LOGIN“SAKIT SEKALI! Kenapa punggungku tiba-tiba sepanas ini?!”
Mada berteriak.
Bukan suara keras, tapi rintihan serak yang tenggelam di bantal.
Sekujur punggungnya terasa seperti ditarik paksa. Panasnya bukan main, seolah naga emas di kulitnya baru saja bangun dari tidur panjang dan kini sedang menggeliat. Gigi-gigi runcing itu terasa nyata, menggerogoti punggungnya, menagih biaya dari kekuatan Zero yang ia lepaskan pada Robby semalam.
"Sialan!" desis Mada, menahan napas sampai dadanya sesak.
Ia merangkak dari kasur, tubuhnya basah kuyup keringat. Rasa sakitnya menembus tulang, membuat setiap ototnya kejang.
Ini adalah risiko.
Setiap kali ia membiarkan Zero mengambil alih, ia harus membayar dengan rasa sakit yang tak terbayangkan saat Zero kembali ditekan.
Tiba-tiba, rasa sakit itu mereda. Dingin membekukan menggantikan panas membara. Mata Mada terpejam, dan kesadarannya terempas.
Ia tidak lagi di apartemennya.
Ia berdiri di tengah badai salju. Angin kencang menerjang, membawa serta serpihan es yang menyayat kulit telanjangnya. Napasnya langsung membeku di udara.
Di depannya, puluhan tentara lain, yang sama-sama hampir mati kedinginan, mencoba berdiri tegak. Mereka semua dilatih sampai batas akhir kemanusiaan. Mereka adalah Leviathan Army, dan dia adalah Zero.
"Kau! Zero!" Suara Komandan menggelegar, lebih menakutkan dari badai salju. Komandan menunjuk Mada. "Kenapa kau gemetar?! Kau lupa kenapa kau ada di sini?!"
Mada mencoba bicara, tapi bibirnya kelu. "Tidak, Komandan. Aku siap melanjutkan titah seorang Zero Leviathan!"
"Cuma itu yang bisa kau katakan?! Kau datang ke sini dengan obsesi membalaskan dendam ibumu. Kau pikir dendam itu bisa dibayar pakai air mata?!" Komandan berjalan mendekat, matanya menyala. "Di sini, dendam itu kau tukar dengan rasa sakit! Sampai kau tidak lagi ingat bagaimana rasa sakit itu!"
Komandan mengambil sebilah pisau.
SRAK!
Dia menggores lengan Mada. Darah yang keluar langsung membeku di kulit. Mada bahkan tidak berkedip.
"Angkat kakimu! Lari ke tebing itu! Sekarang juga!" perintah Komandan, menunjuk tebing curam di kejauhan. "Panjat! Sampai bendera yang aku tancapkan di puncak itu kau dapatkan! Jarak 20 kilometer, batas waktu empat jam! Gagal, kau dan sepuluh rekrutan lainnya akan jadi bangkai burung!"
"Tapi itu mustahil, Komandan! Tebing itu tidak bisa dipanjat tanpa alat!" teriak seorang rekrutan di samping Mada.
DOR!
Rekrutan itu roboh, darah menyembur dari lututnya.
"Aku tidak menerima kata mustahil dari Zero!" Komandan menendang rekrutan yang jatuh itu. "Kau, Mada! Kau adalah yang terlemah! Tapi kau punya obsesi paling besar! Buktikan kau layak dengan nama Zero! Lari!"
Mada mulai berlari. Kakinya terasa berat, paru-parunya seperti terbakar es. Dia berlari melewati medan beku, melompati jurang-jurang kecil, membiarkan tubuhnya dipukuli angin badai.
“Aku lemah.”
“Aku hanya satpam biasa.”
“Aku akan gagal.”
Hinaan itu kini menjadi bahan bakar. Dia berlari lebih kencang. Ketika sampai di tebing, tangannya yang telanjang meraih batu es yang licin.
"AARRGHH!" raungnya, mengabaikan jari-jarinya yang mulai copot. Dia memanjat, terus memanjat. Setiap inci adalah neraka. Setiap sentimeter adalah perjuangan melawan kematian.
“Aku bukan Mada yang lemah.”
“Aku adalah Zero.”
“Aku tidak punya batas!”
Rasa sakit itu hilang, diganti oleh kekuatan yang membara. Dia memanjat tebing itu sangat mudah, seolah gravitasi tidak berlaku. Saat dia mencapai puncak dan menarik bendera Leviathan, di sana, di tengah badai salju, dia merasa benar-benar terlahir kembali. Dia sudah kehilangan nama, emosi, dan kemanusiaannya.
Dia resmi menjadi Zero, tentara muda paling berbahaya yang pernah dimiliki Leviathan Army!
Namun, ketika sebuah sniper mengincar sela kakinya, dia tersentak dan kehilangan keseimbangan. Sniper itu kemudian menembak lagi, diikuti sniper-sniper lain yang memburunya. Dia kemudian lari hingga tergelincir. Dia coba meraih tepian tebing batu yang keras hingga kukunya berdarah. Semua ototnya dia kerahkan agar selamta dari kejadian ini.
Begitu sampai di ujung tebing, ada satu peluru melesat tepat ke dadanya dan…
Mada tersentak dengan napas memburu.
Ia melihat tangannya. Telapak tangan dan kuku-kuku jarinya lecet, berdarah, dan terasa perih. Nyata. Seolah-olah ia benar-benar baru saja memanjat tebing.
"Sial," umpat Mada, menghela napas panjang. “Kenapa mimpi itu terus menghantuiku? Apa karena terapi yang aku lakukan? Ah, sialan, aku tidak bisa seperti ini terus!”
Kekuatan Zero itu sangat menakutkan.
Ia membersihkan diri secepat kilat. Ia harus segera menemui Claire di Seena Center Lantai 35. Tapi sebelum itu, ia harus menaikkan levelnya. Ia tahu betul, untuk berhadapan dengan konglomerat atau untuk menjadi partner Claire, status adalah segalanya.
Salah satu cara menaikkan status adalah memperbaiki penampilan.
Dengan kemeja yang lumayan rapi dan celana bahan yang ia beli diskon, Mada tiba di Showroom Mobil Elit. Ia memarkir sepeda listriknya di pojokan, jauh dari sorotan lampu.
Baru saja ia masuk, seorang sales menyambutnya dengan senyum kaku. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"
"Nah, Bil! Lihat, lihat siapa yang datang!"
Suara lantang itu membuat Mada menoleh. Vincent. Pria kaya raya sombong yang sering Mada lihat bersama Louis, mantan suami Claire. Vincent tampil mewah dengan setelan mahal. Di sampingnya, istrinya, Bella, menjinjing tas branded yang harganya setara enam bulan gaji Mada.
"Astaga, Honey! Bukankah itu si Satpam dari Komplek Waston?" Bella menutup mulut, tawanya dibuat-buat.
Vincent berjalan mendekat, matanya memandang Mada dari atas ke bawah. "Mada! Wow. Cari mobil di sini? Kau sedang mencari mobil bekas di internet, lalu salah masuk tempat?"
"Saya mencari mobil, Tuan Vincent," jawab Mada santai, tanpa emosi.
Vincent tertawa terbahak-bahak. "Mobil! Dia bilang mau beli mobil! Bil, mobil paling murah di sini harganya dua miliar. Kau kira gaji satpammu sebulan empat juta itu bisa beli mobil apa? Kau mau nabung sampai kapan, Nak? Sampai gigi copot?"
Bella mendekat, senyumnya meremehkan. "Aduh, kasihan ya. Mada, dengar, ya. Ini bukan showroom motor. Di sini, uangmu itu hanya cukup buat bayar parkir. Sudah, mending kamu kembali ke posmu. Cari mobil mainan aja di Blok C sana, harganya lima puluh ribu."
Hinaan itu. Sama persis dengan cemoohan Komandan Zero. Tapi kini, Mada tidak marah. Dia hanya merasa terhibur.
"Tuan Vincent benar," kata Mada, mengangguk setuju. "Gaji satpam saya memang tidak cukup untuk membeli mobil termurah di sini."
Vincent menyeringai puas. "Akhirnya sadar diri juga. Bagus. Sekarang keluar sana, jangan bikin suasana di sini jadi berdebu.”
Tapi Mada tidak benar-benar merendah. Dia melangkah maju, melewati Vincent, dan berhenti tepat di depan mobil paling mahal di showroom itu. “Mobil ini. Berapa harganya? Rolls-Royce Ghost? Aku akan membelinya, sekarang juga!”
“Mada, barusan aku dapat mandat dari Jenderal Zhang Ze. Kamu diuruh mencairkan beberapa ratus dollar di ATM yang aku berikan kapan hari lalu. Pergilah ke Bank Platina di pusat ibukota. Setelah itu, carilah villa mewah yang kelak jadi tempat tinggalmu.”Baru saja ingin menutup mata, ponselnya berdering, dan Sofia segera memberi perintah.“Hmm, aku masih ngantuk. Apa nggak bisa diundur sampai nanti siang atau sore?” Mada menguap setelah semalaman tidak tidur.“Jenderal Zhang Ze ingin kamu segera pergi. Aku sarankan, villa Phoenix yang letaknya ada di perkomplekan mewah Heaven Garden.”“Ah, sialan! Oke. Aku pergi sekarang.”Dengan kantung mata bengkak dan pakaian kusut milik Boris yang belum diseterika, Mada pergi, tanpa membangunkan Boris yang masih mendengkur pulas.Sofia mengirim titik koordinat lokasi Bank Platina.“Aneh, kenapa hanya ada satu Bank Platina di ibukota? Harusnya, ada minimal tiga atau empat bank. Kenapa pula Jenderal Zhang Ze memberi perintah dadakan seperti ini!?”Sel
“Benar. Barusan, aku dapat info dari markas pusat. Kamu pasti tahu, kan, dia bukan laki-laki biasa. Dia mantan pembunuh bayaran terkenal. Aku takut kalian berdua terluka, atau bahkan terbunuh karena laki-laki itu.”Boris dan Mada saling tukar pandang. “Tenang, Sofia, kami tidak semudah itu mati. Percaya pada kami. Kami akan membereskan orang ini, seberapapun mengerikannya dia.”Kekhawatiran Sofia ternyata tidak terjawab.Louis, yang rencana awalnya datang ke Cliff Inna untuk memburu Mada, tiba-tiba menghilang tanpa jejak.Padahal, lima menit sebelumnya, Mada mendapat kabar jika Louis dalam perjalanan menuju perbatasan mengendarai jeep dengan kaca anti peluru.Pun hingga pagi menyongsong, Mada tak kunjung menutup mata. Sementara Boris, dia sudah terlelap sebelum matahari terbit tadi. Mungkin pria itu capek setelah pertempuran tengah malam tadi.Merenung menatap latar pergudangan tua, Mada masih kepikiran, bagaimana nasib Kristal setelah rencana pembunuhan itu gagal.Serigala Merah past
Sekarang, sisa satu perampok yang menggunakan topi baseball hitam. Dia memberondongkan senjata, menembak acak orang-orang sipil di sana.Mada menunggu kesemptan hingga perampok itu teralihkan perhatiannya oleh Boris, dan tidak menatapnya lagi.Julukan Zero tidak main-main. Kecepatan dan keakuratan serangan yang dimiliki Mada dalam menotok leher perampok itu, sangat cepat. Bagai ular, tepat di nadi meridian tengahnya.Perampok itu tumbang sebelum sempat membabi-buta lebih lama lagi. Urat nadinya mati sementara. Jangankan membalas pukulan Mada, untuk berteriak saja, dia tidak mampu.“Sssttt...”“Jangan berisik!”Mada menoleh ke seluruh pelanggan, memberi kode menggunakan gerakan bibir sembari menautkan telunjuknya. Mereka mengangguk paham. Tidak satu pun membuat kegaduhan sampai Mada selesai.Kecerdikan Mada didukung oleh prediksi akurat Boris, dia sudah menghitung estimasi waktu yang dibutuhkan untuk mengalihkan perhatian, sampai Mada berhasil mengalahkan perampok satunya.Usai menenan
Mada terkenal dengan julukan Zero.Di Leviathan Army, ada kode tertentu yang diberikan sesuai kekuatan dan kepiawaian anggota dalam menjalankan misi. Makin kecil angkanya, makin tinggi pula pangkatnya.Zero sendiri merupakan julukan yang hanya diberikan pada militer-militer terkuat di zamannya.Di antara semua pasukan khusus Leviathan Army, hanya Mada yang menunjukkan kemajuan signifikan sejak dia bergabung.Hanya butuh waktu empat tahun dia menguasai semua ilmu beladiri, senjata, juga obat-obatan yang harusnya ditempuh dalam waktu minimal 15 tahun.Dalam empat tahun itu juga, Mada berhasil menyelesaikan misi-misi sulit, yang bahkan menurut anggota Leviathan Army lainnya, mustahil untuk diselesaikan.Salah satunya adalah, memberantas organisasi hitam yang merugikan dunia bernama Red Lotus, seorang diri, tanpa bantuan petinggi Leviathan Army yang lain.Dan, sekarang, para petinggi Red Lotus berkumpul, membentuk afiliasi baru bersama mafia-mafia kejam dunia, lalu menamai diri mereka seb
“Berhasil atau tidak, kita belum tahu, sampai kita mencoba rencana ini! Tapi, ada satu hal yang perlu kamu ingat. Aku tidak bawa identitas apapun. Kemungkinan besar, aku diusir petugas keamanan. Jadi, keluar lah sebelum aku diusir!”Bertepatan juga, Nabila ingin membahas perceraian itu dengan Mada.Sesuai kata pepatah, tanpa perlu menebar umpan, jika timing mu sesuai, ikan pasti menyambar. Hal itu yang dialami Mada kala tatapan tajamnya direspon Nabila.Menggandeng mesra tangan Robby, Nabila mendekati posisi duduk Mada, lalu mengata-ngatainya. Tapi, kali ini, Nabila tidak terlalu ngotot.Sekali lagi, mereka membuat keributan dan memancing atensi tamu undangan. Semua perhatian terpusat.Sofia menggunakan kesempatan ini untuk mencari dua anggota Serigala Merah lain yang menyamar. Dan, benar kata Mada, ada empat anggota yang bertugas masuk hotel.“Sial! Begitu ingatannya pulih, akurasi pengamatannya jauh lebih hebat dari tiga tahun lalu!?” Sofia menggeleng, masih tidak percaya dengan apa
“Diancam putus kontrak? Ti-tidak mungkin!”Gleg!Nabila meneguk ludah.Majalah Beautyness adalah satu-satunya majalah kecantikan terkemuka yang digunakan Nabila meraih follower serta popularitas. Tanpa majalah itu, dia hanya gadis biasa, tak punya pengikut, ataupun fans sejati.Meski cantik, perilaku arrogan dan lidahnya yang tajam, seringkali membuat netizen enggan untuk mengikuti segala postingan aktivitasnya.“Maafkan aku, Ris, bukan maksudku mengacau-”“Sekali lagi aku melihatmu mengacau, aku tidak segan memutus kontrakmu, juga seluruh aset-asetmu di salon kecantikan Beautyness. Camkan itu!”Nada dingin Risa membuat Nabila mati kutu. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Amarah yang tertahan, dia luapkan dengan sorotan tajam ke arah Mada.Seolah gadis itu berkata, “lihat aja, Mada, kamu pasti terima akibatnya!?”Pesta berlanjut seperti biasa. Kali ini, Tuan Bram meminta orang-orang berkumpul di aula hotel yang disulap menjadi restoran prasmanan bNabilag lima.Malam ini terlihat sangat m







