LOGINSenja menggelayut kelam di langit Jakarta saat Jifanya melangkah keluar dari rumah kontrakannya. Cahaya oranye pudar seakan tak mampu menghangatkan tubuhnya yang membeku oleh pengkhianatan. Angin sore menerpa wajahnya, menyeka sisa air mata yang belum sempat ia keringkan. Kakinya gemetar, seolah kehilangan kekuatan untuk berpijak. Tangannya masih menggenggam ponsel yang ia gunakan untuk merekam luka paling pahit dalam hidupnya.
Ia melangkah gontai tanpa tujuan. Jalanan yang biasanya dipenuhi suara klakson dan obrolan warga terasa sunyi. Seolah semesta pun tahu, hatinya sedang hancur berkeping-keping. Dunia Jifanya runtuh dalam sekejap. Fahar — lelaki yang ia cintai, yang ia percayai sebagai calon imam — ternyata lelaki keji yang menyusup ke kehidupan sahabatnya sendiri. Dan Tina — sahabat yang ia bela mati-matian dari gunjingan orang — ternyata menyelipkan belati tepat ke dadanya.
“Kalau luka fisik bisa disembuhkan dengan obat, luka karena pengkhianatan hanya bisa disembuhkan dengan waktu dan keteguhan hati,” batinnya lirih, mengutip nasihat almarhumah ibunya.
Langkah Jifanya membawanya ke taman kecil di ujung kompleks. Tempat biasa ia dan Tina duduk, berbagi cerita tentang Fahar, tentang masa depan, tentang mimpi-mimpi kecil mereka. Duduk di bangku tua itu, Jifanya menangis sejadi-jadinya. Isaknya tenggelam dalam suara gesekan dedaunan dan gesekan ranting.
"Kenapa... Kenapa kalian tega?" gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Ingatannya melayang pada malam-malam keTina Tina menangis karena diselingkuhi pacarnya, dan Jifanya yang pertama memeluk serta menenangkan. Jifanya selalu ada. Jifanya selalu membela Tina saat ada yang mencibir. Bahkan keTina Fahar mulai akrab dengan Tina karena alasan ngaji bareng, Jifanya menepis semua rasa curiga.
"Bukan perempuan baik-baik, Jifanya. Hati-hati, ya," kata Rina, teman kantor Jifanya beberapa bulan lalu.
Tapi Jifanya marah saat itu. Ia membela Tina mati-matian.
"Dia bukan kayak gitu! Dia cuma kesepian, dia butuh teman."
Dan sekarang? Rasa percaya itu dibalas dengan pemandangan menjijikkan—Tina telanjang di bawah tubuh Fahar. Tubuh lelaki yang pernah ia doakan setiap malam, agar menjadi jodohnya, kini justru menyatu dengan sahabatnya sendiri di rumah tempat mereka sering tertawa bersama.
‘Tidak semua yang terlihat baik itu suci. Kadang, yang paling sering tersenyum manis justru menyimpan duri di balik kata-katanya,’ pikir Jifanya getir.
Malam turun perlahan. Langit Jakarta mulai gelap. Lampu taman menyala sendu, seperti mengiringi tangisan hatinya. Ia menatap layar ponsel. Video itu masih ada. Tangan Jifanya gemetar, tapi ia tak menghapusnya. Tidak. Video itu bukti. Bukti kebusukan dua manusia yang pernah ia sebut rumah dan keluarga.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Fahar.
“Sayang, kamu ke mana? Aku ke rumah kamu tadi, kamu nggak ada.”
Jifanya menatap layar itu lama. Matanya membara. Ia ingin membalas. Ia ingin menumpahkan amarah. Tapi tidak. Bukan sekarang. Ia menghela napas panjang, lalu menyimpan ponselnya dalam tas.
Ia memutuskan pulang. Dalam diam. Dalam luka. Dalam kehancuran yang tak terlihat mata.
**
Jifanya masih menyusuri trotoar panjang di tengah hiruk-pikuk Jakarta, tak peduli pada mobil-mobil yang melintas kencang dan sesekali mengklakson tajam ke arahnya. Tubuhnya berjalan seperti tanpa jiwa, mata sembabnya tak berhenti mengalirkan air mata yang terasa panas di pipi. Berkali-kali punggung tangannya menyapu wajah, namun tangisan itu tak juga reda.
Sakit. Terlalu sakit.
Dikhianati oleh dua orang yang paling dipercayainya—sahabat dan kekasih—bagaikan dihantam badai tanpa pelindung. Mereka, yang selama ini menjadi tempat ia menaruh kepercayaan, ternyata mampu menikamnya dari belakang tanpa ampun.
“Tiiit! Tiiit!”
Sebuah klakson kembali memekakkan telinga. Jifanya menoleh pelan. Sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Dari dalam mobil, seorang pria berseragam polisi membuka kaca.
"Woi! Kamu dari mana?!"
Jifanya mendongak, wajahnya basah. “Mas Kenan?”
“Masuk! Buruan!”
“Mau ke mana?” tanyanya, bingung.
“Kamu bawa kunci toko, Umi mau ambil barang.”
Tanpa banyak tanya, Jifanya masuk ke dalam mobil. Keheningan mendominasi sepanjang perjalanan. Kenan, si polisi tampan anak dari bos toko bangunan tempat Jifanya bekerja, menatap jalan dengan serius. Pria itu dikenal dingin, wajahnya tenang tanpa ekspresi seperti pahatan batu. Jifanya tak keberatan. Dalam situasi hatinya yang koyak, keheningan justru jadi pelukan yang menenangkan.
Air matanya masih menetes, tapi Kenan tidak bertanya. Ia tidak perlu bertanya. Kadang, luka yang terlalu dalam tak perlu dibicarakan, cukup dipahami dari senyap yang panjang.
Sesampainya di depan toko, Kenan menghenTinan mobilnya.
“Umi mau paku satu kilo. Katanya mau dipakai hari ini.”
“Baik, Mas.”
“Nanti antar ke rumah. Aku langsung ke kantor.”
Tanpa menunggu respons, Kenan langsung tancap gas, meninggalkan Jifanya yang masih terpaku. Gadis berkerudung itu masuk ke toko, mengambil barang yang diminta, lalu melanjutkan perjalanan naik angkot ke rumah bosnya.
Jifanya, Fahar, dan ATina bekerja di sebuah toko bangunan di Jakarta Timur. Hanya Jifanya yang libur setiap Sabtu dan Minggu karena kuliah. Ia mengambil kelas karyawan, berjuang antara mengejar gelar dan mengais rezeki. Bosnya mendukung penuh, karena selain rajin, Jifanya juga dikenal cerdas dan bertanggung jawab.
Tiba di rumah sang bos, langkah Jifanya lesu. Kepalanya mulai terasa berat. Umi Kenan menyambutnya.
“Ji, makan dulu.”
“Bu, aku nggak lapar. Tapi kepala aku pusing sekali,” keluh Jifanya.
“Tidur dulu sana, di kamar Dila. Kami mau ke acara lamaran Kenan. Kamu sama Bibi di rumah ya. Nanti saya bilangin Dila kalau kamu lagi nggak enak badan.”
“Baik, Bu.”
Jifanya sudah seperti keluarga di rumah itu. Kakek Kenan sangat menyayanginya. Ia sering diminta bantu-bantu saat ada acara, atau sekadar ikut makan bersama. Hari itu, keluarga Kenan mengadakan acara pertemuan dengan keluarga calon tunangan Kenan.
Jifanya berjalan ke kamar Dila. Kepalanya makin berat. Pintu kamar terbuka, dan ia langsung merebahkan diri di ranjang. Tubuhnya panas, keringat dingin mulai mengucur. Untung Bibi Jum datang membawa makanan dan obat.
“Neng, kita pindah kamar ya. Nggak enak di sini. Ini Kamar Bayu.”
“Bi… pusing banget, nggak kuat berdiri.”
“Ya sudah, kamu minum obat dulu, nanti kalau Neng Dila pulang, Bibi bilangin kamu di sini.”
Malam semakin larut. Rumah masih sepi. Di sisi lain kota, sekelompok pria sedang merayakan kepulangan Bayu—adik Kenan yang baru pulang dari luar negeri. Mereka minum sampai mabuk.
*
Pintu kamar tempat Jifanya tidur tiba-tiba terbuka. Tapi ia enggan membuka mata. Kepalanya masih berat, ruangan gelap karena lampu sengaja dimaTinan.
Seseorang naik ke ranjang, masuk ke bawah selimut yang sama.
“Bi Jum… aku kedinginan,” gumam Jifanya lemah.
Orang itu memeluk tubuhnya. Nafasnya hangat, bercampur aroma mint dan alkohol.
“Bi… tambah selimut lagi, ya…”
Orang itu menarik selimut lebih erat dan mendekap tubuh Jifanya lebih erat. Tapi sentuhan yang awalnya hangat, berubah aneh. Tangan asing itu menyentuh kulit Jifanya, membangkitkan sesuatu dalam tubuh pria itu.
Bibirmereka bersentuhan. Jifanya tersentak, mendorong dada lelaki itu, tapi tubuhnya terlalu lemah.
“Apa… apa yang kamu lakukan… Jangan…” bisiknya ketakutan.
Namun lelaki itu—dalam kondisi mabuk dan setengah sadar—tak menggubris. Ia menindih tubuh Jifanya, merobek pakaian mereka.
“Aaa! Sakit! Berhenti!” Jifanya menangis, menjerit, meronta.
Teriakan itu membuat semua orang di rumah heboh. Keluarga besar Kenan yang baru pulang, berlari ke arah kamar. Lampu dinyalakan. Mata semua orang terbelalak.
Seorang pria telanjang menindih Jifanya.
“Bayu!”
Jifanya langsung menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Astaga! Apa yang kamu lakukan?!” teriak sang Mama.
Bayu menoleh, mabuk berat. “Siapa ini? Kenapa di kamarku?”
Kenan datang, bingung melihat kerumunan. Ayah mereka mendekat, puak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Bayu.
“Anak tak berguna! Memalukan keluarga!”
Kenan membeku saat melihat darah di seprai putih. Jifanya menangis tersedu, tubuhnya menggigil.
“Aku nggak tahu apa-apa! Aku nggak sengaja!” seru Bayu, masih limbung.
“Kenapa kamu nggak tinggal di luar negeri saja selamanya?!” bentak sang Ayah.
“Berisik!” jawab Bayu, lalu menjatuhkan diri ke sofa dan tertidur lagi.
“Apa yang harus kita lakukan…” Mama Kenan panik. Jifanya terduduk di pojokan, wajahnya tertutup lutut. Dila memeluknya.
Dila adik Kenan mendekat. “Ji… apa yang terjadi? Astaga, Tuhan…!”
“Anak ini merusak anak orang!” teriak sang Kakek.
Jifanya diminta berpakaian. Dila membantu, tubuhnya masih gemetar. Saat kembali ke ruang tamu, wajah Jifanya sangat pucat. Di hadapannya berdiri banyak orang—keluarga besar Kenan, tetangga, bahkan rekan kerjanya seperti Fahar ikut menyaksikan. Malu. Hancur. Terkoyak.
Dila menjelaskan, “Tadi dia sakit. Umi minta dia tidur di atas.”
Satu rumah menatap Jifanya dengan berbagai tatapan. Di hari yang seharusnya jadi lamaran Kenan, Jifanya justru dihancurkan.
“Tanggung jawab! Kamu harus menikahi dia!” bentak sang Ayah.
“Aku nggak mau! Bukan salahku!”
“Pengecut! Kamu kayak Ibumu!”
“Jangan hina Ibu!” teriak Bayu lalu kabur.
Kakek Kenan meninju meja, “Bangsat! Malu kita!”
“Apa yang harus kita lakukan? Umi yang meminta Jifanya tidu di kamar atas. Bagaimana kalau semua orang tahu. Nama baik keluarga kita, aduh…” Umi Kenan memegang kepalanya dengan panik. Semua orang dalam ketegangan. Jifanya menangis histeris, dia memukuli wajahnya dengan prustasi. Membuat suasana semakin menegang.
“Saya… saya yang akan menikahinya.”
Semua mata menoleh. Kenan berdiri dengan tatapan tenang.
Jifanya menatap Kenan. Dunia berputar. Dan detik itu juga, ia… pingsan.
Bersambung
Sore itu, di sebuah aula besar hotel tempat digelarnya ajang desain muda nasional, ketegangan antara Jifanya dan Bayu kembali memuncak. Di sela-sela riuh peserta yang menanti pengumuman, Jifanya berdiri dengan mata sembab, riasan wajahnya sudah luntur."Aku melakukan semua itu agar desainmu diterima!" Jifanya membela diri dengan nada yang sarat emosi."Dengan cara melakukan sesuatu yang berbahaya, Jifanya?" tanya Bayu, nadanya terdengar tajam meski matanya mengisyaratkan kekhawatiran."Aku tidak melakukan hal yang berbahaya!" bantah Jifanya cepat. Ia menjelaskan bahwa ia tidak memakai korset untuk mengecilkan perut, hanya memilih model pakaian yang menyamarkan bentuk tubuhnya. Bayu terdiam, hatinya mencelos melihat air mata Jifanya jatuh satu per satu.“Baiklah, aku minta maaf.” Dengan pelan, ia menyodorkan sapu tangan dari saku celananya, mengusap sisa riasan yang mulai luntur.“Kamu harusnya memujiku, bukan menekanku. Kamu tidak tahu bagaimana perjuanganku untuk tampil di sana. Liha
Mega Hotel sore itu dipenuhi oleh orang-orang penting bersetelan rapi. Aroma kopi dan karpet mewah menyambut setiap langkah. Di ruang presentasi, nama Jifanya sudah masuk dalam daftar giliran kelima, giliran terakhir, namun juga yang paling menegangkan.Namun, justru bukan Jifanya yang terlihat paling gugup hari itu.Bayu duduk di barisan kursi paling belakang, menggenggam tangan sendiri hingga buku-bukunya memutih. Ia sudah mencoba segalanya agar Jifanya tidak perlu naik ke panggung. Tapi panitia bersikeras: yang mengirim desain harus yang mempresentasikannya.Seandainya bisa, Bayu ingin sekali mengganTinan Jifanya. Ia sudah membujuk, memohon, bahkan menyodorkan surat kuasa. Tapi semuanya ditolak mentah-mentah. Kini ia hanya bisa menatap ke arah pintu, berharap Jifanya segera muncul.Ponselnya bergetar.[Bagaimana?] pesan dari Kenan.[Dia belum tampil. Tunggu satu nomor lagi.][Bagaimana dengan Jifanya? Masih gugup?]Bayu mengetik cepat. [Iya. Tapi jangan khawatir, dia sudah pernah p
Udara pagi hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang bersinar terang, tetapi hati Jifanya diliputi kecemasan yang membuat segala sesuatunya terasa suram. Siapa sangka, desain modifikasi yang ia kirim hanya karena keisengan dan balas dendam kecil terhadap Bayu justru dipilih menjadi juara? Bahkan kini, gambar milik Bayu dituduh sebagai penjiplakan.Ia tidak pernah berniat sejauh itu. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia juga bisa. Tapi kini, semua ini menjadi bumerang. Dengan kepala tertunduk dan suara bergetar, Jifanya akhirnya mengakui pada Kenan.“Aku salah. Tadinya aku pikir dia belum mengirim, makanya aku kirim desain yang aku ubah sedikit,” bisiknya lirih, malu bukan main.Kenan menatap Jifanya tanpa berkata-kata sejenak. Hatinya perih, tetapi juga iba. “Kamu harus bertanggung jawab sekarang. Kamu harus menjelaskannya. Jangan kabur, Jifanya.”Di seberang telepon, suara Bayu terdengar sabar meski jelas menyimpan nada kecewa. “Tidak apa-apa, nanti kita bicarakan. Se
Malam di rumah besar keluarga Mustofa tak lagi hangat. Udara di ruang tamu yang biasa menjadi tempat berkumpul kini terasa dingin dan menyesakkan. Dila berdiri membeku di balik tangga, matanya berkaca-kaca. Niat awalnya hanya ingin mengambil beberapa lembar pakaian, tetapi langkahnya terhenti ketika suara pertengkaran di ruang utama menggema."Kamu menceraikanku gara-gara gadis kampung itu!" teriak Bu Neha, matanya merah, wajahnya basah oleh air mata dan kemarahan.Pak Mustofa berdiri tegak. Pria berwibawa itu biasanya tenang, tapi kali ini suaranya bergetar penuh amarah yang tertahan selama bertahun-tahun. "Dia menantumu, dan juga menantuku. Tapi kamu, Neha, kamu kehilangan kendali. Kamu berkata dia pantas mati. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan dengan wanita yang sekejam itu?""Lalu aku ini apa? Istrimu? Boneka? Pengganti wanita yang kamu cintai dari dulu itu? Kamu selalu dingin padaku. Aku melakukan segalanya untuk mendapatkan perhatianmu. Tapi kamu hanya memikirkan wanita itu
Sore itu, di ruang tamu rumah keluarga Mustofa, suasana terasa begitu sepi meskipun tak benar-benar sunyi. Hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak lambat, seakan ikut merasakan beratnya isi hati dua pria yang tengah duduk berseberangan di sofa cokelat tua. Sinar jingga matahari menembus kaca jendela, menyapu lembut wajah Bayu yang menunduk dalam diam.Pak Mustofa menatap anak bungsunya dengan sorot mata sayu. Ada sesuatu yang telah lama ia pendam, kini perlahan menyembul ke permukaan."Bayu," ucapnya pelan. "Sudah saatnya kamu mencari pasangan hidup. Kamu butuh teman, untuk bicara, untuk pulang."Bayu tersenyum tipis, tidak menatap langsung ke ayahnya. "Tidak usah pikirkan soal jodohku, Yah. Aku baik-baik saja."Pak Mustofa menarik napas dalam. "Teman Ayah punya anak perempuan. Cantik, dokter, pintar. Aku rasa dia akan tertarik padamu saat pertama melihatmu."Bayu akhirnya menoleh, ekspresi datarnya sedikit terangkat. "Kenapa dia bisa tertarik padaku?"Dengan bangga dan senyum
Siang itu, langit kota mendung, tapi tidak hujan. Udara terasa lembab, seolah menggantungkan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Di sebuah rumah makan sederhana di seberang kampus, Jifanya dan Bayu duduk berseberangan. Jendela terbuka lebar, membiarkan angin masuk menyibak rambut Jifanya yang ia biarkan terurai.Bayu sengaja memilih meja dekat jendela agar Jifanya bisa menghirup udara segar. Wajah perempuan itu masih terkesan murung, menatap jalanan dengan pandangan kosong.“Apa kamu pakai nasi?” tanya Bayu, mencoba membuka percakapan.Jifanya mengangguk pelan tanpa menoleh.“Mau minum apa?” tanyanya lagi.“Apa saja,” jawab Jifanya cepat, masih menatap keluar.Tak ingin memperpanjang keheningan yang kaku, Bayu memesan rawon dengan nasi serta jeruk dingin untuk Jifanya. Untuk dirinya, ia memesan teh tawar panas.Setelahnya, mereka diam. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, hingga tak ada kata yang cukup pantas diucapkan.Bayu, merasa







