Home / Rumah Tangga / Tuan Dingin & Nyonya Luka /   Luka karena Penghianatan

Share

  Luka karena Penghianatan

Author: Borneng
last update Last Updated: 2025-08-19 17:22:30

                    Luka karena Penghianatan

Pulang dari kantor polisi Jifanya langsung ke rumah Tina, dia menginap dan cerita panjang lebar pada Tina. Paginya ia baru pulang dari rumah Tina.

Jifanya mengaduk-aduk isi tasnya dengan cemas. Tangannya mulai gemetar. Ia mengeluarkan dompet, tisu, bahkan lipstik, berharap menemukan benda kecil yang ia cari.

“Mana kunci kosku?” gumamnya panik.

Ia memeriksa setiap sudut jalan yang baru saja ia lewati, menyusuri kembali pelataran depan warung kecil tempat ia duduk sebentar pagi tadi. Tapi kunci itu tetap tak ia temukan.

Lalu, ingatannya melayang ke pagi sebelumnya. Ia sempat mampir ke rumah Tina. Di sanalah terakhir kali ia merasa menyentuh kunci itu.

“Aku pasti ninggalin di rumah Tina,” desahnya lelah.

Dengan langkah tergesa, ia memesan ojek online. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Namun bukan karena kehilangan kunci, melainkan karena ia takut mengganggu sahabatnya. ‘Tina mungkin masih tidur. Aku ambil kunci diam-diam saja. Pasti ada di ruang tamu, dekat televisi’  batinnya mencoba menenangkan diri.

Begitu tiba, Jifanya membuka pagar perlahan. Suasana rumah kontrakan itu masih sepi. Pintu depan tidak terkunci. Ia mendorongnya pelan, lalu berjalan perlahan ke ruang tamu.

Suara televisi sayup-sayup terdengar dari dalam kamar. Namun bukan itu yang membuat Jifanya berhenti melangkah.

“Sayang, pelan-pelan... sakit tau...” suara lembut seorang perempuan terdengar lirih dari balik pintu kamar.

Langkah Jifanya terhenti. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia mengenal suara itu. Itu suara Tina.

“Tina... sama siapa?” pikirnya cemas.

Dengan hati-hati, ia mendekatkan wajah ke celah pintu. Matanya membelalak. Napasnya tercekat.

Di balik pintu yang sedikit terbuka itu, tampak tubuh dua insan bertumpuk. Fahar, kekasih yang sudah tiga tahun bersamanya, tengah menindih tubuh Tina yang telanjang bulat di atas ranjang sempit itu.

Detik itu juga, dunia Jifanya runtuh.

‘Astagfirullahaladzim... Fahar?’ batinnya nyaris tak percaya.

Tangannya bergetar. Ia membekap mulutnya sendiri agar tak menjerit. Tapi otaknya bekerja cepat. Ia mengangkat ponsel, lalu merekam adegan itu dari celah pintu. Bukan untuk menyebarkan, tapi untuk mengingatkan dirinya sendiri—bahwa ini bukan mimpi, ini kenyataan.

Tanpa suara, Jifanya melangkah mundur. Air matanya menetes begitu saja. Ia keluar dari rumah itu dengan langkah limbung, meninggalkan sepotong hatinya yang hancur di dalam sana.

Ia berjalan menyusuri gang yang sama, namun kini langkahnya tanpa arah. Air matanya mengalir deras. Bukan hanya karena cinta yang dikhianati, tapi juga karena persahabatan yang ternoda.

“Kepercayaan itu mahal. Bahkan terlalu mahal jika diberikan pada orang yang salah.”

Tina dan Fahar. Dua nama yang selalu ia banggakan. Tina, sahabat terbaik sejak SMA. Fahar, lelaki yang ia doakan setiap malam dalam sujudnya. Kini keduanya merobek hatinya tanpa ampun.

Sementara itu, di dalam kamar kontrakan, dua insan terlarang masih melanjutkan dosa mereka.

Fahar masih menekan tubuh Tina dengan irama yang lambat. Keringat mereka bercampur, desahan mereka menjadi alunan nista dalam ruang penuh kepalsuan.

“Sayang, apa sakit?” tanya Fahar keTina melihat Tina menggigit bibir bawahnya.

“Tidak enak sekali,” bisiknya dengan suara serak menggoda.

“Ayo cepat kita selesaikan sebelum ada yang melihat,” ucap Fahar, melirik ke arah jendela.

“Kamu takut sama Jifanya?” tanya Tina dengan nada manja, mendesah lembut.

“Tidak. Aku lelah dengannya. Jangan sebut nama itu lagi,” jawab Fahar tajam.

Tina tertawa kecil. “Tapi, kapan kamu akan benar-benar putus? Kita harus menikah. Kalau aku hamil, bagaimana?”

“Jangan khawatir. Aku akan memutuskannya,” jawab Fahar seraya menghentakkan panggulnya lebih cepat. Tubuhnya menegang, dan dalam hitungan detik, ia memuntahkan gairahnya ke tubuh Tina tanpa ampun.

Beberapa saat kemudian, Fahar buru-buru membersihkan diri. Ia takut tetangga memergoki. Tapi Tina malah merengek.

“Mandi bareng yuk, sayang. Aku masih mau...” ujarnya genit.

“Ti, nanti tetanggamu datang.”

“Tenang aja. Mbak Lala dan suaminya lagi di rumah orangtuanya. Bu Dinar juga ke undangan. Aman, Sayang.”

“Kamu yakin?”

“Tenang, aku udah cek. Rumah-rumah sebelah kosong semua.”

Tina menarik Fahar menuju kamar mandi. Di sana, ia kembali mencumbu bibir kekasih sahabatnya, lalu berjongkok di antara kakinya. Kali ini, Tina melayani dengan gaya yang membuat Fahar tak mampu menahan erangan panjang.

Tubuh Fahar bersandar lemas ke tembok kamar mandi. Desahannya menggema, seolah menggaungkan betapa candunya ia terhadap pelayanan terlarang itu. Di luar sana, dunia boleh mengira mereka guru ngaji dan sepupu. Tapi di dalam, mereka adalah pasangan zina yang haus akan kenikmatan dunia.

“Apa kamu menyukainya?” tanya Tina.

“Sa... sangat suka, Sayang. Jifanya si bodoh itu tidak pernah mau melakukan ini denganku. Kamu yang terbaik,” balas Fahar dengan napas berat.

“Mau lagi?” goda Tina sambil menyentuh bagian tubuh Fahar.

“Mau. Sangat mau.”

Dan mereka kembali melakukannya, membiarkan nafsu mengalahkan akal dan iman.

Sementara itu, Jifanya berdiri di bawah pohon mangga di ujung jalan. Hujan mulai turun rintik-rintik. Rambutnya basah, bajunya lepek. Tapi ia tak peduli. Di dadanya, ada badai yang lebih deras dari hujan mana pun. Dia tidak bisa mengambar rasa sakit yang dia rasakan. Sahabat tempat dia berkeluh kesah dan berbagi cerita rupanya menghianatinya. Sahabat yang pura-pura mendukungnya saat di depan tapi menusuknya dari belakang. Setelah beberapa lama duduk meredakan rasa sakit di dadanya. Ponselnya bergetar.

Fahar menelepon.

Ia menatap layar itu lama. Lalu memutus sambungan dan memblokir nomor itu. Tak lama, pesan dari Tina masuk.

“Jifanya, kamu sempat ke rumah tadi ya? Maaf, aku nggak sempat bukain pintu. Lagi ketiduran.”

Lagi ketiduran?

Jifanya menghela napas panjang. Ia membuka galeri ponselnya, memutar ulang video berdurasi dua menit yang berhasil ia rekam. Matanya basah lagi. Namun kali ini bukan karena cinta. Tapi karena harga dirinya diinjak-injak oleh dua manusia paling kejam yang pernah ia kenal.

“Sahabat sejati tidak akan merampas apa yang menjadi milikmu. Kalau mereka melakukannya, mereka bukan sahabat. Mereka serigala berbulu domba.”

 Di hatinya, ada dendam. Tapi bukan dendam yang membakar. Dendam itu dingin, diam, dan penuh perhitungan.

Ia mengirim satu pesan ke Tina dan Fahar.

[Terima kasih. Kalian sudah membukakan mataku tentang siapa sebenarnya kalian. Semoga kalian bahagia. Tapi ingat, karma tak pernah lupa jalan pulang] tulisnya.

[Ada apa, Ji] tanya Tina pura-pura bego.

[Pikirkan saja sendiri]

Ia lalu menghapus kontak keduanya. Menghapus semua foto. Semua kenangan. Tapi tidak dengan video itu. Ia simpan, bukan untuk menyebarkan. Tapi sebagai pengingat bahwa suatu saat, luka ini akan sembuh... dan mereka akan membayar semuanya.

Dan di luar jendela, langit mulai terang. Mentari perlahan menyingkirkan gelap. Sama seperti Jifanya, yang memulai langkah baru. Meski masih luka, tapi ia tahu, luka itu adalah guru paling kejam... dan paling jujur.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Kepergian yang Mengguncang

    Pagi itu, mentari baru saja merangkak naik, menyinari jendela kamar Dila yang tirainya masih setengah tertutup. Suara burung yang bertengger di dahan mangga terdengar samar, namun hati Dila justru merasa berat begitu ia membuka mata. Ia menguap pelan, lalu meraih ponselnya di meja nakas. Jemarinya yang masih malas menekan layar, membuka aplikasi WhatsApp.Namun pandangannya langsung terhenti pada sebuah status yang tak biasa."Selamat jalan Oma, semoga khusnul khotimah. Aamiin."Status itu ditulis oleh Jifanya.Bola mata Dila membesar, napasnya tercekat. Seakan tubuhnya tersengat listrik, ia sontak duduk tegak.“Apa? Nenek Jifanya meninggal? Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” bisiknya, nyaris tak percaya.Tanpa menunda, ia segera menekan nomor Jifanya. Suara dering panjang membuat dadanya semakin sesak. Hingga akhirnya terdengar suara lirih di seberang sana.“Halo, Kak Dila,” suara itu parau, bergetar, seperti seseorang yang tengah menahan tangis.“Ji... apa benar nenek kamu meningg

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Di Antara Janin dan Kepergian

    Senja baru saja merayap di langit kota ketika Dila, dengan amarah yang ditahan-tahan, menelepon dua pria yang sangat dikenalnya: Kenan dan Bayu. Wajahnya pucat, matanya memerah. Ia meminta mereka segera pulang. Ada hal besar yang harus diselesaikan.Tak lama kemudian, suara langkah kaki menggema di halaman rumah keluarga besar mereka. Kenan tiba lebih dulu, duduk di kursi kayu depan rumah, matanya menatap kosong ke arah halaman, dingin seperti biasanya. Tak berselang lama, Bayu menyusul. Ia hanya menunduk, duduk tanpa kata.Dila menghampiri Kenan dengan emosi yang meledak-ledak. Di tangannya tergenggam kertas yang sudah kusut. Ia melemparkan kertas itu ke dada Kenan."Apa benar kamu menyuruh Jifanya menggugurkan kandungannya? Apa kamu sejahat itu, Mas? Lalu untuk apa kamu menikahinya?" suaranya mengguncang udara petang itu.“Aku... tidak tahu,” jawab Kenan, pelan namun tegas. Ekspresinya tetap datar, namun matanya menyimpan badai.“Pak Kenan, Pak Polisi yang terhormat!” Dila mencemooh

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Janin di Ujung Luka

    Siang itu terik luar biasa. Matahari seakan murka, membakar jalanan kota hingga aspal pun menguapkan panas menyengat. Lalu lintas ramai, klakson kendaraan bersahut-sahutan, namun di tengah hiruk pikuk itu, seorang wanita muda duduk diam di bangku taman. Wajahnya menunduk, matanya sembab, jemarinya menggenggam selembar kertas seakan nyawanya bertumpu di sana.Dia adalah Jifanya.Baru saja ia keluar dari kafe tempatnya bertemu Bayu—lelaki yang masih saja berusaha menebus kesalahan besar yang tak termaafkan. Tatapan penuh rasa bersalah itu selalu menghantuinya. Tapi Jifanya tidak butuh penyesalan, ia butuh kepastian.Selembar kertas di tangannya adalah persetujuan tertulis, ditandatangani oleh suaminya sendiri, Kenan. Persetujuan untuk sebuah tindakan pengguguran kandungan. Satu tanda tangan, tanpa banyak tanya, tanpa emosi, tanpa cinta.Jifanya menunduk, hatinya terasa diremuk. Satu tanda tangan cukup untuk menghapuskan kehidupan. Apakah aku hanya selembar kertas di mata Kenan?Angin si

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Jejak Luka Dalam Rahim

    Malam itu, langit tampak murung. Gerimis jatuh pelan, menimpa genting rumah yang dingin dan sunyi. Udara malam mengandung aroma tanah basah, seakan menjadi saksi bisu atas luka yang mengendap di hati seorang perempuan bernama Jifanya. Dengan langkah letih, ia akhirnya pulang. Ia merasa hidup tidak pernah adil padanya. Dari kecil sudah hidup menderita dan sekarang dia lebih menderita lagi.Tak disangkanya, Kenan—lelaki yang sah menjadi suaminya—sudah berada di rumah. Seketika degup jantungnya berpacu tak karuan. Ada harap yang bergetar di dalam dadanya, seolah malam itu bisa menjadi awal yang baru. Ia ingin menceritakan kabar kehamilannya, berharap meski sedikit, ada pengertian dari sang suami.Namun harapan itu cepat redup. Wajah Kenan tetap datar, sorot matanya dingin seperti danau beku.Di meja makan, hanya ada mereka bertiga: Jifanya, Kenan, dan sang ibu mertua. Meja makan yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan, justru terasa lebih dingin dari kuburan. Tatapan sinis ibu mertua m

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Aroma Dosa yang Membekas

    Matahari sore menggantung malas di langit kota. Hawa panas menyisakan gerah yang melekat pada kulit siapa saja yang melangkah di jalanan. Asap kendaraan bercampur dengan debu membuat udara semakin sesak. Namun di bawah rindang pohon kampus yang mulai meranggas, seorang perempuan berdiri mematung. Namanya Jifanya. Tubuhnya tegak, tapi hatinya rapuh. Matanya tajam, penuh bara amarah yang dipendam terlalu lama. Pandangannya tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari gedung fakultas—Bayu.Bayu, lelaki bertubuh tinggi dengan rambut undercut yang disisir ke belakang. Dengan langkah santai, ia mengibaskan jaket yang tersampir di pundaknya. Jemarinya merapikan rambut, sementara tatapannya tertuju pada Jifanya yang menunggunya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Tak lagi ia lihat kerudung yang biasanya menutupi kepala Jifanya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, wajahnya telanjang tanpa perlindungan. Ada luka di sorot matanya, tapi juga ada keberanian yang asing.Bayu berhenti, me

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Rumah Ini Bukan Untukku

    Pagi yang seharusnya hangat berubah menjadi kabut kelabu bagi Jifanya. Baru beberapa minggu tinggal sebagai menantu di rumah Kenan, tapi rasanya seperti bertahun-tahun dalam penjara dingin tanpa jendela. Setiap langkah yang ia ambil selalu salah di mata ibu mertuanya. Mulai dari cara makan yang disebut kampungan, gaya berjalan yang dianggap tak layak, hingga pilihan pakaian yang dianggap murahan.Rumah besar bercat krem yang dulu tampak megah kini terasa seperti rumah hantu. Bahkan dindingnya seakan ikut menghakimi keberadaan Jifanya. Berat badannya menyusut drastis, wajahnya pucat, dan matanya bengkak karena terlalu sering menangis diam-diam. Tapi semua itu tak membuatnya berhenti berusaha. Ia ingin diterima, diakui, dicintai… meski rasanya mustahil.Suatu pagi, keTina Jifanya membantu Bi Jum di dapur, suara tajam itu kembali mengiris telinganya.“Kamu harusnya ganti pakaian bersih dulu sebelum ke dapur,” ucap ibu mertua Jifanya dengan nada dingin dan menuduh.“Saya sudah mandi tadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status