Share

Bab 2. Kenyataan Pahit.

Author: Liazta
last update Huling Na-update: 2025-05-07 10:24:49

"Kalau kamu sudah mau mati?" potongnya, "Sorry, kamu itu bukanlah menantu yang saya inginkan. Jadi jangan berharap saya peduli dengan kamu. Mau hidup atau mati, saya tidak mau tahu."

Tut!

Amora terdiam sambil melihat layar ponselnya yang sudah tidak menyala. Ia berharap mami mertua bisa menolongnya. Namun ternyata harapan itu sia-sia belaka.

"Jadi bagaimana mau saya rujuk?"

Ucapan bidan itu menarik Amora dari lamunannya.

Amora sontak menggelengkan kepalanya, kemudian berkata, "Nggak usah Bu, saya akan ke rumah sakit sendiri aja."

"Oh kalau maunya seperti itu juga tidak apa?" Bidan itu langsung menyetujui, tanpa mencegah Amora pergi.

"Terima kasih Bu. Bu, saya nggak punya uang untuk bayar jasa Ibu. Apa boleh saya hutang dulu nanti setelah anak lahir saya akan antarkan. Kalau boleh tahu saya kena berapa ya?" Amora begitu malu dan tidak enak dengan ibu bidan. Dia datang di tengah malam, menggedor pintu rumah namun tidak memiliki uang sama sekali.

"Tidak usah." Bidan itu langsung menjawab.

"Apa benar tidak usah dibayar?" Amora berkata dengan tatapan tidak percaya.

Sang bidan mengangguk. "Sebaiknya, kamu harus cepat ke rumah sakit. Kondisi kamu sudah sangat lemah. Jika kamu terlambat, takutnya nyawa bayi terancam."

Jantung Amora seakan mau melompat dari tempatnya. Ia tidak menyangka bahwa kondisi anaknya separah ini.

Meskipun ragu, Amora tetap pergi meninggalkan rumah bidan.

Jika ke rumah sakit dengan kondisi tidak memiliki uang, apakah bayinya dapat ditolong?

Ia berjalan sambil menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Nak, mama harus bagaimana?" Amora berkata sambil terus mengusap perutnya.

Ia berharap anak di dalam perut bisa diajak kompromi.

Sayangnya,  perutnya terasa benar-benar melilit.

Tak lama kemudian dia melihat air bercampur darah bergenang di celah kakinya.

"Apa ini pecah ketuban?" Amora memandang air yang terus saja keluar tanpa bisa ditahan.

Ia begitu panik dan terus mencoba berjalan dari posisi yang entah di mana.

Namun tak lama kemudian dia merasakan sakit yang luar biasa hingga kakinya tidak sanggup berdiri.

Amora pun tak sengaja terjatuh di kubangan lumpur.

 "Apa rumah sakitnya masih sangat jauh. Mama rasanya sudah tidak sanggup," lirihnya sambil terus mengusap-ngusap bagian perutnya.

Hanya saja, perutnya seakan ditendang sang janin.

Insting menyelamatkan sang anak pun kembali bekerja.

Amora memaksa kembali berdiri dan berjalan.

Meski cuaca sangat dingin karena hujan yang baru saja turun namun dia tidak merasakan dingin sedikitpun.

Sayangnya, begitu tiba di jalan raya, adrenalinnya mungkin menurun.

Tubuh Amora kembali menggigil kesakitan.

Amora merasakan darah segar mengalir deras dari jalan lahir anak. Melihat darah segar yang keluar dengan deras, membuat ia merasa sangat takut.

Bagaimana dengan anaknya? Apakah anaknya masih ada?

Tangannya gemetar sambil mengusap perutnya. "Nak, kamu baik-baik saja kan? Tolong bertahan, sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit."

Pertanyaannya langsung dijawab oleh anak yang ada di dalam perut.

Satu tendangan membuat Amora yakin bahwa anaknya masih ada.

Entah kekuatan dari mana yang didapatkannya hingga Amora kembali merangkak di jalan, hingga akhirnya dapat melihat plang rumah sakit yang terpampang besar.

Dia berusaha merangkak lebih cepat hingga sampai di depan pos security. "Tolong saya....."

Satpam itu beranjak dari duduknya dan kemudian keluar dari dalam posko.

Dia begitu sangat terkejut ketika melihat seorang wanita sudah tergeletak di depan poskonya.

Wanita yang sangat kotor bahkan rambutnya acak-acakan seperti orang gila.

Dilihatnya kaki, serta pakaian yang dipakai wanita itu berlumur darah. Bahkan darah berceceran disepanjang jalan. Ia baru menyadari bahwa wanita itu akan melahirkan, setelah memandang kebagian perut yang besar.

"Anda kenapa?"

"Tolong Pak, saya mau melahirkan." Amora berkata dengan sangat pelan.

Melihat kondisi wanita yang datang, security langsung mengangkat tubuhnya, kemudian berlari.

"Tolong ada pasien." Security langsung memanggil perawatan.

Melihat pasien yang datang perawat langsung datang dengan membawa tempat tidur.

Security itu membaringkan tubuh Amora di atas tempat tidur. Tempat tidur pun langsung didorong ke ruang UGD.

Hanya saja, samar-samar Amora mendengar suara tertawa dari kursi yang berasal dari kursi tunggu.

Suara tawa pria yang sangat ia kenal.

Amora lantas menoleh ke asal suara. Namun, jantungnya seakan lepas dari tempatnya.

Randy bersama dengan wanita yang sangat Amora kenal.

Bahkan, perut wanita itu sudah tampak buncit--sedang mengandung.

"Senang sekali ya bikin papinya cemas." Randy berkata dengan tersenyum lega. Tangannya mengusap perut dan kemudian mencium perut wanita itu berulang-ulang kali.

Air mata meluncur deras dari celah matanya.

Dia tidak menyangka bahwa suaminya memperlakukannya seperti ini.

Bahkan, Amora juga melihat Mami mertuanya menghampiri Randy dan wanita itu! Dari wajahnya terlihat jelas bahwa dia sangat mencemaskan anak yang dikandung wanita tersebut.

Sungguh berbeda saat memperlakukannya....

"Apa mbak datang sendiri ke sini?" Sang Perawat datang dan mendorongnya masuk ke dalam ruang UGD.

"Iya," jawab Amora dengan air mata yang mengalir dengan sendirinya.

Perawat itu terkejut.

Tak lama, seorang dokter pria masuk ke dalam ruangan. Dia tampak terdiam memandang kondisi pasien.

"Apa datang sendiri?" Dokter itu bertanya sambil memeriksa detak jantung pasiennya.

"Ya," jawab Amora.

Rasa sakit di hatinya membuat ia lupa, bahwa tujuannya datang ke rumah sakit untuk melahirkan anaknya.

Bahkan Amora sudah tidak merasakan sakit kontraksi seperti yang tadi dirasakannya.

Kata orang jika sudah tidak merasakan sakit, itu artinya ajalnya sudah dekat. Apakah dia benar-benar akan mati? 

Amora pasrah, sampai tendangan dari dalam perut kembali terjadi dan menyadarkannya.

Anaknya!

"Ke sini pakai apa?" Dokter bertanya sambil memeriksa kondisi Amora.

"Merangkak," jawab Amora dengan sedikit tersenyum, "tolong bantu saya, dok."

Dokter itu terkejut ketika mendengar jawaban dari Amora. Namun melihat lutut dari pasiennya yang lecet dan juga berdarah dia tahu bahwa wanita itu tidak berbohong. Apalagi baju yang dipakainya sudah penuh dengan lumpur.

"Sejak jam berapa pecah ketuban?"

Dokter itu memeriksa bagian perut. Sedangkan perawat terus bekerja membersihkan tubuh Amora.

"Jam 1 malam." Amora berkata dengan suara yang sangat lemah.

Dokter muda itu melihat jam di pergelangan tangannya. "Jam 1 pecah ketuban, sedangkan sekarang sudah jam 3 pagi. Seharusnya ketika pecah ketuban pasien tidak boleh lagi berjalan karena itu akan memperparah kondisi bayi," kesalnya, "kalau tak sempat, langsung saja mencari rumah bidan agar mendapatkan penanganan lebih cepat!"

Amora tidak menjawab apapun. Dia hanya diam ketika dokter itu memarahinya.

Namun, kondisinya yang parah membuat dokter pun tak tega.

Segera ia menyuruh sang perawat mencari ruang persalinan.

Dokter itu juga menyuntikkan obat untuk menghentikan pendarahan.

Dan Amora hanya diam---menikmati semua rasa sakit yang datang secara bersamaan.

Jadi, ini maksud sang mertua?

Padahal, semua telah Amora lakukan untuk Randy.

Dua tahun silam, Randy mengalami kecelakaan. Bersama sang ayah kandung, Yusuf Sanjaya, ia terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang tragis. Mobil keluarga yang mereka tumpangi menghantam truk Fuso bermuatan pasir. Yusuf dan sang sopir tewas seketika di lokasi kejadian. Sementara Randy, dengan luka parah dan tubuh berlumur darah, terbaring koma selama satu minggu. Saat kesadarannya akhirnya kembali, kenyataan pahit menantinya. Vonis dokter mengguncang jiwanya. Pria itu dinyatakan lumpuh.

Pada saat itu Amora baru lulus SMA.

Ia sudah diterima di sebuah universitas terbaik di kota ini. Namun, kecelakaan itu membuat Dewi, yang merupakan ibu angkat serta mertuanya, meminta Amora untuk tidak melanjutkan kuliahnya.

Wanita itu bahkan menyuruh Amora untuk menikah dengan Randy yang dalam keadaan cacat.

Maka dari itu, Amora yang tidak pernah melupakan jasa serta kebaikan Yusuf yang telah mengadopsinya dari panti asuhan, menerimanya.

Selain itu, Amora juga secara diam-diam mencintai kakak angkatnya. Karena itu, dia menyetujuinya.

Tapi, Amora dan bayinya kini justru dibuang.... seperti kotoran setelah tak lagi berguna. 

Sekarang, bagaimana nasib anaknya?

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (5)
goodnovel comment avatar
Eonk Oi
bidan ga punya hati
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g masuk akal betul alur ceritanya. anda sebagai penulis waras? koq bid annya bisa sebodoh dan sejahat itu. pasien yg dlm kondisi darurat koq dibiarkan ke rumah sakit sendiri jalan kaki. jgn terlalu menjual kesedihan yg sepaket dg kebodohan.
goodnovel comment avatar
Nung Nurhati Iborobby
begitu sedih nasib Amora
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 276

    Randy berdiri memunggungi Diki, menatap keluar jendela dengan rahang menegang.Tangannya mengepal, jemarinya tampak bergetar menahan emosi yang sudah terlalu lama ia tekan. Jika tidak memikirkan bahwa dokter itu sahabat baiknya, ia pasti sudah menendang pria itu keluar.“Aku tidak ada hubungan apa pun dengan anak itu,” suaranya serak, tapi tajam seperti bilah pisau.Ia berbalik, menatap Diki dengan mata penuh kemarahan, luka serta kecewa.“Kenapa aku harus mempertahankannya, hah? Untuk apa?”Diki menghela napas panjang, lalu duduk di kursi berhadapan dengannya.Ini sudah kali kedua ia datang membicarakan hal yang sama, dan entah kenapa, Randy justru terlihat semakin keras kepala.“Randy…” katanya dengan nada hati-hati. “Aku hanya ingin kau mempertahankan hak asuh itu, setidaknya sampai prosesnya selesai. Setelah itu, aku yang akan mengurus anak itu. Aku yang akan menjadi walinya, dan dia akan berada di bawah pengawasanku.”Diki sangat prihatin melihat nasib bayi malang tersebut. Pada

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 275

    Suasana di ruang tamu mansion sore itu begitu tenang namun juga hangat. Ikato duduk di sofa besar, sambil memangku Emran. Bayi itu tampak ceria, jemari mungilnya tak henti mencubit dagu sang kakek buyut, saat mendengar Ikari menjerit dan berpura-pura sakit. Bayi tampan itu tertawa ngakak. Zolin, yang duduk di samping mereka, menjadi komentator paling cerewet sedunia. “Kakek besar, hati-hati ya! Emran suka gemas,” kata gadis kecil itu sambil menunjuk tangan adiknya. Dan benar saja, Emran tiba-tiba menepuk pipi Ikato dengan telapak mungilnya lalu tertawa lebar, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil. “Tuh kan! Dibilangin!” seru Zolin sambil ikut tertawa. Yurika yang sedang menyiapkan teh di meja, menoleh sambil tersenyum. “Zolin, jangan menggoda adikmu terus. Biarkan Tuan Ikato menikmati waktu dengan cicitnya.” “Tapi, Oma… Emran itu lucu banget kalau lagi nyengir!” Zolin memonyongkan bibirnya menirukan gaya adiknya. “Begini, Kek! Nih, ‘heheh~’” katanya dengan ekspres

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 274

    Dihalaman mansion keluarga Alvaro, mobil hitam berhenti perlahan. Dari dalamnya keluar seorang pria tua berambut putih, langkahnya kokoh, sorot matanya menyala namun teduh. Ikato Ikari, sosok yang sangat disegani dan sangat sulit untuk ditemui. Ikato Ikari, sosok yang disegani, dan begitu sulit dijumpai oleh siapa pun. Namun kali ini pria itu yang datang sendiri sambil membawa kantong berukuran besar. Angin sore berembus lembut, membawa aroma dedaunan dan bunga yang bermekaran. Ikato berdiri lama di depan halaman itu, menatap rumah besar di hadapannya dengan pandangan bergetar. Bibirnya bergetar lirih, mengucap doa yang nyaris tak terdengar. “Semoga hari ini… aku diterima sebagai keluarga.” Suara derit pintu terdengar. Dari dalam, muncul Yurika, mengendong Emran. Di belakangnya berlari kecil Zolin, dengan wajah ceria dan rambut bergoyang ditiup angin. “Tuan Ikato… senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dengan Anda,” ucap Yurika sambil sedikit membungkuk, menahan haru.

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 273

    Randy terdiam. Tatapannya tajam menembus sosok pria yang duduk di depannya, penuh rasa tak sabar dan ketegangan yang sulit disembunyikan. “Bayi itu... anak Miranda,” ujar Diki pelan. Dokter itu berhenti sejenak, mencoba memilih kata yang tepat. Namun kalimat berikutnya meluncur dengan berat, “Dan kau, Randy... kau adalah ayah dari anak itu.” Randy langsung menyergah, nada suaranya meninggi. “Anak itu bukan anakku!” Napasnya naik turun, matanya memerah menahan emosi. Diki tak langsung membalas. Ia menarik napas panjang, lalu menatap Randy dengan sorot yang teduh namun tegas. “Aku tahu, dan aku sudah menduga kau akan berkata begitu.” Randy mengambil selembar kertas yang terlipat rapi dan menunjukkannya ke Diki. “Aku punya buktinya. Hasil tes DNA. Anak itu bukan darah dagingku.” Ia menatap lembaran itu seolah sedang menghadapi seluruh beban hidupnya. “Tidak akan ada perebutan hak asuh, tidak juga hak waris. Semua sudah jelas. Aku akan hapus nama anak itu dari keluarg

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 272

    Randy masih duduk di ruang kantornya, dengan tatapan kosong menembus gelapnya malam di balik jendela kaca. Lampu-lampu kota Jakarta berpendar samar, tapi tak ada satu pun yang mampu mengusir kegelapan di dadanya. Di atas meja, berkas hasil DNA yang baru saja ia baca masih terbuka. Surat ini akan menjadi bukti di pengadilan. Bahwa anak itu bukan darah dagingnya. Namun sebelum ia sempat menutupnya, suara pintu berderit pelan. “Randy…” Suara berat namun tenang itu membuat Randy menoleh. Diko, sahabatnya, yang merupakan seorang dokter. Randy berdiri setengah bingung. “Diki? Ada apa?" Diki hanya menghela napas panjang. Wajahnya terlihat tegang. Ia menatap Randy seolah sedang menimbang apakah pria itu siap menerima sesuatu yang jauh lebih berat daripada rahasia DNA yang baru diketahuinya. “Aku datang bukan sebagai dokter, Ran,” ucapnya lirih. “Aku datang sebagai orang yang menyaksikan apa yang kau hancurkan… dengan tangamu sendiri.” Randy mengernyit. “Apa maksudmu?” Diki

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 271

    “Sayang, kamu sudah mandi, dan sudah wangi.” William tersenyum samar, menyeka peluh di dahinya setelah selesai membersihkan tubuh Miranda dengan lembut. Gerakannya hati-hati, seolah takut wanita itu akan hancur jika disentuh terlalu keras. “Sayang, ayo bangun. Kamu itu paling benci kelihatan berantakan, kan?” Ia mengambil baju pasien yang baru diganti perawat, lalu menatapnya dengan senyum miris. “Coba lihat, modelnya jelek sekali. Pasti kamu bakal protes kalau sadar.” Tangannya gemetar saat memasangkan baju itu ke tubuh Miranda. “Sayang… apa kamu nggak bosan pakai warna yang sama setiap hari? Putih dan biru muda terus. Kamu pasti kangen pakai gaun merah favoritmu itu, ya?” Ruangan ICU sunyi. Hanya terdengar bunyi mesin pemantau detak jantung yang monoton. William duduk di tepi ranjang, matanya menatap wajah Miranda yang pucat. Dulu wajah itu selalu penuh warna, dengan lipstik tajam dan tatapan yang menusuk siapa pun yang menantangnya. Sekarang hanya keheningan dan napas

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status