Share

Bab 7

“Adakah di kelas ini bernama Hanz?” tanya seorang pria.

Dosen yang tengah memberikan kuliah tersentak karena pria tersebut terburu-buru masuk ke dalam kelas tanpa permisi terlebih dahulu.

Hanz mengacung. Semua mata tertuju pada Hanz.

“Silakan ikut aku dan langsung menuju ruangan Profesor Alexander. Penting sekali.”

Liburan semester selama lebih dari dua bulan waktu itu, yang mana aktivitas kampus agak mengendur, dimanfaatkan oleh sekelompok hacker yang sengaja masuk ke server kampus untuk mencuri data ujian tes masuk. Setelah perkuliahan di tahun ajaran baru telah berlangsung selama beberapa hari, barulah hal tersebut disadari oleh pihak kampus.

Soal beserta jawaban ujian masuk ETH tersebut lantas diperjualbelikan di sebuah situs terlarang yang jarang dijamah oleh orang pada umumnya, di darknet. Tidak sembarang orang mampu mengaksesnya.

Setibanya di ruangan Profesor Alexander, Hanz si mahasiswa yang dianggap menyedihkan bagi orang-orang yang baru mengenalnya ini pun berbicara empat mata. Perlu diketahui bahwa Profesor Alexander merupakan salah satu guru besar yang sangat ahli dalam sains dan IT.

“Maafkan saya Prof,” tutur Hanz agak lemah, namun berusaha kembali menegakkan bahu.

Profesor Alexander memperbaiki posisi kacamatanya, lalu bersitatap sama Hanz. Sempat beliau menghela napas sejenak, lalu berkata, “Seratus lima puluh mahasiswa S1 dan dua puluh mahasiswa S2. Mereka lulus setelah membeli soal dan jawaban dari si pelaku.”

Hanz memejamkan mata sambil menarik napas panjang, dadanya membusung, lalu menghembuskannya perlahan. Ada sebuah penyesalan dan rasa bersalah timbul di hatinya, terkesan bahwa dia telah gagal. “Waktu liburan kemarin saya terlalu sibuk. Jadi tidak memeriksa pekerjaan di ETH. Maafkan sekali, Prof.”

Setelah menyelesaikan gelar sarjana, Hanz dan Avraam menikmati liburan panjang, betul-betul melepaskan segala sesuatu hal apa saja yang terkait dengan perkuliahan atau tugas lainnya. Full dua bulan mereka habiskan dengan menikmati sebuah hobi yang sangat jarang digemari banyak orang, yaitu menembak.

“Kami pihak kampus, terutama saya selaku orang yang berperan sentral dalam penjagaan sistem keamanan, tidak bisa sama sekali menyalahkan kau, Hanz. Masalah ini terjadi murni karena keteledoran kami.”

Hanz menegakkan kepalanya, sambil menatap mata Profesor Alexander, dia menjawab, “Prof, saya termasuk orang yang bertanggung jawab atas segala hal yang terkait dengan keamanan siber di ETH. Jika saya lalai, berarti saya tidak amanah dalam menjalankan tugas.”

Profesor Alexander yang sudah berusia lebih dari lima puluh ini memajukan kursinya, lalu menjawab, “Kau tidak lalai sama sekali dalam menjalankan tugas, Hanz. Maksud kami mengundangmu secara mendadak adalah supaya kita mengambil tindakan cepat. Dikhawatirkan pelaku akan berulah lagi.”

Namun, masih ada sebuah penyesalan di raut wajah Hanz. “Selama dua bulan saya tidak membuka komputer di rumah. Selama itu juga saya tidak mengecek dan mengontrol sistem. Maafkan saya, Prof.”

Meskipun Profesor Alexander berulang kali menyampaikan bahwa Hanz tidak bersalah, namun Hanz tetap saja terpukul atas peritiwa tersebut. Selama empat tahun belakang, jika ada sebuah problem yang terkait dengan cyber-security dan dan apa saja hal yang terkait dengan IT, Hanz cepat mengatasinya dan tidak ada dampak buruk yang signifikan menimpa ETH. Semua aman terkendali.

Maka dari itu, pada saat pihak kampus melaporkan telah terjadi pencurian data, apalagi data-data yang dicuri merupakan data-data rahasia yang berharga, Hanz merasa gagal dalam mengemban tugas. Profesor Alexander bilang kalau saat ini pihak kampus sangat membutuhkan bantuan Hanz.

“Jadi kita harus segera mencari pencurinya, serta siapa saja mahasiswa kita yang telah membeli data-data tersebut.”

Hanz menatap mata Profesor Alexander lurus-lurus. “Baiklah, Prof. Berikan saya waktu beberapa hari dalam melaksanakan tugas ini.”

Sembari membolak-balik lembaran dokumen di atas mejanya, Profesor Alexander berkata, “Kami sarankan, kau berhenti saja bekerja di cafe, Hanz. Dan kami mohon, terimalah uang pemberian dari kampus. Bagaimana lagi kami bisa membalas jasa-jasamu?”

“Pekerjaan, itu murni urusan pribadi saya, tidak ada kaitan dengan kuliah dan tugas saya sekarang. Uang pemberian dari ETH, maaf saya tidak bisa menerimanya, fasilitas yang telah diberikan semua sudah lebih dari cukup.”

Profesor Alexander kian tercengang mendengarnya. Hanz malah mau menghabiskan waktu berjam-jam di sebuah kafe dengan cara melayani orang, lalu mendapat upah yang sangat kecil.

Jika saja Hanz mau menerima uang bulanan dari ETH, uang itu jumlahnya sepuluh kali lipat dari penghasilan yang didapatkan dari cafe. Namun anehnya, Hanz malah berpikir terbalik. Bahkan orang sekelas Profesor Alexander saja sampai saat ini masih tidak mengerti apa yang sedang ingin dicapai oleh Hanz dengan bekerja di sebuah cafe.

Hanz melanjutkan, “Apa yang telah dan akan saya lakukan di ETH, semata-mata untuk kampus, Prof. Biarkan saya punya jasa dan kenangan di sini. Lagi pula, terlalu banyak kebaikan dan manfaat yang saya dapatkan dari kampus, ketimbang hal-hal kecil yang telah saya lakukan.”

Sekitar empat tahun lalu, di awal-awal perkuliahan S1, ETH dibuat geger oleh ulah seorang penjahat siber. Kasusnya adalah pria itu menyerang sistem keamanan ETH, sehingga semua jaringan yang ada mati total, tidak bisa beroperasi. Jadwal kuliah disetop selama satu pekan.

Di saat sebagian orang ketar-ketir tapi tidak ada tindakan, terutama mahasiswa baru, anehnya ada seorang pemuda berusia lebih kurang tujuh belas tahun menawarkan diri dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut.

Kehadirannya sempat dianggap remeh karena dia merupakan mahasiswa chemical engineering. Tidak ada kaitan apa pun dengan soal IT. Namun, pihak kampus waktu itu melihat kesungguhan dan keberaniannya, bukan dari background.

Dengan bermodalkan pengalaman nonton film hacker dan buku-buku IT yang pernah dibaca, Hanz masuk ke dalam tim dalam penanganan kasus tersebut bersama para ahli. Hanz belajar kilat persoalan IT dan dunia ethical hacking bersama rekan-rekan di sana.

Mengagumkan, dalam waktu beberapa jam saja Hanz mampu menguasai seluk-beluk persoalan hacking. Meskipun sempat diragukan karena tidak ada pengalaman sama sekali dalam mengusut sebuah kasus, Hanz waktu itu malah menjadi pahlawan.

Hanz membongkar siapa pelaku dan apa motif kasus tersebut. Katanya, si pelaku merupakan mahasiswa dari salah satu kampus swasta yang ada di Swiss. Sebab pelaku melakukan tindakan terlarang itu adalah alasan kecemburuan.

Selama ini ETH selalu lebih baik jika dibandingkan dengan kampus mana pun di Swiss dan ETH selalu bisa bersaing dengan kampus-kampus besar dunia seperti, Oxford, Harvard, dan lainnya. Oleh karena itu, kecemburuan dan kebencian merupakan motif dasarnya.

Lalu, si pelaku yang memang sempat gagal dalam ujian masuk ETH, lantas melampiaskan semua kekesalannya meskipun perbuatannya tersebut sangat berbahaya bagi dirinya sendiri. Terang saja, tidak butuh waktu lama si pelaku segera diringkus.

Nah, sejak itulah nama Hanz diperhitungkan oleh ETH. Hingga saat ini, kurun waktu lebih kurang empat tahun, Hanz terus mengasah kemampuan siber-nya, belajar dengan salah seorang temannya yang ahli, kemudian belajar otodidak sendiri di rumah dengan segala fasilitas yang diberikan oleh ETH.

Profesor melihat wajah Hanz lurus-lurus, “Jika kau butuh tim, kami akan segera mencarikannya, Hanz.”

Hanz memaksakan senyum. “Tidak perlu, Prof. Biarkan saya bekerja sendiri kali ini.”

Ya, biarkan Hanz bekerja. Tapi nanti, setelah dia menghadiri acara spesial, undangan dari Tuan Dmitry Fadeyka, ayah kandungnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status