Bagaimana tanggapan Ratih mendapatkan kembali ancaman dari Deva? Jangan lupa untuk follow akun IG author yah @leelizbeth88
“Kenapa kamu selalu saja mengancamku?!” protes Ratih.Dia mulai emosi setiap kali Deva mengatakan tidak akan ada pernikahan. Bayangan wajah Darman dan Lusi yang kecewa membuat Ratih selalu mati kutu jika sudah mendengar tentang pembatalan pernikahan mereka.“Kan, kamu sendiri yang mengatakan kalau akan memenuhi semua syarat yang aku ajukan sekali pun itu merugikanmu. Asalkan aku mau menikah dengan mu? Apa kamu sudah lupa dengan perkataanmu sendiri?” sindir Deva sambil menatap tajam Ratih.“Yah, kalau begitu ngapain kamu suruh aku membaca dan mendiskusikan isi perjanjian pernikahan ini, kalau pada akhirnya kata diskusi itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Harusnya kamu langsung suruh aku menandatangi perjanjian ini saja dong!” Ratih tanpa sadar meninggikan suaranya.“Aku tidak suka sekali mendengar nada dan cara bicaramu kepadaku. Sepertinya aku harus menambah satu poin mutlak lagi!” dengus Deva sambil menulis angka sepuluh dan kalimat yang cukup panjang pada bagian bawah kertas yang
Ratih juga baru menyadari jika rencananya di pagi hari sebelum berangkat ke rumahnya Deva ternyata gagal dia laksanakan. Sejak tadi, rambut lembutnya justru menutupi jepit mutiara yang tersemat di sisi kiri belahan rambutnya. Jepit Mutiara ini baru tampak jelas saat Ratih menjepit poni depannya ketika tadi menandatangani Married Agreement. “Ini? Iya, ini punya Tante Nadira. Kok kamu tau?” tanya Ratih pura-pura kaget. “Tentu saja aku tau semua barang milik mamaku.” Deva lalu mengambil sebuah pigura foto yang ditaruh di meja menghadap ke arah kursinya. “Jepit rambut ini, sering sekali dipakai mamaku dan kebetulan lebih dari setengah foto mamaku almarhumah selalu memakai jepit itu. Pertanyaannya, kok bisa ada di kamu?” tanya Deva curiga. Apakah Abizar yang memberikannya? Rasanya tidak mungkin. Kalau pun Nadira yang memberikannya langsung kepada Ratih, Deva sedikit heran kenapa selama ini dia tidak tau. “Ini hadiah ulang tahunku yang ke sebelas. Waktu itu Tante Nadira merasa gerah mel
“Iya benar, Tuan Muda. Saya saja tidak menyangka Nona Ratih bisa mengajak saya bercerita. Satu saja pesan saya, Tuan Muda. Jangan enggan untuk membuka hati Tuan Muda untuk Nona Ratih, semua yang terjadi saat ini bisa saja menjadi jawaban dari doa keluarga Nona Ratih dan juga papanya Tuan Muda.” Nasehat Pak Ratmin memang benar, hanya saja Deva masih memiliki keraguan yang besar.“Iya, kita lihat nanti bagaimananya Pak Ratmin. Saya tidak bisa menjanjikan hati saya untuk Ratih, semua ini saya lakukan untuk memenuhi janji saya kepada Mama Nadira. Untuk urusan kepercayaan, Ratihlah yang harus berjuang mendapatkan kepercayaan dariku. Setelahnya, bukan tidak mungkin aku akan membuka hatiku untuknya,” jawab Deva.Selebihnya Deva menghabiskan waktu untuk berpikir dan sesekali membaca laporan keuangan yang baru saja dikirimkan oleh tim auditor tadi pagi.Di sisi lain, Ratih baru saja sampai di gudang penyimpanan kasil karet. Terlihat bundanya menggunakan jumpsuit kerja dan masker. “Bang Parlin,
Suara tak asing itu membuat Ratih spontan berbalik. Tampak Rangga sedang berdiri dengan membawa sebilah celurit di tangannya. Wajahnya tampak lusuh, matanya juga tampak agak sembab dengan bagian bawah mata yang berwarna lebih gelap.“Rangga? Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara Ratih terdengar gugup sambil sesekali melirik ke benda tajam yang digenggam erat oleh Rangga.“Apa kamu lupa, kalau aku ini buruh panen getah karet harian di kebun ayah kamu? Kenapa kamu sangat terkejut melihat aku seperti ini? Apa yang dilakukan oleh si Deva brengsek itu, sampai kamu tega meninggalkanku seperti ini?” Rangga terlihat sangat geram, matanya juga memerah dan berair sangking kesalnya perasaan Rangga.“Rangga, kamu tenanglah. Kalau kamu memang mau bicara baik-baik sama aku, kita atur waktu untuk bertemu diluar jam kerjamu yah. Jangan seperti ini, kamu kan harus menyelesaikan dulu tanggung jawabmu hari ini.” Ratih berbicara selembut mungkin dengan sedikit membujuk Rangga.Ratih takut Rangga emosi da
“Deva, selamatkanlah aku. Ku mohon Deva, datanglah kepadaku. Aku, kembali ke masa sekarang bukan untuk dibunuh oleh bajingan ini untuk yang kedua kalinya. Ku mohon Deva selamatkanlah aku ….”Tangan kanan Rangga semakin mendekat ke arah wajah Ratih.BUG!Sebuah pukulan telak menumbangkan Rangga dan membuat cengkeraman tangan di leher Ratih terlepas. Tetapi karena cekikan Rangga cukup membuat Ratih kehilangan banyak oksigen di otaknya, saat itu juga Ratih langsung pingsan di tempat.“Ratih!” pekik Lusi dan Darman bersamaan dan segera menolong anak mereka.Untunglah sebelum Rangga mendaratkan sebuah pukulan di wajah Ratih, Parlin datang lebih dahulu menolong Rating dengan memukul Rangga dengan siku tangannya. Rangga langsung di ikat dan diserahkan ke pihak berwajib saat itu juga.Sedangkan Ratih segera di bawa ke rumah sakit, kedua orang tuanya takut terjadi apa-apa dengan Ratih. Apalagi wajah Ratih terlihat sangat pucat saat itu.“Ratih, sadarlah Nak.” Wajah Darman terlihat sangat kacau
“Aku hanya akan ke sebelah ranjangmu untuk memencet bel saja. Aku tidak kemana-mana,” jawab Deva.Ratih hanya bisa menganggukk lemah, rasa ngilu di leher membuat Ratih kesulitas untuk banyak bicara. Tak lama kemudian dokter Aldo dan seorang perawat kembali datang lalu memeriksa Ratih. Terlihat bekas cengkeraman di leher Ratih membiru, Deva menyadarinya saat Aldo memeriksa dengan seksama.“Nona Ratih, apa leher Anda sakit untuk dipakai untuk menelan ludah?” tanya Aldo dijawab anggukan singkat Ratih.“Baiklah saya akan memberikan obat penghilang rasa sakit dan sementara makanlah bubur dulu,” terang dokter Aldo lalu pamit meninggalkan kembali Ratih dan Deva berdua.Deva menatap Ratih dengan pandangan sendu, ia tidak tau apa yang dirasakannya saat ini apa karena kasihan atau perduli. Yang jelas perasaan Deva saat itu tidak tenang dengan kondisi Ratih.“Mulai saat ini, aku sendiri yang akan menjagamu sampai tanggal pernikahan kita. Kamu tinggal pilih, aku yang tinggal di rumahmu atau kamu
“Kamu yang kenapa?! Kamu kerjain aku yah kemarin?!” amuk Ratih sambil melotot. Deva baru sadar akan sesuatu, dia langsung menepuk jidatnya. Seharusnya Deva tidak memencet tombol apa-apa untuk setelan pengaturan warna anak tangga tersebut. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, keusilannya telah tertangkap basah oleh Ratih. “A-aku baru saja memasangnya agar kamu nyaman,” bohong Deva sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ratih memicingkan kedua matanya tidak percaya dan menunjuk kedua mata Deva dengan hari telunjuk serta jari tengahnya seolah sedang mengancam dan mengawasi Deva. “Awas saja kalau kamu bohong! Aku pasti bisa mengendusnya,” desis Ratih sambil melengos. Ratih segera naik ke lantai dua terlebih dahulu sambil disusul oleh Deva yang langsung menggigit bibirnya menahan tawa. “Buka saja pintunya tidak aku kunci,” ucap Deva saat melihat Ratih berhenti di depan pintu kantor sambil menatapnya. Deva lalu mengambil sebuah berkas dan menunjukkannya kepada Ratih yang sudah duduk d
“Jangan bilang kalau kamu marah sama aku gara-gara bikini merah di masa depan yah? Apa kamu dari tadi cemburu atas sesuatu yang belum terjadi, Dev?!” tanya Ratih sambil berjalan semakin mendekati Deva. “HAH?! Cemburu?! Hahaha! Apa kamu lagi menghayal?! Ngapain aku cemburu sama kamu? Aneh-aneh saja,” sangkal Deva langsung membuang mukanya. Tapi Ratih terus saja mengejar Deva dan berjalan menuju ke tempat Deva berdiri di depan jendela. “Aneh-aneh? Terus kalau bukan cemburu apa namanya. Kamu marah-marah nggak jelas, belum lagi mencecar aku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh soal bikini. Kamu bahkan marah sama aku karena aku memakai bikini di masa depan.” Ratih terus mencecar Deva dengan tatapan penuh curiga. Lagi-lagi Deva menghindar dari tatapan tajamnya Ratih. “Aku hanya marah dan curiga kalau kamu sering ke hotel sama Rangga karena apa yang kamu lakukan di masa lalu akan mempengaruhi nama baikku. Syukurlah hal tersebut terjadi di masa depan versimu sebelum kamu kembali ke masa lalu j