Langkah gadis yang sebentar lagi akan mencapai sepedanya itu terhenti ketika mendengar suara pemuda yang tadi seperti menciptakan jarak dengannya. Fio menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan sambil memejamkan mata sebentar. Fio menoleh dengan senyuman yang sudah terkembang di bibirnya.
“Ya?” jawabnya yang terdengar seringan kapas.
Bian nampak sedang menoleh kepadanya kemudian berdiri dan melangkah menuju dirinya. Fio menatap air muka Bian yang sepertinya tidak senang dengan kedatangannya. Fio masih saja menggenggam tangannya sendiri untuk meneguhkan diri. Dia memasang wajah yang sama sekali tidak terlihat sedang kecewa dan juga sedih. Sebaliknya, Fio tetap memasang wajah cerianya seperti biasa.
“Ini,” Bian mengulurkan uang senilai tiga puluh ribu rupiah yang tadi di ambil dari dalam celananya.
Fio menatap tangan Bian. “Apa ini?” tanyanya dengan wajah bingung.
“Apa kamu lupa? Kemarin waktu k
Sampai di rumahnya, Fio langsung masuk ke dalam kamar tanpa menyapa mamanya yang sedang menyiram tanaman di halaman samping rumah mereka. Rahma bahkan menatap putrinya dengan wajah yang terlihat penasaran.“Ada apa dengannya?” gumam Rahma.Sikap Fio tidak seperti biasanya. Gadis itu sama sekali tidak mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Fio bahkan menundukkan kepalanya kala berjalan.“Fio kenapa?” gumam Rahma lagi kemudian dia menghela napasnya dalam.***Fio berjalan keluar dari kamarnya dan segera menuju ke ruang tamu. Baru saja mamanya mengetuk pintu kamar miliknya. Sepertinya dia ketiduran sampai jam tujuh malam dia baru terbangun. Fio sudah berhenti menangis entah sejak kapan. Kepalanya terasa sangat berat dan matanya terasa pegal. Fio bahkan merasa hidungnya seperti sedikit tersumbat.“Ada apa Nad?” Fio berhasil membuat Nadya terkejut dengan ucapannya.Fio duduk di sebelah Nadya. Gadis itu
Jawaban Fio membuat Nadya menelan salivanya dengan pelan. “Siapa orang itu?” tanya Nadya masih pura-pura penasaran.“Ada, orang itu temanku, tapi…” Fio menggantungkan kalimatnya. “Sudah! tidak perlu di bahas karena yang jelas perasaanku sudah baik-baik saja sekarang apalagi dengan es krim cokelat yang kamu bawakan ini, lumayan bisa mengobati hatiku,” jawab Fio sambil tersenyum.Nadya kemudian menganggukkan kepalanya. “Oke, makanlah sebelum mencair,” katanya.Fio mengangguk. “Terima kasih banyak, sepertinya kamu sudah putus dari Dio,” Fio bicara tanpa menatap Nadya.“Kami masih baik-baik saja!” Nadya dengan cepat membantah ucapan Fio.“Oh, aku pikir kalian sudah putus,” kata Fio dengan santai.“Belum! Kamu doanya jelek sekali, kamu senang kalau kami putus?” tanya Nadya yang merasa kesal.Fio menggelengkan kepalanya. “Kamu tiba-t
Bian menarik tangan Fio sehingga Fio kini sudah menghadap Bian dengan jarak yang sangat dekat. Fio sama sekali tidak mengatakan apapun kepada Bian. Gadis itu hanya menatap pemuda di depannya itu dengan tatapan datarnya.Bian terdiam saat menatap Fio tepat di mata gadis itu. Mata Fio berkaca-kaca dan hal tersebut membuat Bian merasa sangat buruk di depan Fio.Bian menelan salivanya dengan cepat dan meregangkan genggamannya pada pergelangan tangan Fio. “Bisakah kamu memberiku sedikit waktumu?” tanya Bian dengan alis yang sudah turun ke bawah dan Fio tahu bahwa Bian tengah menatapnya dengan penuh penyesalan.“Tidak ada urusan yang penting di antara kita jadi aku rasa kita tidak perlu membahas apapun,” jawab Fio sambil melepaskan tangannya yang sayangnya gagal.“Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum kamu memberikan aku waktu,” kata Bian dengan mata yang menyorot penuh tekad.Fio mengalihkan pandangannya ke arah kiri
“Aku harus bagaimana?” kata Fio kepada dirinya sendiri dengan nada memelas.Dia sedikit mengangkat kepalanya kemudian bangkit berdiri. “Apapun yang akan dikatakan Bian, aku hanya perlu mendengarkannya, kan?” gumam Fio sambil berjalan menuju pintu kamar. “Kalau aku kembali terluka nantinya, aku masih memiliki duniaku yang sama sekali tidak berubah meskipun tanpa Bian,” katanya mantap.Fio meraih gagang pintu dan membukanya. Dia keluar dari kamar dan segera menuju ke dapur untuk mencari mamanya. “Sepi,” gumam Fio.Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri. Fio mengerucutkan bibirnya kala menyadari bahwa hari itu adalah hari dimana mamanya ada acara arisan.“Pasti nanti papa langsung jemput mama,” tebak Fio. “Di rumah sendirian, oke!” Fio menganggukkan kepalanya.Gadis itu menarik kursi yang berada di ruang makan dan duduk disana. Matanya memandangi berbagai hidangan di atas meja
Fio menaikkan satu alisnya tinggi kemudian dengan segera dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Aku baik-baik saja.” Fio mengangguk.Bian mengamati Fio yang tidak menatapnya ketika menjawab pertanyaan mudah darinya. “Maafkan aku Fi,” kata Bian dengan mata yang terlihat menyesal.“Maaf untuk apa?” Fio menoleh dan bertanya seolah-olah dirinya benar-benar baik-baik saja.“Karena sudah bersikap menyebalkan minggu lalu,” jawab Bian dengan nada lembut.Fio tersenyum. “Kenapa?” tanya Fio yang membuat Bian menatap manik mata gadis itu dengan lebih dalam.“Aku…” Bian memutus kontak mata mereka dan hal tersebut berhasil membuat Fio tersenyum kecut. “Aku dekat dengan gadis yang sedang bersamaku waktu itu dan aku hanya tidak ingin dia salah paham dengan…” Bian menggantungkan kalimatnya sejenak. “Kita.”Ada rasa berat yang menghimpit dada Fi
Percakapannya dengan Bian masih jelas membekas di kepala Fio. Gadis itu sejak tadi kesulitan untuk memejamkan matanya. Dia terus merapatkan matanya dengan paksa yang sayang sekali hanya bertahan selama lima menit saja. Dia menyerah dan kembali membuka mata untuk menatap langit-langit kamarnya. Disana terdapat bintang-bintang yang berasal dari lampu di atas nakas Fio. Suasana remang dan banyaknya proyeksi bintang di atasnya membuat Fio semakin merasa kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Bian kepadanya tidak berhenti berputar di kepalanya. Gadis itu mendesah kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Fio berjalan dengan pelan. Matanya bahkan masih sembab akibat menangis tepat setelah Bian meninggalkan rumahnya. Dia membuka pintu kamarnya kemudian berjalan menuju ke arah ruang makan. Dia menoleh ke arah jam dinding yang terletak di atas pintu kamar kedua orang tuanya. “Huh!” Dia membuang napasnya dengan kasar. Pukul sebelas lebih sepuluh menit malam. Fio meneruskan l
Fio menatap dua roti yang masih ada di dalam kotak bekalnya dengan sorot kecewa. “Ini… ini untuk aku semua,” jawab Fio. “iya ini untuk aku semua,” gumam Fio. “Makanmu banyak sekali,” celetuk Nadya sambil mengunyah rotinya. “Supaya berat badanku bertambah, mama berkata kalau aku kelihatan kurus,” Fio tersenyum dengan menunjukkan gigi-giginya yang putih bersih. Nadya hanya tertawa dan tidak menanggapi ucapan Fio. Mengingat bagaimana mamanya menyiapkan bekal sarapan tadi pagi membuat Fio merasa kembali kecewa. Memangnya Fio harus bagaimana setelah obrolannya dengan Bian malam itu? Semuanya semakin menjadi abu-abu dan terasa sia-sia bagi Fio. Dia ingin menghentikan langkahnya. Dia ingin memutus semua perasaannya untuk Bian sekarang juga, tapi pemuda itu selalu egois dengan menarik ulurnya sesuka hati. “Aku senang selama ini ada kamu di sampingku,” kata Bian. Fio menoleh dengan bibirnya yang terkunci rapat. Matanya tidak berkedip menat
Fio menatap papanya dengan gelas berisi susu yang masih berada di depan bibirnya. “Ya, Fio baik-baik saja, Pa,” jawabnya dengan senyuman yang terlihat seperti dipaksakan.“Kalau kamu sedang tidak enak badan, kamu tidak perlu datang ke sekolah, Papa bisa minta izin ke sekolahmu pagi ini,” kata Anjar dengan pandangan yang tidak lepas dari wajah Fio.Fio menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak perlu, Fio tidak sakit, Fio benar-benar baik-baik saja, Pa,” katanya membantah.“Yasudah kalau begitu, ini Mama siapkan bekal sarapan kamu untuk di sekolah nanti, jangan lupa di makan,” kata Rahma dengan senyuman hangat.Fio tersenyum dan mengangguk paham. “Terima kasih banyak, Ma.”Dia kemudian menatap kotak bekalnya yang hampir di tutup oleh Rahma. “Mama tunggu!” Fio menahan tangan Rahma yang hendak menutup kotak bekal tersebut.“Ada apa?” tanya Rahma sedikit terkej