Share

Chapter 4

“Om.” sapa Ivan yang baru datang di tengah perjamuan ayah dan anak itu.

“Van, sini duduk sebelah om.” sambut Pak Arif, papanya Seno.

Ivan menurut. Dia duduk di samping Pak Arif yang masih pamannya menurut penuturan dari kakeknya. (tau ah gimana, malas jelasinnya. Intinya paman-keponakan, udah gitu aja)

“Om dengar kamu gak mau ambil posisi direktur. Kenapa? Ada masalah sama Seno? Om kan jadi gak enak sama orang tua mu loh.” tutur Pak Arif yang cekatan menyambar Ivan dengan segala pertanyaan.

“Gak ada masalah kok om. Cuma memang lagi nyaman aja di posisi sekarang. Gak banyak yang cari muka. Lagian mas Seno bersyukur karena aku ada di bawah, sekalian mantau anggotanya yang kerja beneran atau tidak.” jelas Ivan tetap sopan agar tak menyakiti hati orang baik di depannya itu.

“Om cuma kasihan sama Seno, gak ada yang bantuin handle. Yah, kamu tau sendiri anak ini kadang kumat dan labil. Walaupun ada Zhafira, tapi tak banyak membantu perubahan pada perusahaan. Si lutung ini malah semakin mengganggunya bekerja dan berbuat aneh-aneh.” Pak Arif melirik sinis ke Seno yang beliau yakini sangat bucin berat ke Fira meski sudah bertunangan dengan orang lain.

“Cari aja om asisten untuknya yang punya kemampuan mumpuni supaya bantu mas Seno sementara aku masih di posisi ini.”

Pa Arif mengangguk setuju.

Walau kelihatan mewah dan penuh pesona, jabatan CEO itu punya tanggung jawab besar dan beban yang berat. Ditambah mental Seno yang tak cocok dengan penampilan luarnya. Sepertinya memang ia membutuhkan asisten yang bisa mengawasi tindak tanduknya di luar kendali papanya.

“Yaudah, cari asisten pria yang bisa dipercaya, tangguh, cakap, dan gak mudah dalam berdebat. Biar bisa ngemong anak ini.” pinta Pak Arif kepada Ivan yang tersenyum mengejek ke arah Seno.

Seno bersungut sebal menyadari papanya lebih manut ke Ivan daripada dirinya. Sekedar info, Seno itu anak paling kecil dan laki-laki satu-satunya di keluarga. Kebangganan satu-satunya dan tonggak perusahaan satu-satunya pula. Beban besar untuk menjalankan bisnis harus ia terima meski tak tertarik.

Please, ini rahasia kita ya. Jangan kasih tau Pak Arif, kalau sebenarnya Seno itu lebih tertarik pada dunia game. Dia bahkan punya channel utuf sendiri yang sudah disuscribe jutaan orang se-Indonesia. Jadi jangan sampai Pak Arif tahu. Bisa-bisa, Seno dijambak dan digunduli. Ih serem.

*****

Beberapa hari telah berlalu. Proses pencarian asisten untuk Seno masih berlangsung. Dikarenakan ketelitian Ivan dan penilaian super ketat Pak Arif, tak menghabiskan banyak waktu untuk menjaring orang berbakat yang cocok untuk berada di samping Seno.

“Gimana gak cepat, yang daftar hanya dua orang.” sungut Seno sesaat sebelum orang yang akan jadi asistennya datang.

“Berisik! Memang hanya dua kandidat yang lolos seleksi untuk mengendalikan mu.” terjang Ivan.

Tok tok. Seorang pria muda berbadan tegap, berpenampilan dewasa dengan rahang tegas dan ketampanan khas pria pribumi memasuki ruangan. Diantar sekretaris yang terlihat malu-malu menyaksikan tiga pria tampan berkumpul di hadapannya.

“Selamat pagi, pak. Pak Satrio sudah ada di sini.” ujar sekretaris CEO, bernama Nina. Yang merupakan satu di antara banyaknya haters Zhafira.

“ Oke, terima kasih, Nina.”

Ivan yang bertindak cepat menyuruh Satrio masuk dan menjelaskan hal-hal apa saja yang harus dilakukan sebagai asisten Seno.

“Wajah bawahan adalah wajah CEO. Tapi karena CEO kita yang tidak memiliki wajah, jadi tugasmu agak lebih berat dari biasanya.” sindir Ivan tanpa menoleh ke Seno yang duduk asyik di kursi kerjanya sambil main mahjong di komputer miliknya.

“Sebelumnya kamu sudah empat tahun bekerja sebagai asisten CEO juga di Anu Technology, kan?” sambung Ivan tegas dan berkesan kuat.

“Iya, pak.” jawab Satrio juga tak kalah berkesan kuat walau sedikit terusik dengan aura aneh yang keluar dari Ivan. Hm..

“Tugasmu tidak jauh beda dari itu. Jadi kami akan beri waktu satu minggu untuk beradaptasi pada tugas-tugasmu dan padanya!” tunjuk Ivan ke Seno yang duduk di kursinya mendengarkan dengan seksama.

Lancar kata-kata perintah keluar dari mulut Ivan. Terlalu dominan hingga membuat Satrio tercengang.

“Ah, kamu jangan heran. Dia dan saya tidak jauh beda. Nanti kamu akan paham. Sekarang yang perlu kamu ingat, apapun yang terjadi di ruangan ini termasuk soal saya, harap dirahasiakan!” jelas Ivan sigap membaca ekspresi heran Satrio.

“Baik, pak.”

“Sekarang, silahkan kembali ke sekretaris Nina dan tanyakan apa saja yang akan kamu lakukan. Dia akan membantu kamu beradaptasi terhadap perusahaan dan kebiasaan CEO kita yang berharga ini.” tutur Ivan yang kepalanya sudah pusing oleh kelakuan Seno. Anak itu sama sekali tidak peduli apapun kecuali soal Fira dan game.

*****

Zanna masih sangat penasaran sama pria yang selama empat bulan ini ngintilin kemanapun ia pergi sambil membawa hadiah-hadiah yang gak manusiawi. Yah, walaupun pada akhirnya ia tahu semua itu dari si Bayu.-_-

Tak puas menyuruh Tita untuk mencari tahu informasi lanjutan tentang pria itu, Zanna meminta bantuan supir mereka yang rela menghabiskan tenaga untuk balik mengikuti pria itu seperti yang selama ini ia lakukan ke Zanna.

Syukurnya gak seperti Tita, supir mereka bernama Pai berhasil mendapat alamat rumah pria itu.

“Gak salah nih, ini apartemen mas ganteng?” Begitulah Zanna menamai pria itu. Mas ganteng. “Sederhana banget.” Tambahnya lagi sembari melongok heran melihat masih ada apartemen model sederhana yang nyempil di megahnya apartemen lain di ibu kota ini.

Di sebelah apartemen ada minimarket yang menyediakan meja dan kursi. Bermodal mie gelas dan kopi isntan, Zanna memutuskan menunggu si misterius yang belum tampak batang hidungnya di sana.

“Totalnya 17.500, mbak.” ucap kasir yang merapatkan giginya alias memaksa untuk tetap tersenyum melihat pelanggannya mengeluarkan kartu kredit di minimarket kecil begini.

“Yah, ini.” sahut Zanna santai. Matanya masih sibuk menelisik ke arah apartemen.

“Mbak, ini bukan IndoApril atau AbsenMart. Ini cuma minimarket biasa dan kecil. Kami tidak meyediakan mesin kartu kredit di sini.” Sekali lagi kasir itu merapatkan giginya. Ia sudah geram betul.

“Saya cuma punya ini. Gak bawa yang cash, lagian zaman sekarang masih ada aja minimarket yang gak nyediain layanan kartu kredit.” cerocos Zanna.

“Maaf, mbak. Mbak kan hanya tinggal mengeluarkan 20.000 aja. Masa sih gak ada?” telisik si kasir yang tak percaya jika wanita bergaya hedon di depannya itu tak membawa uang tunai yang bahkan sejumlah jajan anak SD zaman sekarang.

“Kok kamu ngotot? Udah dibilang gak bawa uang cash. Sepenting itu apa? Gak tau aku siapa ya?” bentak Zanna mulai mencongakkan diri.

Memang situ siapa? Batin si kasir kali ya.

Tiba-tiba seorang pria yang dari tadi ditunggu muncul di situasi yang memalukan.

“Ini, hitung aja sekalian sama punya mbak ini.” sela mas ganteng menengahi situasi yang akan semakin memanas jika dibiarkan begitu saja.

“Bukan soal penting atau tidak, tapi dia juga bekerja di sini dan digaji. Kalau tidak bisa membantu, jangan mempersulitnya.”

Mas ganteng yang namanya tak diketahui itu menasihati Zanna. Tapi sayang, Zanna tak fokus pada kata-katanya dan malah fokus pada suara dalam nan merdu yang menggenang di kuping Zanna.

“Ah, iya, terima kasih.” Zanna memandang wajah pria yang lebih tampan saat berpakaian santai begini.

“Apanya yang terima kasih? Jika uang tunai anda ada, bayar kembali. Saya tidak punya banyak uang. Saya sudah kehilangan pekerjaan karena seseorang.” sindir mas ganteng menatap tajam ke Zanna.

Zanna tertegun gemetar. Seseorang yang dimaksud, dia kah?

Iya, sih, Tita sudah bilang kalau mas ganteng mengundurkan diri jadi asisten Bayu. Ada bagusnya sih, tapi tatapan tajam tadi benar-benar sesuatu deh. Apa mas ganteng itu menyalahkan Zanna atas kehilangan pekerjaannya?

“Ah, gara-gara si judes setan itu!” rutuk Zanna ke citranya yang sudah hancur lebur.

Zanna terus menatap keluar jendela mobil sambil memikirkan upaya apa lagi yang harus dia lakukan untuk mendapatkan nama mas ganteng.

“Pai, apa mungkin masih ada orang di negara ini yang gak kenal aku?” tanya Zanna ke supirnya yang sedang konsentrasi pada kemudinya.

“Hm, ada non. Bapak sama ibuku di kampung juga awalnya gak kenal.” jawab Pai hati-hati.

“Ish. Itukan orang tua. Wajar. Halah, sudahlah, Pai!” sentak Zanna yang masih belum bisa menerima kenyataan.

*****

Baru berselang dua hari, kabar kedatangan pria tampan di kantor CEO menyebar secepat kilat. Semua penasaran dengan sosoknya. Terutama para wanita yang bertingkah selayaknya gerombolan singa betina yang mecium aroma pejantan di masa birahi. Bahkan mereka sengaja mendekati sekretaris Nina untuk menanyakan ketampanan level berapa yang dimiliki asisten CEO itu.

“Liminho?”

“Jicangwuk?”

“Atau Jonidip?”

Tanya cewek-cewek penasaran.

“Itu semua kan orang luar. Kok jauh banget perbandingannya. Mas Satrio itu gak bisa dibandingkan sama mereka. Dia itu khas pribumi, ganteng, dan dewasa.” jelas Nina yang menikmati percakapan bertema pria tampan.

“Jadi gantengan mana sama Pak Seno?” sambung seorang lagi.

“Duh, kalau gantengan siapa, aku jadi bingung milihnya. Kalau bisa milih semua, semua deh. Dan kalian tau waktu pertama kali Pak Satrio datang ke ruangan CEO, di sana ada Pak Seno dan Pak Ivan juga. Kebayang gak semua cowok tampan ngumpul kayak boyband. Beugh, rasanya pengen hidup seribu tahun.” jelasnya lagi semakin membuat para perempuan itu cemburu.

“Ah, jadi mau lihat!” sahut yang lain heboh nian.

Kehebohan itu ternyata tak hanya milik mereka. Tapi menjadi topik perbincangan yang layak dipertimbangkan saat makan siang bersama teman.

“Apa sih ribut-ribut?” kata Mira nimbrung. Di belakangnya ada Zeze membawa nampan makanan miliknya.

“Asisten genteng Pak Seno. Mereka pada kepo.” jawab Nina yang sudah akrab dengan Mira.

“Dih, gantengan siapa sih dari milikku?” sinis Mira memandang rendah cewek-cewek yang mengerubungi Nina.

“Milik ibu? Pak Ivan?” tanya Yuni.

Deg. Jantung Zeze berhetni sebentar. Sebentar oi sebentar. Paling hanya 0,0000001 detik. Kalau beneran berhenti ya modar dia.

“Kalau sama ini gak berhasil baru gencar lagi dapetin pak Ivan.” jawab Mira malu-malu.

“Wah, jadi ibu punya gandengan baru?” tanya Yuni tak kalah heboh.

“Iya. Hehehe.” Ih, najong.

“Kasih tau!” pinta mereka secara kompak.

“Nanti. Belum waktunya. Yang pasti, dia keturunan bule.” ucap Mira bangga. “Sudah ah, kalian ini. Ze, bawakan susu untuk saya!” periintahnya pada Zeze yang konsentrasi memisahkan ikan dari durinya sebagai menu makan siang hari ini.

“An***g lo. Gak bisa lihat orang senang.” umpat Zeze dalam hati. Nyatanya mulutnya hanya mampu berkata, “Baik,bu.”

*****

Intermezzo: Usaha Zanna demi nama mas ganteng

Bukan Zanna namanya kalau cepat menyerah. Terbukti dia bisa menjadi model ternama karena sifat pantang menyerah yang dimililkinya.

Masih setia menuggu mas ganteng di sekitar apartemen sederhananya, minimarket adalah satu-satunya tempat termasuk akal untuk memantau pergerakan.

“Dih, jumpa si judes ini lagi dong.” decak Zanna malas.

Ketika Zanna memasuki minimarket, tampang ramah si kasir ini mendadak tak senang akan kehadirannya. Namun, Zanna berusaha untuk bersikap wajar dan beralih ke arah barang yang ingjn  ia beli walau sebenarnya hatinya mau meledak setelah mendapat perlakuan tak menyenangkan dari si kasir.

“Nah, 50.000. Cash.” ucap Zanna mencebikkan bibirnya di kata cash. Lalu ia menyerahkan sebotol teh hijau dan cemilan diet yang katanya gak bikin gemuk. Fatbar.

“Hmmm.” sungut si kasir yang masih dongkol.

“Btw, cowok yang kemarin itu siapa? Tinggal di apartemen itu kan?” telisik Zanna memulai pengkorekan informasi walau pada musuh sekalipun.

“Maaf, gak niat jawab.” sembur kasir itu menjawab.

Wajah Zanna terlihat marah. Pertahanan emosi yang ia kerangkeng sejak masuk ke minimarket, runtuh begitu saja. And then, gadis itu mulai congak lagi teman-teman.

“Astaga, lo dibaikin, ngelunjak ya? Lo benar-benar gak tau gue siapa? Ha? Gue adukan ke pimpinan lo, baru tau rasa lo kalau dipecat!” sentak Zanna membusungkan dadanya yang sudah besar. Ehem.

“Tak semua orang mengenal anda walau anda selebriti dunia sekalipun. Bagi orang-orang seperti kamu, memikirkan isi perut hari ini dan besok jauh lebih penting daripada memikirkan dunia kalian.”

Suara celetukan ini membuat Zanna tercebur ke kolam tercemar dua kali. Bagaimana mungkin, mas ganteng ini selalu datang di saat-saat yang memalukan. Dah lah,. Bukan citra lagi yang hancur. Harapan Zanna untuk mendapatkan nama mas ganteng musnah sudah bersama helaan nafas.

“Kok ganteng banget, mas? Gimana kerjanya?” tanya si kasir judes tadi yang ternyata bisa bersikap ramah.

“Widih, ramah mu ternyata pilih-pilih ke cowok ganteng ya.” sungut Zanna dalam hati.

“Iya, cocok kan?” bahkan mas ganteng juga tersenyum lebar pada gadis itu dan membalas pertanyaan dengan wajah sumringah.

Keakraban yang begitu meyilaukan. Zanna tak sanggup berlama-lama menyaksikannya.

Apa cuma di daerah ini gue gak terkenal dan gak dianggap sama sekali? Tolong, tenggelamkan matahari dan gelapkan dunia supaya gue gak lihat senyum bodoh kedua orang ini!

Zanna pergi dengan menghentakkan tumit high heels­-nya dan membuat keributan di setiap langkahnya. Mengganggu konsentrasi dua orang yang masih bercengkerama akrab tersebut.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
sejauh ini suka banget ama ceritanya! bakal lanjut baca setelah ini~ btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status