Nenek Miranti membawa Nara ke kamar Jaden, dan saat pintu dibuka, Nara melihat seorang pria dengan kursi rodanya duduk membelakanginya, dia sedang melihat ke arah luar jendela kamarnya.
"Jaden, nenek ingin bicara denganmu." "Nek, aku sudah katakan jika aku tidak membutuhkan seorang pelayan untuk merawatku! Kenapa Nenek menganggap aku pria lumpuh yang tidak bisa apa-apa?" Pria bernama Jaden itu bicara tanpa melihat pada lawan bicaranya. "Jaden, nenek mencarikan kamu seorang pelayan bukan karena nenek menganggap kamu tidak bisa apa-apa, tapi agar kamu ada yang memperhatikan lebih baik di sini." "Tidak perlu ada yang memperhatikanku, Nek, aku bisa mengurus hidupku sendiri." "Bagaimana kamu bisa mengurus dirimu sendiri? Kamu sendiri saja duduk di kursi roda," ucap Nara tegas. Nenek Miranti yang mendengar hal itu seketika menoleh pada Nara yang berdiri tepat di sampingnya. Wajah Nara menunjukkan aura dinginnya. "Siapa kamu berani mengatakan hal itu padaku?" Jaden seketika memutar kursi rodanya dan sekarang Jaden dan Nara saling berhadapan. "Perkenalkan, nama saya Nara dan saya adalah pelayan pribadi Tuan Muda Jaden." Sekarang Jaden dan Nara saling berhadapan. "Cih! Pelayan pribadiku? Aku tidak membutuhkan pelayan pribadi sepertimu." "Terserah Tuan Muda Jaden mengatakan apa, tapi Nenek Miranti sudah memberikan separuh dari gaji saya untuk menjadi pelayan pribadi Tuan Muda Jaden. Jadi, saya harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah saya sepakati dengan Nenek Miranti." "Reno ... Reno ...!" teriak Jaden dan tidak lama seorang pria dengan kacamata putihnya masuk ke dalam kamar Jaden dan dia dengan cepat membungkukkan sedikit tubuhnya ke arah Jaden. "Ada apa, Tuan Jaden? Apa ada yang harus saya lakukan?" "Berikan sepuluh kali lipat gaji yang Nenekku berikan pada wanita tidak tahu diri ini!" Nara terlihat samar menarik napasnya dan mengembuskannya perlahan. Pria bernama Reno itu pun bingung, dia sampai melihat ke arah Nara dan kemudian berpindah pada Nenek Miranti. "Ta-tapi, Tuan." "Apa kamu mau membantah perintahku?" bentak Jaden marah. "Iya, akan saya lakukan." Reno berjalan beberapa langkah, tapi kemudian langkah terhenti saat tangan Nara menahan lengan tangan Reno. "Aku tidak membutuhkan uangmu, Tuan Jaden Luther. Aku datang ke sini karena aku harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku sepakati dengan nenek Tuan." "Surat kontrak itu, aku akan menghancurkannya dan kamu bebas untuk pergi dari rumah ini." Nara berjalan mendekat ke arah Jaden Luther dan dia membungkukkan sedikit tubuhnya agar wajahnya sejajar dengan pria yang duduk di kursi roda. "Ini bukan masalah Tuan Jaden bisa merobek atau bahkan membakar surat kontrak itu, tapi lebih pada tanggung jawabku yang tetap mau menandatangi surat kontrak itu, walaupun aku tahu apa yang tertulis di sana." Nenek Miranti dan Reno pun sekarang saling melihat. "Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Kenapa kamu ingin sekali menjadi pelayan pribadiku?" tanya Jaden dengan wajah dinginnya. "Saat bertemu dengan Nenek Miranti dan bicara dengan beliau, aku melihat wajah Nenek Miranti seolah berharap agar cucunya yang dulu bisa kembali lagi di kehidupannya, dari sana aku berharap bisa membantunya." Jaden sedikit terkejut mendengar apa yang Nara katakan. "Jaden yang dulu sudah meninggal saat kecelakaan mobil itu terjadi. Sebaiknya kamu pergi saja dari rumahku." Nara kembali menarik tubuhnya menjadi posisi berdiri tepat di depan Jaden. "Apa yang kamu dapatkan dengan membenci seperti ini?" Jaden tiba-tiba menarik dengan kasar pergelangan tangan Nara dan mencengkeramnya dengan erat sehingga membuat wajah Nara meringis kesakitan. "Jaden, apa yang kamu lakukan?" Nenek Miranti tampak kaget. "Tuan Muda Jaden." Reno pun kaget dan dia khawatir melihat Nara yang menahan sakit. "Jangan sok pintar atau banyak bicara denganku. Sebaiknya kamu pergi atau aku akan membuat kamu menangis karena sudah bersikeras ingin menjadi pelayanku." Jaden dengan kasar melepaskan tangan Nara. "Pergi dari sini!" bentaknya marah. Nara memijit pergelangan tangannya dan dia dapat merasakan kemarahan Jaden bukan padanya, tapi pada keadaanya saat ini. Nenek Miranti dan lainnya meninggalkan Jaden di kamarnya sendiri. Mereka sekarang ada di ruang tengah. Nenek Miranti meminta maaf pada Nara atas apa yang Jaden lakukan padanya, tapi Nara sama sekali tidak marah akan hal itu. "Sudah banyak orang yang pernah melamar menjadi pelayan di sini. Mereka tergiur dengan gaji yang aku tawarkan, tapi hanya beberapa jam saja mereka mengundurkan diri, sampai aku membuat surat kontrak dan menjelaskan semua di sana. Mereka yang tidak melakukan sampai selesai pekerjaannya di dalam surat kontrak itu akan membayar ganti rugi, tapi karena tidak tahan dengan sikap tempramen dan kasar Jaden, mereka memilih membayar ganti rugi saja." "Tapi Nenek Miranti tidak pernah memintanya karena nenek Miranti orang yang sangat baik," terang Reno. "Iya, Ren, aku melakukan hal itu hanya ingin mereka tetap mau menjadi pelayan pribadi Jaden karena aku sendiri bingung harus berbuat apa untuk cucuku itu." Wanita tua itu menghela napasnya pelan. "Tuan Jaden sebenarnya orang yang baik, tapi setelah kematian ayahnya, ditambah kecelakaan itu dan ditinggal oleh wanita yang sangat dia cintai, membuatnya berubah seperti ini. Aku sendiri sedih melihat Tuan Jaden yang seperti saat ini." "Nara, kalau kamu ingin berhenti menjadi pelayan di sini, aku akan menghormatinya dan soal surat kontrak itu kamu buang saja." Tangan Nara memegang tangan Nenek Miranti. "Nek, aku akan tetap bekerja di sini sebagai pelayan pribadi Tuan Muda Jaden sesuai surat kontrak yang aku sudah tanda tangani." "Kamu serius, Nara?" tanya Nenek Miranti dengan wajah tidak percaya. Nara mengangguk perlahan. Nenek Miranti tidak tahu jika selain ingin menjadi pelayan pribadi seorang Jaden Luther. Nara juga memilik rencana lain untuk pria arogan itu. "Apa Nona Nara sudah memikirkannya baik-baik?" tanya Reno heran. "Sudah. Aku sudah memutuskan untuk tetap bekerja di sini." Nenek Miranti dan Reno sekali lagi saling melihat. "Kamu belum tahu apa yang bisa Jaden lakukan, Nara. Bahkan aku saja tidak didengarkan sekarang olehnya." "Nenek tenang saja. Semoga aku bisa membuat Tuan Jaden menjadi lebih baik." "Entah kenapa, saat melihatmu aku merasa ada sesuatu hal yang istimewa di dalam diri kamu, Nara," tutur Nenek Miranti. "Tidak ada yang istimewa dariku, Nek. Aku hanya wanita biasa yang bekerja untuk mendapatkan uang, tapi aku juga harus bertanggung jawab dengan apa yang aku kerjakan." "Terima kasih kamu mau bekerja di sini, aku lebih tenang jika meninggalkan Jaden untuk pergi ke luar negeri mengurusi bisnisnya yang setelah kecelakaan itu, Jaden sama sekali tidak mau keluar dari kamarnya." "Aku juga senang melihat senyum Nenek itu." Nara melihat ke jam yang ada pada pergelangan tangannya. "Nek, sudah jam dua tepat, saatnya Tuan Muda Jaden makan kemudian minum obatnya." "Kamu masih mengingat dengan baik semua yang tertulis di surat kontrak itu. Aku akan menyuruh pelayan mengantar makanan ke kamar cucuku." "Biar aku saja, Nek yang membawakan makanan untuk Tuan Muda Jaden."Nara akhirnya menerima suit dari Jaden. Entah kenapa, di hatinya merasa jika pria lumpuhnya itu masih sangat mencintainya, hanya rasa bencinya saja yang membuat pria itu menolak mengakuinya."Terima kasih, Tuan JL."Jaden tidak menjawab, dia malah kembali melihat pada layar laptopnya. Nara yang tidak mendapatkan balasan ucapan pun memilih berjalan menuju pintu keluar. Pyaar!Baru dua langkah Nara keluar dari dalam kamar rawat Nenek Miranti. Indra pendengaran Nara mendengar ada benda jatuh dan teriakan Reno memanggil nama seseorang yang sangat Nara kenali"Tuan JL?" Nara langsung masuk kembali ke dalam kamar dan melihat pria lumpuhnya itu jatuh ke lantai dan ada pecahan gelas di sampingnya. Reno pun sudah mencoba membantu Jaden duduk kembali di atas sofa."Tuan Jaden kenapa bisa jatuh?" tanya Nara yang sekarang mengambil beberapa pecahan gelas yang mengenai tangan Jaden."Aku juga tidak mengetahui kejadiannya dengan persis. Saat berbalik melihat Nenek. Tiba-tiba terdengar suara pecah
Nara dengan wajah kesalnya berjalan menuju kamar Nenek Miranti setelah dirinya hampir saja menampar wajah Alexa yang terus menghinanya. Jika Reno tidak cepat menarik paksa tangan Nara dan membawa pergi dari sana. Nara benar-benar tidak bisa menahan emosinya saat Alexa mengatainya jika dirinya membutuhkan uang kenapa tidak menjual diri saja. "Tadi kenapa kamu menahan tanganku, Ren? Wanita itu harus ditampar mulutnya karena ucapannya itu benar-benar membuatku sakit hati." Wajah Nara masih ditekuk kesal."Nara, kamu lupa siapa musuh kamu? Dia Nyonya Alexa, apalagi kamu pernah punya catatan buruk yang bisa dia jadikan senjata untuk membuat kamu dilaporkan. Kalau saja Tuan JL adalah suami kamu, aku pasti akan membiarkan kamu menamparnya karena kamu memiliki orang yang kuat di belakangmu."Nara terdiam sejenak. "Aku tidak takut padanya, Ren." Wajah Nara tampak sedih."Kalau tidak takut, tapi kenapa wajah kamu sedih begitu?""Aku teringat hal itu dulu saat kamu mengatakan jika saja Tuan JL
Siang itu benar saja, Alexa dan putranya—Andrew sudah tiba di rumah sakit. Alexa tampak meneteskan air matanya melihat nenek yang duduk dengan wajah yang masih tampak pucat. Andrew pun terlihat sama sedihnya.Nara pun sudah diajak Reno untuk pergi dari sana sesuai dengan apa yang Jaden perintahkan. Jaden yang menunggu nenek di kamarnya sembari dia mengerjakan pekerjaan kantornya."Ibu kenapa bisa terkena serangan jantung? Bukannya Ibu sering kontrol dan sudah lama sekali tidak pernah sakit," ucap Alexa. "Iya, Nek, kenapa Nenek bisa sampai sakit begini?" Andrew pun menggengam erat tangan Nenek Miranti."Aku tidak apa-apa, kalian tidak perlu cemas. Aku sakit karena tidak sengaja mendengar kabar tidak enak tentang salah satu cucuku." Nenek Miranti pun menatap dengan tajam pada Andrew dan Andrew yang ditatap seperti itu pun merasa jika wanita tua di depannya ini sedang membicarakan tentangnya."Cucu Nenek siapa? Apa Jaden?" tanya Alexa bingung. Nenek Miranti mencoba menahan esmosinya, d
Jaden yang sudah terbangun dari tidurnya, melihat pada sofa yang di sana ada Nara yang masih mendengkur halus. Beberapa menit pria itu duduk dengan menatap wajah Nara yang terlihat dari tempatnya. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan, hanya helaan napas pendek yang bisa dia embuskan."Tuan Jaden, Anda sudah bangun." Reno yang baru memasuki ruangan melihat pada bosnya itu. Dia pun sekilas melihat pada Nara."Ren, hari ini aku ingin menghabiskan waktu di sini. Mama dan Andrew juga nanti siang akan datang dan langsung ke sini. Ren, apa kamu bisa mengajak Nara pergi dari sini?""Loh, kenapa saya harus mengajak Nara pergi dari sini? Tuan tidak ingin melihat Nara?" Reno pun sekarang berdiri di depan pria lumpuh itu."Lebih baik dia tidak di sini. Mamaku dan Andrew akan datang, dan lagi pula dia tidak ada tempat di sini." Sorot mata dengan aura dingin itu menatap pada wanita yang masih terlihat memejamkan kedua matanya.Reno terdiam di tempatnya. Dia sama sekali tidak menyangka jika apa y
Nara kembali dari kamar mandi setelah puas dia menangis di sana. Tak lupa juga dia membawa minuman jus alpukat kesukaannya untuk menenangkan dirinya. Nara membuka pintu kamar rawat nenek dan melihat wanita paruh baya itu sudah tertidur di tempatnya. Di sana kedua matanya juga menangkap sosok Jaden yang tengah duduk pada tempat tidur yang dikhususkan untuk penunggu pasien. Pria lumpuhnya itu sedang membaca buku seperti biasanya."Reno ke mana?" Nara celingukan mencari di mana Reno, tapi sepertinya Reno tidak ada di dalam kamar. "Reno sedang aku suruh pulang untuk mengambil sesuatu," jawab Jaden tanpa melihat ke arah Nara.Nara tentu saja kaget karena tuan lumpuhnya itu mengetahui apa sjg sedang dia pikirkan. Nara duduk di sofa panjang tepat di depan tempat tidur Jaden. Wanita itu menikmati jusnya dengan melihat ke arah Jaden yah sibuk membaca meskipun sebenarnya Jaden sadar jika dia diperhatikan oleh Nara."Tuan JL sudah minum obat, kan?" Nara pun membuka pembicaraan."Reno sudah mem
Nara menjauhkan tubuhnya dari Jaden yang saat ini menatapnya tajam. Pria itu melihat ada selimut yang menutupi tubuhnya, dia pun menariknya dengan kasar dan mengembalikan pada Nara. "Jangan sok peduli denganku. Dan apa tadi? Kamu asih sangat mencintaiku? Pelayan, buang jauh-jauh perasaan cinta kamu yang tidak ada artinya itu karena sebentar lagi aku akan menikah dengan Kalista—wanita yang aku cintai," Jaden menekankan ucapannya. Jujur saja, saat ini perasaan Nara sangat sakit mendengar Jaden mengatakan jika Kalista adalah wanita yang sangat dia cintai. Padahal waktu itu dia melihat jika tuan lumpuhnya itu menaruh cinta yang begitu besar padanya. "Tuan JL, apa benar kamu sudah benar-benar tidak mencintaiku? Meskipun sedikit saja?" tanya Nara dengan nada bergetar. "Pergilah dari hadapanku, Pelayan!" bentak Jaden. "Aku bertanya padamu, Tuan JL." Jaden tampak gusar, tapi dia mencoba menyembunyikan hal itu. Cinta yang dia rasakan pada Nara begitu besar melebihi cintanya dulu pada K
"Kak Dean, aku minta maaf jika beberapa hari ini, aku tidak masuk kerja. Aku masih mau menjaga Nenek Miranti di sini. Kak Dean tau sendiri kalau aku merasa sangat bersalah setelah menceritakan hal itu pada Nenek Miranti." Wajah Nara pun tampak pias. "Iya, aku tau." Tangan Dean pun mengusap lembut kepala Nara. "Nanti kalau Nenek sudah benar-benar sehat, aku akan kembali bekerja. Aku juga kangen ingin membuat kue lagi di dapur cafe milik Kak Dean." Terlukis senyum kecil pada sudut bibir Nara. Dean pun mengangguk. "Nara, bulan depan rencananya aku mau mengajak kamu pergi menemui Nio dan ibumu. Aku kangen dengan keponakanku itu." "Aku mau, Kak. Kemarin, aku juga sudah menghubungi putra kecilku itu dan juga ibuku. Perkembangan kesehatan Nio juga semakin membaik. Dia terlihat sangat ceria, Kak." Ekspresi wajah Nara pun tampak bahagia saat sedang menceritakan tentang keadaan putranya. "Ya sudah, kalau begitu bulan depan kita akan pergi ke sana. Aku pulang dulu dan jangan lupa maka
Nara mendekatkan dirinya pada kaca besar di sana. Dia seolah sedang menyapa wanita tua yang sudah membuka kedua matanya dan melihat ke arahnya. Nara benar-benar merasa senang karena dia bisa melihat Nenek Miranti membuka keduanya. Wanita tua yang masih terpasang begitu banyak alat medis yang menancap pada tubuhnya tampak tersenyum tipis."Reno! Nenek sudah sadar!" seru Nara yang memeluk Reno di sana. Reno pun tak lupa membalas pelukan Nara karena dia pun merasa sangat senang."Iya, Nenek sudah sadar dan aku sebaiknya segera memberitahukan ini pada Tuan Jaden."Nara pun melepaskan pelukannya. "Iya, Ren, beritahu dia jika Nenek sudah sadar. Tuan JL pasti akan sangat senang mengetahui hal ini." Reno pun segera pergi dari sana. Nara masih memperhatikan Nenek Miranti. Nara seolah sedang mengajak Nenek Miranti untuk berbicara menggunakan bahasa isyarat. Wanita tua itu pun hanya menanggapi dengan mengangguk perlahan. Ada suatu kelegaan di hati Nara melihat Nenek Miranti sudah sadar.Tak lam
Pria dengan kursi rodanya itu mengerjapkan kedua matanya. Dirinya tidak sadar jika semalam dia malah ketiduran di depan ruang ICCU, di mana neneknya sedang dirawat. "Selimut?" ujarnya heran melihat ada selimut berwarna biru menutupi tubuhnya yang tidur dia atas kursi rodanya.Tak lama kedua matanya menangkap sosok yang sebenarnya tidak ingin dia lihat, tapi hati kecilnya rindukan. Nara sedang berdiri tepat di depan jendela kaca besar dengan tirai ruangan yang masih tertutup. Tangannya pun menampak pada kaca besar itu, serta terlihat guratan kesedihan pada wajahnya. "Nek, aku mohon nenek bisa bertahan dan sembuh. Aku ingin melihat nenek kembali." Air mata Nara pun perlahan menetes.Sekarang Jaden tahu siapa yang sudah menyelimuti tubuhnya. Dia mengambil selimut itu dan melemparnya dengan kasar. Rasa bencinya pada Nara seketika muncul mengingat apa yang sudah wanita itu lakukan."Untuk apa kamu ke sini? Pergi dari sini! Nenekku tidak membutuhkan dirimu, Pelayan!" bentak Jaden marah.N