—01—
Dave Mose Williams, menjalani hidupnya dengan mandiri semenjak kematian sang ayah. Dia yang sejak lahir tak mendapat kasih sayang layaknya seorang ibu kandung. Menjadikannya pendiam dan lebih suka menyendiri.Dia sangat menyadari ada sesuatu yang aneh dari ibunya yang selalu membela kakaknya -Zach- yang lebih menuruti kemauan ibunya.Namun Dave merasa acuh dan lebih memilih memfokuskan dirinya untuk menjadi sukses. Hobinya yang suka mengambil gambar melalui kamera yang dibelikan ayah tirinya -Marvin William- sewaktu kelulusannya di high school. Membuatnya semakin menyukai hal tersebut.Kamera terbaik pertama yang dia miliki dimasanya saat itu. Dia sangat menyayangi kamera tersebut. Walau saat ini kamera itu sudah ketinggalan jaman. Namun dia tetap merawatnya dengan baik.Karena bukan nilai uang dari kamera itu yang membuat kameranya berharga, melainkan sejarah yang pernah dia lakukan dengan kamera tersebut.Dave mengambil gambar pemandangan indah di sepanjang perjalanannya dari bandara menuju apartemennya di Manhattan.Bukan dia yang menginginkan tinggal di apartemen. Namun ayahnya -Marvin William- yang memaksa dia untuk menempati apartemen itu dengan alasan; semua itu milik ayah kandungnya juga."Tujuan anda sudah sampai, Sir," ujar seorang supir taksi yang mengantarkan Dave ke tempat tersebut."Baiklah... Terima kasih. Ini untukmu," ujar Dave memberikan biaya perjalanan berikut tipsnya."Hm... Maaf, Sir. uangmu lebih terlalu banyak," ujar supir taksi.Dave tersenyum dan menunjuk foto yang ada di dashboard mobil supir tersebut. "Anggaplah kelebihan itu untuk membelikan putrimu hadiah," jawab Dave tersenyum ramah."Terima kasih banyak, Sir. Semoga harimu menyenangkan," balas sang supir.Dave hanya tersenyum sebagai jawabannya.Hariku menjadi buruk karena wanita aneh di pesawat itu! runtuk Dave dalam hati. Lalu dia keluar dari taksi dan berjalan memasuki apartemen.***Clara Davonna Dawn, wanita kelahiran Madrid yang memiliki masa lalu yang buruk. Mulai dari keluarga yang broken home, sampai pria yang dia cintai menyakitinya. Hingga saat ini dia lebih memikirkan kariernya yang kian menanjak sebagai model international dibandingkan harus menangisi nasib putus cintanya.Pekerjaan yang selalu dia mimpikan sejak kecil, bisa terwujud dengan bantuan sahabatnya sejak kecil -Maggie Desmond-. Wanita yang sewaktu kecil menjadi tetangganya saat di rumah nenek Clara.Sejak kecil... Clara hanya diasuh oleh ibu dari ayahnya. Dia beranjak dewasa dengan ajaran dan bimbingan dari neneknya. Hingga waktu menghentikan kehidupan neneknya. Dia merasa sendirian saat itu. Usianya baru menginjak lima belas tahun saat neneknya meninggal.Beruntung keluarga Desmond yaitu ayah Maggie. Mau mengajaknya tinggal bersama, dan membawa Clara ikut pindah ke Sydney dari tempat kelahirannya di Madrid.Dari situlah, Clara selalu merasa bahwa Maggie adalah kakaknya. Dan kedua orang tua Maggie adalah keluarganya. Hanya itu yang dia ketahui sejak kecil.Tanpa mengenal kedua orang tuanya yang menurut cerita yang didengar dari neneknya bahwa; mereka berpisah dan memilih hidup bebas.Sungguh kisah yang membuat Clara harus tahu diri karena merasa tak diinginkan oleh kedua orang tuanya.Namun saat ini, dia sangat bersyukur. Memiliki keluarga dari sahabatnya -Maggie- yang sangat menyayanginya.Bahkan dia bergantung penuh dengan Maggie. Sampai saat ini dia mendapatkan kesempatan untuk menjadi model international. Semua berkat Maggie yang mengikut sertakannya di sebuah ajang pencarian bakat untuk menjadi model international. Ajang bergengsi yang sangat diakui oleh dunia."Maggie... Aku sudah tiba di depan apartemen. Aku harus kemana lagi?" tanya Clara pada sambungan telepon yang terhubung kepada Maggie."Tunggu sebentar. Aku akan turun, lagipula kenapa kau harus kembali ke rumah hanya untuk sebuah heels? Untung saja aku mengambil penerbangan sebelum hari H. Karena aku yakin akan ada masalah yang kau buat!" gerutu Maggie. Wanita itu sudah tiba di Manhattan satu jam yang lalu saat Clara ketinggalan pesawatnya hanya karena ketinggalan heels kesayangannya.Clara terlihat menampilkan deret giginya. Meringis walau Maggie tak melihatnya. "Maaf Mag. Aku sungguh tak percaya diri tanpa heels ini. Hah... Kau dimana Mag? aku sudah lapar," gerutu Clara."Tepat di belakangmu," ujar Maggie.Clara berbalik dan mendapati Maggie yang berdiri di dekat lobby. Lantas Clara berlari menuju Maggie. Namun kesialan kembali menghampirinya.Dia hampir menabrak tubuh seorang pria yang melintas. Namun pria yang melihat Clara berlari ke arahnya itupun, masih sempat menghindar. Dan membuat Clara limbung antara ingin berhenti dan melanjutkan larinya.Akhirnya Clara terjatuh tepat di hadapan pria tersebut. Pria bertubuh tinggi itu sengaja menghindari Clara yang hendak berpegangan pada tas khusus untuk kamera, yang disangkutkan dibahunya."Ouch!" pekik Clara. Meringis kesakitan."Huh! Hampir saja!" seru pria tersebut, melihat tasnya selamat dari jamahan Clara.Maggie menepuk jidatnya saat melihat Clara tersungkur di lantai.Sementara pria bertubuh tegap itu hanya terkekeh menatap sinis Clara, setelah itu berlalu tanpa mau menolong Clara."Hei! Dasar pria sombong!" teriak Clara. Namun terabaikan. Pria bertubuh tinggi dan tegap itu bahkan tak menoleh sedikitpun untuk menatap Clara yang meringis dan berteriak kesal.Maggie berjalan menghampiri Clara, dia membantu Clara untuk bangun."Kau tak apa-apa?" tanya Maggie."Tidak. Tapi heels-ku...," rengek Clara mengangkat heels-nya yang telepas dari tempatnya, "hah! Pria sombong itu harus bertanggung jawab!" cetus Clara menatap lift yang tertutup tepat setelah dia menatap tajam pria yang bahkan tak mengindahkan teriakannya."Sudahlah... Bukan salahnya. Kau yang salah. Untuk apa kau berlarian di sini?""Untuk menghampirimu," jawab Clara polos."Hah... Sudahlah. Nanti aku akan meminta seseorang untuk membetulkan heels-mu. Ayo kita ke atas. Aku sudah membuat makanan untukmu," ujar Maggie."Oh ya?! apa ada steak atau pasta?" tanya Clara tampak antusias dan melupakan kekesalannya."Tidak! Hanya salad! Dan jus lemon untuk makan malammu!" jawab Maggie."Apa? Yang benar saja Mag?! Kau tega melakukan itu padaku?!" tanya Clara tak percaya."Tentu! Semua untuk kebaikanmu juga. Besok adalah penentuan kau akan menjadi bintang utamanya atau tidak. Jadi kau harus menurut!" tutur Maggie menyeret Clara untuk memasuki lift yang kosong.Wajah Clara luruh lusuh mengikuti langkah Maggie.***Dave terlalu asik bergelut dengan foto-foto yang dia ambil selama perjalanan. Sehingga dia melewatkan jam makan malamnya.Dia kembali mengingat kejadian di lobby tadi. Saat dirinya kembali bertemu dengan wanita aneh yang satu pesawat dengannya.Kemudian dia menggeleng dan melihat jam di dinding. Dave merapikan pekerjaannya dan keluar dari unit apartemennya tepat pukul delapan malam. Dia bahkan belum membeli perlengkapan bahan makanan untuk keperluannya selama dia tinggal di Manhattan. Dia berniat membeli beberapa pasta dan saus lebih dulu, untuk persediaan sementara di dapurnya.Dave berjalan menuju minimarket yang masih berada di satu gedung di apartemen tersebut.Dia tiba di minimarket dan langsung mencari apa yang ingin dia beli. Lalu dia berniat membeli ice cream untuk membuat desert.Dave lebih memilih membuat semua makanannya sendiri dibandingkan membeli diluar. Dia hendak membuka lemari pendingin yang berisi ice cream, namun seseorang juga hendak melakukan hal yang sama dengannya. Sebuah tangan mungil berada tepat di atas tangannya.Dia dan pemilik tangan mungil itu sama-sama menoleh dan saling menatap."Kau!" seru keduanya."Kau menguntitku ya? Kenapa kau selalu ada saat aku berada di suatu tempat!" selidik wanita itu yang tak lain adalah Clara. Wanita yang menggunakan topi untuk menutupi kepala hingga bagian matanya. Namun Dave tetaplah mengingat wanita yang dalam satu hari itu, dia temui dalam keadaan yang tak mengenakkan."Jangan terlalu percaya diri nona! Lihatlah belanjaanku! Apa ada penguntit yang mengambil belanjaan sebanyak ini?!" ketus Dave menunjukkan keranjang belanjaannya.Clara tampak berpikir, namun dia tak ingin kalah dan tetap teguh pada ucapannya."Ehm... Bisa saja kau asal mengambil barang supaya tidak dicurigai!" tuduh Clara."Astaga! Kesialan apa lagi yang membuatku harus bertemu dengan wanita sepertimu! Minggir! Aku akan pergi lebih dulu agar kau berhenti menuduhku," ujar Dave menyuruh Clara untuk memberinya akses agar bisa mengambil ice cream yang dia inginkan."Tidak! Aku yang lebih dulu ingin mengambil ice cream! Kau yang minggir!" ketus Clara.Dave dan Clara saling menggeser tubuh dan berebut untuk membuka lemari pendingin berisi ice cream itu. Hingga akhirnya Clara menggunakan cara curang dengan menggigit lengan Dave."Aargh! Shit!" pekik Dave. Membuatnya menarik mundur tangannya dan memilih mengalah.Clara membuka lemari itu dan mengambil ice creamnya. Lalu menjulurkan lidahnya mengejek Dave."Damn! Kau ini wanita atau serigala?!" ketus Dave. Sesungguhnya masih tak menerima kekalahannya."Ya! Aku wanita srigala?! Apa kau puas ?!" ketus Clara dan beranjak meninggalkan Dave yang menggelengkan kepalanya.Dave mengelap bekas gigitan Clara menggunakan tissu yang ada di dalam keranjang belanjaannya. Lalu dia mengambil ice creamnya dan beranjak ke kasir untuk melakukan pembayaran.Mereka kembali bertemu, Dave berdiri tepat di belakang Clara. Wanita itu menatap sinis Dave.Dave bergidik dan mundur satu langkah menjauh dari Clara.Wanita itu tersenyum menyeringai melihat Dave yang seperti enggan mendekatinya.Pria ini begitu lucu, baru kali ini aku menemukan pria seperti dia. Kurasa akan sangat menyenangkan jika bertemu dengannya setiap hari. Anggap saja sebagai hiburanku selama di sini, batin Clara. Melirik Dave yang terlihat sibuk melihat lengan bekas digigit olehnyaDasar wanita gila! Semoga ini pertemuan terakhirku dengannya. Ya ampun... Aku bisa gila jika berada di dekatnya dalam waktu yang panjang. Belum lagi, gigitannya ini begitu tajam! Apa benar dia wanita srigala? batin Dave. Bergidik ngeri jika memang ada wanita srigala di dunia yang modern itu.**Clara merasakan kehangatan dari pelukan yang diberikan Dave. Sentuhan halus dan pelan memberikan rasa nyaman tersendiri bagi Clara. Dia berbalik dari posisi membelakangi Dave, hingga menghadap Dave. Mata mereka bertemu dan saling memancarkan cinta dan luka secara bersamaan. Rasa takut kehilangan menyelimuti tatapan tersebut. Namun di balik itu semua… Dave sangat ingin Clara kembali merasa nyaman. Menganggap semuanya tak pernah terjadi, walau dia tahu itu sangat sulit dilakukan. Dia mengusap pipi Clara sambil memberikan senyuman yang menyejukkan hati Clara. "Boleh-kah aku menghapus jejak si berengsek itu? Aku bukan hanya ingin menghapus jejaknya ditubuhmu melainkan diingatanmu, dan aku sangat ingin menggantikan semua itu dengan hal manis yang bisa selalu kau
—THE END—Marvin berjalan menuju ke arah Dave. Memeluk anaknya yang tampak kacau seolah tak memiliki gairah hidup."Hah... Ya ampun bagaimana bisa anak kebanggaanku menjadi kacau seperti ini?!" Marvin bertanya sambil melepaskan pelukan dan menatap wajah kusut Dave.Menepuk pipi Dave pelan, seolah memberikan semangat bagi pria itu."Ceritakan apa yang terjadi? Aku akan berusaha membantumu," pinta Marvin.Dave menggeleng dan tersenyum miris. Berjalan menuju sofa, melemparkan bokongnya dengan kasar, memerosotkan dirinya duduk malas bersandar hingga mendonggakkan kepala."Tak ada yang perlu diceritakan lagi, Dad. Semua berakhir dan aku... Tak ingin menceritakan kisah yang tak enak untuk didengar," ujar Dave.Marvin menatap Celine, wanita itu mengedikkan kedua bahunya."Jangan ceritakan kebodohanku pada Ayahku, Celine!" tukas Dave dengan mata yang terpejam.Marvin terkekeh melihat Dave memijat pel
Celine menghela napasnya kasar, merasa pusing, menghadapi sifat keras kepala yang dimiliki Dave. Dia mengambil ponsel Dave yang diletakkan di meja yang tersedia sofa di sisinya."Jangan gunakan ponselku. Gunakan ponselmu," pinta Dave."Kau sungguh banyak maunya! Memerintahku sesukamu!" Celine berdesis dengan tatapan tajam."Kau memaksaku melakukannya karena kau harus membuktikan ucapanmu barusan," sergah Dave.Celine menggelengkan kepala dan memutar bola matanya karena jengah."Berapa nomornya?!" tanya Celine ketus.Dave menyebutkan deret angka yang tersusun menjadi nomor telepon Clara.Menyambungkannya kepada Dave dan langsung dijawab oleh Clara.-Sementara itu... Clara dan Maggie memilih mampir ke tempat makan di rest area diperjalanan menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Celine.Clara menatap layar ponsel yang menampakkan foto Dave diwallpaperponselnya. Foto yang diambil diam-diam saat p
Keesokan harinya.Clara yang terlalu lelah karena kejadian semalam, baru terbangun siang hari dan tak mendapati Dave di sampingnya.Lantas dia beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar. Dia melihat Maggie yang sibuk menyiapkan sesuatu ke dalam tasnya."Kau sedang apa, Mag? Dimana Dave?" tanya Clara."Cla... Kau sudah bangun. Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit?" tanya Maggie mendekat."Aku tak apa-apa, kenapa kau tergesa? Dimana Dave? Kau belum menjawabnya," ujar Clara."Kau makanlah dulu sarapanmu, setelah itu aku akan membawamu kepadanya," ujar Maggie mengulurkan susu dan roti yang dibuat Dave pagi tadi."Jawab saja pertanyaanku Maggie... Dimana Dave?" tanya Clara berkeras."Makanlah dulu, Cla. Dave membuatnya untukmu... Kau harus habiskan... Begitu pesannya tadi," tutur Maggie berbohong mengenai pesan tersebut.Clara mengambil susu dan roti yang disodorkan Maggie. Namun bukan untuk dimakan, melainkan dilemparkan
Suara pekikan Clara memanggilnya masih terdengar walau samar. Lampu menyala dan memperlihatkan Clara yang ditarik paksa dan didudukkan dikursi kayu, lalu tangan dan kakinya diikat serta mulutnya disumpal kain yang diikat ke belakang kepalanya.Suara kekehan seorang pria samar-samar masih terdengar oleh Dave yang masih berusaha untuk tetap sadar. Namun dirinya terlalu pusing untuk bangun. Hingga gelap menghampirinya.-"Erhmmmm!!!" erangan Clara terdengar sejak dia di hadapkan dengan dua orang yang dia sayangi.Seorang pria yang sejak dulu dikenal sebagai pelindungnya, sekarang berubah menjadi iblis karena dendam yang membuat pria itu hancur."Ada apa Clara sayang? Kau sudah bisa memilih siapa yang ingin kuhilangkan lebih dulu nyawanya? Hm?"Mata Clara membengkak akibat dia tak berhenti menangis. Melihat Dave yang tak sadarkan diri karena mendapatkan pukulan dikepalanya dan Maggie di punggung.Bahkan darah yang keluar dari kepala Dave
Seorang pria melepaskan seragam pengantar pizza di sebuah tangga darurat. Lalu pergi dengan seringaian puas. Dia bergegas menuju mobilnya dan hendak memikirkan cara lain untuk melanjutkan aksi kejahatannya lagi.Dia berhenti sejenak dan menatap ke lantai kamar tempat Dave.Pria itu berdecak, "ck! Kau tak akan bahagia, Cla... Tak akan kubiarkan... Setelah kau membuatku hancur!" tukas pria tersebut.-Dave menatap wajah Clara yang akhirnya terlelap, walau jelas terlihat raut wajahnya yang tak tenang. Dia mengecup kening Clara. Dan merapatkan selimutnya hingga ke leher.Dave beranjak mematikan lampu dan menutup pintu kamar dengan rapat.Dia menghampiri Celine yang kembali setelah mendapat telepon dari Dave tentang insiden pizza tadi."Jadi bagaimana menurutmu? Mungkinkah ini pekerjaan Matheus atau Diego?" tanya Dave."Aku sempat berpapasan dengan pengantar pizzamu di lift. Wajahnya memang tak begitu jelas terlihat karena menggunak