"Kalau kamu sudah mau mati?" potongnya, "Sorry, kamu itu bukanlah menantu yang saya inginkan. Jadi jangan berharap saya peduli dengan kamu. Mau hidup atau mati, saya tidak mau tahu."
Tut!
Amora terdiam sambil melihat layar ponselnya yang sudah tidak menyala. Ia berharap mami mertua bisa menolongnya. Namun ternyata harapan itu sia-sia belaka.
"Jadi bagaimana mau saya rujuk?" Ucapan bidan itu menarik Amora dari lamunannya.Amora sontak menggelengkan kepalanya, kemudian berkata, "Nggak usah Bu, saya akan ke rumah sakit sendiri aja."
"Oh kalau maunya seperti itu juga tidak apa?" Bidan itu langsung menyetujui, tanpa mencegah Amora pergi. "Terima kasih Bu. Bu, saya nggak punya uang untuk bayar jasa Ibu. Apa boleh saya hutang dulu nanti setelah anak lahir saya akan antarkan. Kalau boleh tahu saya kena berapa ya?" Amora begitu malu dan tidak enak dengan ibu bidan. Dia datang di tengah malam, menggedor pintu rumah namun tidak memiliki uang sama sekali. "Tidak usah." Bidan itu langsung menjawab. "Apa benar tidak usah dibayar?" Amora berkata dengan tatapan tidak percaya. Sang bidan mengangguk. "Sebaiknya, kamu harus cepat ke rumah sakit. Kondisi kamu sudah sangat lemah. Jika kamu terlambat, takutnya nyawa bayi terancam." Jantung Amora seakan mau melompat dari tempatnya. Ia tidak menyangka bahwa kondisi anaknya separah ini. Meskipun ragu, Amora tetap pergi meninggalkan rumah bidan.Jika ke rumah sakit dengan kondisi tidak memiliki uang, apakah bayinya dapat ditolong?
Ia berjalan sambil menahan rasa sakit yang luar biasa.
"Nak, mama harus bagaimana?" Amora berkata sambil terus mengusap perutnya.Ia berharap anak di dalam perut bisa diajak kompromi.
Sayangnya, perutnya terasa benar-benar melilit.
Tak lama kemudian dia melihat air bercampur darah bergenang di celah kakinya.
"Apa ini pecah ketuban?" Amora memandang air yang terus saja keluar tanpa bisa ditahan.Ia begitu panik dan terus mencoba berjalan dari posisi yang entah di mana.
Namun tak lama kemudian dia merasakan sakit yang luar biasa hingga kakinya tidak sanggup berdiri.
Amora pun tak sengaja terjatuh di kubangan lumpur.
"Apa rumah sakitnya masih sangat jauh. Mama rasanya sudah tidak sanggup," lirihnya sambil terus mengusap-ngusap bagian perutnya.
Hanya saja, perutnya seakan ditendang sang janin.Insting menyelamatkan sang anak pun kembali bekerja.
Amora memaksa kembali berdiri dan berjalan.
Meski cuaca sangat dingin karena hujan yang baru saja turun namun dia tidak merasakan dingin sedikitpun.
Sayangnya, begitu tiba di jalan raya, adrenalinnya mungkin menurun.
Tubuh Amora kembali menggigil kesakitan.
Amora merasakan darah segar mengalir deras dari jalan lahir anak. Melihat darah segar yang keluar dengan deras, membuat ia merasa sangat takut.
Bagaimana dengan anaknya? Apakah anaknya masih ada?
Tangannya gemetar sambil mengusap perutnya. "Nak, kamu baik-baik saja kan? Tolong bertahan, sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit."
Pertanyaannya langsung dijawab oleh anak yang ada di dalam perut.
Satu tendangan membuat Amora yakin bahwa anaknya masih ada.
Entah kekuatan dari mana yang didapatkannya hingga Amora kembali merangkak di jalan, hingga akhirnya dapat melihat plang rumah sakit yang terpampang besar.
Dia berusaha merangkak lebih cepat hingga sampai di depan pos security. "Tolong saya....."
Satpam itu beranjak dari duduknya dan kemudian keluar dari dalam posko.
Dia begitu sangat terkejut ketika melihat seorang wanita sudah tergeletak di depan poskonya.
Wanita yang sangat kotor bahkan rambutnya acak-acakan seperti orang gila.
Dilihatnya kaki, serta pakaian yang dipakai wanita itu berlumur darah. Bahkan darah berceceran disepanjang jalan. Ia baru menyadari bahwa wanita itu akan melahirkan, setelah memandang kebagian perut yang besar.
"Anda kenapa?"
"Tolong Pak, saya mau melahirkan." Amora berkata dengan sangat pelan.
Melihat kondisi wanita yang datang, security langsung mengangkat tubuhnya, kemudian berlari.
"Tolong ada pasien." Security langsung memanggil perawatan.
Melihat pasien yang datang perawat langsung datang dengan membawa tempat tidur.
Security itu membaringkan tubuh Amora di atas tempat tidur. Tempat tidur pun langsung didorong ke ruang UGD.
Hanya saja, samar-samar Amora mendengar suara tertawa dari kursi yang berasal dari kursi tunggu.
Suara tawa pria yang sangat ia kenal.
Amora lantas menoleh ke asal suara. Namun, jantungnya seakan lepas dari tempatnya.
Randy bersama dengan wanita yang sangat Amora kenal.
Bahkan, perut wanita itu sudah tampak buncit--sedang mengandung.
"Senang sekali ya bikin papinya cemas." Randy berkata dengan tersenyum lega. Tangannya mengusap perut dan kemudian mencium perut wanita itu berulang-ulang kali.
Air mata meluncur deras dari celah matanya.
Dia tidak menyangka bahwa suaminya memperlakukannya seperti ini.
Bahkan, Amora juga melihat Mami mertuanya menghampiri Randy dan wanita itu! Dari wajahnya terlihat jelas bahwa dia sangat mencemaskan anak yang dikandung wanita tersebut.
Sungguh berbeda saat memperlakukannya....
"Apa mbak datang sendiri ke sini?" Sang Perawat datang dan mendorongnya masuk ke dalam ruang UGD.
"Iya," jawab Amora dengan air mata yang mengalir dengan sendirinya.
Perawat itu terkejut.
Tak lama, seorang dokter pria masuk ke dalam ruangan. Dia tampak terdiam memandang kondisi pasien.
"Apa datang sendiri?" Dokter itu bertanya sambil memeriksa detak jantung pasiennya.
"Ya," jawab Amora.
Rasa sakit di hatinya membuat ia lupa, bahwa tujuannya datang ke rumah sakit untuk melahirkan anaknya.
Bahkan Amora sudah tidak merasakan sakit kontraksi seperti yang tadi dirasakannya.
Kata orang jika sudah tidak merasakan sakit, itu artinya ajalnya sudah dekat. Apakah dia benar-benar akan mati?
Amora pasrah, sampai tendangan dari dalam perut kembali terjadi dan menyadarkannya.
Anaknya!
"Ke sini pakai apa?" Dokter bertanya sambil memeriksa kondisi Amora.
"Merangkak," jawab Amora dengan sedikit tersenyum, "tolong bantu saya, dok."
Dokter itu terkejut ketika mendengar jawaban dari Amora. Namun melihat lutut dari pasiennya yang lecet dan juga berdarah dia tahu bahwa wanita itu tidak berbohong. Apalagi baju yang dipakainya sudah penuh dengan lumpur.
"Sejak jam berapa pecah ketuban?"
Dokter itu memeriksa bagian perut. Sedangkan perawat terus bekerja membersihkan tubuh Amora.
"Jam 1 malam." Amora berkata dengan suara yang sangat lemah.
Dokter muda itu melihat jam di pergelangan tangannya. "Jam 1 pecah ketuban, sedangkan sekarang sudah jam 3 pagi. Seharusnya ketika pecah ketuban pasien tidak boleh lagi berjalan karena itu akan memperparah kondisi bayi," kesalnya, "kalau tak sempat, langsung saja mencari rumah bidan agar mendapatkan penanganan lebih cepat!"
Amora tidak menjawab apapun. Dia hanya diam ketika dokter itu memarahinya.
Namun, kondisinya yang parah membuat dokter pun tak tega.
Segera ia menyuruh sang perawat mencari ruang persalinan.
Dokter itu juga menyuntikkan obat untuk menghentikan pendarahan.
Dan Amora hanya diam---menikmati semua rasa sakit yang datang secara bersamaan.
Jadi, ini maksud sang mertua?
Padahal, semua telah Amora lakukan untuk Randy.
Dua tahun silam, Randy mengalami kecelakaan. Bersama sang ayah kandung, Yusuf Sanjaya, ia terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang tragis. Mobil keluarga yang mereka tumpangi menghantam truk Fuso bermuatan pasir. Yusuf dan sang sopir tewas seketika di lokasi kejadian. Sementara Randy, dengan luka parah dan tubuh berlumur darah, terbaring koma selama satu minggu. Saat kesadarannya akhirnya kembali, kenyataan pahit menantinya. Vonis dokter mengguncang jiwanya. Pria itu dinyatakan lumpuh.
Pada saat itu Amora baru lulus SMA.
Ia sudah diterima di sebuah universitas terbaik di kota ini. Namun, kecelakaan itu membuat Dewi, yang merupakan ibu angkat serta mertuanya, meminta Amora untuk tidak melanjutkan kuliahnya.
Wanita itu bahkan menyuruh Amora untuk menikah dengan Randy yang dalam keadaan cacat.
Maka dari itu, Amora yang tidak pernah melupakan jasa serta kebaikan Yusuf yang telah mengadopsinya dari panti asuhan, menerimanya.
Selain itu, Amora juga secara diam-diam mencintai kakak angkatnya. Karena itu, dia menyetujuinya.
Tapi, Amora dan bayinya kini justru dibuang.... seperti kotoran setelah tak lagi berguna. Sekarang, bagaimana nasib anaknya?
***
Air mata yang tadi sudah reda kembali mengalir, diam-diam dan tanpa suara.Amora cepat-cepat menghapusnya, mencoba sekuat tenaga menyembunyikan kepedihan yang tiba-tiba kembali mencuat. Pemandangan itu sangat indah. Seorang anak kecil menggandeng ayahnya dengan penuh kasih. Hal seperti ini mustahil dirasakan oleh putranya. Bahkan mungkin takkan pernah sama sekali. Putranya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menggenggam tangan seorang ayah.“Kakak Amora!” Suara ceria itu memecah lamunannya. Amora menoleh, tersenyum samar sambil melambaikan tangan. Ia kembali mengusap matanya, memastikan tak ada jejak tangis yang tertinggal.“Kamu lagi ngapain?” tanyanya ketika gadis kecil itu sudah berada di hadapannya.“Aku kasihan sama Daddy. Dia cuma diam di kamar. Jadi aku ajak keluar. Sore-sore begini enaknya duduk di taman, biar segar!” jawab gadis itu, ceria seperti biasa.Amora tersenyum, mengangguk pelan. “Kalau cuma di kamar terus, kapan sembuhnya?” ucapnya, dengan nada menggoda.“Aku juga u
Langit sore tampak murung, seolah ikut merasakan perasaan Amora. Angin berembus pelan, menggoyangkan daun-daun yang mulai menguning. Ia duduk di bangku taman yang sepi, memeluk tubuhnya sendiri seakan hanya itu yang bisa memberinya kehangatan.Matanya masih sembab, meski ia sudah berusaha keras menyembunyikan luka itu. Tangis yang selama ini ia tahan, sudah terlalu sering mengalir tanpa diminta. Ia datang ke taman ini dengan harapan bisa menenangkan pikirannya, mencari sedikit saja ruang untuk bernapas.Namun kenyataan seperti selalu mengejarnya. Ponselnya berdering, dan suara di seberang sana langsung membuat dadanya kembali sesak. Suaminya. Suara yang dulu ia rindukan, kini terasa seperti pisau yang mengiris perlahan.Ia menepuk-nepuk dadanya, mencoba menahan perih yang mencakar dari dalam. Napasnya berat, nyaris tersengal.“Kenapa kamu tega...?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar, dan air matanya kembali menetes, meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan.Semua sikap m
Amora mematuhi setiap nasihat dokter. Ia rutin memompa ASI setiap 2 jam sekali. Wajahnya berseri-seri saat melihat hasil perahannya. Air susu sumber kehidupan untuk bayinya, memenuhi botol hingga 50 mililiter. Baginya, ini adalah sebuah keajaiban kecil. Biasanya ia hanya mendapat sepuluh mililiter paling banyak. Kali ini, jumlahnya berlipat ganda. Dengan penuh semangat, Amora meninggalkan kamarnya menuju ruang perawatan bayi. Namun langkahnya terhenti, seorang perawat melarangnya masuk. Bayinya sedang dalam tindakan medis.Dari balik kaca pintu, Amora melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Tubuh mungil anaknya tampak kejang. Jantungnya seakan diremas. Meski tak diizinkan masuk, pandangannya tak lepas dari si kecil.“Nak, jangan tinggalin Mama, Mama kuat karena kamu. Kamu ingat kan, bagaimana kita berjuang bersama?” bisiknya lirih, seolah berharap kata-katanya bisa menembus kaca dan menjangkau hati bayinya.Sepuluh menit berlalu dalam diam yang menyesakkan, hingga akhirnya p
Amora kembali ke kamar rawatnya. Dengan sangat hati-hati ia turun dari atas kursi roda dan kemudian naik ke atas tempat tidur. Ia baru saja melihat bayinya. Sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya penuh cinta dan harapan. Namun melihat putranya terbaring di ruang NICU dengan begitu banyak alat medis menempel di tubuh mungil itu, hatinya terasa diremas. Ada bahagia, tapi juga luka yang menganga. Perasaannya kacau. Satu demi satu masalah datang, silih berganti, tanpa jeda, tanpa solusi. Dua hari dirawat di NICU saja biayanya sudah menembus sembilan juta rupiah. Itu belum termasuk ongkos persalinan yang belum ia lunasi. Pikirannya berputar-putar, kepala terasa berdenyut dan nyeri setiap kali mengingat tagihan yang menumpuk. Ia memandangi kotak yang berisi alat pompa asi. Benda ini merupakan barang mewah untuknya. Jangankan untuk membeli pompa asi elektrik, membeli pakaian bayi untuk anaknya saja, Amora tidak mampu. Tapi ya sudahlah, Amora akan memikirkan masalah ini nanti. Yang pen
Alvaro memandang putrinya dengan dahi berkerut. “Hanya Paman Bodyguard yang mengikuti kamu?”Zolin mengangguk pelan. “Iya, nggak ada orang lain.”Meskipun ragu, gadis kecil berusia lima tahun itu tetap yakin tak ada yang mengikutinya selain bodyguard yang memang ditugaskan untuk menjaganya.Alvaro menarik napas. “Coba ceritakan dari awal. Apa yang terjadi?”Zolin mengangguk, lalu mulai bercerita.“Waktu pulang beli makanan, aku ketemu Kakak Amora. Dia langsung pegang tanganku dan bilang ada yang ngikutin aku. Aku takut, terus aku lihat kiri-kanan, tapi nggak ada siapa-siapa. Paman bodyguard juga masih di belakangku. Jadi, aku pikir aku aman.”Alvaro menatap putrinya dalam-dalam. “Lalu kenapa kamu percaya kata-katanya soal ada penjahat?“Wajah Kakak itu jujur banget. Dia juga kelihatan baik. Tapi kayaknya lagi sakit juga. Jadi aku iya kan saja.”Alvaro memijat pelipisnya. Sakit kepala itu datang lagi.“Zolin, kamu nggak boleh gampang percaya sama orang. Zaman sekarang, banyak orang kel
Mata gadis itu membelalak. Ia menoleh ke belakang, lalu ke kiri dan kanan. “Ada yang mengikuti aku?” tanyanya dengan wajah panik. Amora mengangguk. “Namamu siapa? Kenapa sendirian? Seharusnya Ayah atau Ibu menemani. Tempat ini berbahaya.”Anak itu terdiam sejenak, lalu perlahan mengangguk. “Nama ku Zolin, Daddy sedang sakit. Aku baru beli makanan, siapa tahu nanti Daddy mau makan.” Ia mengangkat kantong plastik di tangannya."Namanya yang sangat cantik." Amora berkata dengan tersenyum. “Sejak sakit, Daddy hampir tak mau menyentuh makanan enak,” lanjutnya lirih. “Aku berharap Daddy bisa cepat sembuh.” Wajah gadis kecil itu tampak sedih ketika mengatakan tentang kondisi ayahnya.“Tapi kamu tetap tidak boleh sendirian. Ayo kakak antar ke kamar Daddy mu. Kamar Daddy mu di lantai berapa?" ucap Amora lembut.Apakah gadis kecil ini benar-benar bisa ke kamar Daddy nya sendiri? Bagaimana dia tahu Daddy nya berada di kamar lantai berapa dan nomor berapa? Sedangkan anak perempuan itu tampak ma