Aku dan Via sudah dijemput oleh Bapak. Sebelumnya, aku meminta Pak Hasan untuk tidak bicara soal kedatangan kami, takut jika Bapak marah. Di mobil tidak ada pembicaraan apa pun, aku masih sibuk mencari berita di internet tentang kejadian di rumah itu. Namun, hasilnya masih nihil. Sementara Via, ia masih sibuk bermain game. "Besok kamu sekolah bawa motor aja, ya, Neng. Biar sore ada di rumah. Soalnya, Bapak disuruh ngadain pengajian sama Bos Arya. Jadi, nanti salat Isa Bapak mau ke mesjid buat ngundang tetangga." Suara Bapak mulai memecah keheningan. "Emang udah ada uangnya buat ngundang tetangga, Pak?" tanyaku seraya mematikan ponsel sejenak agar lebih sopan saat bicara dengan Bapak meski posisi kami tidak berhadapan. Dari kaca sepion, terlihat senyum Bapak mengembang. Beliau pun menjawab, "Semua catring dan snack dihandle oleh Bos Arya dan istrinya. Cuma katanya teh, mereka belum bisa hadir, soalnya masih sibuk sama kerjaan." Menurutku, Bapak itu salah satu orang yang selalu ber
Mendengar suara jeritan di tengah malam, tepat di kamar Via, membuat aku dan Bapak berlari untuk melihat keadaan gadis itu. Tentunya pikiranku sudah ke mana-mana, mengingat video yang direkam kemarin saja cukup membuat bulu kuduk merinding. Pintu kubuka secara paksa, lantas menghidupkan lampu kamar Via yang memang jika tidur selalu padam. Berbeda denganku, kadang selalu pengap jika lampu mati. Saat sudah masuk, nyatanya, Via dalam keadaan tengah tertidur. Kami berdua hanya bergeming, menatap Via yang terbangun dengan mengucek matanya. "Ada apa ini, Pak? Kok, pada ke sini?" tanyanya dengan suara serak. Wajah Bapak yang tadinya menegang, kini berubah sedikit lega. Pria tambun itu menghampiri putrinya kemudian mengusap lembut rambut Via dan menyuruh gadis berponi itu untuk tidur lagi. Sementara aku masih terdiam seraya mengatur napas yang masih naik turun. Bapak mengajakku untuk keluar dan tidak menceritakan apa pun pada Via. Aku kira Bapak akan kembali ke kamar, nyatanya beliau perg
Aku beranjak dari kursi kemudian berpamitan pada Ibu. "Aku gak ikut sarapan ya Buk. Gak laper. Sisain aja buat nanti aku bawa ke sekolah." Bukan apa-apa, aku hanya takut terbawa emosi. Ibu mungkin paham perasaanku, tetapi bagaimana dengan Bapak? Dan nama yang tadi disebut Ita, sepertinya ada makhluk gaib yang bermain dengan adikku itu. Mungkin, jika sedang berdua, aku bisa mencari informasi lebih. Secepat kilat aku masuk kamar, membuka gorden meski langit belum sepenuhnya terang. Masih ada sisa kebiruan dari waktu Subuh. Dari jendela, aku bisa melihat orang lalu-lalang mengantarkan susu ke tempat penampungan. Mungkin, sekali-kali aku harus berbaur dengan masyarakat untuk tahu seluk-beluk rumah ini.Saat aku berbalik, tatapanku mengarah pada lukisan yang sudah tiga kali diturunkan, tetapi kembali dengan sendirinya. Bahkan, prakaryaku saja hancur, entah ulah siapa. Pandanganku beralih pada meja samping ranjang. Ada beberapa laci di sana. Kalau tidak salah, kemarin banyak buku di dala
Sepulang sekolah, sudah terlihat kue-kue basah di meja, tetapi masih dalam dus. Begitu juga nasi tumpeng yang sudah dihias dengan sangat cantik. Terlihat Bapak dan Ibu sangat semangat menggelar tikar dan membenahi rumah agar tampak nyaman saat tamu datang nanti.Hari ini aku pulang cepat, sekitar pukul 13.00. Jadi, jam setengah tiga pun sudah berada di rumah. Sebelum membantu pekerjaan, Ibu menyuruh aku dan Via untuk makan dulu. Namun, aku memilih menemui Ita yang katanya sedang bermain boneka di kamarku.Saat pintu dibuka, terlihat Ita tengah tertawa. Gadis kecil itu lebih senang, bermain di kamar sendirian. Aku pun menghampirinya, tawa Ita seketika berhenti. Bahkan, ia mendelik tak suka. "Lagi apa, Dek?" tanyaku duduk di sampingnya. Ita menyimpan boneka yang sedari tadi ia pegang, wajahnya terlihat ketus. "Kakak ganggu aja. Aku lagi main sama Helen," ucapnya dengan bibir mencebik seperti bebek. "Helen itu boneka, ya? Seumuran siapa?" Aku bertanya dengan hati-hati sambil menunjuk
Azan Magrib berkumandang, Bapak sudah pergi ke mesjid. Kami pun para wanita, sudah bersiap salat di kamar masing-masing. Kecuali Ita, seperti biasa, gadis itu ada kegiatan mengaji bersama anak tetangga.Karpet sudah digelar, makanan pun sudah siap di piring. Begitu juga dengan nasi tumpengnya. Beberapa Al-Quran disediakan, barangkali ada yang tidak membawa. Alhamdulillah, aku telah usai melaksanakan kewajiban Magrib. Usai zikir dan berdoa, pandanganku mengarah pada lemari kecil sisi ranjang. Teringat akan buku aneh di dalam sana. Masih menggunakan mukena, aku membuka laci dan mengeluarkan semua buka yang sampulnya masih sangat bagus. Buku itu aku Sejajarkan, lalu mengambil ponsel dan memotret semuaya tanpa terlewat. Mungkin, setelah pengajian, aku akan komunikasin bersama Aldy. Setelahnya, buku itu pun kumasukan kembali. Suara piring di luar menandakan Ibu telah selesai salat. Aku langsung membuka mukena dan bersiap untuk keluar. Namun, arah mataku selalu saja ingin menatap lukisa
Pengajian berjalan lancar, untung saja Ustad Imran bisa memberi alasan baik pada tamu yang hadir. Aku tidak sabar menunggu mereka pulang sebab penasaran dengan paket yang kutemukan di halaman. Saat menemukan paket, aku mengendap ke rumah bagian samping dan melempar benda itu lewat jendela kamar. Entah di mana jatuhnya, bisa juga di kolong ranjang. Yang penting dalam keadaan aman.Satu per satu tamu berpamitan pulang, ada juga yang masih menikmati camilan kue basah dalam piring. Hingga masuk waktu ba'da Isya, akhirnya tidak ada tamu yang tersisa—kecuali Pak Ustad. Sepertinya pria sepuh itu akan menepati janjinya untuk membersihkan rumah ini dari hal gaib.Bapak mempersilakan Pak Ustad untuk masuk ke ruang tamu, supaya bisa lebih fokus untuk mengobrol. Toh, Bapak belum tahu kejadian yang menimpa Ustad Imran sampai beliau telat datang. Aku dan Via sibuk mencuci piring di dapur, sambil menguping apa saja yang dibicarakan oleh Bapak. Kebetulan, dua ruangan ini saling bersebelahan dan tid
"Gila, Put, rumah kamu tambah serem. Via itu Sepertinya dilihatin kejadian masa lalu, kayaknya," ucap Rena berapi-api. Gadis bertubuh sintal itu memang paling semangat jika aku bercerita tentang keadaan di rumah. Jam istirahat, seperti biasa kami mengobrol tentang hal mistis yang aku alami, hanya saja kali ini kami memilih untuk tinggal di kelas, bukan di kantin lagi. Aku sengaja menceritakan tentang rentetan kejadian, sampai ucapan Via tadi pagi. Masing-masih dari sahabatku punya spekulasi dan sudut pandang yang berbeda. Seperti Aldy, dia lebih menebak jika satu keluarga itu sengaja dibunuh karena unsur pekerjaan, mengingat kepala keluarganya adalah dosen. Untuk masalah buku, itu hanya sebuah koleksi saja. Dia lebih berpikir realistis. Rena, lebih mengarah ke bisikan setan yang membuat mereka bunuh diri. Gadis itu bilang, setan bisa memanipulasi pikiran manusia untuk berbuat hal yang aneh-aneh, termasuk mencelakai diri sendiri. Kalau Bagas, ia lebih condong ke perjanjian dengan i
Pintu kututup segera, lantas menarik kursi meja makan dan meletakannya di depan pintu untuk menjadi penghalang. Terdengar suara langkah kaki di tangga, selanjutnya knop berputar-putar seperti ada seseorang di dalam yang minta dibukakan. Badanku mundur perlahan, tetapi berhenti tepat di depan meja makan dan berjongkok di sana seraya menutup telinga karena bising mendengar teriakan minta tolong dari dalam. Belum lagi suara ketukan pintu, membuat bulu kuduk merinding seketika. "Put, kamu sedang apa?" tanya Ibu yang tiba-tiba datang, membuatku menarik napas panjang dan mengusap dada karena kaget. Ibu menoleh ke arah kursi di depan pintu kemudian menariknya dan meletakkannya kembali pada posisi semula. Ibu menarikku untuk bangkit dan duduk. Beliau terlihat menuang air ke gelas dan memberikannya padaku. "Minum Neng, jangan lupa baca bismillah."Aku mengangguk dan melakukan apa yang Ibu suruh. "Apa cuma aku yang kena teror di sini?" tanyaku seraya meletakan gelas di atas meja makan."Engg