LOGIN"Kenapa kau malah tersenyum?" tegur Nathan sinis. "Cepat pikirkan cara. Kalau tahu begini aku tidak akan bertaruh denganmu, atau mungkin aku akan masuk saja lebih cepat dan membiarkan diriku kalah taruhan," omel Nathan. "Bocah mesum, jangan merasa dirimu yang paling dirugikan. Aku sendiri juga tidak mau menikah dengan bocah lemah sepertimu," balas Ravina kesal. "Apa kau bilang?" nada bicara Nathan makin meninggi, dan tatapannya makin tajam seolah mampu menembus jiwa Ravina, membuatnya bergidik ngeri. "Tidak, tidak... aku tidak mengatakan apa pun," jawab Ravina menghindar. "Hah... sudahlah. Karena takdir mengharuskan hal ini terjadi, maka aku akan menerima keberadaanmu sekali lagi," ujar Nathan pasrah. Ia tahu sudah tidak ada pilihan lain selain menjalani takdir ini dengan lapang dada dan menerima segalanya. "Hanya saja... maaf aku harus jujur, kita tidak bisa jadi suami istri sepenuhnya karena aku sama sekali tidak menyukaimu, dan aku tidak akan pernah mau menyentuhmu." Belum sem
Sementara di tengah kesadarannya yang mulai menipis, Nathan merasakan kaku dan sakit hampir di seluruh bagian tubuhnya. Matanya panas, aliran listrik seolah berputar-putar mengelilingi bagian-bagian tubuhnya, memberi efek kesemutan yang tak tertahankan. Dalam waktu yang cukup singkat, Nathan sudah benar-benar kehilangan kesadaran. Sarah dan yang lainnya yang masih berada di ruangan itu benar-benar panik. "Ayu Rania, Mila, segera lepas pakaian Nathan, biarkan Nasha memasukkannya ke dalam bak mandi," perintah Sarah. "Bibi akan keluar sekarang dan memanggil Alana dan Alena, lagi pula bibi tidak boleh ada di sini... selanjutnya perawatan Nathan bibi serahkan pada kalian berlima." Pipi Sarah memerah saat mengatakan itu. Pipi ketiga gadis itu pun tak kalah merahnya. ... Sementara itu... Di dalam alam jiwa. Jiwa Ravina sedang meringkuk kesakitan. Dia yang masih berusaha membuat Nathan kalah taruhan sampai akhir waktu tiga tahun itu, tanpa sengaja memicu petir hukuman surgawi, karena
Nathan memimpin semua orang kembali ke Cold Lake Manor, dan kali ini perjalanan mereka lebih singkat, karena mereka tidak perlu berhenti dimana pun, dalam waktu kurang dari satu jam, mereka sudah mendekati area Danau Dingin, yang artinya setelah menyebrangi jembatan di atas danau itu, mereka akan tiba di kediaman keluarga Middleton. Saat memasuki lingkungan Cold Lake Manor yang sangat dingin karena butiran salju yang turun di akhir tahun, ketika iturntari senja pun telah sepenuhnya terbenam menyisakan aroma basah dan pemandenhan gelap, srolah salju putih di sekeliling mereka mulai menghitam. Saat itu Nathan justru berkeringat deras, keanehan di tubuhnya yang sejak pagi tadi berusaha ia redam, perlajan terasa semakin menghimpit jiwanya. Wajah Nathan memerah, suhu tubuhnya naik dan seluruh tubuh Nathan gemetar hebat. "Kak Nathan, kakak kenapa? " tanya Mila panik, "Jangan buat mila takut kak." ucapnya lagi. Saat itu ketiga mobil itu sudah terparkir di halaman kediaman keluarga
Setelah melihat keakraban Nathan dengan orang tua Rania dan juga Mila, Nasha merasakan sedikit ceburu dan kesedihan di hatinya. Jika saja kedua orang tuanya masih ada, pasti mereka juga akan sangat akrab dan sangat bahagia bertemu dengan Nathan. Melihat riak kesedihan terpancar di wajah cantik Nasha, Nathan segera menggenggam tangan lembutnya dan berbisik, “Kau kenapa? Apa kau merindukan orang tuamu?” “Tidak,” jawab Nasha pelan. “Aku hanya sedikit iri pada Kak Rania dan Mila. Jika saja orang tuaku masih ada, mereka pasti akan sangat bahagia jika tahu aku bersama suami yang baik,” ujarnya lirih. “Sudahlah, jangan bersedih. Kau kan masih punya aku,” ucap Nathan tulus. Lalu, tanpa memedulikan siapa pun, Nasha langsung membenamkan kepalanya di dada Nathan. “Eh…” ujar Laila tersentak. Pasalnya, ia dan Brian belum tahu kalau Nathan bukan hanya bersama putrinya, tetapi juga beberapa gadis lain. “Apa yang terjadi di sini?” tanya Brian tampak bingung. “Ayah, Ibu, aku lupa mengatakan p
“Tunggu sebentar, Bu. Di belakang masih ada beberapa orang lagi,” kata Mila pada ibunya. Tak lama kemudian, mobil Richard muncul dan empat orang lagi keluar. “Di mana Billy?” tanya Nathan. “Saat di jalan masuk ke sini, Billy tidak mengikuti mobilku. Dia hanya memberitahuku alamat rumah ini dan bilang dia serta Laras akan menunggu kita di rumahnya, Bos,” jawab Richard cepat. “Laras?” tanya Laila dengan ekspresi kaget. “Iya, Bu. Itu Kak Laras. Dia dan Kak Billy…” ucapan Mila terhenti di tengah kalimat. “Ibu tahu,” potong Laila sambil tersenyum lembut. “Semoga saja mereka segera bersama. Ibu ikut bahagia untuk mereka. Billy adalah pria yang baik. Mari semuanya masuk. Sebentar lagi ayahmu akan datang. Ibu juga harus menelepon Bibi Maria, sekalian memberinya kejutan dan memintanya menjaga keponakan ibu,” ujar Laila bersemangat. Setengah jam berlalu. Mereka semua akhirnya makan siang di kediaman keluarga Smith. Tak lama kemudian, mobil Brian tiba. Ia terkejut melihat dua mobil lain t
“Tentu saja, Bibi. Aku akan menjaga Rania dengan baik, aku janji bi,” jawab Nathan meyakinkan. “Coba ceritakan, bagaimana bisa seseorang memusuhi pria sopan sepertimu?” lanjut Naina bertanya. “Tunggu dulu! Apa tadi aku tidak salah dengar? Kau adalah tuan muda keluarga Middleton?” tanya Paul penasaran. “Bibi, Paman, bisakah kalian bertanya satu-satu? Aku jadi bingung harus menjawab yang mana dulu,” ujar Nathan tak berdaya. “Lihatlah, karena kau terlalu banyak bertanya, menantu kita jadi bingung, kan!” tegur Naina. “Baiklah… baiklah, kau jawab saja pertanyaannya lebih dulu,” ujar Paul mengalah. “Sebenarnya bukan musuh seperti itu, Bi. Maksud Nasha tadi, takutnya ada orang yang tidak suka denganku. Bukankah mereka akan mencoba berbuat jahat pada orang-orang di dekatku juga,” jawab Nathan mencoba meredakan ketegangan Naina. Jika dia mengatakan semuanya dengan jujur, mungkin menantu perempuannya itu akan pingsan seketika karena ketakutan. Secara bersamaan, Nasha juga menger







