Share

Tertangkap dan Bebas

"Cepat katakan! Di mana kau menyembunyikan putriku, hah?"

Lelaki berahang tegas itu terus menggertak pria di hadapannya yang hanya duduk santai dengan sebatang rokok. Willy benar-benar sudah kebakar emosi karena lawan bicaranya sedari tadi hanya tertawa hambar.

"Aku semakin yakin, kalau kau memang dalang di balik semua ini! Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu, Pria Sialan!" Willy berbalik dan langsung mengambil langkah lebar hendak pergi meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu itu. Namun, suara bariton berhasil mencegatnya.

"Apa yang akan kau lakukan, Tuan Willyard Poulter? Melaporkanku ke polisi? Dengan tuduhan penculikan anak?" tanya Jacob tertawa remeh. "Tanpa bukti apa pun? Haha ... aku yakin polisi tidak akan mempercayaimu! Sudah kubilang, bukan? Kalau aku tidak tahu apa-apa perihal kehilangan putrimu."

Tanpa menoleh sedikit pun, Willy menjawab, "Mau kau mengelak sekeras apa pun, aku tetap mengetahui akal busukmu itu!" Willy kembali berjalan dan benar-benar pergi dari sana. 

"Oh, shit! Kenapa dia terus mencurigaiku!" teriak Jacob setelah Willy hilang dari pandangan.

Di perjalanan menuju mobil, tangan kekar pria itu merogoh ponsel dari balik jas biru tuanya. Willy hendak menghubungi seseorang. "Bagaimana? Kau sudah mendapat kabar tentang Cassie?" tanyanya terlihat panik. 

"Maaf, Willy. Jejaknya sama sekali tertutup rapi, aku dan anak buah yang lain masih berusaha," jawab seseorang di seberang telepon. 

Willy mendengkus, putrinya yang dua hari ini menghilang membuat pria itu tampak cemas dan kelimpungan. "Aku tidak mau tahu, kau harus segera menemukan putriku! Lakukan penyelidikan ekstra di tempat kejadian. Ah, satu lagi Zio. Kau dan yang lain tidak boleh kembali sebelum mendapatkan Cassie!" 

Willy langsung memutus teleponnya sepihak, orang yang menjadi tangan kanannya itu telah membuatnya kesal. Bagaimana mereka masih belum bisa menemukan putrinya setelah pencarian dua hari berturut-turut? Padahal, jumlah anak buah Willy tidaklah sedikit.

¤¤¤¤¤

"Umphh!!"

Erangan seorang wanita dari mulutnya yang terbekap kain terus terdengar di telinga kedua orang berbadan kekar di sana. Sementara satu bocah kecil yang juga dalam keadaan sama itu hanya menangis tersedu-sedu.

"Ck, kalian berdua bisa diam tidak, hah?" geram salah seorang pria itu. 

Gadis dan anak kecil yang terikat pada kursi itu hanya menunduk takut. Tatapan pria brewok di sana terus menatap gadis yang kakinya terluka akibat tembakan dari temannya pagi tadi. "Kurasa ... kita lepaskan saja ikatan di kakinya, Jer. Dia terluka, aku kasihan melihatnya." 

"Tidak! Kalau dia kabur bagaimana?" timpal pria yang dipanggil Jer itu.

"Biarkan saja. Dia, 'kan bukan tujuan kita. Yang penting anak ini tetap berada di genggaman kita. Tapi aku tidak mengerti, kenapa si bos masih belum mengunjungi kita di sini. Apa dia tidak jadi datang ke Marstrand?"

Jerry terdiam sejenak. "Kau ini bodoh sekali! Jika gadis itu lepas, dia bisa melaporkan kita ke polisi! Dia sudah melihat wajah kita. Dan untuk si bos, maklumi saja. Dia orang sibuk, atau mungkin sibuk juga dengan wanita-wanitanya."

"Ya sudah, kalau begitu kita cari makan dulu. Aku sudah lapar." Kedua pria itu pun pergi meninggalkan tawanannya. 

Suasana di ruangan lumayan gelap dengan banyak sarang laba-laba dan sedikit lengang, hanya menyisakan dua orang yang sedang pasrah dalam ikatan.

'Aku harus melakukan sesuatu,' ujar Jeasy di dalam hati. Mulutnya masih susah untuk terbuka karena kain yang melilitnya.

Sesaat setelah itu, pandangannya tak sengaja melihat pecahan beling tak jauh dari sana. Satu akal pun muncul dari benak wanita itu. 

Sembari menahan sakit pada kaki, Jeasy terus beringsut dengan kursinya. Ia bersusah payah menuju posisi beling itu berada. Setelah beberapa menit, aksinya tidak mengecewakan. Dia berhasil mendekati beling tersebut dan dengan sengaja langsung menjatuhkan diri bersama kursi yang ia duduki. Sekarang posisi Jeasy tengah tersungkur dengan tangan berusaha meraih beling itu dari arah belakang, karena faktanya tangan mulusnya itu terikat di belakang.

Setelah sedikit kesusahan, akhirnya Jeasy mampu mengambil beling tersebut. Ia segera menggesekannya pada tali yang mengikat tangan. Hal tersebut membutuhkan waktu cukup lama, Jeasy takut kalau rencananya akan gagal. Ia harus sudah berhasil sebelum para penjahat itu datang.

"Huh." Embusan napas wanita itu terdengar melengkuh. Ia telah berhasil memotong tali yang mengikat tangannya. Dengan segera ia melepaskan kain yang membekap mulut juga tali yang melilit di kakinya. 

Tak lupa, Jeasy langsung menghampiri gadis kecil yang tampak masih ketakutan dengan tangisan. "Hei, kau tenang saja. Kita akan selamat," ujar Jeasy bermaksud menenangkan.

Tanpa menunggu lama, dia melucuti tali yang mengikat tubuh Cassie. Setelah terlepas, sontak anak itu langsung memeluk Jeasy dengan lembut. "Thank you very much, Aunty."

"Iya, Sayang. Sama-sama. Ya sudah, kita harus cepat pergi dari sini. Ayo!"

¤¤¤¤¤

Suasana menjelang malam di Kota Marstrand memang selalu memanjakan mata. Langit senja yang terpampang dari ujung barat menambah kesan romantis bagi kota tersebut. Lampu-lampu juga berangsur menyala melengkapi keindahan jalanan kota. Saat ini ketenangan sedang dirasakan semua orang karena waktu bekerja yang sudah usai. Akan tetapi, tidak bagi orang-orang yang sibuk di taman kota ini. 

"Cepat, semuanya harus bergerak! Jangan sampai ada yang terlewat. Kalian harus teliti dalam melakukan penyelidikan ini," seru Zio pada anak buahnya. Mereka sedang berada di tempat kejadian di mana Cassie menghilang, yaitu di sebuah taman kota bekas pertunjukan sirkus dua hari lalu. 

Selain itu, mereka juga tengah memeriksa CCTV yang ada di sana, bertanya pada warga sekitar, dan menscan semua sidik jari yang terdapat pada barang-barang di tempat tersebut. Namun, tanda-tanda penyebab hilangnya anak sang pengusaha besar itu belum tampak juga. Willy sendiri enggan untuk melaporkan kasus ini, karena semua itu akan berdampak buruk bagi Cassie juga dirinya.

Saat Zio sibuk mengintai, tiba-tiba ponsel di saku celananya berdering. Dengan cepat ia pun mengangkatnya. "Iya, ada tugas apa lagi, Will?" tanyanya.

Ternyata sang atasan yang menelepon. Zio sudah terbiasa memanggil bosnya sendiri tanpa embel-embel 'Pak' atau 'Tuan'. Karena itu permintaan Willy sendiri, dengan alasan mereka masih seumuran dan dia sudah menganggap Zio sebagai teman. 

"Seperti biasa di tempat biasa, segar dan menggoda."

Hanya itu jawaban dari seberang telepon yang Zio dengar, bosnya langsung menutup panggilan. Lelaki berambut cepak itu paham sekali dengan ucapan Willy tadi. Apalagi, terdengar dari nada bicara si bos yang sepertinya sedang dalam keadaan mabuk. 

"Kalian lanjutkan penyelidikan. Aku ada urusan lain," titah Zio dan langsung melenggang pergi dengan mobilnya. Lebih tepatnya mobil Willy. 

¤¤¤¤¤

"Aunty, sebenarnya kita mau pergi ke mana?" tanya Cassie menghentikan aksi larinya.

Jeasy pun menatap lekat anak di depannya, ia mampu melihat peluh di dahi gadis kecil itu, dia tampak kelelahan. Sedari tadi mereka berlari hanya untuk melarikan diri dari penjahat tadi. Walaupun Jeasy berlari dengan kaki terpingkal juga menahan rasa sakit yang mendalam, tetapi untung saja keduanya sudah lolos dan jauh dari tempat mereka dikurung. 

"Kita akan pergi ke rumah Aunty. Karena anak kecil seusiamu pasti tidak mengingat alamat rumah sendiri, bukan?" 

Cassie mengangguk sambil terkekeh. "Ya, Aunty benar."

"Tapi sepertinya kau kelelahan. Jadi, kita istirahat sebentar. Di depan sana ada minimarket, kita beli minuman dulu," sambung Jeasy mengelus puncak gadis kecil itu. 

Kini mereka hanya berjalan biasa, tenaga keduanya tampak sudah terkuras. Setelah sampai di jalanan yang mulai ramai, Jeasy pun mampir di minimarket untuk sekadar membeli minuman. "Cassie tunggu di sini saja, ya. Aunty masuk dulu," ujarnya.

Cassie hanya menurut saja, ia berdiri di luar minimarket tepat di pinggir jalan. Namun, tiba-tiba Cassie merasa kehilangan sesuatu. Ia dengan repleks memegangi lehernya.

"Kalungku? Kalungku di mana?"

Pandangan Cassie mengedar, dan tepat matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di tengah jalan. Ternyata kalung anak itu terjatuh di sana. Ia pun segera berlari dengan kakinya yang kecil, tetapi sebuah mobil tiba-tiba saja datang dalam waktu yang bersamaan.

"Aarghhh!" teriak Cassie langsung terjatuh. 

Untung saja pengendara mobil tersebut berhasil menginjak rem di waktu yang tepat. Hampir saja dia menabrak Cassie. Terlihat sang pengemudi pun turun dari balik mobil mewah itu. "Maaf, Nak. Aku tidak sengaja. Mari, kuban —" Ucapan pria itu terhenti kala ia melihat wajah dari sosok kecil di hadapannya.

"Om Zio?" kejut anak itu.

"Cassie? Astaga! Akhirnya kau berhasil ditemukan." Zio tampak senang, putri dari bosnya ada di depan mata. "Kau tidak kenapa-napa, 'kan, Tuan Putri?"

"Aku baik-baik saja, Om."

"Ya sudah, mari kita pulang." Zio segera menarik tangan Cassie lembut. 

Senyuman di bibir anak itu tampak tak pernah pudar, ia kelihatan sangat senang. "Ayo!" serunya bersemangat. Cassie langsung menerima ajakan Zio begitu saja. Anak itu telah melupakan sang penyelamat. 

¤¤¤¤¤¤

Bersambung ....

Nantikan kisah mereka di episode selanjutnya^^

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status