berpaling dan membelakangi Melati, kemudian segera memejamkan matanya. Melati mendengus kesal kemudian melakukan hal yang sama, yang keduanya sama-sama tidur saling membelakangi.

Tengah malam Edwin terbangun, karena merasakan tenggorokannya yang terasa kering. Disaat yang sama, samar-samar dia mendengar suara tangisan. Lelaki itu membuka matanya perlahan kemudian menajamkan pendengarannya dan menoleh ke samping di mana Melati berbaring. Namun suara itu seakan lenyap begitu saja.

'Pasti karena kelelahan hingga aku memikirkan hal yang tidak-tidak,' batinnya bermonolog.

*****

Pagi-pagi sekali Edwin sudah bangun dan mengawali harinya dengan menunaikan kewajibanNya pada sang khalik. Dia menatap Melati yang masih bergeming di balik selimutnya.

Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya pelan, kemudian beranjak dan memakai pakaian olahraga, lalu pergi ke ruangan dimana dia biasa membentuk otot-otot dalam tubuhnya. Cukup lama Edwin melakukan pemanasan hingga akhirnya Jovan yang baru saja bangun menghampirinya dengan wajah khas bangun tidur.

"Selamat pagi pengantin baru," ujar Jovan iseng. Edwin diam saja enggan menanggapi perkataan lelaki tengil itu.

"Kau baru bangun?"

"Ya, tentu saja. Semalam aku tak bisa tidur karena mendengar suara-suara aneh dari kamar sebelah. Ya, kau tahu, mirip suara desahan begitu." Jovan berkata sambil berdehem. Edwin yang bingung langsung menghentikan aktivitasnya sejenak.

"Bukankah sebelah kamarmu itu–"

"Yes, tepat di samping kamarmu," balas Jovan cepat hingga dia tergelak saat mata Edwin membulat sempurna.

"Hei, lalu apa maksudmu sebenarnya?" tanya Edwin tak terima. Lelaki itu hampir menoyor kepala Jovan namun lelaki itu terus menghindar dan terbahak.

"Kenapa kau marah, Ed. Itu hal yang wajar bagi pasangan baru menikah." Jovan tertawa lepas dan mendapat tatapan tajam sahabatnya.

"Otakmu sudah rusak," sela Edwin kesal. Dia tak habis pikir pada Jovan yang selalu saja mengajaknya bercanda dan selalu berhasil membuatnya kesal karena mulutnya yang asal bicara. Namun demikian, hubungan keduanya tetap langgeng, meskipun Jovan pikir kalau Edwin terlalu menganggap semuanya serius.

"Ed, mau kemana kau?!"

"Sudahlah, aku malas melanjutkan ini semua." Edwin berbalik pergi meninggalkan Jovan yang raut wajahnya berubah heran. Bahkan lelaki itu sempat menerima handuk basah yang dilemparkan tepat di wajahnya.

"Kau benar-benar tidak bisa diajak bercanda, Ed!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tragedi Pernikahan Paksa   Bab 99 Ending

    Bab 99Melati tertegun, entah apa yang ada dalam pikiran Edwin, namun ketika suaminya menyebut nama wanita tersebut, matanya melebar sempurna dengan tubuh seperti kaku. Melati yang mengerti raut wajah suaminya itu berubah pun, segera mengambil alih Giandra dan menyerahkannya kepada pengasuhnya."Siapa dia, Mas?" tanya Melati seakan tidak sabar ingin mengetahui siapa wanita yang di hadapannya itu. Dulu suaminya pernah berkata sakit hati saat ditinggalkan seseorang yang telah pergi, dan pikiriannya langsung mengarah ke sana."Michy, ke marilah, Nak. Ayo makan malam bersama dengan kami," ajak Candra. "Oh ya, kapan kamu kembali dari Korea?" Pria tua itu tidak mungkin melupakan siapa Michy bagi cucunya. Beberapa tahun yang lalu, Michy dan Edwin sempat berhubungan cukup lama. Michy juga adalah cinta pertama cucunya. Namun setelah tiga tahun menjalin hubungan, wanita itu memilih meninggalkan negaranya untuk tinggal di Korea sambil melanjutkan studi designnya di sana. Siapa yang menyang

  • Tragedi Pernikahan Paksa   Bab 98

    Bab 98Entah berapa lamanya mereka saling memadu kasih, hingga keduanya terlelap karena kelelahan.Saat Melati terbangun dari tidurnya, dia kaget karena Giandra tidak ada di box bayi miliknya.Wanita yang panik itu pun segera menggulung rambutnya dan mengikatnya ke atas dengan asal, lalu segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan mengganti dengan pakaian yang baru.Buru-buru wanita itu keluar dari kamarnya untuk mencari putra semata wayangnya, dan saat turun ke ruang tamu, tempat itu remang-remang tanpa cahaya dan seluruh lampu nyaris dimatikan semuanya."Ya ampun dia mana Giandra berada?" ujarnya sambil menggigit ujung kukunya karena bingung. Melati pun menatap ke arah kamar Ernawati yang tertutup, kemudian disampingnya ada kamar Anita yang juga tertutup rapat. Dia sengaja didekatkan telinga ke salah satu kamar tersebut, namun hanya sunyi yang didapatnya."Melati, kenapa kamu menempelkan kupingmu di tengah malam seperti ini?" Jovan yang baru keluar dari dapur deng

  • Tragedi Pernikahan Paksa   Bab 97

    Bab 97Seketika berita itu menjadi trending di beberapa acara berita di Belanda, dan sampai ke telinga Edwin melalui sebuah pemberitahuan melalui telepon."Kami hanya ingin mengabarkan kepada anda, tentang kejadian kecelakaan yang telah menewaskan saudara Teguh Yogaswara. Keadaan tubuhnya hampir tidak berbentuk karena kecelakaan hebat itu, juga karena ledakan yang membuat jasadnya tidak sempurna. Apakah kami harus menerbangkannya ke Indonesia, atau anda lebih memilih kami memakamkannya di negara ini, mengingat untuk melewati imigrasi sangat sulit dilakukan, dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar!" Suara di seberang sana terus bergema membuat Edwin bingung, hingga suatu keputusan diambil oleh demi kemaslahatan bersama."Kakekku dan kami semua sudah mendengar berita itu sebelumnya dari media massa. Untuk itu, kami semua sudah kesepaka jika jasad Teguh lebih baik dikebumikan saja di Belanda, dan saya meminta pertolongan anda semua untuk mewakilinya, mengingat kami juga tidak bisa per

  • Tragedi Pernikahan Paksa   Bab 96

    Bab 96Duduk di tengah-tengah keluarga Candra Wijaya membuat hati Jovan menghangat, di mana dia bisa melihat senyum di wajah Ernawati dan Candra juga kehangatan kasih sayang antara Edwin dan Melati, yang disampingnya ada Kirana yang melirik sesekali ke arahnya dan menunduk seperti malu-malu.Setelahnya mereka menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol di ruang tengah. Layar televisi tayang sejak tadi menyala sama sekali tidak membuat mereka tertarik yang ada justru obrolan dan candaan layaknya keluarga besar.Setelah merasa sedikit bosan jumpa naik ke lantai atas di mana kamarnya berada kemudian duduk di balkon sambil menikmati cahaya malam yang indah. Langit bertaburan bintang dan dia duduk di atas kursi rotan sambil memandang ke atas. Kirana masuk setelahnya dan duduk di sampingnya."Sejak kapan, Jo?" Wanita itu tanpa bertanya tanpa mengalihkan pandangan ke samping di mana jawaban langsung melirik bingung ke arahnya."Apanya yang sejak kapan?" Kirana memanyunkan bibirnya."Bod*h!"

  • Tragedi Pernikahan Paksa   Bab 95

    Bab 95"Jadi, apakah menurut kakak, Jovan akan menerimaku, dengan keadaanku yang seperti ini?" Kirana mendesah berat. Dia melihat keadaan kakinya yang tak sempurna. Meskipun ragu, dia ingin mempertanyakan langsung kepada kakaknya, karena hanya pria itu yang mengerti keadaannya sekarang.Edwin mengangguk, lalu sebuah senyum terbit di bibirnya. Hatinya menghangat melihat senyuman di wajah Kirana."Karena hanya dia yang kakak lihat tulus mencintai kamu, Kirana. Makanya jangan ragu untuk menerima pria itu. Bukankah lebih baik dicintai, daripada mencintai, karena ujung-ujungnya hanya akan membuatmu sakit hati." Edwin mencoba memberi pengertian.Kirana cukup tertohok mendengar pernyataan dari kakaknya barusan."Kakak nggak pernah mendengar aku dan Bian bertengkar, kan?" tanyanya Karen Edwin seperti mengerti isi hatinya. Dia mencintai Bian dan ingin memilikinya. Naas, pria itu malah sebaliknya."Tentu saja tidak. Hanya saja kakak selalu melihat dia tidak pernah tulus mencintaimu. Bukankah

  • Tragedi Pernikahan Paksa   Bab 94

    Bab 94"Melati mana?" Satu kata yang ditanyakan oleh Ernawati ketika sudah sadarkan diri adalah menantunya. Erwin sendiri tidak ada di sana karena harus mengurusi kasus Gunadi di kantor polisi sementara Melati pulang ke rumah atas suruhan Jovan.Wanita itu sudah pulang ke rumah tadi jawaban yang menyuruhnya sepertinya wanita itu tengah bingung atau sedih entahlah apapun tidak tahu Bu memangnya ada apa atau mungkin ada yang kalian tutupi dariku mata Kirana memicing menatap Ernawati yang segera menggeleng wanita itu bukannya menjawab Allah menerawang memandang langit-langit kamar.Bu aku bertanya pada ibu loh kenapa ibu nggak mau menjawabnya apakah perempuan itu membuat masalah lagi di keluarga kita dan apakah ini juga yang menyebabkan Ibu tidak sadarkan diri jika memang demikian biarkan aku yang menghajar wanita itu atau kalau perlu aku akan menyeretnya ke jalanan sesegera mungkin." Kirana berkata dengan perasaan menggebu nyatanya setelah beberapa waktu berlalu bahkan setelah Edwin dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status