Share

Pembalasan

Kerlap-kerlip lampu mengiringi musik dari DJ yang sedang berdentum ria. Seorang lelaki dengan bertubuh kekar dan kulit sawo matang sedang asik menggoyangkan tubuhnya dengan enerjik. Dia adalah Hugo Stein.

Tampaknya alkohol sudah mulai menguasai dirinya. Dengan langkah yang sedikit limbung dia beranjak dari lantai dansa dan kembali ke meja bar. Dia meminta bartender untuk mengisi kembali sampanye yang sudah kesekian kalinya.

Bartender itu menatap sinis Hugo. 

"Apa?! Lakukan saja tugasmu," bentak Hugo tidak suka.

Sebenarnya bartender itu tidak peduli jika Hugo mabuk. Akan tetapi dia hanya tidak ingin di barnya terjadi keributan yang tidak penting karena seseorang yang mabuk.

Pasalnya sejak tadi Hugo sudah memaki semua orang yang bertabrakan dengannya hingga keributan kecil sempat terjadi.

"Aahh! Dimana mereka? Kenapa tidak datang-datang juga?" Hugo meneguk kasar sampanye di gelasnya.

Lalu Hugo mengambil ponsel dari saku celananya dan melakukan panggilan ke beberapa temannya.

“Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi,” ucap sang operator dari seberang telepon.

Dia tidak menyerah, 3 panggilan selanjutnya dia lakukan. Namun suara yang sama menjawab semua panggilannya. Suara dari operator telepon.

"Brengsek! Bilang saja tidak mau kesini," umpat Hugo. Dia menggebrak meja bar dengan keras.

Sang bartender memberi isyarat kepada dua petugas keamanan untuk mengusir pelanggan di hadapannya sekarang. Dia sudah muak dengan kelakuan Hugo. Dua petugas keamanan berbadan kekar menghampiri Hugo yang sedang duduk.

Tanpa ragu mereka menarik kedua lengan Hugo dengan kasar dari tempat duduknya.

"Apa-apaan kalian! Singkirkan tangan kalian!" maki Hugo.

"Kami tidak ingin orang mabuk sepertimu membuat keributan di bar ini," ungkap petugas keamanan yang pertama kali menarik tangan Hugo.

"Lebih baik kamu menurut dan keluar dari bar ini," tambah petugas keamanan satunya.

Kedua petugas keamanan itu hanya melakukan tugasnya dengan profesional. 

Braak.

Usai dilempar dari pintu bar, Hugo memaki kedua petugas keamanan yang masih memandangnya sebelum kembali masuk.

"Aku akan menutup bar ini. Lihat saja! Kalian tidak tahu siapa aku!" Hugo berteriak marah.

Namun kedua petugas keamanan itu hanya tertawa dengan kelakuan Hugo yang sama seperti pengunjung lain yang seperti dirinya, lalu mereka berdua pun menghilang di balik pintu bar. 

Saat berbalik untuk pergi, Hugo terdiam di posisinya. Dia melihat Aldrich dengan tatapan menyelidik. Tepat saat ini Aldrich berdiri dengan percaya diri dihadapan Hugo sambil membawa ember di tangannya.

Ember itu terlihat sangat kotor oleh cairan hitam. Entah apa cairan itu yang pasti membuat Hugo merasa mual.

"Hah! Menjijikkan!" Hugo mengernyit jijik. Pandangannya ke ember di tangan Aldrich.

"Bagus. Kamu sendirian," tutur Aldrich.

"Aku sendirian sudah cukup untuk menghajarmu." 

Aldrich hanya diam bermain ember di tangannya. Sedikit isi ember tumpah ke pelataran yang mereka pijak. Hugo melihat sesuatu yang aneh. Cairan itu bukan berwarna hitam melainkan merah pekat.

1…

2…

3…

Byuurr

Aldrich menyiramkan isi ember kepada Hugo yang berada dihadapannya. Seketika cairan merah pekat membasahi tubuh Hugo. Aroma darah yang anyir seketika memenuhi indra penciumannya.

"Surprise!" seru Aldrich.

"What the fuck?" Tangan Hugo sibuk mengusap wajahnya yang tertutupi cairah merah. 

"Hugo, ini adalah peringatan untukmu," ungkap Aldrich.

Hugo mengernyit jijik dengan tubuhnya yang dipenuhi cairan merah dengan aroma anyir.

"Kamu menyiramku dengan darah hewan, huh?" tanya Hugo.

"Jika kamu menganggap teman-temanmu sebagai hewan. Hmm, aku tidak keberatan," timpal Aldrich.

Hugo seketika terkejut mendengar ucapan Aldrich. 

"Apa maksudmu?" tanyanya.

"Ember ini berisi darah ke-4 temanmu. Aku baru saja menguras darah mereka saat masih hidup." 

Sekali lagi Aldrich menjelaskan dengan santainya. Namun itu terdengar menakutkan bagi beberapa orang. 

"A—pa yang kamu lakukan kepada mereka?" tanya Hugo dengan suara serak.

Mendengar hal mengerikan dari mulut Aldrich seketika menciutkan nyali Hugo. Tubuhnya mendadak dingin dan gemetaran.

"Aku hanya menusuk leher mereka dan membiarkan darahnya mengalir ke ember ini." aku Aldrich. Dia menenteng ember kosong di tangannya.

"Hahaha … katakan ini hanya leluconmu, kan?" sangkal Hugo.

Hugo tidak percaya dengan ucapan Aldrich. Namun tubuhnya tidak bisa berbohong jika dia ketakutan. Kakinya terasa kaku hingga tidak bisa bergerak.

Mendengar ucapan Hugo yang terkesan tidak percaya, ekspresi Aldrich seketika menjadi dingin kembali. Tangannya melempar ember ke sembarang arah.

Perlahan-lahan dia mendekati Hugo. Semakin mendekat dan mendekat. Hugo tidak bisa bergerak, kakinya terasa terpaku di posisinya sekarang.

Hugo ingin lari!

Hugo ingin menjauh dari Aldrich.

Tapi Hugo tidak bisa bergerak, apalagi melangkahkan kaki untuk menjauh.

"Hugo. Apa kau ingin mencobanya? Aku akan memakai pisau yang sama, pisau yang dipakai untuk menusuk leher teman-temanmu," tawar Aldrich.

Dia sangat santai seolah menawarkan sesuatu hal yang biasa.

"Kamu sangat cocok dengan warna merah. Hahaha," ungkap Aldrich.

Hugo melihat pisau di tangan Aldrich. Pisau kecil namun terlihat tajam. Pisau itu berwarna merah karena darah yang menempel.

"Tenanglah. Aku hanya memberimu peringatan. Kamu tidak akan mati. Kecuali kau menyulut emosiku lagi," terangnya.

Aldrich mengatakannya dengan pisau yang mengacung ke wajah Hugo. Hugo menatap pisau itu dan menelan ludahnya dengan susah payah. Lidahnya terasa mati rasa.

"Jangan pernah menggangguku lagi. Jangan pernah menampakkan batang hidungmu di depanku lagi. Terakhir … " 

"Jangan bocorkan rahasia ini kepada siapapun." 

"Haah. Sayang sekali padahal kamu kesini untuk merayakan kesenanganmu yang sudah berhasil merusak motorku. Tapi tenang saja aku juga akan merusak mobilmu. Impas, kan?" 

Setelah Aldrich menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba mobil sport berwarna kuning milik Hugo yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka sekarang meledak. Suara ledakannya memecah keheningan malam itu. Hugo melihat kejadian di hadapannya dengan mulut ternganga. 

"Bagaimana aku pulang sekarang? Tidak, Tidak! Bagaimana jika ada yang melihat penampilanku sekarang. Apa aku akan masuk penjara?" batin Hugo.

Tanpa sadar, Aldrich telah menghilang dari hadapannya membuat Hugo benar-benar panik.

Orang-orang dari dalam bar berhamburan keluar dari bar untuk mencari sumber ledakan. Mereka melihat Hugo yang sedang terpaku melihat mobil yang terbakar.

Mereka melihat penampilan Hugo yang terlihat seperti pembunuh yang bermandikan darah para korbannya. Petugas keamanan pun memanggil polisi untuk datang menyelidiki kasus yang menggemparkan ini.

  • ••

Pagi ini Aldrich datang dengan mengendarai sebuah mobil Ferrari berwarna hitam. Bukan lagi mengendarai motor seperti biasanya.

Vincent yang sedang memarkir mobil Audy nya melihat Aldrich yang baru saja keluar dari mobil sport itu. Dengan segera Vincent keluar dari mobilnya dan berlari menyusul Aldrich memasuki gedung sekolah.

"Damn, Carring—" 

Belum sempat Vincent melanjutkan ucapannya, Aldrich menusuknya dengan tatapan tajam. Vincent menengadahkan kedua tangannya tanda menyerah. Aldrich terlihat tidak peduli dan melanjutkan langkahnya.

"Lihat. Para wanita itu semakin tergila-gila denganmu." Vincent berhasil menyamai langkah Aldrich.

"Apa kau melihat berita hari ini? Hugo ditangkap polisi. Dia menjadi tersangka pembunuhan teman-temannya. Lalu mobilnya tiba-tiba meledak di parkiran bar," 

Dia masih berceloteh ria berusaha memancing Aldrich untuk mengobrol.

"Tapi aku merasa dia tidak mungkin membunuh teman-temannya. Walau dia saat ditangkap sedang berlumuran darah yang diketahui adalah darah dari teman-temannya. Namun ini masih terasa janggal," desah Vincent.

Aldrich tidak menjawab dan hanya tersenyum tipis.

Vincent yang menangkap momen Aldrich tersenyum pun bertanya. "Apa kau tersenyum?" 

"Jangan merusak mood ku, Vincent." 

Aldrich menjawab dengan senyuman tipis yang masih menghiasi wajahnya.

"Aku tidak akan … tunggu kau menyebut namaku?" tanya Vincent.

"Tidak," elak Aldrich.

"Ya." 

"Tidak."

"Yaah. Kau menyebutnya. Apa sekarang kita berteman?" tanyanya. Vincent merasa senang bukan main.

Aldrich terlihat mendengus dan berucap. "Aku tidak percaya dengan sistem pertemanan. Jadi tinggalkan aku sendiri."

"Menjalin pertemanan itu hal baik. Kita bisa saling mengandalkan." 

"Aku tidak membutuhkan siapapun." 

Aldrich yang sudah sampai di kursi tempat duduknya di kelas.

"Kau tidak tahu kedepannya bagaimana, kan? Siapa tahu kita bisa saling membatu saat susah." 

"Aku tidak tertarik."

Vincent menatap Aldrich dengan tatapan memohon, tapi Aldrich tidak menggubrisnya. Aldrich duduk di kursi dengan earphone yang terpasang di telinganya. Alunan musik mulai memenuhi indra pendengarnya. Aldrich menutup matanya sejenak sambil menunggu guru datang ke kelas.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
RahmaDika
Ngerihhh w fa, 😭
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status