Home / Rumah Tangga / Tuan Dingin & Nyonya Luka / Bukan Istrinya, Tapi Selalu Jadi Penyelamatku

Share

Bukan Istrinya, Tapi Selalu Jadi Penyelamatku

Author: Borneng
last update Last Updated: 2025-08-19 17:21:12

Bukan Istrinya, Tapi Selalu Jadi Penyelamatku

Di kantor polisi sore itu, udara dipenuhi tawa dan lelucon para anggota yang baru pulang dari tugas pengamanan demonstrasi. Namun, satu sudut ruangan tampak berbeda. Jifanya duduk di kursi kayu yang sudah mulai usang, kepalanya bersandar di meja. Bukan karena lelah, tapi karena kecewa. Bukan pertama kali ia berada di sana. Bukan juga pertama kali karena alasan yang sama: membela anak-anak yang disakiti.

"Ji, karena apa lagi sekarang?" tanya polisi senior yang sudah beruban namun masih enerjik.

"Biasa, Pak... tentang anak," jawab  polisi muda yang sedang sibuk mengetik laporan di depan komputer.

"Anak siapa lagi sekarang, Jifanya? Anak tetangga, anak RW, atau jangan-jangan anak Pak RT?" goda polisi itu lagi.

Jifanya hanya tersenyum kecut. Candaan seperti itu sudah biasa ia terima. Ia tidak marah, hanya lelah. Lelah karena niat baiknya selalu disalahpahami.

"Jifanya, saya sudah menulis laporan tentang kamu. Tapi... kekasihmu menolak jadi penjamin. Jadi kamu belum bisa pulang malam ini kalau tidak ada yang menjamin. Siapa yang harus kita hubungi?"

Tak ada jawaban dari gadis itu. Ia hanya memeluk dirinya sendiri, menggumam, "Aku cuma menolong..."

Pak polisi senior itu menatapnya iba. "Jifanya, tidak semua niat baik diterima dengan baik. Dunia ini tidak selalu berpihak pada yang benar."

"Kalau kita diam, siapa yang akan menolong anak-anak itu, Pak?" sahut Jifanya, menatap mata pria tua itu dengan penuh keyakinan.

"Minum ini dulu, nak," ujar Pak Agus, menyodorkan air mineral.

Polisi muda itu, kembali bersuara, "Jadi bagaimana, Ji? Orang tua nggak ada, keluarga nggak di sini, kekasihmu juga sudah lepas tangan. Kamu menginap saja ya malam ini?"

"Jangan, Pak. Besok saya kuliah," jawab Jifanya, panik.

Tak lama kemudian, pintu kantor terbuka. Sosok lelaki berseragam rapi, tinggi, dan berwajah dingin masuk. Semua polisi berseru serempak, "Pak Kenan! Istrimu datang lagi."

Jifanya buru-buru berdiri. "Aku bukan istrinya, Pak," ujarnya pelan, wajahnya merah padam.

"Tapi tiap kamu ditahan, dia yang jemput. Udah cocok, tinggal bikin undangan," goda polisi sambil mengedipkan mata.

Kenan tidak merespons. Ia duduk di pojok ruangan, memainkan ponselnya dengan wajah datar.

"Ji, mending kamu nikah aja sama Kenan. Jadi tiap bermasalah, ada suami yang jemput di kantor polisi," canda polisi lain.

"Aduh, jangan Pak. Saya jadi nggak enak," sahut Jifanya gugup.

"Kalau nggak, nikah sama saya aja Ji, kita bikin anak banyak. Biar kamu nggak gangguin anak orang terus," celetuk intel yang duduk di dekat Kenan.

"Berisik, Bapak," potong Jifanya kesal, membuat seisi ruangan tertawa.

Tapi senyumnya menghilang saat polisi muda itu berkata, "Kekasihmu bilang dia udah capek urusin kamu. Dia nggak mau bantu lagi."

Jifanya mencoba menelepon, tapi ponselnya mati kehabisan baterai. Ia panik. Akhirnya, ia menatap Kenan dengan tatapan memohon.

"Pak Kenan, boleh pinjam ponsel? Saya mau hubungi Kak Dila."

"Tuh kan, akhirnya ke suaminya juga larinya," goda atasan Kenan.

Kenan tetap dingin. Tapi diam-diam, ia menyerahkan ponselnya tanpa berkata apa-apa.

"Halo, Ji? Ada apa?" suara lembut Dila terdengar.

"Kak, aku ditahan lagi... bisa tolong jamin aku?"

Dila tertawa lembut. "Anak siapa lagi yang kamu tolong, Jifanya? Sebentar ya, kasih ponselnya ke Kenan."

Kenan mendengus kesal saat menerima ponsel. "Sampai kapan aku harus urusin dia?"

"Dia karyawan Umi. Dia sendiri di kota ini. Kita bantu ya," suara Dila terdengar lembut di ujung telepon.

Akhirnya Kenan menyerah. Ia menandatangani berkas sebagai penjamin.

"Saya yang menjamin," katanya pelan.

"Ooooh..." suara kompak para polisi menggoda, membuat Jifanya semakin malu.

"Kenan istrinya nih. Datang tiap minggu buat ketemu suami," ujar salah satu.

"Berisik kalian," bentak Kenan, lalu menatap Jifanya tajam.

Jifanya menunduk. "Maaf, Mas."

"Kalau bisa, jangan buat masalah lagi," ucap Kenan datar.

Mereka keluar dari kantor polisi. Di depan mobil, Jifanya berbisik pelan, "Aku... nggak bawa dompet. Boleh minta tolong dianter pulang, Mas... eh, Pak."

Kenan menggertakkan gigi. "Menyusahkan terus."

Meski bersungut, Kenan membuka pintu mobilnya. Sepanjang perjalanan, hening membungkus mereka.

"Pak Kenan, saya ke kantor polisi lagi karena—"

"Saya tidak nanya," potong Kenan dingin.

Wajah Jifanya langsung merah menahan malu. Tapi ia tahu, di balik dinginnya lelaki itu, ada sesuatu yang tersembunyi—perhatian yang belum sempat diucapkan.

Tapi saat lampu merah, ia diam-diam melirik Jifanya dari kaca spion.

“Apa kamu sudah makan?”

Jifanya spontan menatap wajah Kenan. Terlihat seperti anak kecil yang ditawarin makan acecream. Wajahnya seketika berbinar cerah.

“Belum Pak.”

“Mari kita makan.”

“Iya, kebetulan aku sudah lapar.”

Polisi bertampang dingin itu memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Lalu berjalan ke wararung tenda penjual soto ayam. Jifanya masih berdiri dengan ragu. Ia takut salah mendengar ajakan Kenan.

‘Apa dia tadi mengajakku makan di sini apa dibungkus, ya?’

Gadis cantik itu takut bertanya, setiap kali melihat wajah dingin Kenan dia selalu merasa takut. Di satu sisi Kenan adalah anak bosnya di satu sisi lain dia seorang polisi yang selalu dia repotkan. Jadi, gadis cantik itu selalu merasa sungkan setiap kali bersama Kenan. Tapi entah kenapa takdir selalu membuat mereka sering bertemu di waktu yang tidak tepat.

“Kenapa hanya begong. Kamu mau makan atau mau berdiri di situ?”

“Oh, iya.”

 Jifanya, manarik kursi di samping Kenan. Sambil menunggu pesanan datang. Kenan sibuk dengan ponselnya, Jifanya duduk dengan cangung di samping Kenan. Jarak duduk mereka dekat ia bisa mencium bau parfum Kenan. Laki-laki itu sangat gagah saat memakai seragam polisi. Saat semua teman Jifanya sangat mengangumi Kenan karena ketampanannya, tapi tidak untuknya. Bagi Jifanya Kenan bukanlau laki-laki idamannya karena laki-laki itu kaku dan selalu bersikap dingin. Jifanya suka laki-laki humoris dan bisa diajak bercanda. Bukan seperti kanebo kering seperti Kenan.

Saat makanan pesanan mereka datang. Kenan tidak mengatakan apa-apa. Dia makan dengan diam. Jifanya yang biasa banyak bicara dan ceria mendadak ikut beku, melihat wajah Kenan yang dingin.

‘Uh … harusnya aku tidak perlu ikut makan dengannya’ Jifanya membatin.

“Selamat makan.” Ucap Jifanya pelan.

“Iya,” sahut Kenan dengan wajah datar.

Setelah selesai makan Kenan membuka dompet menyodorkan uang berwarna biru padanya.

“Kamu naik angkot dari sini saja, Aku masih ada pekerjaan.”

“Baik Pak. Oh .. Aku minta maaf karena merepot-“

“Kalau kamu tidak ingin merepotkan orang lain, jangan membuat masalah,’ potongnya dengan cepat lalu membuka pintu mobilnya, lalu meninggalkan Jifanya yang masih berdiri.

“Aku juga tidak ingin berurusan  dengan manusia kutup utara seperti kamu,” ucap Jifanya sambil memincingkan  bibirnya.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Cinta di Ujung Senja

    Saat Jifanya berjalan menjauh Bayu menemuinya lagi. Ia tidak ingin wanita hamil itu kenapa-kenapa. Jifanya menutup mata menatap ke pantai Ancol ia sangat berharap Bayu berubah pikiran dan membawanya pergi bersamanya.‘Aku berharap ada keajaiban’ gumamnya dalam hati.Mentari senja menyapu langit Ancol dengan semburat jingga yang menggantung lesu, seakan melukis kanvas alam dengan perasaan yang penuh ketegangan. Ombak berdebur, datang dan pergi, seperti hati Jifanya yang tak tenang. Angin laut berhembus lembut, menebar aroma asin yang bercampur getir, seperti nasib yang tengah dipikulnya.Jifanya berdiri di bibir pantai. Rambut hitamnya terurai berantakan, tertiup angin, namun tubuhnya tetap tegak. Meski hatinya berguncang, ia mencoba bertahan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan kecil yang harus ia jaga, meski batinnya koyak oleh dilema cinta dan tanggung jawab.“Tunggu di sini. Sebentar lagi dia akan datang.”Suara Bayu terdengar lirih namun mantap. Tatapannya penuh pergolakan, seolah d

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Di Ujung Perpisahan, Ada Luka yang Tak Terucapkan

    Senja menggantung malu-malu di langit Jakarta. Cahaya jingganya mewarnai pantai Ancol, memantul di permukaan air yang tenang. Di sebuah kafe di pinggir pantai, Jifanya dan Bayu duduk berdua. Udara mulai dingin, angin laut menyapa perlahan, seakan ikut merasakan keruwetan hati mereka."Kenapa kamu diam?" tanya Jifanya setelah mereka selesai makan. Matanya menatap Bayu penuh tanya. Tak seperti biasanya, pria itu terlihat lesu dan sulit didekati."Jifanya, aku sangat capek. Kita bicara lagi besok pagi, ya? Aku akan pesan satu kamar hotel untuk kamu. Istirahatlah di sana," ujar Bayu sambil melirik ke arah hotel di seberang jalan."Kenapa harus hotel? Aku bisa tidur di rumahmu. Di sana banyak kamar, bukan?""Kamu istri Kenan, Jifanya. Tinggal berdua dengan pria yang bukan suamimu hanya akan menimbulkan fitnah," tutur Bayu dengan suara lirih namun mantap."Lalu kamu bagaimana?""Jangan pikirkan aku. Aku bisa tidur di mana saja. Malam ini, aku akan tidur di mobil."Dengan langkah berat, Bayu

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Cinta yang Tertinggal di Tengah Hati yang Remuk

    Langit Ancol sore itu mendung, seakan ikut menyimpan rahasia yang menggantung di antara mereka. Angin laut berembus pelan, menyibak rambut Jifanya yang setengah terikat, saat ia dan Bayu duduk di sebuah kafe pinggir pantai. Keduanya memesan minuman, namun tak satupun yang menyentuh gelasnya.Jifanya tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Wajah Bayu yang tegang, rahangnya mengeras, matanya tajam menatap ufuk jauh. Sebuah badai akan segera datang, bukan dari langit, tapi dari masa lalu mereka.Jifanya menata napas, lalu berbicara, “Aku tahu kamu belum pernah bicara berdua dengan Ayahmu. Aku sengaja mengatur ini.”Bayu menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Beberapa saat kemudian, langkah tegap Pak Mustofa muncul. Rambutnya disisir rapi, kemeja putihnya sedikit kusut. Ia menatap Bayu, lalu duduk tanpa bicara.Hening.Debur ombak jadi musik latar.Akhirnya, suara berat itu terdengar, dingin dan tegas.“Tidak pantas kamu membawa istri abangmu sendiri kabur.”Bayu mengerutkan d

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Rumah yang Tak Pernah Kembali

    Bayu menyetir tanpa arah, membiarkan malam menelan keheningan dalam mobil. Lampu-lampu kota Jakarta menyala bagai kilau luka yang tak bisa disembuhkan. Ia menatap jalan kosong di depannya, tapi pikirannya penuh. Tidak ada rencana, tidak ada tujuan. Ia hanya tahu satu hal, ia tak sanggup membiarkan Jifanya menangis seperti tadi, dremehkan, diusir secara halus oleh wanita yang seharusnya menjadi ibu.Angin malam berdesir lembut dari ventilasi mobil, menyapu wajah Jifanya yang pucat. Ia duduk diam, menunduk, memeluk perutnya yang mulai membuncit. Tatapannya kosong, namun sesekali mencuri pandang ke arah wajah Bayu yang luka-luka. Bibirnya ingin bergerak, ingin berkata sesuatu, tapi rasa bersalah dan ketakutan menahannya. Ia tahu Bayu kehilangan kendali karena dirinya. Tapi ia juga tahu, Bayu hanya ingin melindunginya.Setelah menempuh jalan panjang, mobil perlahan melambat. Bayu menepikan kendaraan di sebuah kawasan elit di Ancol, Jakarta Utara. Di depannya berdiri sebuah rumah dua lan

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Luka yang Tak Terlihat

    Hujan baru saja reda sore itu. Langit mendung seperti perasaan yang menggantung di dalam rumah keluarga Mustofa. Jifanya duduk di ruang belakang, diapit oleh Dila yang terus berusaha menenangkannya. Isak tangis pelan terdengar di sela-sela helaan napasnya yang berat.“Aku tidak ingin tinggal di rumah ini, Kak Dila. Aku tidak sanggup lagi. Lebih baik aku kost. Ibu-ibu bilang aku dan anak ini hanya benalu yang menumpang hidup. Aku merasa sangat sedih,” ucap Jifanya lirih, menunduk, menggenggam perutnya yang mulai membuncit, seolah ingin melindungi buah hatinya dari dunia yang terlalu kejam.Dila mengelus punggung Jifanya dengan lembut. “Ji, tolong jangan menangis. Kalau Kakek dan Ayah tahu Umi bicara seperti itu lagi, mereka akan marah besar. Tadi malam saja, pertengkaran antara Ayah dan Umi sudah sangat hebat.”Tangis Jifanya semakin tak terbendung. “Aku tidak ingin jadi penyebab keributan di rumah ini, Kak. Itulah kenapa aku memilih kost dari awal.”“Ji, aku janji, aku akan bicara den

  • Tuan Dingin & Nyonya Luka   Luka yang Tak Pernah Diobati

    Senja mulai turun pelan-pelan, membalut langit dengan warna keemasan yang mengabur, seiring bergulirnya waktu di rumah keluarga Kenan. Udara terasa lembab, seolah menyimpan banyak rahasia yang belum terucap. Suasana rumah besar itu tampak tenang di permukaan, namun ada percikan-percikan bara yang sewaktu-waktu bisa menyala menjadi api.Bayu menoleh pada Kenan yang berdiri tak jauh darinya di ruang tengah.“Bang, aku sama Jifanya duduk di luar, ya,” ucap Bayu sopan, tetap menjaga tata krama di hadapan kakaknya.Kenan mengangguk singkat. “Baiklah.”Jifanya pun ikut bangkit dan menyusul Bayu menuju meja kerja di halaman belakang, tepat di tepi kolam renang yang memantulkan cahaya langit senja. Suasana di luar terasa lebih lega, lebih lapang, dan lebih jauh dari luka-luka yang selama ini menghimpit Jifanya di dalam rumah itu.Dari lantai dua, Kenan berdiri di balik tirai jendela kamarnya. Matanya menatap lurus ke arah halaman. Bayu dan Jifanya duduk berdampingan, masing-masing sibuk di dep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status