Share

Bab 3. Istri Sah

Author: Liazta
last update Last Updated: 2025-05-12 12:46:26

Di sisi lain, sang dokter menatap Amora lekat-lekat. Bibirnya pucat dan pecah-pecah, kulitnya seputih kain kafan. Dari sorot matanya, dokter bisa membaca kepedihan yang nyaris tak bersuara. Putus asa yang begitu dalam hingga nyaris tak menyisakan harapan.

"Sudah berapa lama merasakan kontraksi?" tanyanya sambil meletakkan alat detak jantung bayi di perut Amora.

"Sudah 6 hari dok. Dokter tolong anak saya." Amora menangis dan merasakan sakit yang luar biasa. Bukan hanya sakit karena kontraksi tapi juga sakit hatinya.

"Kita masih menunggu dokter spesialis kandungan datang. Apakah sejak 6 hari yang lalu sudah ada pembukaan ataupun tanda-tanda keluar darah?"

"Ya Dok." Amora menjawab sesuai dengan kondisinya.

"Nama Mbak siapa?" Perawat bertanya sambil mengisi formulir di tangannya.

"Amora Akari," jawab Amora.

"Umur?" Tanya perawat.

"20 tahun."

"Anak ke berapa?"

"Anak pertama sus," jawab Amora.

"Nama suami?"

"Randy Sanjaya." Amora merasakan dadanya yang terasa sakit dan sesak ketika menyebut nama ayah dari anaknya.

Perawat itu pun menulis biodata pasien.

"Apa sudah pernah melakukan pemeriksaan USG?"

"Sudah," jawab Amora.

Ia melakukan pemeriksaan USG ketika usia kandungannya 4 bulan.

Sejak awal hamil hingga usia kandungan 4 bulan, untuk pertama kalinya Randy mengajaknya memeriksakan kandungan. Amora masih ingat pemeriksaan kandungan itu tidak hanya sekedar USG saja. Namun dokter memasukkan alat ke dalam kelaminnya dan kemudian menyudut cairan. Apa yang dilakukan dokter itu, dia tidak mengerti. Amora yakin semua itu hanyalah proses pemeriksaan kandungan saja.

Satu minggu setelah pemeriksaan kandungan, Randy membawanya pergi ke rumah yang saat ini ditinggalinya.

Tak lama kemudian dokter masuk ke dalam ruang UGD. Dokter itu memandang pasien yang saat ini sedang ditangani oleh dokter jaga dan perawat.

"Bagaimana kondisi pasien?" Dokter berkacamata itu bertanya sambil memandang wanita yang tergeletak di atas tempat tidur.

"Detak jantung bayi lemah. Kondisi ibu juga sudah sangat lemah. Tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Pecah ketuban jam 1 malam dan sekarang sudah jam 6 pagi dok. Pasien juga mengalami pendarahan. Pasien sudah merasakan kontraksi, serta keluar darah sejak 6 hari yang lalu." Dokter muda itu menjelaskan secara ringkas.

"Kondisi kamu sudah sangat lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Apa kamu mau kita langsung operasi?" Tanya dokter Andi.

Amora menganggukkan kepalanya. Ia akan mengikuti apa saja yang dikatakan dokter tersebut. Yang terpenting anaknya selamat.

"Jam berapa Ibu terakhir makan?" Dokter bertanya sambil memandang Amora. Sedang perawat mulai mengambil sampel darah pasien untuk uji lab.

"Jam 12 siang dok," jawab Amora.

Tadi malam ia ingin makan, hanya saja mie instan sudah habis. Untuk tetap bertenaga Amora hanya meminum air mentah.

Dokter itu terdiam mendengar perkataan dari Amora. Tubuh pasien sangat kurus bahkan hanya perut yang tampak buncit. Ini bertanda bahwa pasien kekurangan gizi.

"Jam 12 siang?" Dokter kembali mengulang pertanyaannya.

"Iya dok, kondisi saya sangat sehat. Dokter tidak perlu cemas."

Dokter segera mengambil keputusan untuk melakukan tindakan operasi tanpa penundaan, mengingat kondisi pasien yang sudah sangat kritis. Terlebih lagi, pasien sama sekali belum mengonsumsi makanan, sehingga prosedur puasa tidak lagi menjadi kendala.

Semangat hidup wanita itu luar biasa. Dengan rasa sakit yang menggerogoti raga, ia tetap tegar dan bahkan kondisi sadar. Kesadarannya bukan semata kekuatan, tapi anugerah Tuhan yang meneguhkan hatinya untuk terus bertahan.

Sudah banyak kasus yang di tangani dokter. Jika kondisi seperti ini, pasien sudah tidak sadarkan diri. Selain tubuh yang lemah, pasien juga kehilangan banyak darah.

"Kalau begitu operasi bisa langsung dilakukan. Apa suami pasien sudah menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi?" Tanya dokter kepada perawatnya.

"Pasien datang sendiri dok, tidak ada suami, keluarga ataupun kerabat yang mengantarkannya," jawab perawat.

Dokter itu memandang Amora dengan rasa prihatin. Bagaimana mungkin wanita itu bisa berjuang sendiri untuk melahirkan anaknya?

"Suami saya sedang di luar kota. Saya akan tangani surat pernyataan sendiri?" timpal Amora berusaha menenangkan pikirannya, berusaha melepaskan segala hal tentang Randy. Ia tahu, saat ini yang terpenting adalah fokus pada proses kelahiran anaknya.

"Maaf mbak, pihak rumah sakit tidak bisa melakukan tindakan apapun tanpa ada persetujuan dari keluarga pasien."

Pertanyaan perawat bagian petir yang menyambar tepat di jantungnya. Rasanya sangat sakti. Jangan untuk bersuara, bernapas pun teras sulit.

"Suster tolong, dokter tolong saya. Jika tidak segera operasi, anak saya tidak hidup." Amora berkata sambil memohon.

"Maaf mbak, prosedurnya seperti itu. Jika terjadi apa-apa dengan pasien, pihak rumah sakit yang akan dituntut."

Amora membelalak.

Apakah penderitaan ini belum cukup? 

"Saya janji nggak bakalan nuntut apa-apa. Tapi tolong selamatkan anak saya," tangisnya.

"Maaf, Mbak. Sesuai dengan prosedur yang berlaku di rumah sakit kami, kami tidak dapat melanjutkan tindakan medis apapun tanpa persetujuan dari keluarga pasien," ujar perawat. Meskipun merasa kasihan melihat kondisi pasien, namun perawat itu tidak bisa melakukan apa-apa. Karena ini memang prosedur yang harus dipenuhi oleh keluarga pasien.

"Suster, coba hubungi suami pasien." Dokter Andi memerintahkan perawat tersebut.

Suster itu menuruti permintaan sang dokter. Ia langsung menghubungi nomor handphone suami pasien berdasarkan nomor handphone yang diberikan Amora.

Jantung Amora berdebar dengan cepat. Apakah suaminya itu mau menandatangani surat perjanjian? Amora mencoba menepis prasangka yang tidak baik terhadap suaminya.

Randy pria yang baik, dia tahu bahwa suaminya itu juga mencintainya. Jadi mustahil jika pria itu tidak menghiraukannya.

"Halo?" Suara lembut seorang wanita menjawab panggilan telepon tersebut.

Deg!

Jantung Amora berdetak ketika mendengar suara wanita tersebut. Apakah handphone milik suaminya sudah dipegang oleh selingkuhannya?

"Halo, apa benar ini nomor handphone milik tuan Randy Sanjaya?" Perawat itu bertanya dengan sangat profesional.

"Iya ini siapa?" Suara wanita itu tampak kesal setelah mengetahui yang menghubunginya adalah wanita.

"Saya perawat dari rumah sakit Berlian, apa saya bisa berbicara dengan tuan Randy?" Tanya suster tersebut.

"Ada apa? Saya istrinya."

Istrinya Randy?


Apa wanita itu tidak salah bicara?

Perawat yang sedang berbicara sambil memegang handphone, memandang ke arah Amora. Pengeras suara memandang sengaja di aktifkan, sehingga Amora mendengar perkataan wanita tersebut.

Kedua dokter itu tampak bingung dan memandang wanita yang sudah tergeletak lemah diatas tempat tidur.

"Apa bisa tolong berikan handphone kepada tuan Randy sebentar," kata perawat .

"Ada perlu apa?"

"Saya ingin memberitahukan bahwa istrinya sekarang berada di rumah sakit. Kami pihak rumah sakit membutuhkan beliau untuk menandatangani surat persetujuan operasi."

Meskipun bingung dengan situasi yang ada namun perawat itu mencoba untuk tidak ikut campur dengan urusan pribadi pasiennya.

"Saya istri sah Randy Sanjaya. Selain saya tidak ada istri lainnya. Jadi saya yakin wanita itu hanya berkata bohong."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 13. Tetap waspada

    Air mata yang tadi sudah reda kembali mengalir, diam-diam dan tanpa suara.Amora cepat-cepat menghapusnya, mencoba sekuat tenaga menyembunyikan kepedihan yang tiba-tiba kembali mencuat. Pemandangan itu sangat indah. Seorang anak kecil menggandeng ayahnya dengan penuh kasih. Hal seperti ini mustahil dirasakan oleh putranya. Bahkan mungkin takkan pernah sama sekali. Putranya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menggenggam tangan seorang ayah.“Kakak Amora!” Suara ceria itu memecah lamunannya. Amora menoleh, tersenyum samar sambil melambaikan tangan. Ia kembali mengusap matanya, memastikan tak ada jejak tangis yang tertinggal.“Kamu lagi ngapain?” tanyanya ketika gadis kecil itu sudah berada di hadapannya.“Aku kasihan sama Daddy. Dia cuma diam di kamar. Jadi aku ajak keluar. Sore-sore begini enaknya duduk di taman, biar segar!” jawab gadis itu, ceria seperti biasa.Amora tersenyum, mengangguk pelan. “Kalau cuma di kamar terus, kapan sembuhnya?” ucapnya, dengan nada menggoda.“Aku juga u

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 12. Sore yang Tak Biasa

    Langit sore tampak murung, seolah ikut merasakan perasaan Amora. Angin berembus pelan, menggoyangkan daun-daun yang mulai menguning. Ia duduk di bangku taman yang sepi, memeluk tubuhnya sendiri seakan hanya itu yang bisa memberinya kehangatan.Matanya masih sembab, meski ia sudah berusaha keras menyembunyikan luka itu. Tangis yang selama ini ia tahan, sudah terlalu sering mengalir tanpa diminta. Ia datang ke taman ini dengan harapan bisa menenangkan pikirannya, mencari sedikit saja ruang untuk bernapas.Namun kenyataan seperti selalu mengejarnya. Ponselnya berdering, dan suara di seberang sana langsung membuat dadanya kembali sesak. Suaminya. Suara yang dulu ia rindukan, kini terasa seperti pisau yang mengiris perlahan.Ia menepuk-nepuk dadanya, mencoba menahan perih yang mencakar dari dalam. Napasnya berat, nyaris tersengal.“Kenapa kamu tega...?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar, dan air matanya kembali menetes, meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan.Semua sikap m

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 11. Kantong Darah

    Amora mematuhi setiap nasihat dokter. Ia rutin memompa ASI setiap 2 jam sekali. Wajahnya berseri-seri saat melihat hasil perahannya. Air susu sumber kehidupan untuk bayinya, memenuhi botol hingga 50 mililiter. Baginya, ini adalah sebuah keajaiban kecil. Biasanya ia hanya mendapat sepuluh mililiter paling banyak. Kali ini, jumlahnya berlipat ganda. Dengan penuh semangat, Amora meninggalkan kamarnya menuju ruang perawatan bayi. Namun langkahnya terhenti, seorang perawat melarangnya masuk. Bayinya sedang dalam tindakan medis.Dari balik kaca pintu, Amora melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Tubuh mungil anaknya tampak kejang. Jantungnya seakan diremas. Meski tak diizinkan masuk, pandangannya tak lepas dari si kecil.“Nak, jangan tinggalin Mama, Mama kuat karena kamu. Kamu ingat kan, bagaimana kita berjuang bersama?” bisiknya lirih, seolah berharap kata-katanya bisa menembus kaca dan menjangkau hati bayinya.Sepuluh menit berlalu dalam diam yang menyesakkan, hingga akhirnya p

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 10. Harapan

    Amora kembali ke kamar rawatnya. Dengan sangat hati-hati ia turun dari atas kursi roda dan kemudian naik ke atas tempat tidur. Ia baru saja melihat bayinya. Sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya penuh cinta dan harapan. Namun melihat putranya terbaring di ruang NICU dengan begitu banyak alat medis menempel di tubuh mungil itu, hatinya terasa diremas. Ada bahagia, tapi juga luka yang menganga. Perasaannya kacau. Satu demi satu masalah datang, silih berganti, tanpa jeda, tanpa solusi. Dua hari dirawat di NICU saja biayanya sudah menembus sembilan juta rupiah. Itu belum termasuk ongkos persalinan yang belum ia lunasi. Pikirannya berputar-putar, kepala terasa berdenyut dan nyeri setiap kali mengingat tagihan yang menumpuk. Ia memandangi kotak yang berisi alat pompa asi. Benda ini merupakan barang mewah untuknya. Jangankan untuk membeli pompa asi elektrik, membeli pakaian bayi untuk anaknya saja, Amora tidak mampu. Tapi ya sudahlah, Amora akan memikirkan masalah ini nanti. Yang pen

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 9. Siapa yang lebih cantik

    Alvaro memandang putrinya dengan dahi berkerut. “Hanya Paman Bodyguard yang mengikuti kamu?”Zolin mengangguk pelan. “Iya, nggak ada orang lain.”Meskipun ragu, gadis kecil berusia lima tahun itu tetap yakin tak ada yang mengikutinya selain bodyguard yang memang ditugaskan untuk menjaganya.Alvaro menarik napas. “Coba ceritakan dari awal. Apa yang terjadi?”Zolin mengangguk, lalu mulai bercerita.“Waktu pulang beli makanan, aku ketemu Kakak Amora. Dia langsung pegang tanganku dan bilang ada yang ngikutin aku. Aku takut, terus aku lihat kiri-kanan, tapi nggak ada siapa-siapa. Paman bodyguard juga masih di belakangku. Jadi, aku pikir aku aman.”Alvaro menatap putrinya dalam-dalam. “Lalu kenapa kamu percaya kata-katanya soal ada penjahat?“Wajah Kakak itu jujur banget. Dia juga kelihatan baik. Tapi kayaknya lagi sakit juga. Jadi aku iya kan saja.”Alvaro memijat pelipisnya. Sakit kepala itu datang lagi.“Zolin, kamu nggak boleh gampang percaya sama orang. Zaman sekarang, banyak orang kel

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 8. Gadis kecil dalam bahaya.

    Mata gadis itu membelalak. Ia menoleh ke belakang, lalu ke kiri dan kanan. “Ada yang mengikuti aku?” tanyanya dengan wajah panik. Amora mengangguk. “Namamu siapa? Kenapa sendirian? Seharusnya Ayah atau Ibu menemani. Tempat ini berbahaya.”Anak itu terdiam sejenak, lalu perlahan mengangguk. “Nama ku Zolin, Daddy sedang sakit. Aku baru beli makanan, siapa tahu nanti Daddy mau makan.” Ia mengangkat kantong plastik di tangannya."Namanya yang sangat cantik." Amora berkata dengan tersenyum. “Sejak sakit, Daddy hampir tak mau menyentuh makanan enak,” lanjutnya lirih. “Aku berharap Daddy bisa cepat sembuh.” Wajah gadis kecil itu tampak sedih ketika mengatakan tentang kondisi ayahnya.“Tapi kamu tetap tidak boleh sendirian. Ayo kakak antar ke kamar Daddy mu. Kamar Daddy mu di lantai berapa?" ucap Amora lembut.Apakah gadis kecil ini benar-benar bisa ke kamar Daddy nya sendiri? Bagaimana dia tahu Daddy nya berada di kamar lantai berapa dan nomor berapa? Sedangkan anak perempuan itu tampak ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status