Masuk**
"Ini mungkin terdengar seperti omong kosong, tapi ayah percayalah padaku." Ucap Lily dengan raut wajah serius. Menatap ayahnya yang mengangguk tak kalah seriusnya. "Kau tahu, Ayah... sejak di medan perang dalam waktu satu bulan ke belakang, aku selalu bermimpi. Mimpi ini tidak begitu jelas, karena aku selalu tidak ingat apa yang aku mimpikan, tapi rasa lelah, ketakutan dan gelisah selalu ada ketika aku bangun dari tidurku. Dan mimpinya semakin jelas sejak aku pulang beberapa waktu lalu. Aku ingat setiap detail dari mimpi ini, yang sangat menyeramkan." Jelas Lily dengan nada yang sedikit bergetar. Ayahnya hanya menatap Lily dengan kasihan, ingin menenangkan tapi biarlah putrinya ini menyelesaikan ceritanya terlebih dahulu. "Dalam mimpi, ada sebuah keluarga beranggotakan 5 orang, sepasang orangtua, satu laki-laki dewasa, adik perempuan dan adik laki-laki. Terjebak dalam rumah, kelaparan. Terjebak yang aku maksud karena situasi dan kondisi diluar rumah sangat tidak jelas. Teriakan, raungan, semuanya benar-benar mencekam dan menakutkan. Ada monster disana, ayah. Dan yang paling menakutkan adalah, aku jadi sosok yang pasif, tidak bisa bergerak, tidak bisa membantu, hanya bisa menatap mereka semua. Sedangkan mereka menganggap seolah mereka menatap orang yang sedang tidak sadarkan diri setiap melihatku." Jelas Lily kemudian menarik nafas, hal ini memang benar-benar menyiksanya. Andai Lily tidak dalam keadaan tidak bisa apa-apa, meski ia takut dan gemetar, dengan pengalamannya di medan perang, ia pasti akan tetap bertarung untuk membela diri. "Pasif?" Tanya sang ayah bingung. "Ya, pasif, seolah-olah jiwaku ada pada anak dan adik perempuan mereka yang tidak sadarkan diri. Hanya saja mereka tidak sadar ada aku." Balas Lily. Ayahnya kebingungan, tapi tetap lanjut mendengarkan cerita putrinya. "Lalu monster, monster apa itu?" Tanyanya. "Itu manusia, ayah! Aku bersumpah bentuknya seperti manusia, hanya saja semua tubuhnya membusuk. Apalagi wajahnya, sangat menyeramkan. Terakhir kali aku terbangun dan menangis, itu karena monster itu berada tepat didepanku, hampir mencabikku. Untungnya aku terbangun dari tidurku, ayah." Ucap Lily dengan raut menahan tangis. Ia benar-benar ketakutan. Ayahnya merasa kasihan, mengelus kepala lutrinya dengan lembut. "Tapi ketika aku terbangun, ternyata aku masih berada dalam mimpi. Saat aku sedang menenangkan diri, datanglah lelaki tua berjanggut putih, mendekatiku, memegang tanganku sambil berkata 'takdir tidak bisa dirubah, kau harus menghadapinya'. Ayah, katakan padaku apa maksudnya?" Tanya Lily, dan air matanya berhasil menetes kali ini. Ia begitu ketakutan saat itu, karena lagi-lagi ia tidak bisa melawan sama sekali. Membuat sang ayah semakin kasihan padanya. Lily hanya merasa tidak terima, sedangkan dalam hati dan pikirannya sendiri ia sudah punya beberapa tebakan yang tidak masuk akal tapi menjadi sangat masuk akal saat ini. Jadi setelah menenangkan diri setelah beberapa saat, ia kembali berkata. "Ayah, sepertinya waktuku sudah tidak banyak. Seperti kata lelaki tua itu, aku memang harus menerimanya. Jadi, daripada aku diam dan meratapi nasib dengan tidak terima, lebih baik aku mulai mempersiapkan diri." Ucap Lily. "Apa maksudmu, tidak, tidak, Ayah tidak akan sanggup menerima kenyataan." Balas sang ayah dengan raut cemas dan sedih, ia sedikit mengerti apa yang dikatakan Lily. Intinya adalah meninggalkannya sendirian disini, tidak akan ada Lily lagi disini. "Ibumu sudah diambil, kenapa kau juga diambil sayang? Bagaimana dengan ayah?" Lanjutnya debgan nada gemetar dan nata yang memeeah menahan tangis. "Ayah..." Lirih Lily dengan mata yang sudah basah. Siapa yang dengan sukarela menerima ketika meninggalkan dan ditinggalkan? Tapi hanya rasa sedih dan tangisan yang bisa keduanya keluarkan saat ini. Keduanya berpelukan pada akhirnya, cukup lama sampai Chloe mengetuk pintu, membawa tabib bersamanya, barulah keduanya saling melepaskan pelukan. ** Lily merebahkan dirinya di atas kasur, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Tapi otaknya tidak benar-benar kosong. Banyak hal yang ia pikirkan, banyak sekali sampai kepalanya berdenyut sakit. Tapi ia terlalu malas untuk sekedar bergerak, jadi hanya diam mengabaikan sekelilingnya. Setelah beberapa saat, kepalanya semakin sakit, jadi ia mulai merintih kecil, membuat Chloe yang diam menemaninya dikamar langsung menghampiri, bertanya keadannya. "Minumlah teh hangat, nona." Ucap Chloe seraya menyodorkannya pada Lily. Lily meminumnya dan merasa sedikit lebih baik. Tapi setelahnya, ia menyuruh Chloe keluar, jadi Chloe mau tidak mau hanya bisa meninggalkan kamar Lily. Bukan karna ia tidak suka Chloe, tapi ia tiba-tiba teringat akan tempat itu. Jadi, begitu Chloe menutup pintu setelah keluar, Lily menatap daun biru yang ada dijarinya, mengusapnya pelan dan seketika ia berada dalam ruang itu, dimana ada padang rumput, gunung, sungai dan tanah yang sebelumnya ia lihat. Lily tidak banyak terpesona seperti terakhir kali, tapi ia lebih memilih mengatakan kata kembali, yang seketika membawanya kembali ke kamar. Ia beberapa kali mengulanginya sampai ia yakin, dan pikirannya mulai berubah. Menatap bantal disampingnya, Lily punya tebakan lagi. Memegang bantal tersebut, mencoba memasukkannya ke dalam ruang. Ketika bantal benar-benar hilang, Lily ikut masuk dan terkejut melihat bantalnya ada disana. Lily pun menjadi bersemangat. Mencobanya beberapa kali dan mengeceknya berulang kali. Setelah benar-benar yakin, ia semakin bersemangat sampai memekik kecil. "Kalau begitu, tidak akan ada banyak kekhawatiran tentang air minum dan tempat berlindung untuk diriku sendiri." Ucap Lily berbisik dengan nada semangat. Ia menganggukkan kepalanya menjadi yakin. "Aku harus menemui ayah, bantu temukan beberapa makanan, keperluan dan senjata untuk melindungi diri. Masukkan ke dalam ruang itu, dan aku tidak akan lagi gemetar ketakutan. Lagipula jika aku benar-benar menghilang dari dunia ini, mungkin di dunia mimpi itu aku akan bisa bergerak dengan bebas."Lanjutnya menyimpulkan. Kemudian ia berlari keluar kamar dengan semangat. Bahkan Chloe yang menunggunya dihalaman dilewatinya begitu saja, membuat Chloe mengejar nonanya dengan refleks. Apalagi sebelumnya keadaan sang nona sedang tidak baik-baik saja. "Ayah! Ayah! Dimana ayahku?!" Pekik Lily berteriak memanggil, karena tidak menemukannya akhirnya ia bertanya pada pengawal dihalaman tersebut. Setelah mendapat jawaban, Lily dengan cepat menuju ruang baca ayahnya. Bahkan tanpa mengetuk saking ingin cepatnya ia bertemu. "Ugh, Ayah, maaf aku tidak tahu kau punya tamu disini." Ucap Lily dengan raut malu, ia langsung meminta maaf pada tamu sang ayah dan langsung keluar dari ruang baca. Menunggu di halaman dengan tidak sabar, tapi harus tetap sabar. Setelah waktu berlalu, sang ayah dan tamu tersebut akhirnya keluar. Membuat Lily berdiri dengan cepat, menatap ayahnya dengan mata berbinar. "Kau baik-baik saja? Apa hal baik yang mau kau sampaikan, pada ayah saat ini?" Tanya sang ayah dengan nada menggoda. Sekaligus lega, karena Lily-nya akhirnya sedikit lebih baik, suasana suramnya sudah berganti dengan suasana cerah. **** Setelah menunjukkan keajaiban pada sang ayah, membuatnya sangat terkejut sampai butuh beberapa saat untuk ayahnya sadar kembali dari keterkejutannya, Lily hanya diam, bingung harus melakukan apa melihat ayahnya seperti itu. Tapi, tidak ada pilihan lain. Ia harus memberitahu ayahnya karena ia butuh banyak persediaan. Karena meskipun Lily termasuk komandan kecil di tentara, tapi ia tidak punya hak atas persediaan. Ayahnya adalah jenderal, jadi ia tentu punya hak atas persediaan. Setidaknya, ayahnya masih punya banyak uang untuk membelikannya persediaan, karena selama ini ayahnya bahkan selalu menambahkan beberapa persediaan untuk para prajurit dengan uang pribadinya. Persediaan dari atas selalu kurang, ada waktunya tidak kurang tapi tidak ada hal baik di dalamnya. Itulah alasan sang ayah berkali-kali mengeluarkan uang pribadi. Ayahnya selalu baik hati. Apalagi pada prajurit dibawah komandonya, dibawah komando ibunya dulu, dan dibawah komando Lily. Prajurit adalah tulang punggun
** "Ini mungkin terdengar seperti omong kosong, tapi ayah percayalah padaku." Ucap Lily dengan raut wajah serius. Menatap ayahnya yang mengangguk tak kalah seriusnya. "Kau tahu, Ayah... sejak di medan perang dalam waktu satu bulan ke belakang, aku selalu bermimpi. Mimpi ini tidak begitu jelas, karena aku selalu tidak ingat apa yang aku mimpikan, tapi rasa lelah, ketakutan dan gelisah selalu ada ketika aku bangun dari tidurku. Dan mimpinya semakin jelas sejak aku pulang beberapa waktu lalu. Aku ingat setiap detail dari mimpi ini, yang sangat menyeramkan." Jelas Lily dengan nada yang sedikit bergetar. Ayahnya hanya menatap Lily dengan kasihan, ingin menenangkan tapi biarlah putrinya ini menyelesaikan ceritanya terlebih dahulu. "Dalam mimpi, ada sebuah keluarga beranggotakan 5 orang, sepasang orangtua, satu laki-laki dewasa, adik perempuan dan adik laki-laki. Terjebak dalam rumah, kelaparan. Terjebak yang aku maksud karena situasi dan kondisi diluar rumah sangat tidak jelas. Teri
** "Ayah, aku takut sekali.." Ucap Lily parau dengan tangis keras, membuat sang ayah merasa patah hati. Lily tidak pernah seperti ini sebelumnya. Menangis, gemetar, ketakutan, tidak pernah ia melihat Lily seberantakan ini. Lily-nya selalu kuat dan berani, persis seperti ibunya. "Tidak apa-apa, ayah disini, ayah akan melindungimu." Balas sang ayah menenangkan. Meski tidak membuat Lily berhenti menangis, tapi ia berangsur-angsur menjadi lebih tenang. Lily juga merasa aman, dekapan hangat ayahnya dan suara berat khas ayahnya, yang selalu ia rindukan ketika sedang jauh darinya. Semuanya benar-benar membuat Lily jauh lebih tenang. Sampai akhirnya tangisnya benar-benar berhenti, meski masih dengan isakan kecil, Lily tetap melepaskan pelukan ayahnya. "Chloe, berikan teh nya." Ucap sang ayah dengan cepat. Jadi begitu tehnya telah diminum, Chloe langsung pergi meninggalkan sepasang ayah dan anak tersebut berdua, memberi ruang pribadi untuk keduanya mengobrol. "Mimpi buruk?" Tanya sang
**Hari itu, berhasil Lily lewati dengan baik. Tidak ada lagi keanehan yang ia alami selama melewatinya. Tetapi begitu malam tiba, Lily benar-benar tidak ingin tertidur meski ia mengantuk berat. Perasaan takut menyelimutinya. Tidak pernah merasa setakut itu bahkan ketika ia menghadapi musuh di medan perang sebelumnya. Jadi, malam itu Lily benar-benar mengambil pedangnya dan berlatih dihalaman. Chloe dan pelayan serta pengawal lainnya tentu tahu. Dan informasi tersebut dengan cepat sampai pada ayahnya yang langsung datang menghampiri, karena merasa khawatir. Ayahnya merasa khawatir sekaligus aneh. Lily-nya tidak pernah berlatih di malam hari ketika ia sampai di rumah. Ia paling suka istirahat dan mengikutinya kemana-mana untuk bersosialisasi, berkata bahwa dengan melihat banyak orang akan membuat dirinya lebih waspada karena banyak wajah palsu yang bisa ia lihat. Lily pintar dan berani sejak kecil, jadi ia sebagai sang ayah juga tidak punya banyak kekhawatiran. Tapi malam ini, berbed
** Roarghh Roarghh Aaaaaa! Argh, tolong! Bugh! Berisik. Berisik sekali sampai-sampai Lily yang sedang tertidur terbangun dengan kepala pusing dan linglung. Tetapi tubuhnya tidak bisa bangun sama sekali. Ia hanya bisa menatap sekelilingnya. Teriakan, makian, bahkan geraman yang terdengar mengerikan ditelinganya. Semuanya bercampur menjadi satu, membuat kepalanya berdenyut sakit. Di depannya jelas terlihat ada seorang laki-laki paruh baya, seorang wanita paruh baya, dan dua laki-laki yang satu dewasa yang satu remaja. 'Pakaiannya aneh' pikir Lily yang tidak bisa bergerak sama sekali. "Kadaannya sudah seperti ini! Ayah! Pikirkan jalan keluar." Ucap wanita paruh baya tersebut, mengguncang lengan laki-laki paruh baya. Semuanya terlihat sangat tertekan. Seolah-olah ada awan gelap yang mengelilingi semua orang ini. Apalagi teriakan-teriakan dan makian dari luar terus terdengar, menambah suasana makin tegang. 'Ada apa?' pikir Lily frustasi, terlebih ia tidak bi







