Share

Bagian 4. Ekspedisi

Paragon Expedition

Sam: Photo added

Sam: Transaksi barang Sageza hari ini

Alisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.

Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.

Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.

Cal: Photo added

Cal: Pejaten Raya 22.00

Kututup ponselku setelah jengah membaca pesan informan yang masuk. Aku sempat berpikir bahwa nanti malam sepulang dari kantor Ayah lidahku masih bisa menikmati kopi yang kutunggu launchingnya selama berbulan-bulan. Entah kebetulan atau takdir terlalu jahat padaku, gerainya baru buka di mall tak jauh dari tempat kejadian itu.

Mereka mengacaukan jam santaiku seperti biasa. Ingin sekali saja kuacuhkan mereka, tetapi bayangan-bayangan buruk tentang jatuhnya korban jiwa menggerayangi otakku setiap detik.

Guardian: Agen kemarin 'kan?

Cal: Iya, Guard. Jam 6 ini barangnya pindah tangan ke Sageza.

Pras: Izin, urusan barang gue yang atur.

Guardian: Ok. Gue ambil sisanya.

Aku tidak percaya diriku begini, selalu saja terlalu bersemangat. Dengan penuh percaya dirinya kuulangi kesalahan yang sama, yaitu merasa bisa membereskan semuanya sendirian. Bahkan di saat suasana hatiku sedang tidak baik seperti sekarang.

Pras: Gue bisa bantu. Jam 10 malam puncaknya, tapi mereka stand by jam 7. Pastiin lo dan keluarga lo nggak ada di sekitar tempat kejadian.

Guardian: Akurat?

Pras: Photo added

Pras: See? Ini chat ketua Lexius dan ketua Sageza semalam

Seseorang berinisial Pras itu mengirimiku pesan melalui pesan pribadinya. Setiap anggota Paragon memang memiliki akun pribadi khusus. Ah, ngomong-ngomong tentang mereka, baru kali ini ada yang berani mengirimiku pesan pribadi. Sementara Pras sendiri baru bergabung bersama kami beberapa hari yang lalu. Belum sempat kucari tahu seluk beluk tentangnya.

Dan, kuakui aksinya barusan mengesankan. Beban pikiranku berkurang setelah melihat keseriusannya.

Kuhentikan langkahku saat sadar kakiku menginjak sepatu Rama. Di bawah kakinya, ada lubang yang bisa membuatku terperosok kapan saja. Semenjak menerima pesan di grup besar Paragon, otakku bekerja keras memikirkan taktik pencegahan atas aksi malam nanti.

“Busnya datang tuh. Udahan dulu,” ujar Rama.

Setelah duduk di bangku belakang, Rama sibuk melihat peta jalan. Ia menyinggungku beberapa kali sebab kegelisahanku tampak jelas. Sebab Rama tidak akan mengerti, entah bagaimana tanggapannya kalau suatu saat nanti semua upayaku ketahuan. Itu sebabnya ponselku memiliki kunci tiga lapis. Tidak satu orang pun, termasuk Rama bisa masuk tanpa akses dariku.

“Lo punya pacar ya?” tanya Rama, seketika membuatku tertawa.

“Absurd tahu nggak tiba-tiba ngomong kayak gitu.”

Rama menyodorkan tangannya, “coba gue liat barusan lo chat sama siapa? Jelas-jelas lo senyum-senyum gitu barusan.”

Buru-buru kusembunyikan ponsel ke saku kemejaku. “Oh, bener..” celetuknya lagi.

“Jendra bakal nyusul ke kantor Ayah?” tanyaku mengalihkan obrolan kami tentang pacar.

Setelah kupikir-pikir Jendra hanya mengabaikan pesanku. Aku baru saja mengiriminya pesan, memintanya untuk menyusulku dan Rama. Namun, seperti biasa, Jendra mengabaikan pesanku dan hanya membacanya saja. Beda arti kalau Rama yang mengiriminya pesan.

“Tongkrongannya bener nggak sih, Ma?”

Rama terkekeh geli, “menurut lo tongkrongan kayak gitu ada yang bener?”

Kuhela napas panjang. Beberapa teman Jendra memang masuk dalam daftar hitam. Di antaranya mereka yang ikut tawuran dan memiliki bisnis ilegal. Nama Jendra memang tidak ada dalam daftar. Dan, kuharap tidak akan pernah.

“Jendra di rumah,” ujar Rama setelah ponselnya berdering beberapa kali.

Aku tidak habis pikir, untuk apa tadi mengkhawatirkan Jendra tanpa sebab?

Bus berhenti di halte tujuan kami. Tak jauh dari halte, tiga gedung pencakar langit menjulang tinggi. Aku dan Rama saling bertatapan sebelum Rama masuk lebih dulu dan menghampiri meja resepsionis. Mataku berbinar bukan karena desain interior gedung yang tak biasa, tetapi berbagai macam karya seni yang terpajang di dinding, ada pula sebagian yang menggantung di atas kami. Kristal tiruan yang entah terbuat dari apa, menyilaukan mataku saat pantulan sinar lampu menerobosnya.

Sofa membentuk setengah lingkaran di sudut-sudut lobi. Sekali kulihat kosong tidak dapat kulepaskan. Aku menyolek Rama dan menunjuk langsung ke arah sofa. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil bicara lewat telepon, mungkin memberi kabar pada Ayah bawa kami sudah sampai.

Saat kulihat Ayah berjalan ke arah kami, kulambaikan tanganku tinggi.

“Busnya penuh lagi?” tanya Ayah.

Kepalaku menggeleng. “Nggak, Yah. Malah aku sama Rama dapat tempat duduk, nggak kayak biasanya.”

Kulihat Rama mengalungi sebuah kartu pengenal. Mataku tak lepas menatapnya sebab wajah dan namanya dibubuhi di atas kartunya. Rama menyodorkan kartu serupa padaku. Seperti miliknya, kartu pengenal di tanganku ini juga terdapat fotoku. Namaku yang hanya satu kata itu pun ikut ditulis di sana.

“Kapan pun kalau kalian mau jajan di kantin kantor, jangan lupa kasih liat kartu ini,” terang Ayah.

Aku dan Rama terperangah seperti baru menang lotre. Perutku langsung bereaksi, Rama tampaknya sedang curi-curi pandang mencari keberadaan kantin.

“Tapi, Ayah sudah pesan beberapa makanan sewaktu kalian bilang sudah di jalan.”

Saat sudah sepi orang, aku keluar masuk beberapa kali untuk mencoba kartuku di pintu otomatis. Rama bilang sikapku seperti balita yang mendapat mainan baru.

Ting!

Ayah tampak ikut senang, sebelum kami sama-sama menoleh ke belakang. Denting lift saat pintunya terbuka mendapat perhatian penuh Ayah. Kami bisa saja mematung lebih lama lagi kalau aku dan Rama tak lekas menyadari apa yang sedang terjadi.

“Ra, Yah, buruan. Udah laper nih,” pekik Rama.

Ia lebih dulu pergi dan membuka pintu darurat. Aku berlari ke arah Rama. Ayah terperanjat dan lekas menyusul kami. Wajahnya yang pucat pasi membuatku mengasihaninya lagi. Keluarga kami tidak pernah lagi menaiki lift karena kenangan masa lalu Ayah.

“Ara, Rama.”

Kami sudah menaiki beberapa anak tangga saat Ayah memanggil nama kami berdua. Kami menoleh dan mendapati Ayah masih di bawah.

“Kita ke kantin saja,” ucapnya lirih.

“Tapi, aku mau lihat ruang kerja Ayah. Rama juga. Ya, ‘kan, Ma?” Rama mengangguk patuh begitu kucubit lengannya.

“I-iya. Aku nggak lapar-lapar amat. Ayah juga 'kan sudah pesan makanan. Mungkin sekarang udah sampai.”

Rama tersenyum canggung ke arahku. Wajahnya mendekat, lalu berbisik ke telingaku. “Gue salah nggak?”

Kutepuk bahu Rama pelan dengan senyum lebar. Ayah melakukan hal yang sama denganku. Menaiki anak tangga dan mendahului kami berdua. Senyumya mengejek kami secara tak langsung, sebab aku baru menyadari satu hal. Ayah pernah bercerita bahwa ruang kerjanya ada di lantai lima belas.

“Astagfirullah..”

Rama mendelik ke arahku. “Kenapa, Ra?”

“Eng-nggak papa. Buruan jalan, fokus ke depan aja,” jelasku tidak ingin mematahkan semangatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status