Nara sudah berada di depan pintu kamar lelaki yang tadi mengusirnya dengan kasar. Dia sekali lagi menarik napasnya dalam sebelum akhirnya tangannya mengetuk pintu itu.
Satu ketukan, Nara tidak mendapat jawaban. Nara kembali mengetuk pintu kamar itu hingga tiga kali ketukan. "Aku tidak mau diganggu!" seru suara Jaden terdengar begitu jelas di telinga Nara. "Tuan Muda Jaden, waktunya makan siang dan minum obatmu," Nara akhirnya memberanikan diri mengatakan sesuatu. "Sudah aku bilang, aku tidak mau diganggu. Kamu pergi dari sini!" bentaknya marah. Nenek dan Reno yang melihat hal itu tampak cemas. "Ren, Jaden kenapa hari ini terlihat begitu marah?" "Sebenarnya tadi Tuan Jaden melihat berita di sosial media jika Nona Kalista akan pergi ke Barcelona untuk pemotretan dan di sana Nona Kalista juga mengatakan akan sekalian liburan. Barcelona, kan, tempat yang sangat ingin didatangi oleh Nona Kalista jika nanti menikah dengan Tuan Jaden. Jadi, Tuan Jaden mungkin merasa kecewa karena dia tidak bisa mewujudkan hal itu." Wajah Reno pun tampak menunjukan kesedihannya. "Kasihan sekali cucuku, dia sangat mencintai Kalista, tapi ternyata wanita itu tidak bisa menerima hal yang sudah terjadi pada cucuku." Reno melihat pada nenek. "Nenek tahu tidak, jika aku tidak suka sama Nona Kalista." Nenek melihat heran mendengar ucapan Reno. "Kenapa kamu tidak suka?" "Aku pernah melihat Nona Kalista bersama dengan seorang pria, dan mereka bergandengan sangat mesra saat Tuan Jaden belum mengalami kecelakaan itu." "Kamu serius, Reno?" tanya Nenek tidak percaya. "Aku tidak mungkin berbohong sama Nenek. Sebenarnya aku mau mengatakan hal ini pada tuan Jaden, walaupun aku tahu jika tuan Jaden tidak akan percaya, tapi saat ingin memberitahunya, kecelakaan itu menimpa tuan Jaden. Kalau begini aku kadang bersyukur tuan Jaden tidak jadi menikah dengan Nona Kalista, tapi juga tidak menginginkan tuan Jaden seperti ini." Nenek tidak bisa berkata apa-apa saat ini. "Tapi cucuku sangat mencintai Kalista, Ren." Reno menganggukkan kepalanya pelan. "Eh, Nek, lihat!" Reno tiba-tiba terkejut melihat Nara yang malah membuka pintu kamar Jaden dan masuk ke dalam. Nenek Miranti pun terkejut melihat hal itu. "Ren, bagaimana ini?" "Tidak tahu, Nek." "Kita lihat saja kalau begitu. Entah kenapa aku merasa Nara orang yang tepat untuk menangani cucuku itu." Reno hanya bisa mengangguk. Nara melangkah masuk perlahan, dia berdoa dalam hatinya semoga Jaden tidak mencekiknya kali ini. "Tuan Muda Jaden, saya membawakan makan siang untuk Tuan Muda." Jaden yang mendengar suara Nara seketika membalikkan kursi rodanya dan menatap Nara dengan tajam. "Siapa yang memberimu izin untuk masuk ke dalam kamarku?" tanya Jaden dengan suara marah. Nara meletakkan nampan berisi makanan di atas meja dan dia berjalan lebih dekat ke arah Jaden. "Saya minta maaf jika sudah lancang berani masuk ke dalam kamar Tuan Muda, tapi saya harus melakukan tugas. Ini sudah saatnya Tuan Muda makan dan minum obatnya." "Aku bilang tidak mau makan dan kamu tidak perlu memperdulikan hal itu. Sekarang kamu keluar dari kamarku, aku tidak membutuhkan pelayan sepertimu!" sekali lagi Nara mendapat bentakan kasar dari Jaden. Namun, Nara bukan wanita yang akan mundur hanya dengan mendapat bentakan kasar dari Jaden. Nara mengambil piring berisi makanan dan dia menempatkan kursi tepat di depan Jaden. "Saya akan menyuapi Tuan Muda Jaden. Tuan Muda harus makan jika ingin sembuh." "Jangan coba sok berani di depanku, pelayan bodoh!" Nara malah mengambil satu suapan sendok dan menyodorkan pada mulut Jaden. "Tuan Jaden pasti tidak ingin terus duduk di kursi roda, kan?" "Apa kamu tahu, jika aku selamanya akan duduk di kursi roda karena semua dokter tidak ada yang bisa menyembuhkan kaki brengsekku ini!" Nara menarik napasnya pelan. "Jika dokter mengatakan kesempatan sembuh kaki Tuan hanya satu persen, kenapa Tuan tidak mencoba agar satu persen itu bisa menjadi seratus persen dengan berusaha dan tidak putus asa untuk sembuh?" Jaden malah tersenyum miring mendengar apa yang Nara katakan. "Jangan bicara sok bijak. Memangnya siapa kamu? Kamu hanya pelayan bodoh yang sok berani melamar menjadi pelayan di sini. Aku sudah memberikan kamu kesempatan untuk pergi dari sini, tapi sepertinya kamu memaksa ingin menjadi pelayanku. Baiklah, kalau begitu kamu bisa menjadi pelayanku, dan aku akan dengan senang hati memberimu kesempatan merasakan menjadi pelayanku." Jaden sekali lagi tersenyum miring. "Terima kasih kalau begitu. Sekarang Tuan Muda Jaden makan dulu." "Aku tidak lapar. Bawa saja itu pergi." "Tuan harus makan." Nara terlihat memaksa Jaden. Jaden pun akhirnya membuka mulutnya dan menerima suapan sendok dari Nara. Nara pun terlihat senang, tapi sedetik kemudian, Nara seolah menahan napasnya saat sebuah ludahan mengenai wajah Nara. Iya! Jaden meludahkan makanan yang tadi disuapkan oleh Nara dan tepat mengenai wajah Nara. "Aku sudah bilang tidak mau makan, tapi kamu tetap memaksanya," Jaden menekankan kata-katanya. Nara mengusap wajahnya dengan tisu dan dia kembali mengambil satu sendok suapan dan sekali lagi menyodorkan pada mulut Jaden. "Obat harus segera Tuan minum," ucap Nara santai seolah tidak terjadi apa-apa padanya. Jaden yang melihat hal itu seketika emosinya meledak, dia mengambil piring Nara dan melemparkannya sehingga terdengar suara pecahan piring yang membuat nenek dan Reno kaget. Nenek dan Reno sengaja berdiri di dekat kamar Jaden untuk berjaga-jaga jika Jaden berbuat hal buruk pada Nara. "Nek, aku akan masuk ke dalam kamar Tuan Jaden." Nenek dengan cepat menahan tangan Reno. "Biarkan dulu, Ren. Kita tunggu saja." Sebenarnya dalam hati nenek juga cemas, tapi dia ingat apa yang tadi Nara katakan sebelum Nara membawakan makanan ke kamar Jaden. Nara berpesan agar nenek atau yang lainnya tidak masuk ke dalam kamar Jaden saat Nara berada di dalam kamar, apapun yang mereka dengar nantinya. Wajah Nara tampak memerah saat ini karena lelaki tempramen itu sedang mencengkeram kedua rahang Nara dengan kuat. Wajah Jaden pun melihat Nara dengan tatapan seolah ingin membunuh wanita di depannya itu. "Aku akan memberimu kesempatan sekali lagi untuk memilih, tetap menjadi pelayanku atau keluar dari rumahku." "A-aku akan tetap menjadi pelayanmu, Tuan Jaden Luther," ucap Nara terbata. Jaden semakin mengeratkan cengkeramannya, tapi Nara berusaha menahan rasa sakit dari cengkeraman tangan Jaden. "Benar-benar sok berani." Jaden segera melepaskan tangannya dan Nara dengan segera mengambil napasnya. Dia sebenarnya merasakan takut karena melihat kedua mata Jaden yang penuh amarah. "Kamu yang memilih untuk menjadi pelayanku, dan aku akan membuat kamu merasakan neraka atas pilihanmu." "Saya hanya ingin Tuan Jaden bisa kembali menjadi Tuan Jaden yang dulu, seperti apa yang Nenek Miranti rindukan." Nara berjalan keluar dari dalam kamar Jaden.Nara masih serius mendengarkan cerita dari Jaden tentang rencana Jaden memberi kejutan untuk Kalista dan Devon. Jaden juga bercerita jika dirinya tidak memperbolehkan Reno ataupun Nenek Miranti menghubungi Nara setelah acara itu. Jaden membutuhkan banyak waktu. Ada perasaan lega dan bahagia saat Nara mengetahui jika pria lumpuhnya yang kini sudah bisa berjalan itu tidak jadi menikah dengan Kalista. Nara tiba-tiba ditarik pinggangnya oleh Jaden dengan tangan yang masih bebas sampai wajah Nara sangat dekat dengan wajah pria itu. "Sekarang, apa kamu mau menikah denganku tidak?" "Apa? Aku?" Nara pun tentu saja tersentak kaget dengan pertanyaan dan gerakan Jaden yang tiba-tiba."Tentu saja, Nara! Aku ini ingin menjadi ayah sambung bagi Nio.""Em ...." Nara malah bingung sendiri. Nara bukannya bingung hanya saja dia masih benar-benar tidak percaya dengan semua ini."Kenapa kamu lelet sekali menjawabnya? Kalau orang bicara, kamu harus fokus mendengarnya!" omel Jaden.Kedua alis Nara malah
Devon berdiri di antara kerumunan orang-orang yang hadir di acara akad nikah Jaden Luther dan Kalista. Pria itu tampak tersenyum miring saat mengakhiri panggilan teleponnya dengan Kalista. "Dev, kenapa kamu bisa datang ke sini? Apa kau dan si lumpuh itu sudah berteman lagi?" tanya Andrew yang tiba-tiba menghampiri temannya itu. Andrew tetap bersikap seolah-olah dia tidak terlalu akrab dengan Devon."Iya, aku dan si lumpuh itu kembali berteman dan aku senang sekali karena aku nanti bisa dengan mudah menghancurkannya sekali lagi. Kakak tirimu itu benar-benar pria yang sangat bodoh," umpat Devon lirih."Dia tidak hanya bodoh, tapi juga lumpuh." Andrew pun tersenyum miring.Reno yang berdiri tidak jauh dari sana, tampak geram melihat dua orang yang sedang berbicara itu. Meskipun dia tidak mendengar apa yang sedang dikatakan oleh Devon dan Andrew. Namun, Reno tahu, pasti dua orang itu memiliki niat jahat pada Tuna Muda Jadennya, mengingat, Reno sangat tahu apa yang sudah Devon dan Andrew
Nara berjalan keluar menemui seseorang yang ingin bertemu dengannya. Saat berada di luar cafe. Tepatnya meja pelanggan yang ada di bagian halaman luar. Nara memindai pria yang berdiri tegap dengan membelakanginya. Kedua mata Nara tampak heran melihat penampilan pria yang saat ini mengenakan suit lengkap itu."Selamat pagi, maaf, apa Anda orang yang ingin bertemu dengan saya?" tanya Nara dengan sopan. "Ibu!" seru seseorang yang baru saja turun dari dalam mobil tepat di depan cafe miliki Nara."Nio? Kamu kenapa bisa ke sini? Ibu juga di sini?" Kedua mata Nara pun mendelik kaget. Dia sama sekali tidak menyangka akan melihat putranya dan ibunya di sini."Nio, jangan berlarian, Sayang!" pekik sang Nenek, tapi bocah tampan itu malah sudah menyambar pelukan di pinggang Nara.Nara yang masih berdiri di sana tampak tercengang, tapi tangannya membalas memeluk tubuh putranya. Bocah laki-laki itupun terlihat tidak melepaskan pelukannya. Dia seolah sangat bahagia bisa berada di tempat selain ruma
Sudah hampir sebulan Nara berada di Belanda. Dia sengaja pergi di saat pria yang sangat dia cintai memilih untuk memiliki masa depan dengan wanita lain. Sakit? Tentu saja sangat sakit, oleh karena itu Nara memutuskan untuk pergi ke Belanda. Setidaknya di sana dia bisa menghabiskan waktu dengan putra yang baginya sebagai obat akan kesedihan yang sedang dia alami. "Ibu, kenapa kemarin malam aku lihat Ibu menangis dia sudut sofa? Apa ada yang membuat Ibu sedih?" tanya polos Nio yang sekarang sedang disuapo oleh Nara. "Ibu tidak apa-apa, Nio. Mungkin Ibu hanya sedih karena lusa Ibu harus pulang. Ibu harus bekerja juga soalnya." Nara sebenarnya berbohong pada putranya itu. Dia teringat kembali akan kebersamaannya dengan Jaden. "Ibu, kata dokter Nio sudah lebih baik dan beberapa bulan lagi, Nio sudah dibolehkan pulang jika keadaan Nio semakin membaik. Kita bisa tinggal bersama." "Iya, Sayang. Nio nanti menurut pokoknya dengan semua ucapan yang dokter suruh agar keadaan Nio semakin memba
Jaden yang sedang berada di dalam kantornya, tampak melihat beberapa berkas di tangannya. Dia terlihat sangat serius membaca setiap tulisan yang ada di sana. Tak lama pintu ruangannya di ketuk."Pak, ada yang ingin bertemu dengan Anda," ucap wanita dengan rambut sebahunya yang adalah sekretaris Jaden Luther.Pandangan Jaden seketika dialihkan pada pria yang baru saja memasuki ruangan itu. Pria dengan sorot mata nanar itu memandang Jaden Luther."Ada apa kau datang ke sini?" tanya Jaden dingin."Selamat, akhirnya kamu mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikmu, Tuan Jaden Luther," ujar pria itu datar."Kalista maksudmu?" jawab Jaden dingin."Iya, kau dan dia akan menikah bukan? Aku menghubunginya, tapi dia marah padaku dan mengatakan sebentar lagi dia akan menikah denganmu."Jaden mendorong kursi rodanya berjalan mendekat ke arah Devon yang berdiri tepat di depannya. "Tentu saja, dia akan menjadi milikku seperti seharusnya. Namun, aku sama sekali tidak merasa menang karena
Nenek Miranti sudah kembali ke rumahnya. Keadaan wanita tua itu sudah dinyatakan baik-baik saja. Nara sesuai janjinya akan pergi dan kembali pada kehidupannya seperti biasanya. Nenek dan Nara bisa bertemu hanya melalui telepon karena Jaden tidak ingin jika neneknya akan kenapa-napa karena terlalu dekat dengan wanita itu."Reno, bagaimana dengan persiapan hari pernikahannya?" tanya Jaden disela-sela makan malamnya bersama dengan para keluarganya.Reno yang berdiri di sana tampak melihat pada Nenek Miranti yang memperlihatkan wajah datarnya. Reno malas sebenarnya harus diminta mempersiapkan acara pernikahan Jaden dan Kalista. Dirinya seolah menjadi pengkhianat bagi Nara."Persiapannya sudah hampir seratus persen, Tuan Jaden.""Bagus kalau begitu." Wajah Jaden tampak puas."Apa kamu sudah benar-benar memikirkan masalah ini, Jaden?" tanya wanita tua itu lembut."Sudah, Nek. Aku ingin segera menikah dengan Kalista. Aku ingin menyelesaikan semuanya agar setelah ini kehidupanku jauh lebih te