Share

Trapped The Destiny Of Love
Trapped The Destiny Of Love
Penulis: Yuniizhy_

Pekerjaan atau Nyawa Seseorang?

"Congratulations, Jeasy!"

Ucapan selamat pada gadis bersurai pirang itu terus terlontar dari mulut sahabatnya. 

Jeasy membalas pelukan Millie dengan erat seraya berkata, "Congratulations for you to, Mil! Akhirnya kita lulus juga."

Ya, kedua gadis berumur dua puluh dua tahun itu baru saja melangsungkan acara wisuda di Universitas Royal Institute of Technology di Swedia. Selama empat tahun menempuh perguruan tinggi di sana, akhirnya gelar sarjana System Informasi (IT) telah mereka dapatkan dengan bangga. 

Namun, Jeasy tidak sebahagia teman-temannya dengan hasil akhir yang ia rasakan sekarang. Karena pakaian toga yang dikenakannya sama sekali tidak terabadikan. Tak ada orang tua ataupun keluarga terdekat yang hadir di sana untuk dirinya. Karena kedua orang yang amat dia cintai itu telah tiada sejak ia kecil, dan sejak saat itu keluarganya sudah tak menganggapnya lagi. Entah alasan apa yang membuat mereka seolah membuang Jeasy. Perjuangan Jeasy untuk kuliah pun ia lakukan sendiri dengan mengambil pekerjaan paruh waktu. Kini gadis berlesung pipi itu tampak sedih, rasa iri telah menyelimuti ulu hatinya. 

"Dont be sad, Jeasy. I'm here. Kau bisa berswafoto bersama sahabat cantikmu ini. Kau bisa menganggap keluargaku sebagai keluargamu juga. Ingat, empat tahun kita bersama sebagai sahabat, aku tidak akan membiarkanmu tampak murung di hari bahagia ini," papar Millie. Kata-katanya berhasil meluruhkan cairan bening di mata indah Jeasy.

Belum juga Jeasy menanggapi ucapan Millie, tiba-tiba seorang pria paruh baya datang menghampiri. "Kau benar, Sayang. Ayah memang sudah menganggap sahabatmu itu sebagai anak Ayah juga," lontar Brix —Ayah Millie. "Jadi untuk kau, Jeasy, jangan sungkan untuk berbagi kisah dengan kami. Selama ini, 'kan kami sudah mengenalmu dengan baik. Mari, kita berfoto bersama," lanjutnya seraya merangkul kedua gadis itu. 

Jeasy sungguh bahagia, kehidupannya terasa lengkap walau hanya dengan naungan sang sahabat. Selama dia berkuliah di universitas yang terbilang cukup ternama itu, ia sudah banyak dibantu oleh keluarga Millie. Akan tetapi, ia juga masih sadar, bahwa dirinya tidak mungkin terus bergantung pada mereka. Jeasy harus bangkit, keluarganya perlu melihat bahwa Jeasy bisa sukses. Dengan demikian, Jeasy yakin keluarganya akan bangga terhadap dirinya. 

"Terima kasih banyak, Paman."

¤¤¤¤¤¤

Cakrawala Kota Marstrand tampak cerah dengan dibalut awan putih yang menghiasi. Salah satu kota di Swedia yang kaya akan budaya dan sejarah itu terlihat ramai dengan banyak orang berlalu-lalang untuk beraktivitas. Termasuk Jeasy, gadis itu tampak sudah siap dengan pakaian casualnya yang rapi.

"Semangat, Jeasy! Semoga ini awal dari kesusksesanmu," ujarnya berharap.

Dia akan melakukan interview di salah satu perusahaan daerah Marstrand. Dengan gelar S, IT yang ia punya, Jeasy jadi lebih mudah mendapat pekerjaan. Sudah dari jauh-jauh hari ia mencari pekerjaan tersebut, dan semua usahanya itu tidak sia-sia. Itulah piilihannya untuk belajar lebih mandiri, dan setidaknya tidak bergantung pada keluarga Millie lagi. 

Kaki mulus itu ia ayunkan keluar dari rumah minimalis yang asri, wajah Jeasy terlihat berseri. Seolah dunia benar-benar akan mendukung untuk lolos interview pertamanya.

Sebuah kendaraan roda empat pun ia hentikan dan langsung masuk ke dalam dengan mengatakan tujuannya terlebih dahulu pada sang supir. "Pak, ke perusahaan Teryon Group, ya."

"Baik, Nona."

Taksi tersebut kini mulai membelah jalan raya, tetapi jalanan sepertinya sudah dilanda kemacetan. Padahal, waktu di Kota Marstrand sudah pukul 09.15, hampir siang dan seharusnya jalanan tidak semacet ini.

"Maaf, Pak. Apa tidak bisa dipercepat sedikit?" tanya Jeasy mulai gelisah. Pasalnya, tertulis pada jadwal interview kalau ia harus sudah sampai pukul 09.30. Jangan sampai gadis itu terlambat.

"Sepertinya terjadi kecelakaan di depan, Nona. Jadi jalanan macet total," jawab sang supir. 

Keringat panik sedikit mengucur dari pelipis Jeasy, dia harus melakukan sesuatu. "Ya sudah, Pak. Saya turun di sini saja. Ini uangnya." Terpaksa ia harus turun dan akan mengambil jalan pintas menuju perusahaan itu. 

Dengan langkah terburu-buru, Jeasy melewati beberapa mobil yang masih bergeming di jalanan akibat macet total. Ia berbelok memasuki jalanan kecil di daerah sana, menyusuri lahan kosong dengan rongsokan mobil di sekitarnya. Mau tidak mau Jeasy harus melewati jalanan tersebut, karena itulah satu-satunya jalan alternatif menuju perusahaan Teryon Group. Bedaknya yang natural kini tampak sedikit luntur karena sudah bercampur dengan keringat. Tak jarang pula Jeasy mengelapi peluh di dahi. Langkahnya semakin gancang kala netra coklat itu melihat arloji yang tertaut di tangan kiri, benda itu menunjukan pukul 09.23.

"Ayo, Jeasy! Percepat langkahmu!" serunya menyemangati diri.

"Aduh!" 

Namun, tiba-tiba langkahnya tercegat oleh seorang anak kecil yang tak sengaja menabraknya. "Sayang, kalau jalan hati-hati. Nanti kau bisa terluka," ucap Jeasy mengelus puncak kepala anak itu. 

"Aunty, help me! Help me!" Anak tersebut berteriak dengan polos. Suaranya bergetar, raut wajahnya begitu panik, dia seperti sedang ketakutan. Membuat Jeasy mengernyit tidak mengerti. 

"A-ada apa, Nak? Apa yang terjadi padamu?" tanya Jeasy seraya menunduk, mencekal kedua lengan anak itu. Kini Jeasy mampu merasakan embusan anak kisaran umur lima tahun tersebut yang begitu memburu, sisa air mata kering di wajahnya juga tercetak. 

"Bawa aku bersamamu, Aunty! Kumohon ...," lirihnya mulai menangis. Jeasy sungguh tidak paham dengan anak ini. 

"Hei, Anak Sialan! Jangan lari kau! Kembalilah!

Teriakan itu terdengar semakin dekat, gadis kecil di hadapan Jeasy juga semakin gelisah. Masih dengan tangisannya ia mengubah posisi menjadi bersembunyi di belakang Jeasy. "Aunty, mereka orang jahat! Cassie takut."

Ucapan Cassie membuat Jeasy mengerti, ternyata anak itu membutuhkan pertolongan. "Kau tenang saja, jangan menangis." Setelah menghapus air mata Cassie, Jeasy langsung berbalik badan dan melihat dua pria berbadan kekar tengah berkacak pinggang.

"Serahkan anak itu!"

"Tidak! Kalian pria macam apa yang beraninya sama anak kecil, hah?" gertak Jeasy.

Salah sati dari pria itu malah tertawa meremehkan. "Dengar, Nona. Ini bukan urusanmu! Cepat berikan anak itu! Jangan sampai kami melukai kulit mulusmu, Nona Cantik."

"Aku tidak mau bersama mereka, Aunty!" seru Cassie masih menangis.

"Iya, Sayang. Aunty tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu sedikit pun." Setelah mengucapkan itu, Jeasy baru sadar. Bahwa dirinya sedang mengejar waktu untuk interview. Gadis berhidung mancung itu melihat kembali arlojinya, ternyata sisa waktu yang ia punya tinggal tiga menit lagi. 

'Astaga! Bagaimana ini? Aku tidak mungkin meninggalkan anak ini,' gumam Jeasy dalam hati. 

"Oh, ternyata kau mau bermain-main dengan kami, Nona?" Pria brewokan itu berdecih dengan tatapan menyeringai. Tangannya keluar dari balik saku jaket dengan menggenggam sebuah pistol yang diarahkan tepat pada Jeasy. "Berikan anak itu atau kau akan mati?" 

Mata besar Jeasy membulat, tubuhnya menegang, ia menggigit bibir bawah dengan takut. Tidak mungkin juga Jeasy membiarkan mereka mengambil Cassie begitu saja. Pada akhirnya Jeasy memilih untuk menyelamatkan anak tersebut. Ia berpikir, nyawa seseorang lebih penting daripada sebuah pekerjaan.

"Cassie, dengarkan Aunty. Saat Aunty menghitung mundur tiga sampai satu, setelah itu kau langsung lari. Cari tempat bersembunyi. Nanti Aunty akan menyusulmu. Paham?" bisik Jeasy sedikit gugup. Karena pria di depannya masih setia mengarahkan pistol padanya. Cassie hanya mengangguk dengan ragu. 

"Jangan bisik-bisik! Kalau kalian bergerak, pistol ini pun akan meluncurkan tembakan!" teriak pria itu mengancam.

Jeasy maupun Cassie tak menggubris, mereka fokus dengan rencananya. 

"Satu ...."

"Dua ...."

"Tiga! Lari Cassie lari!" Cassie langsung berlari secepat yang ia bisa, perintah Jassie benar-benar ia jalankan. 

"Apa-apaan ini? Kejar anak itu, cepat!" seru salah satu pria yang memegang pistol.

Dor! 

Saat Jeasy hendak berlari menyusul Cassie, tiba-tiba sesuatu terasa menembus betis kakinya. Membuatnya langsung ambruk seketika. "Auwh ...," erang Jeasy menahan sakit. Darah bercucuran dari kaki kanannya, bersamaan dengan itu mata indah Jeasy pun tertutup sempurna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status