Share

Bab 6

Siang ini di Kampus ETH, Zurich.

Setelah perkuliahan selesai, mengejutkan, dua orang berjas hitam dan berkacamata masuk ke dalam ruang kelas kemudian mendekati Hanz. Salah satu dari mereka memberikan sepucuk kertas bertinta emas.

“Anda mendapat undangan resmi dari Tuan Dmitry Fadeyka untuk hadir di acara pertunangan anaknya bernama Stefan Fadeyka pada hari minggu nanti yang akan berlangsung di Park Hotel Vitznau.”

Semua orang terkesima! Sontak satu kelas menyoroti Hanz secara berbarengan, memandangi wajah Hanz dengan pandangan heran.

Setelah itu, Hanz dan Avraam pun melangkah menuju parkiran kampus. Mereka terperanjat begitu tahu ban sepeda mereka kempis semua. Tidak hanya habis angin, tapi semua bannya robek disayat pakai pisau.

Avraam menggeleng-geleng tak percaya sambil menggerutu, “Aku yakin ulah dua orang itu.”

Hanz menghela napas panjang dan menjawab, “Kita tidak punya bukti. Jangan berpikiran negatif.”

“Siapa lagi kalau bukan mereka?”

“Jalanan di sini cukup bebas, bisa saja ulah orang luar yang tidak dikenal.”

Hanz dan Avraam terpaksa mendorong sepeda mereka sejauh lima kilometer menuju rumah. Avraam terus merepeti Mark dan Gerald. Tapi Hanz selalu mengalihkan pembicaraan.

Sekitar seratus meter berjalan, tiba-tiba mobil AvtoVAS abu-abu mendekati mereka. Orang di dalam mobil menanyakan apa masalahnya dan akan segera memberikan bantuan.

“Kami tidak apa-apa.”

“Silakan kalian pergi.”

Mobil itu pun berlalu.

Ketika berada di Jalan Walchestrasse sebelum jembatan, dari arah belakang tiba-tiba sebuah mobil merk Lada melesat cepat sambil mengklakson berkali-kali. Kemudian mobil merk GAZ juga melaju dengan cepat sambil mengklakson juga.

Sebuah ejekan dari Mark dan Gerald. Avraam makin geram melihat tingkah dua pria bengal itu. “Kita tidak boleh diam, Hanz. Kalau begini terus, nanti kita akan semakin ditindas oleh mereka.”

Tapi, Hanz masih sabar. “Biarkanlah mereka bermain-main. Jangan dipedulikan. Ujung-ujungnya juga mereka pasti akan menyerah sendiri.”

“Dari dulu sudah aku bilang, jangan terlalu seperti ini, ujung-ujungnya kita sendiri yang susah.”

“Aku sedang menikmati hidup ditindas. Apa rasanya menjadi sampah di mata orang lain? Jadi, nanti suatu saat kita tidak akan dengan mudahnya meremehkan, mengolok, membully, menyakiti, dan menertawai orang lain.”

Sambil mendorong sepedanya Avraam merutuk. “Tidak begini juga caranya. Apa kita harus ke Perancis dulu biar tahu Menara Eiffel? Kan tidak juga.”

“Betul. Kita tidak harus menjadi ibu dulu biar tahu bagaimana rasanya payah dan sakit saat mengandung dan melahirkan. Jika bisa dialami secara pribadi, lebih baik kita lakukan, biar lebih menjiwai.”

Dari SD sampai sarjana Avraam selalu menemani Hanz. Mereka berada dalam satu sekolah yang sama walaupun terkadang beda-beda kelas. Jika Hanz dibully, Avraam selalu membelanya dan melawan siapa saja.

Tidak seperti Hanz, Avraam yang memiliki badan besar dan berotot tidak akan mudahnya membiarkan orang yang akan mencela dan meremehkannya. Bagi Avraam, otak urusan belakangan, namun terpenting adalah urusan harga diri.

Jadi kalau harga dirinya tercoreng, Avraam langsung mengambil tindakan. Dari kecil Avraam sudah terbiasa berkelahi. Pas SMA dia belajar MMA di Swiss dan sering pula ikut dalam pertandingan resmi.

Tiga puluh menit berlalu. Mereka pun sampai di Adolf-Luchinger-Strasse, sebuah komplek perumahan yang cukup sederhana. Hanz dan Avraam menyewa rumah ini semenjak mereka SMA.

Sesampainya di rumah, Hanz buru-buru memperbaiki sepedanya, karena tiga puluh menit lagi, pas jam satu siang, dia harus sudah tiba di Kafi Dihei. Dia tidak boleh telat karena manajer cafenya terbilang cerewet. Satu minggu yang lalu seorang barista yang sudah lima tahun bekerja saja dipecat begitu saja padahal masalahnya sepele.

“Tolong dengar omonganku, Hanz! Kau sudah dua tahun bekerja di cafe itu. Gaji yang kau dapatkan tidak seberapa. Saranku kau berhenti saja.”

Hanz menatap wajah Avraam dengan tajam, lalu berbicara dengan tenang dan pelan, “Sudah sering aku bilang padamu. Aku senang hidup susah seperti ini. Jujur aku senang jika dimarahi customer karena kerjaku tidak bagus. Atau diberi peringatan oleh atasan karena aku salah.”

Hanz dengan bijaknya bilang pada Avraam bahwa dia bekerja bukan semata-mata karena uang, melainkan pengalaman, bagaimana dia merasakan hidup disuruh-suruh, bagaimana rasanya menjadi seorang pekerja yang terkadang sering diremehkan.

Pria berwajah tampan dan bermata biru ini benar-benar menikmati kesehariannya. Meskipun sering diolok, tapi dia apatis, karena baginya omongan sampah manusia tidak akan pernah berpengaruh sedikitpun dengan idealisme yang telah ditanamkannya sejak dulu.

Setelah mandi, Hanz memakai seragam kerja berwarna cokelat plus celemek hitam. Sengaja dia memakainya dari rumah. Dan memang dia memakai setelan seperti ini selalu dari rumah. Untuk apa malu?

Hanz keluar dari pintu depan rumahnya, lalu meloncat ke arah sepeda yang sudah diperbaiki. Hanz pun mengayuh sepedanya dengan kencang karena sekarang sudah pukul 12.50. Avraam yang tengah berdiri memaku di samping pintu hanya bisa menggeleng-geleng melihat tingkah Hanz.

“Aku tahu, kau ingin belajar merasakan pahitnya hidup,” gumam Avraam pada dirinya sendiri.

Hanz pontang-panting. Angin menderu-deru menabrak rambut hitamnya yang cepak, pinggir di-crop, dan ada sedikit poni ke arah kanan. Wajahnya yang teguh dengan dagu yang lumayan lancip membuatnya tampan sekali siang ini.

13.09!

Hanz langung memarkirkan sepedanya, kemudian melompat ke arah pintu belakang. Sebelum kerja, dia harus memperbagus bajunya yang berantakan sehabis diterjang-terjang angin. Rambutnya juga dia sisir rapi dengan jari-jemari.

Namun, pada saat dia sedang asyik bercermin, tiba-tiba sang manager hadir tepat di sampingnya. Hanz mengawasi wajah menyeringai itu dari cermin. Hanz terperanjat, lalu menghembuskan napas lelah sehabis acara kebut-kebutan tadi.

“Kau mau serius atau tidak kalau kerja ha?!” sentaknya.

“Maaf, aku agak telat, Pak,” jawab Hanz pelan.

“Aku tahu kau mahasiswa ETH. Dua tahun kau diberi kelonggaran bekerja di sini. Bebas masuk shift apa saja selagi tidak mengganggu jadwal kuliahmu. Tapi bukan berarti kau seenaknya saja datang tidak tepat waktu.”

“Ban sepedaku rusak dan harus diperbaiki, jadi butuh waktu untuk memperbaikinya.”

Sang manager menjerit, terdengar oleh barista dan pelayan yang sedang bekerja. “Alasan yang tidak make sense! Terserah mau bannya rusak, atau sepedamu hilang, aku tidak peduli. Lagipula, mana mungkin kau tidak bisa membeli sepeda motor. Pelayan yang lain pada bisa membeli sepeda motor, bahkan mereka bawa mobil ke sini.”

“Aku lebih suka pakai sepeda, Pak.”

Sang manager melengos cepat. “Gajimu dibayar separuh untuk hari ini. Besok jangan kau ulangi!”

Tring! Meja 12.

Hanz bergegas mengantarkan pesanan latte dengan sedikit gula dan sepotong roti. Hanz ternganga. Kenapa Zahid bisa tahu kalau Hanz bekerja di sini?

“Aku butuh teman ngobrol, Hanz.”

“Tidak bisa. Aku sedang bekerja.”

Zahid terus memperhatikan gerak-gerik Hanz.

mic.assekop

Pada Season 1 (Bab 1 - 110) merupakan alur pendek, satu bab bisa terdiri dua sampai empat scene. Metode penulisan masih menggunakan metode penulisan novel buku, bukan novel online. Plot terkadang terkesan melompat-lompat, tetapi Author jamin alur cerita mudah dipahami.

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status