Trevor menuju pintu dan membuka.Ternyata di balik pintu adalah Triplet dan Bibi Beatrice.Trevor menghela napasnya lega.Andai tadi dia tidak membayangkan wajah Thea dan Tilly, mungkin dia sudah melampiaskan kemarahannya pada Tamara.Jika dulu dia sering merasa kesal terhadap Thea dan Tilly namun tak mampu melampiaskan kekesalannya pada dua gadis kecil itu, kini dia merasakan hal yang sama terhadap Tamara.Dia kesal sampai ke ubun-ubun. Dia marah seperti gunung berapi yang siap meletus.Tapi ... benaknya selalu berseru, Tamara adalah ibu dari anak-anaknya. Darah dagingnya.Dia telah melewati malam kelam enam tahun lalu. Semua karena Vicco. Dan semua itu pun berkat keberengsekannya juga.Ada benarnya Tamara berhak marah padanya.Justru dirinya lah yang tidak berhak merasa memiliki Tamara dan Triplet.Tapi Tamara dengan lapang hati membiarkan dia menikmati kebersamaan dengan triplet.Sungguh, dialah yang sebenarnya telah menuntut terlalu banyak pada Tamara.Menghirup napasnya dalam-dal
“Uhm ...”Trevor melumat lembut bibir Tamara seakan dia sedang melumat gula kapas yang cepat larut.Sebelum Tamara sempat bereaksi lagi, Trevor kembali melumat kecil seraya sesekali melesakkan lidah untuk memaksa Tamara membuka mulutnya.Untuk sementara Tamara masih mempertahankan bentengnya. Dia tidak membuka mulutnya, dan harus merelakan bibirnya dilumat lembut.Trevor pun tak habis akal.Memiringkan wajah, Trevor mencari cara untuk memperdalam ciumannya.Seraya memagut pelan dan ringan, membuai Tamara dengan lumatan lembut, Trevor kembali menyapukan lidahnya di sepanjang garis bibir Tamara.Jarinya pun merayap di pipi Tamara lalu menuju dagu dan berusaha untuk menyibak tirai bibir Tamara lewat kulit wajahnya.Tak terbendung, Tamara akhirnya membuka mulut. Lidah Trevor melesak masuk lalu menyapu lidahnya sehingga getaran kecil merambat di sekujur titik-titik syaraf mereka.Semakin ingin lebih memperdalam ciumannya lagi, Trevor mulai menghimpitkan tubuhnya dengan tubuh Tamara, hingga
Trevor bersedekap sambil memandangi Tamara.Dia bahkan harus menelan salivanya dengan susah payah.Apalagi terlihat belahan dada Tamara.Bayangan kejadian enam tahun lalu kembali bergelanyut di pikirannya.Untuk sesaat lamanya, oksigen terasa lenyap dari sekelilingnya. Dia tak bisa bernapas.Dengan susah payah, Trevor memaksa diri untuk berbalik dan membelakangi Tamara.Dia pun mengambil kotak cincin yang tadi tertinggal di kamar.Dibuka dan dipandanginya cincin bertahtakan Sweet Josephine.Trevor memikirkan segala sikap Tamara padanya.Dia yakin jika dia memberikan cincin ini sekarang, Tamara akan menolaknya mentah-mentah.Dengan berat hati, dia pun menutup kotak cincin lalu memasukkannya ke dalam tas Tamara.Dengan ini, Trevor menyelipkan tubuhnya di samping Tamara, di balik selimut yang sama.***Pagi menyingsing dengan sinar matahari menyelip di celah-celah tirai kamar.Secercah cayaha mengelus kulit wajah Tamara membuat Tamara terbangun.Dia membuka mata namun detik berikutnya, Ta
“Jangan melewati batas ini!”Tamara menggambar garis batas dengan telapak tangannya digoreskan ke atas tempat tidur.Dia membagi dua tempat tidur dengan sama besar.Setelahnya, dia mengangkat wajah dan menatap ke arah Trevor.“Setuju tidak?” tanya Tamara dengan menahan kesal, lalu berujar lagi dengan lebih galak, “Setuju tidak setuju harus setuju sih!”Tamara mengakhiri persyaratannya dengan raut galak dan mata mendelik kesal ke arah Signor satu itu.Yang sedang dipelototinya malah bersandar santai di tepian meja rias, sambil kedua tangannya bersedekap.Dia menatap serius pada tengah-tengah ranjang tempat Tamara menggambar garis tak kasat mata.“Dengar tidak? Setuju, kan?”Kini tatapan Trevor beralih ke Tamara.Setelah sekian detik, pria itu akhirnya mengangguk samar disertai helaan napasnya.Tamara langsung berseru lega. “Bagus! Sekarang aku ingin berganti pakaian. Kau tidak menyiapkan pakaian tidur?” tanya Tamara tanpa rasa bersalah.Trevor tidak menjawab, hanya menggoyangkan daguny
Di tengah angin malam yang dingin, Tamara bisa merasakan hangat napas Trevor yang menerpa kulit wajahnya.Bahkan aroma after shave pria itu yang beraroma mint terasa begitu segar bagi penciumannya.Untuk sesaat rasanya seperti Tamara berada dalam balutan nyaman dan aman, seperti bayi koala dalam pelukan induknya yang lembut dan empuk.Tamara seperti melupakan waktu yang berputar di sekelilingnya.Dia menikmati saja kenyamanan dan kehangatan yang membalutnya.Hingga jari Trevor menyentuh pipinya, lalu merayap turun sampai ke dagu.Trevor mengangkat wajah Tamara lalu menatapnya dengan intens. Kedua manik matanya menatap mata Tamara, lalu berpindah ke bibir. Berpindah lagi ke mata, lalu ke bibir Tamara lagi.Pun hal yang sama dilakukan Tamara. Dia menerima tatapan mata Trevor lalu ketika Trevor menatap bibirnya, dia pun menatap bibir Trevor tanpa sadar.Seakan mengandung magnet, Trevor mendekatkan wajahnya, lalu bibir mereka pun semakin mendekat.Ujung bibir Trevor mulai mendarat di ujun
“Ini ... untukmu saja!” seru Tamara seraya meletakkan hasil roti bakarnya di meja.Dia juga mendorong teh hangatnya ke arah Trevor, sebagai tanda bahwa teh nya pun dia berikan pada pria itu.“Kenapa untukku?” tanya Trevor heran.Tamara lalu menatapnya. Untuk pertama kalinya saat itu, dia baru menyadari bahwa Trevor tampil santai, dengan kemeja longgar dan celana pendek.Dia seperti pria kaya di tengah usia yang lagi matang-matangnya, yang siap berlibur dengan kapal pesiar pribadinya.Sungguh sangat berbeda dari penampilannya yang biasa. Trevor yang seperti ini tampak seperti pria biasa, meskipun jenis kehidupan yang dijalaninya tetap terasa mahal.Yang membuat pandangan Tamara tidak fokus adalah kancing kemeja nya yang dibuka sampai nyaris memperlihatkan perutnya.Betapa kokoh dada pria itu membuat Tamara sulit mengalihkan pandangannya.Tapi dia harus beralih dari dada pria itu.Tamara memantapkan mata ke wajah Trevor.“Aku tadi hanya iseng saja membuatnya. Tiba-tiba sekarang, aku mer