MasukLuka karena Penghianatan
Pulang dari kantor polisi Jifanya langsung ke rumah Tina, dia menginap dan cerita panjang lebar pada Tina. Paginya ia baru pulang dari rumah Tina.
Jifanya mengaduk-aduk isi tasnya dengan cemas. Tangannya mulai gemetar. Ia mengeluarkan dompet, tisu, bahkan lipstik, berharap menemukan benda kecil yang ia cari.
“Mana kunci kosku?” gumamnya panik.
Ia memeriksa setiap sudut jalan yang baru saja ia lewati, menyusuri kembali pelataran depan warung kecil tempat ia duduk sebentar pagi tadi. Tapi kunci itu tetap tak ia temukan.
Lalu, ingatannya melayang ke pagi sebelumnya. Ia sempat mampir ke rumah Tina. Di sanalah terakhir kali ia merasa menyentuh kunci itu.
“Aku pasti ninggalin di rumah Tina,” desahnya lelah.
Dengan langkah tergesa, ia memesan ojek online. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Namun bukan karena kehilangan kunci, melainkan karena ia takut mengganggu sahabatnya. ‘Tina mungkin masih tidur. Aku ambil kunci diam-diam saja. Pasti ada di ruang tamu, dekat televisi’ batinnya mencoba menenangkan diri.
Begitu tiba, Jifanya membuka pagar perlahan. Suasana rumah kontrakan itu masih sepi. Pintu depan tidak terkunci. Ia mendorongnya pelan, lalu berjalan perlahan ke ruang tamu.
Suara televisi sayup-sayup terdengar dari dalam kamar. Namun bukan itu yang membuat Jifanya berhenti melangkah.
“Sayang, pelan-pelan... sakit tau...” suara lembut seorang perempuan terdengar lirih dari balik pintu kamar.
Langkah Jifanya terhenti. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia mengenal suara itu. Itu suara Tina.
“Tina... sama siapa?” pikirnya cemas.
Dengan hati-hati, ia mendekatkan wajah ke celah pintu. Matanya membelalak. Napasnya tercekat.
Di balik pintu yang sedikit terbuka itu, tampak tubuh dua insan bertumpuk. Fahar, kekasih yang sudah tiga tahun bersamanya, tengah menindih tubuh Tina yang telanjang bulat di atas ranjang sempit itu.
Detik itu juga, dunia Jifanya runtuh.
‘Astagfirullahaladzim... Fahar?’ batinnya nyaris tak percaya.
Tangannya bergetar. Ia membekap mulutnya sendiri agar tak menjerit. Tapi otaknya bekerja cepat. Ia mengangkat ponsel, lalu merekam adegan itu dari celah pintu. Bukan untuk menyebarkan, tapi untuk mengingatkan dirinya sendiri—bahwa ini bukan mimpi, ini kenyataan.
Tanpa suara, Jifanya melangkah mundur. Air matanya menetes begitu saja. Ia keluar dari rumah itu dengan langkah limbung, meninggalkan sepotong hatinya yang hancur di dalam sana.
Ia berjalan menyusuri gang yang sama, namun kini langkahnya tanpa arah. Air matanya mengalir deras. Bukan hanya karena cinta yang dikhianati, tapi juga karena persahabatan yang ternoda.
“Kepercayaan itu mahal. Bahkan terlalu mahal jika diberikan pada orang yang salah.”
Tina dan Fahar. Dua nama yang selalu ia banggakan. Tina, sahabat terbaik sejak SMA. Fahar, lelaki yang ia doakan setiap malam dalam sujudnya. Kini keduanya merobek hatinya tanpa ampun.
Sementara itu, di dalam kamar kontrakan, dua insan terlarang masih melanjutkan dosa mereka.
Fahar masih menekan tubuh Tina dengan irama yang lambat. Keringat mereka bercampur, desahan mereka menjadi alunan nista dalam ruang penuh kepalsuan.
“Sayang, apa sakit?” tanya Fahar keTina melihat Tina menggigit bibir bawahnya.
“Tidak enak sekali,” bisiknya dengan suara serak menggoda.
“Ayo cepat kita selesaikan sebelum ada yang melihat,” ucap Fahar, melirik ke arah jendela.
“Kamu takut sama Jifanya?” tanya Tina dengan nada manja, mendesah lembut.
“Tidak. Aku lelah dengannya. Jangan sebut nama itu lagi,” jawab Fahar tajam.
Tina tertawa kecil. “Tapi, kapan kamu akan benar-benar putus? Kita harus menikah. Kalau aku hamil, bagaimana?”
“Jangan khawatir. Aku akan memutuskannya,” jawab Fahar seraya menghentakkan panggulnya lebih cepat. Tubuhnya menegang, dan dalam hitungan detik, ia memuntahkan gairahnya ke tubuh Tina tanpa ampun.
Beberapa saat kemudian, Fahar buru-buru membersihkan diri. Ia takut tetangga memergoki. Tapi Tina malah merengek.
“Mandi bareng yuk, sayang. Aku masih mau...” ujarnya genit.
“Ti, nanti tetanggamu datang.”
“Tenang aja. Mbak Lala dan suaminya lagi di rumah orangtuanya. Bu Dinar juga ke undangan. Aman, Sayang.”
“Kamu yakin?”
“Tenang, aku udah cek. Rumah-rumah sebelah kosong semua.”
Tina menarik Fahar menuju kamar mandi. Di sana, ia kembali mencumbu bibir kekasih sahabatnya, lalu berjongkok di antara kakinya. Kali ini, Tina melayani dengan gaya yang membuat Fahar tak mampu menahan erangan panjang.
Tubuh Fahar bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Desahannya menggema, seolah menggaungkan betapa candunya ia terhadap pelayanan terlarang itu. Di luar sana, dunia boleh mengira mereka guru ngaji dan sepupu. Tapi di dalam, mereka adalah pasangan zina yang haus akan kenikmatan dunia.
“Apa kamu menyukainya?” tanya Tina.
“Sa... sangat suka, Sayang. Jifanya si bodoh itu tidak pernah mau melakukan ini denganku. Kamu yang terbaik,” balas Fahar dengan napas berat.
“Mau lagi?” goda Tina sambil menyentuh bagian tubuh Fahar.
“Mau. Sangat mau.”
Dan mereka kembali melakukannya, membiarkan nafsu mengalahkan akal dan iman.
Sementara itu, Jifanya berdiri di bawah pohon mangga di ujung jalan. Hujan mulai turun rintik-rintik. Rambutnya basah, bajunya lepek. Tapi ia tak peduli. Di dadanya, ada badai yang lebih deras dari hujan mana pun. Dia tidak bisa mengambar rasa sakit yang dia rasakan. Sahabat tempat dia berkeluh kesah dan berbagi cerita rupanya menghianatinya. Sahabat yang pura-pura mendukungnya saat di depan tapi menusuknya dari belakang. Setelah beberapa lama duduk meredakan rasa sakit di dadanya. Ponselnya bergetar.
Fahar menelepon.
Ia menatap layar itu lama. Lalu memutus sambungan dan memblokir nomor itu. Tak lama, pesan dari Tina masuk.
“Jifanya, kamu sempat ke rumah tadi ya? Maaf, aku nggak sempat bukain pintu. Lagi ketiduran.”
Lagi ketiduran?
Jifanya menghela napas panjang. Ia membuka galeri ponselnya, memutar ulang video berdurasi dua menit yang berhasil ia rekam. Matanya basah lagi. Namun kali ini bukan karena cinta. Tapi karena harga dirinya diinjak-injak oleh dua manusia paling kejam yang pernah ia kenal.
“Sahabat sejati tidak akan merampas apa yang menjadi milikmu. Kalau mereka melakukannya, mereka bukan sahabat. Mereka serigala berbulu domba.”
Di hatinya, ada dendam. Tapi bukan dendam yang membakar. Dendam itu dingin, diam, dan penuh perhitungan.
Ia mengirim satu pesan ke Tina dan Fahar.
[Terima kasih. Kalian sudah membukakan mataku tentang siapa sebenarnya kalian. Semoga kalian bahagia. Tapi ingat, karma tak pernah lupa jalan pulang] tulisnya.
[Ada apa, Ji] tanya Tina pura-pura bego.
[Pikirkan saja sendiri]
Ia lalu menghapus kontak keduanya. Menghapus semua foto. Semua kenangan. Tapi tidak dengan video itu. Ia simpan, bukan untuk menyebarkan. Tapi sebagai pengingat bahwa suatu saat, luka ini akan sembuh... dan mereka akan membayar semuanya.
Dan di luar jendela, langit mulai terang. Mentari perlahan menyingkirkan gelap. Sama seperti Jifanya, yang memulai langkah baru. Meski masih luka, tapi ia tahu, luka itu adalah guru paling kejam... dan paling jujur.
Bersambung...
Saat Jifanya berjalan menjauh Bayu menemuinya lagi. Ia tidak ingin wanita hamil itu kenapa-kenapa. Jifanya menutup mata menatap ke pantai Ancol ia sangat berharap Bayu berubah pikiran dan membawanya pergi bersamanya.‘Aku berharap ada keajaiban’ gumamnya dalam hati.Mentari senja menyapu langit Ancol dengan semburat jingga yang menggantung lesu, seakan melukis kanvas alam dengan perasaan yang penuh ketegangan. Ombak berdebur, datang dan pergi, seperti hati Jifanya yang tak tenang. Angin laut berhembus lembut, menebar aroma asin yang bercampur getir, seperti nasib yang tengah dipikulnya.Jifanya berdiri di bibir pantai. Rambut hitamnya terurai berantakan, tertiup angin, namun tubuhnya tetap tegak. Meski hatinya berguncang, ia mencoba bertahan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan kecil yang harus ia jaga, meski batinnya koyak oleh dilema cinta dan tanggung jawab.“Tunggu di sini. Sebentar lagi dia akan datang.”Suara Bayu terdengar lirih namun mantap. Tatapannya penuh pergolakan, seolah d
Senja menggantung malu-malu di langit Jakarta. Cahaya jingganya mewarnai pantai Ancol, memantul di permukaan air yang tenang. Di sebuah kafe di pinggir pantai, Jifanya dan Bayu duduk berdua. Udara mulai dingin, angin laut menyapa perlahan, seakan ikut merasakan keruwetan hati mereka."Kenapa kamu diam?" tanya Jifanya setelah mereka selesai makan. Matanya menatap Bayu penuh tanya. Tak seperti biasanya, pria itu terlihat lesu dan sulit didekati."Jifanya, aku sangat capek. Kita bicara lagi besok pagi, ya? Aku akan pesan satu kamar hotel untuk kamu. Istirahatlah di sana," ujar Bayu sambil melirik ke arah hotel di seberang jalan."Kenapa harus hotel? Aku bisa tidur di rumahmu. Di sana banyak kamar, bukan?""Kamu istri Kenan, Jifanya. Tinggal berdua dengan pria yang bukan suamimu hanya akan menimbulkan fitnah," tutur Bayu dengan suara lirih namun mantap."Lalu kamu bagaimana?""Jangan pikirkan aku. Aku bisa tidur di mana saja. Malam ini, aku akan tidur di mobil."Dengan langkah berat, Bayu
Langit Ancol sore itu mendung, seakan ikut menyimpan rahasia yang menggantung di antara mereka. Angin laut berembus pelan, menyibak rambut Jifanya yang setengah terikat, saat ia dan Bayu duduk di sebuah kafe pinggir pantai. Keduanya memesan minuman, namun tak satupun yang menyentuh gelasnya.Jifanya tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Wajah Bayu yang tegang, rahangnya mengeras, matanya tajam menatap ufuk jauh. Sebuah badai akan segera datang, bukan dari langit, tapi dari masa lalu mereka.Jifanya menata napas, lalu berbicara, “Aku tahu kamu belum pernah bicara berdua dengan Ayahmu. Aku sengaja mengatur ini.”Bayu menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Beberapa saat kemudian, langkah tegap Pak Mustofa muncul. Rambutnya disisir rapi, kemeja putihnya sedikit kusut. Ia menatap Bayu, lalu duduk tanpa bicara.Hening.Debur ombak jadi musik latar.Akhirnya, suara berat itu terdengar, dingin dan tegas.“Tidak pantas kamu membawa istri abangmu sendiri kabur.”Bayu mengerutkan d
Bayu menyetir tanpa arah, membiarkan malam menelan keheningan dalam mobil. Lampu-lampu kota Jakarta menyala bagai kilau luka yang tak bisa disembuhkan. Ia menatap jalan kosong di depannya, tapi pikirannya penuh. Tidak ada rencana, tidak ada tujuan. Ia hanya tahu satu hal, ia tak sanggup membiarkan Jifanya menangis seperti tadi, dremehkan, diusir secara halus oleh wanita yang seharusnya menjadi ibu.Angin malam berdesir lembut dari ventilasi mobil, menyapu wajah Jifanya yang pucat. Ia duduk diam, menunduk, memeluk perutnya yang mulai membuncit. Tatapannya kosong, namun sesekali mencuri pandang ke arah wajah Bayu yang luka-luka. Bibirnya ingin bergerak, ingin berkata sesuatu, tapi rasa bersalah dan ketakutan menahannya. Ia tahu Bayu kehilangan kendali karena dirinya. Tapi ia juga tahu, Bayu hanya ingin melindunginya.Setelah menempuh jalan panjang, mobil perlahan melambat. Bayu menepikan kendaraan di sebuah kawasan elit di Ancol, Jakarta Utara. Di depannya berdiri sebuah rumah dua lan
Hujan baru saja reda sore itu. Langit mendung seperti perasaan yang menggantung di dalam rumah keluarga Mustofa. Jifanya duduk di ruang belakang, diapit oleh Dila yang terus berusaha menenangkannya. Isak tangis pelan terdengar di sela-sela helaan napasnya yang berat.“Aku tidak ingin tinggal di rumah ini, Kak Dila. Aku tidak sanggup lagi. Lebih baik aku kost. Ibu-ibu bilang aku dan anak ini hanya benalu yang menumpang hidup. Aku merasa sangat sedih,” ucap Jifanya lirih, menunduk, menggenggam perutnya yang mulai membuncit, seolah ingin melindungi buah hatinya dari dunia yang terlalu kejam.Dila mengelus punggung Jifanya dengan lembut. “Ji, tolong jangan menangis. Kalau Kakek dan Ayah tahu Umi bicara seperti itu lagi, mereka akan marah besar. Tadi malam saja, pertengkaran antara Ayah dan Umi sudah sangat hebat.”Tangis Jifanya semakin tak terbendung. “Aku tidak ingin jadi penyebab keributan di rumah ini, Kak. Itulah kenapa aku memilih kost dari awal.”“Ji, aku janji, aku akan bicara den
Senja mulai turun pelan-pelan, membalut langit dengan warna keemasan yang mengabur, seiring bergulirnya waktu di rumah keluarga Kenan. Udara terasa lembab, seolah menyimpan banyak rahasia yang belum terucap. Suasana rumah besar itu tampak tenang di permukaan, namun ada percikan-percikan bara yang sewaktu-waktu bisa menyala menjadi api.Bayu menoleh pada Kenan yang berdiri tak jauh darinya di ruang tengah.“Bang, aku sama Jifanya duduk di luar, ya,” ucap Bayu sopan, tetap menjaga tata krama di hadapan kakaknya.Kenan mengangguk singkat. “Baiklah.”Jifanya pun ikut bangkit dan menyusul Bayu menuju meja kerja di halaman belakang, tepat di tepi kolam renang yang memantulkan cahaya langit senja. Suasana di luar terasa lebih lega, lebih lapang, dan lebih jauh dari luka-luka yang selama ini menghimpit Jifanya di dalam rumah itu.Dari lantai dua, Kenan berdiri di balik tirai jendela kamarnya. Matanya menatap lurus ke arah halaman. Bayu dan Jifanya duduk berdampingan, masing-masing sibuk di dep







