เข้าสู่ระบบDi sisi lain, sang dokter menatap Amora lekat-lekat. Bibirnya pucat dan pecah-pecah, kulitnya seputih kain kafan. Dari sorot matanya, dokter bisa membaca kepedihan yang nyaris tak bersuara. Putus asa yang begitu dalam hingga nyaris tak menyisakan harapan.
"Sudah berapa lama merasakan kontraksi?" tanyanya sambil meletakkan alat detak jantung bayi di perut Amora.
"Sudah 6 hari dok. Dokter tolong anak saya." Amora menangis dan merasakan sakit yang luar biasa. Bukan hanya sakit karena kontraksi tapi juga sakit hatinya. "Kita masih menunggu dokter spesialis kandungan datang. Apakah sejak 6 hari yang lalu sudah ada pembukaan ataupun tanda-tanda keluar darah?" "Ya Dok." Amora menjawab sesuai dengan kondisinya. "Nama Mbak siapa?" Perawat bertanya sambil mengisi formulir di tangannya. "Amora Akari," jawab Amora. "Umur?" Tanya perawat. "20 tahun." "Anak ke berapa?" "Anak pertama sus," jawab Amora. "Nama suami?" "Randy Sanjaya." Amora merasakan dadanya yang terasa sakit dan sesak ketika menyebut nama ayah dari anaknya. Perawat itu pun menulis biodata pasien. "Apa sudah pernah melakukan pemeriksaan USG?" "Sudah," jawab Amora. Ia melakukan pemeriksaan USG ketika usia kandungannya 4 bulan. Sejak awal hamil hingga usia kandungan 4 bulan, untuk pertama kalinya Randy mengajaknya memeriksakan kandungan. Amora masih ingat pemeriksaan kandungan itu tidak hanya sekedar USG saja. Namun dokter memasukkan alat ke dalam kelaminnya dan kemudian menyudut cairan. Apa yang dilakukan dokter itu, dia tidak mengerti. Amora yakin semua itu hanyalah proses pemeriksaan kandungan saja. Satu minggu setelah pemeriksaan kandungan, Randy membawanya pergi ke rumah yang saat ini ditinggalinya. Tak lama kemudian dokter masuk ke dalam ruang UGD. Dokter itu memandang pasien yang saat ini sedang ditangani oleh dokter jaga dan perawat. "Bagaimana kondisi pasien?" Dokter berkacamata itu bertanya sambil memandang wanita yang tergeletak di atas tempat tidur. "Detak jantung bayi lemah. Kondisi ibu juga sudah sangat lemah. Tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Pecah ketuban jam 1 malam dan sekarang sudah jam 6 pagi dok. Pasien juga mengalami pendarahan. Pasien sudah merasakan kontraksi, serta keluar darah sejak 6 hari yang lalu." Dokter muda itu menjelaskan secara ringkas. "Kondisi kamu sudah sangat lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Apa kamu mau kita langsung operasi?" Tanya dokter Andi. Amora menganggukkan kepalanya. Ia akan mengikuti apa saja yang dikatakan dokter tersebut. Yang terpenting anaknya selamat. "Jam berapa Ibu terakhir makan?" Dokter bertanya sambil memandang Amora. Sedang perawat mulai mengambil sampel darah pasien untuk uji lab. "Jam 12 siang dok," jawab Amora. Tadi malam ia ingin makan, hanya saja mie instan sudah habis. Untuk tetap bertenaga Amora hanya meminum air mentah. Dokter itu terdiam mendengar perkataan dari Amora. Tubuh pasien sangat kurus bahkan hanya perut yang tampak buncit. Ini bertanda bahwa pasien kekurangan gizi. "Jam 12 siang?" Dokter kembali mengulang pertanyaannya. "Iya dok, kondisi saya sangat sehat. Dokter tidak perlu cemas." Dokter segera mengambil keputusan untuk melakukan tindakan operasi tanpa penundaan, mengingat kondisi pasien yang sudah sangat kritis. Terlebih lagi, pasien sama sekali belum mengonsumsi makanan, sehingga prosedur puasa tidak lagi menjadi kendala. Semangat hidup wanita itu luar biasa. Dengan rasa sakit yang menggerogoti raga, ia tetap tegar dan bahkan kondisi sadar. Kesadarannya bukan semata kekuatan, tapi anugerah Tuhan yang meneguhkan hatinya untuk terus bertahan. Sudah banyak kasus yang di tangani dokter. Jika kondisi seperti ini, pasien sudah tidak sadarkan diri. Selain tubuh yang lemah, pasien juga kehilangan banyak darah. "Kalau begitu operasi bisa langsung dilakukan. Apa suami pasien sudah menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi?" Tanya dokter kepada perawatnya. "Pasien datang sendiri dok, tidak ada suami, keluarga ataupun kerabat yang mengantarkannya," jawab perawat. Dokter itu memandang Amora dengan rasa prihatin. Bagaimana mungkin wanita itu bisa berjuang sendiri untuk melahirkan anaknya? "Suami saya sedang di luar kota. Saya akan tangani surat pernyataan sendiri?" timpal Amora berusaha menenangkan pikirannya, berusaha melepaskan segala hal tentang Randy. Ia tahu, saat ini yang terpenting adalah fokus pada proses kelahiran anaknya. "Maaf mbak, pihak rumah sakit tidak bisa melakukan tindakan apapun tanpa ada persetujuan dari keluarga pasien." Pertanyaan perawat bagian petir yang menyambar tepat di jantungnya. Rasanya sangat sakti. Jangan untuk bersuara, bernapas pun teras sulit. "Suster tolong, dokter tolong saya. Jika tidak segera operasi, anak saya tidak hidup." Amora berkata sambil memohon. "Maaf mbak, prosedurnya seperti itu. Jika terjadi apa-apa dengan pasien, pihak rumah sakit yang akan dituntut."Amora membelalak.
Apakah penderitaan ini belum cukup?
"Saya janji nggak bakalan nuntut apa-apa. Tapi tolong selamatkan anak saya," tangisnya.
"Maaf, Mbak. Sesuai dengan prosedur yang berlaku di rumah sakit kami, kami tidak dapat melanjutkan tindakan medis apapun tanpa persetujuan dari keluarga pasien," ujar perawat. Meskipun merasa kasihan melihat kondisi pasien, namun perawat itu tidak bisa melakukan apa-apa. Karena ini memang prosedur yang harus dipenuhi oleh keluarga pasien.
"Suster, coba hubungi suami pasien." Dokter Andi memerintahkan perawat tersebut.
Suster itu menuruti permintaan sang dokter. Ia langsung menghubungi nomor handphone suami pasien berdasarkan nomor handphone yang diberikan Amora.
Jantung Amora berdebar dengan cepat. Apakah suaminya itu mau menandatangani surat perjanjian? Amora mencoba menepis prasangka yang tidak baik terhadap suaminya.
Randy pria yang baik, dia tahu bahwa suaminya itu juga mencintainya. Jadi mustahil jika pria itu tidak menghiraukannya.
"Halo?" Suara lembut seorang wanita menjawab panggilan telepon tersebut.
Deg!
Jantung Amora berdetak ketika mendengar suara wanita tersebut. Apakah handphone milik suaminya sudah dipegang oleh selingkuhannya?
"Halo, apa benar ini nomor handphone milik tuan Randy Sanjaya?" Perawat itu bertanya dengan sangat profesional.
"Iya ini siapa?" Suara wanita itu tampak kesal setelah mengetahui yang menghubunginya adalah wanita.
"Saya perawat dari rumah sakit Berlian, apa saya bisa berbicara dengan tuan Randy?" Tanya suster tersebut.
"Ada apa? Saya istrinya."
Istrinya Randy?
Apa wanita itu tidak salah bicara?
Perawat yang sedang berbicara sambil memegang handphone, memandang ke arah Amora. Pengeras suara memandang sengaja di aktifkan, sehingga Amora mendengar perkataan wanita tersebut.
Kedua dokter itu tampak bingung dan memandang wanita yang sudah tergeletak lemah diatas tempat tidur.
"Apa bisa tolong berikan handphone kepada tuan Randy sebentar," kata perawat .
"Ada perlu apa?"
"Saya ingin memberitahukan bahwa istrinya sekarang berada di rumah sakit. Kami pihak rumah sakit membutuhkan beliau untuk menandatangani surat persetujuan operasi."
Meskipun bingung dengan situasi yang ada namun perawat itu mencoba untuk tidak ikut campur dengan urusan pribadi pasiennya.
"Saya istri sah Randy Sanjaya. Selain saya tidak ada istri lainnya. Jadi saya yakin wanita itu hanya berkata bohong."
Pagi itu, matahari menyapa lembut dari jendela besar mansion milik keluarga Alvaro. Amora berdiri di dapur, mengenakan gaun santai berwarna pastel, tangannya sibuk mengaduk cokelat hangat sambil sesekali menatap perutnya yang mulai membuncit. Usia kehamilannya baru masuk bulan ketiga, tapi Alvaro sudah memperlakukannya secara berlebihan. Seolah dunia bisa runtuh jika Amora sedikit saja lelah. “Sayang, kamu nggak usah berdiri lama-lama,” suara Alvaro terdengar dari balik meja makan. Ia mendekat, membawa nampan berisi buah potong. “Biar aku aja yang lanjut.” Amora tersenyum kecil, menatap suaminya dengan pandangan lembut yang penuh rasa syukur. Kehamilannya yang kali ini jauh berbeda dengan ketika hamil Emran. Dulu dia diperlakukan seperti babu, yang harus mengurus semua kebutuhan suami serta mertuanya. Namun kali ini ia diperlakukan seperti seorang ratu. “Kalau semua kamu yang kerjain, nanti aku malah nggak bisa ngapa-ngapain,” ujarnya sambil tertawa pelan. “Tugas kamu sekarang c
Randy menatapnya lama sekali, seolah tak ingin melewatkan satu detik pun yang ada di hadapannya.Tatapan itu bukan tatapan lelaki yang sedang jatuh cinta secara terburu-buru, tapi tatapan seseorang yang menemukan tempat berlabuh setelah sekian lama terombang-ambing di lautan.Bibirnya perlahan tersenyum, dan tanpa banyak kata, ia menggenggam tangan Luna.Luna menunduk sedikit, menatap jemari mereka yang kini saling bertaut. Padahal hanya pegangan tangan, tapi jantungnya sudah berdebar dengan cepat.“Kak Randy…” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Randy hanya menggeleng lembut. “Nggak usah ngomong apa-apa.” Ia menatap mata Luna, dalam dan jujur. “Kadang, perasaan nggak perlu dijelasin. Cukup dirasain.”Luna tersenyum dan kemudian mencubit pinggangnya. “Aku bukan mau bicara masalah perasaan.”“Jadi apa?” Randy tersenyum kecil.Baru saja Luna berniat untuk bicara, namun pria itu sudah menarik tubuh wanita itu dan kemudian memeluknya.“Apapun masalahnya, bisa dibicarakan nanti.”Wajah
Hari itu, hujan turun pelan sejak sore.Langit kelabu, udara lembap, dan aroma tanah basah memenuhi halaman rumah milik Luna.Randy datang seperti biasa, membawa payung dan dua kantong belanja. Tapi begitu membuka pintu, langkahnya terhenti.Luna terbaring di sofa, tubuhnya meringkuk dalam selimut tipis. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit berantakan, dan keningnya tampak basah oleh keringat.Detik itu juga, dada Randy mencelos.“Luna…” suaranya tercekat, hampir tak keluar. Ia bergegas mendekat, menyentuh kening wanita itu—panas. Terlalu panas.Ia menatap sekeliling, mencari sesuatu, apa pun yang bisa menurunkan demam. Tapi rumah itu begitu sederhana, hanya ada termos kecil dan beberapa bungkus obat batuk di meja.“Kenapa kamu nggak bilang kamu sakit?” tanyanya pelan, nyaris seperti teguran.Luna membuka mata perlahan, menatapnya dengan senyum lemah.“Aku cuma capek… kerjaan lagi numpuk. Lagipula, aku nggak mau nyusahin Kak Randy.”Randy memejamkan mata sesaat, menahan napas. “Nyusahin?
Sudah lama Randy tidak merasakan ketenangan seperti ini.Angin sore berhembus lembut, menyingkap tirai putih di ruang tamu rumah milik Luna.Cahaya matahari menembus masuk, menimpa wajah wanita itu yang sedang menyiapkan teh di meja, tenang, lembut, dan sederhana.Tidak ada perhiasan berkilau di tubuhnya, tidak ada riasan berlebihan di wajahnya.Namun entah mengapa, bagi Randy, Luna terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Setiap gerakannya, dari cara ia menata cangkir, menata rambut yang terurai, hingga caranya tersenyum, semuanya menenangkan.“Tehnya sudah pas, nggak terlalu manis,” ucap Luna pelan sambil duduk di hadapannya.Randy hanya menatap, tanpa langsung menyentuh cangkir.“Kamu selalu tahu caranya bikin segalanya terasa damai,” gumamnya tanpa sadar.Luna menoleh, tersenyum tipis. “Mungkin karena aku terbiasa mencari kedamaian, bukan kehebohan.”Kalimat itu sederhana, tapi bagi Randy terdengar dalam.Ia dulu hidup dikelilingi gemerlap, suara bisi
Ruang rawat itu berbeda hari ini.Tak ada aroma tajam obat-obatan yang menusuk seperti biasa, hanya wangi lembut bunga lily dan melati yang menghiasi setiap sudut ruangan.Langit-langitnya dipenuhi pita putih, dan di pojok ruangan berdiri sebuah meja kecil tempat sepasang cincin diletakkan di atas kain beludru biru.William berdiri di sana, mengenakan setelan jas berwarna abu lembut.Tatapannya tak lepas dari wanita yang duduk di ranjang, Miranda yang kini menjadi pusat semestanya.Ia mengenakan gaun putih sederhana dengan renda tipis, wajahnya pucat tapi memancarkan cahaya lembut yang menenangkan.Dan di pelukannya, bayi mungil mereka menggeliat pelan, tertawa kecil seperti mengerti bahwa hari ini adalah hari yang paling penting dalam hidup kedua orang tuanya.“Cantik sekali,” bisik William saat melangkah mendekat.Miranda tersenyum samar, pipinya memerah. “Kamu sudah bilang itu sejak pagi.”“Aku bakal bilang itu setiap hari kalau perlu,” jawabnya lembut, menatap mata istrinya lama.
Ruang tamu itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan pelan.William duduk di sofa dengan posisi santai, tapi tatapan matanya menusuk.Di hadapannya, Edi berdiri dengan tubuh gemetar dan wajah penuh gugup.Ditipu seperti ini jelas membuat William marah. Namun kemarahan bukan hal utama yang ingin ia luapkan kali ini. Ada hal yang lebih penting daripada sekadar kehilangan uang.“William…” suara Edi bergetar pelan. “Bapak tahu bapak salah. Bapak minta maaf. Tapi apa yang bapak lakukan murni kesalahan bapak sendiri. Kamu boleh melakukan apa saja terhadap bapak, mau dipukul, marah, terserah. Tapi tolong… jangan sakiti Miranda dan juga anaknya. Bapak yang berbuat, biar bapak yang tanggung jawab.”William menatapnya lama, wajahnya tetap datar tanpa emosi.“Uang yang anda ambil dariku,” tanyanya pelan, “apa sudah habis?”Edi menunduk, mengangguk perlahan.“Digunakan untuk apa? Mengapa bisa habis?” nada suara William meninggi sedikit, tapi tetap terkendali. Ia ingin tahu langs






![Penyesalan Tuan CEO [Mantan Kekasihku]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)
